Requiem Kunang-Kunang
Barangkali
aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Segalanya terasa sebagai kesenduan
di kota ini. Gedung-gedung tua dan kelabu, jalanan yang nyaris lengang
seharian, deretan warung kelontong dan kafe-kafe sunyi dengan cahaya matahari
muram yang mirip kesedihan yang ditumpahkan. Kota ini seperti dosa yang
pelan-pelan ingin dihapuskan.
Bila suatu
kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang
mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang
berjalan malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman.
Bila kau perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini
selalu berjubah dan kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung
sepanjang hidupnya, seolah-olah mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila
kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih teliti, maka kau akan segera tahu:
hampir dari mereka semua, buta!
Ada banyak
kisah–setidaknya yang pernah aku dengar–kenapa semua penduduk di kota ini buta.
Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu
ruh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya.
Kekuningan. Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu
kemudian turun ke dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia,
yang semula, hanyalah serupa batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai
pertapa. Ruh yang serupa kunang-kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai
sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa melihat dunia. Ketika manusia
mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan manusia kembali
buta.
Kisah lain
datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita,
begitu orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima,
mereka sekandung anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut
dan mampu menghentikannya. Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan
cinta terlarang dua saudara sekandung itu, Permaisuri, sembari terisak meminta
syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam semalam mereka harus menyediakan
kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi, sanggup menutup seluruh
permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga kekejaman. Dengan
menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima,
memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi
kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan
mereka sihir menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para
prajurit menebah kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali
terbang. Maka, meski telah ratusan mata dicongkel untuk menggenapi
kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan teluk, hingga pagi tiba,
masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran Ketiga dan
Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan
cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk
jantung masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata
seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang
tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam
teluk.
Tak ada
muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang
dari sana, mata mereka buta.
Kisah yang
ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing,
dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga
yang kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh mata-mata pemberontak,
langsung ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini,
jangan kaget, bila seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta
pada pagi harinya. Ada gereja tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak,
dan pasukan asing itu mengepungnya. Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar
dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di belakang gereja. Mereka langsung
dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu diperingati dengan
misa paling murung di kota ini.
Seperti
diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang.
Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran
dari arah pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri
kesunyian lorong-lorong kota ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan
dengan kunang-kunang, yang melintas sendirian, atau bergerombol, seakan-akan
mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-jalan. Jangan kaget, bila
tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati seekor
kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota
ini. Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir
air yang letaknya jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan
asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa
mereka dari ingatan mereka. Kota itu terasa murung dan kelabu di siang hari.
Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam hari kota ini seperti
dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang yang
bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap.
Atau
berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan
kunang-kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas
tertidur. Ribuan kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan
diri dari cengkeraman kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar
suara mereka bernyanyi dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh
yang purbawi.
Cahaya
kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak
berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik
kegelapan. Kau akan melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan
kafe-kafe, seakan tengah mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu
hinggap di tiang listrik yang mati, hingga tiang listrik itu terlihat seperti
pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan kunang-kunang hinggap di
serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu seketika menyala
berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari, menjadi
berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika
langsung menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal.
Ada yang
hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari.
Sebenarnya
pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang
yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin
dilupakan, atau dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya
sengaja diciptakan untuk menjadi kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah
ibadah yang dibakar. Penembakan dan ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang
selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman menjadi sesuatu yang menakutkan.
Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka menculik dan mencongkel mata
siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga yang kemudian memilih
meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang yang sebagian
besar telah buta, dan kunang-kunang.
Apalah yang
layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta dan
kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota
ini, hidup dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam
yang sampai kini tak pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang
seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah arti keabadian bila kami hidup dalam
kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami hidup untuk melupakan apa
yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan ingatan buruk
itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan pulang
seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng
menyergap dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika
kurasakan belati tepat menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat
merasakan kesakitan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat
mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik terakhir itulah, ruhku keluar dari
tubuh, dan menjelma kunang-kunang.
Peristiwa
itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan
kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya,
berupa onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka
sayatan pedang, yang mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam
ingatan.
***
Dan inilah
kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan
memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang
membuatku sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku
merasa, aku hanya terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi
kunang-kunang, mungkin pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini,
tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan sentimentil itulah, yang barangkali,
membuatku ingin menceritakan semua kisah ini, kepadamu.
Pada malam
Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari penjuru
kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi
pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang
benderang berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya
yang buram dan sudah pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu
menampakkan diri bagaikan aura para santa, membuat salib Kristus yang menjulang
seolah diselubungi cahaya kesucian yang lembut dan meneduhkan. Sementara para
jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung
sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala
suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara
pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di
telingamu.
Ubi caritas
et amor, Deus ibi est
Simul ergo
cum in unum congregamur
Ne nos mente
dividamur, caveamus
Cessent
iurgia maligna, cessent lites
Et in medio
nostri sit Christus Deus….
Nyanyian
itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota
yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah
musim. Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan
para penduduk yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita?
Keheningan
misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung
hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti
ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa
yang tak pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja
dan meledakkan diri. Dan api makin berkobar. Sebentar lagi, mungkin gereja ini
akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.
Sebelum api
itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di
kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu.
Ambon, 2011
Kunang-kunang di Langit Jakarta
Ia kembali
ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap
menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya
selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena
kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter
akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies
kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada
abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus
melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia
tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.
Ada benarnya
juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar
zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya
tertarik bercinta denganmu.”
”Justru
itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik
memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia
tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut
perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter pernah
cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama
rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran
rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum
pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau
burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC
Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang
kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil
melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan
gerakan yang bagai terbang.
Setiap saat
ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit
dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang
ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago
kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang
disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa
lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih
hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah
Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri
duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit mulai
menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk
Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house
lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan
seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu
mendekati mejanya.
”Kau tahu,
kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer
Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang
menikmati house lemonade-mu itu…”
Entahlah,
kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya,
sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu
mengulang kenangan.
***
”Bukankah
kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu, semasa
kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam
buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak
kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik
Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam
stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini
kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para
penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh
para perempuan yang diperkosa….”
Saat
menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering
memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter
menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang
megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita
bercinta di bawahnya….”
Tapi ia tak
merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat
itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan
mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan
bising ini.
Ini jelas
bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur.
Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong
terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris
runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang
biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis,
atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter
seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan
beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia menunggu
tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya
gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan
bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti
ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam
dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan,
terbang melayang-layang.
”Lihat,”
Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah
detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia
menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung
gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang
berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun
yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran
mendekatinya.
”Pejamkan
matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan
kisahnya padamu….”
Ia merasakan
keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan
hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam
gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara
roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara
dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang
merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di
telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia
terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah
api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku
hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu,
suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api
yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang
berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit
langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa
orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda
motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke
dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah
gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka
begitu beringas!”
”Mayat saya
sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami
kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah…
lihatlah….”
Ia melihat
puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung
di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam
telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret
suara-suara itu.
”Ayo,
ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia dengar
teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada tangan
menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak
apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan
pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya
yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan
kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan
kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti
muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang
memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang
perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya
hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang
begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia
merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang
tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan
cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini
dan kenangan.
***
Pertama
kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun
setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung
gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus
berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya,
kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang
disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya,
kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati
itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis
muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu
seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter
menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu
pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak
keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan
logika?”
Memang, ia
hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu
padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa
begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia
ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena
itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan
kenangan.
Ia selalu
terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit
menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah
yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di
atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota.
Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama
langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak, bila
aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni
kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang
itu….”
Saat itu, ia
hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi
kenangan.
***
Ia tengah
dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter
meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh
Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang
mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya,
kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu
dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi
mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha
menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang
bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari tahun
ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan
kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar
biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia.
Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang
itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian
menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak
sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah
menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa
atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang
itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika
serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota,
dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata Jane
selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di
antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya
kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah
memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika
seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita
sedih….”
Jane
tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu
muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang itu
menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi
mengingat peristiwa kerusuhan itu.
Jakarta,
2010-2011
Kunang-kunang dalam Bir
Di kafe itu,
ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan
terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir
dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi,
benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada
gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu
segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia
menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika
dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga
muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia
tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….”
Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I
just called to say I love you….
Tapi mengapa
bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih
berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia
bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah
membuatnya kembali.
Waktu bisa
mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah
yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak
berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama
dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga
yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali
gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu
tidak juga tiba.
”Besok kita
ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak
percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita
ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu
aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba
saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja
suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih
dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui?
Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi
untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari
ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu,
ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum
mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak
mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi
teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman
yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu
membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum,
kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau
begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang
setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,”
dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi
kunang-kunang?”
”Aku akan
hinggap di dadamu.”
Dada yang
membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak
menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang
akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau
ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia
bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya
memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari
kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di
pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang
beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam.
Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu
membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang
membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu
terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia
selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan
menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak
melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika
dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian
kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar
bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda
tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini.
Menjadi nanti.
Adakah
kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya?
Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe
yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan
kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung.
Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang
berkilau kekuningan.
Gelas birnya
sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang
beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati.
Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada
percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri.
Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku
menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman
yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan
kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di
dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan
kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku
tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak
pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang
nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya
adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah
pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan.
Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku
tidak bohong.”
”Semakin kau
bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak
menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia
merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan
kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu
merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia
tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya:
”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai
ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan.
Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia
menggeleng.
Keduanya
akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang,
aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi
kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi
kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa
meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia
tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku
mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada
akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti
kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia
emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar
ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia
tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar
menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan
perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara
dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca
jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun,
memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras
menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap
di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih
menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang
ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang
diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan
hubungi aku!”
Lalu dia
menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus
dari mulutnya.
Barangkali,
segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti
kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi.
Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang
penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini,
seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir.
Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu
membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga,
desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali,
memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan
segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia
sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas
bir keenam!
Dan ia masih
menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan
suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia
seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam
berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam,
sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas
kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga
delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis.
Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas
bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah
terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian
ia beranjak pergi.
***
Malam makin
mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan
kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan.
Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat
itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang
melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.
Jakarta,
Coffeewar,
8/26/10 12:38:25 AM
8/26/10 12:38:25 AM
Ada yang Menangis Sepanjang Hari…
Tangisan itu
seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung
pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para
warga pun tak terlalu peduli.
Tapi ketika
sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai
terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan
yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang
menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan
minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.
”Siapa sih
yang terus-terusan menangis begitu?!”
”Apa dia tak
lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah
keterlaluan!”
”Suruh
keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.
”Ah paling
juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena
suaminya mati dibakar kemaren.”
Orang-orang terdiam.
Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus,
kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek,
seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang
terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau
daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan
masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis.
Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu?
Para peronda
dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi terkunci.
Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah
berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah
sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu
nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi
yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar
suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang
seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris
malam.
Berhari-hari
tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling
memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti
ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari
seperti itu?
”Ini sudah
keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi
ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.”
Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.
”Kami harap
Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”
”Lho,
apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.
”Kalau
nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi
terganggu.”
”Terus
terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”
”Jadi kebawa
pingin nangis…”
”Itu namanya
mengganggu ketertiban!”
”Pokoknya
orang itu harus segera diamankan!”
Tak ingin
terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW,
karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah.
Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati
gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin
roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW
menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung.
”Warga
seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,”
kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus
terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”
***
Pada hari
ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu
terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang
jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang
mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan
yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan.
Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila
orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang
benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus
sepanjang hari.
Pada hari
ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor
Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan
menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah
merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar
sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang
jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di
antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan.
Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang
terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari…
Orang-orang
hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus-
terusan menangis seperti itu.
”Mungkin itu
tangis pembantu yang disiksa majikannya…”
”Mungkin itu
tangisan buruh yang baru terkena PHK.”
”Mungkin itu
tangisan korban mutilasi…”
”Barangkali
itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan
tak ditemukan sampai kini…”
”Barangkali
itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”
”Atau bisa
jadi itu tangisan kuntilanak…”
”Mungkin
tangisan Suster Ngesot…”
Hingga hari
ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera
menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis
yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir
sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi
perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan
terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke
dusun-dusun paling jauh di pedalaman.
Tangis itu
mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan
teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu
meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah
cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap
mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan
sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah
tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar.
Pada hari
ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang
telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas
ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak
bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga
setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.
”Apakah kita
mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.
Menteri yang
lain hanya diam.
***
Pada hari
ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis
itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari
kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya
memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin
Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu
tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang
menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela,
tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5
Milyar.
Mendadak
istrinya sudah di sampingnya.
”Ada apa?”
”Saya
seperti mendengar suara tangis…”
”Siapa?”
”Entahlah…”
”Sudah,
tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan
mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden
hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.
***
Sementara
tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara
bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika
terdiam. Seekor lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara.
Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa
ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam
mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang
penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi
paling jauh.
Apakah kau
dengar tangisan itu?
Jakarta,
2007-2010
Pemetik Air Mata
Mereka hanya
muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan—
kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil
keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil
itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar
dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia
ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran
mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan
memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru
menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap
butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka
tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik
itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung
tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang
bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang.
Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana
kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air
mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai
menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang
pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak
sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban
udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya
telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras
mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua
itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti
memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada
di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara
napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang
bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya
limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat
kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu
gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan
itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan
nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil
tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air
mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di
dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan
itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang
terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
Ketika
akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan
menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian
dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di
pinggiran dan perempatan jalan.
***
Sandra tak
percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal
air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata,
Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa
kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap
peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak
malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra
berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila
tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai
lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung
dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam
Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja,
bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding
ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak
bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-
menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama
memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya,
tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk
hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu
kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi
berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke
mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah
menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka.
Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila
hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak
makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan
itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan
bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.
Tapi
saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya
cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa
sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama
menangis?”
”Tidak,
Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa
manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena
manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa
mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah.
Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama
kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya
adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga
meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah
tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni
bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu.
Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu
pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal
kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu
peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan,
yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya.
Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah
kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia
sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun
menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam,
peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali
mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu
muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi
Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan
tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang
pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa
tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya.
Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke
kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara
lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal
Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang
Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat
itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah
sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita,
anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia
membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri
sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata
anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual
kristal air mata itu.
”Itu bohong,
sayang…”
”Kenapa
penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama
dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang,
kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air
mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka
lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal
air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang
dan paling menyedihkan yang menang.”
Bita
menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di
sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal
air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang
merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak,
tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah
kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra
mencoba tersenyum.
”“Sekarang
tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut
menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar,
terdengar suara Bita,
”Apa besok
Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra
tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”
Lalu
mematikan lampu.
***
Suaminya
tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat
seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di
sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh
senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa
ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya
berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan
ditemukan mati tergorok di losmen murahan.
Tidak.
Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak
pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di
saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya
erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan
menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti
Mama?”
”Tidak. Kamu
jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra
merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang
mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian
yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng
terhadapnya.
Berbaring di
ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm,
pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang
menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan
bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk
menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang.
Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu
menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh
panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya
kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika
laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin
laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan
mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi
makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya
kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu
malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan
pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2
dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia
benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra
selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah
Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin
semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin
menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa
sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra
kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu
kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri
simpanan.
Sandra
merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri
pemetik air mata itu muncul malam ini.
Yogyakarta,
2009
Seluruh
kisah masa kanak-kanak Sandra bisa dibaca pada cerpen Pelajaran Mengarang,
karya Seno Gumira Ajidarma.
Mawar di Tiang Gantungan
Kuceritakan
apa yang kulihat. Tapi kalian mengatakan aku dusta, karena aku buta. Aku memang
tak punya mata. Namun berapa kali mesti kukatakan pada kalian, betapa aku bisa
melihat langit yang hijau lembut dan halus seperti permukaan agar-agar. Aku
bisa melihat pepohonan yang ungu, daun-daunnya yang kemerahan, butiran hujan
yang bening keemasan hingga segalanya jadi tampak megah bekilauan setiap kali
ia ditumpahkan. Bisa kulihat hamparan rumput yang biru bagai beludru, gugusan
awan merah muda, bayang-bayang yang putih dan memanjang, juga angin yang pucat
kelabu. Aku bahkan bisa menyentuhnya dengan ujung-ujung jemariku, seperti
menyentuh kelembutan sutra yang berkibaran. Aku bisa melihat segala yang tidak
mampu kau pandang dengan sepasang matamu.
Baiklah,
untuk kesekian kali, kuceritakan pada kalian apa yang kusaksikan.
Aku
melihatnya di pinggir jalan itu. Seperti malam-malam sebelumnya, ia selalu
muncul dengan gaun yang mengundang, kakinya jenjang, berdiri menunggu seseorang
datang, dan kau menyebutnya pelacur. Saat pertama kali melihatnya, aku langsung
tahu. Namanya Mawar. 28 tahun lebih enam hari. Dia lahir saat hujan turun
begitu lebat jam sembilan pagi. Sebulan setelah melahirkannya, ibunya gila
karena guna-guna istri muda simpanan suaminya. Aku melihat garis pedih dan
hitam. Aku bisa melihat semua yang hendak disembunyikannya. Bilur jejak luka di
tubuhnya, dua anaknya yang sakit-sakitan di rumah petak kontrakannya di
pinggiran kota sana, masa lalunya yang penuh kesedihan, suaminya yang minggat,
dua tahi lalat kecil di punggungnya. Sungguh, tak ada yang tak terlihat olehku
yang buta. Juga hari paling nestapa dalam hidupnya yang bakal tiba. Itulah
sebabnya aku menyukainya sejak pertama. Ia seperti dikutuk kecantikannya.
Kuceritakan penglihatanku. Tapi ia hanya tertawa.
”Kenapa
mesti takut? Berkali-kali aku kena garuk. Aku tahu bagaimana caranya
mengatasi,” katanya. ”Aku cuman perlu memberi sedikit kesenangan pada para
petugas itu.”
Ia
sebenarnya tak terlalu suka bicara. Sementara para pelacur lain berkeliaran
sambil cekikikan genit setiap ada laki-laki muncul, ia memilih menyendiri.
Kadang tampak ganjil juga melihat sosoknya di jalanan merah remang ini. Tapi
itu membuatku jadi bisa sering mengajaknya bercakap. Pernah ia cerita tentang
pelacur tua yang matanya menjadi buta karena rajasinga.
”Dan kamu,
kenapa buta?” Ia sayu menatapku.
”Aku tak
buta. Aku memang memilih tak punya mata.”
Lalu aku pun
bercerita padanya.
Ketika
sepasang malaikat membawa ruhku turun dari langit, mereka bergantian
membisikkan nasib yang akan kujalani. Kemudian ditiupkan ruhku pada rahim
perempuan yang akan menjadi ibuku. Seperti tanah liat yang mulai terbentuk,
disematkannya tangan dan kaki pada tubuhku, diberinya aku degup jantung. Aku
senang sekali ketika sepasang malaikat itu mulai memberiku telinga mulut dan
hidung. Kemudian ditunjukkan padaku sepasang mata yang indah, dan berkata,
”Mata ini akan membuatmu jelita. Tapi kau akan menderita karenanya.”
Lalu
kukatakan pada malaikat itu, ”Biarlah aku tak punya mata saja.”
”Bila kau
tak punya mata, kau akan melihat banyak rahasia.”
”Kalau
begitu, buat apa aku punya mata, bila aku bisa melihat tanpanya?”
Lalu mereka
menyimpan sepasang mata itu.
”Baiklah,
kami akan menaruh matamu ini di surga. Kelak, kamu bisa kembali mengambilnya.”
Tentu, kau
bisa menduga, ketika aku lahir dan menatap dunia, perempuan itu langsung
meraung ketika tahu anaknya tak punya mata. Ia begitu membenciku, dan tak
pernah mau menatapku. Ia membuangku. Aku bahkan tak pernah tahu namanya.
Seorang pemulung menemukanku di tempat pembuangan sampah, kemudian menjualku
pada seseorang yang menampung para pengemis. Melihatku yang tak punya mata, ia
seperti menemukan barang langka paling berharga. ”Anak ini akan membuat ibu
siapa pun yang menatapnya. Anak ini akan membuat orang tak sungkan-sungkan
melemparkan receh mereka.” Di rumah itu tinggal banyak anak-anak yang bagai
barang rongsokan. Seorang anak kedua kakinya pengkor. Seorang anak tampak
begitu idiot dengan air liur kental bacin yang terus berleleran. Ada yang
bongkok. Ada yang gagu. Jileng. Perot. Digerogoti kusta. Bahkan seorang bocah
yang tampak manis sengaja diiris telinganya dan dibiarkan jadi borok agar
terlihat menyedihkan. Tentu, aku menjadi yang paling menyedihkan di antara
mereka, dan karenanya bisa menghasilkan banyak uang setiap mengemis. Aku tahu,
orang-orang lebih suka cepat-cepat memberi uang recehan mereka dan bergegas
pergi ketimbang berlama-lama bersitatap denganku. Siapa yang tahan memandang
wajah dengan sepasang liang hitam menganga?
Sengaja
kubuka kelopak mataku, dan ia bergidik ngeri.
”Lihat, kau
pun takut menatapku.”
Aku bisa
memahami perasaannya. Seorang pelacur cantik duduk bersama perempuan tua buta,
kukira memang bukan pemandangan yang menyenangkan. Ia bisa kehilangan
pelanggan.
”Bukannya
aku tak percaya. Tapi dengan apa kau melihat, kalau kau tak punya mata?”
”Aku melihat
dengan mata yang tak kau punyai. Aku bisa melihat seekor kelabang mendekam di
balik batu itu. Aku bisa melihat suara kucing yang mengeong di atap rumah ujung
jalan itu. Pandanglah ujung gang yang kelabu itu, aku bisa melihatnya
mengembang dan mengerut seperti gumpalan kabut. Aku bisa melihat kota ini
seperti bola bekel raksasa yang lembek, aku bisa menyentuhnya dengan tanganku,
cahaya seperti lumer di sela jariku. Aku bisa melihat menara jam di tengah kota
bergumam muram tengah malam, kemudian meliuk merunduk. Aku bisa melihat
maneken-maneken yang berkedip, menggeliat bosan terkurung etalase toko-toko
sepanjang jalan ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu
pelanggan dan sentuhan…”
Dia tertawa.
”Lihatlah, bahkan
aku bisa melihat tawamu yang ungu kebiru-biruan memuai di udara.”
Ia kembali
tertawa. Kutegaskan padanya, betapa setiap suara punya warna yang berbeda-beda.
Kau mendengar suara, aku bisa melihatnya. Ia terus tertawa. Aku tahu ia mulai
nyaman di dekatku. ”Kau menyenangkan. Caramu bercerita membuatku tak tertalu
kesepian,” katanya.
Sejak itu
aku sering menemaninya. Ia suka setiap aku menceritakan yang kulihat. Dunia
yang kusaksikan membuatnya terpesona. Lalu kukatakan apa yang bakal menimpanya.
Ia memang tak menuduhku berdusta, tapi tak percaya.
Aku ingat
betul malam itu ia terlihat lebih sedih dan gelisah. Barangkali ia pun
merasakan firasat itu, tetapi tetap bersikeras tak mempercayainya. Hujan yang
biru pekat membuat jalanan menggigil, dan angin yang buruk seperti kaleng
rombeng yang bergerompyangan menabrak-nabrak dinding. Lepas 3 dini hari.
Sebagian pelacur telah pergi. Ia berteduh di trotoar, rambutnya basah
tertempias hujan. Di pojokan toko, aku rebahan di tumpukan kardus memandangi
bayangan takdir paling getir. Aku seperti mendengar lecut petir, ketika kulihat
beberapa pelacur bergegas menyingkir. Mobil patroli yang mendadak muncul
membuat semuanya kocar-kacir. Ia pun hendak lari. Tetapi para petugas sudah
mengepungnya. Aku bisa melihat lelehan sisa arak di mulut petugas-petugas itu.
Aku tahu mereka barusan menenggak berbotol-botol arak sebelum sampai ke sini.
Arak yang memadamkan sepi dan membangkitkan birahi. Itulah sebabnya mereka
menjadi lebih beringas dari biasanya. Aku melihat aroma pekat kecoklatan napas
mereka ketika menyeringai tertawa. Mungkin saat itu aku berteriak. Mungkin
tidak. Semuanya berlangsung begitu cepat. Seorang memukulku yang mencoba
menolong Mawar. Aku bahkan nyaris dicekiknya, tapi petugas yang lain segera
berteriak, ”Biarkan! Dia cuma perempuan buta itu!”
Dan inilah
yang kusaksikan malam itu:
Mereka
menyeret Mawar yang terus meronta. Melemparkannya ke mobil patroli. Membawanya
pergi kemudian menyekapnya di gudang. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Begitu nyata dalam penglihatanku. Wajah Mawar pucat, bibirnya bengkak kena
pukul, seekor cicak kaget menyelusup ke celah dinding, ketika Mawar menjerit.
Mereka menyumpal mulutnya. Memelorotkan pakaiannya dengan paksa, kemudian
bergiliran memperkosanya. Sunyi yang paling hitam membenamkan penglihatanku
yang penuh kepedihan. Isak tangis muram menyelubungi gudang itu, bercampur
erang yang terdengar bagai muncul dari binatang terluka. Lalu kusaksikan Mawar
mendadak bangkit menyerang sambil menjerit panjang. Ia hantam kepala seorang
pemerkosanya dengan lonjoran besi yang berhasil diraihnya. Ia mengamuk dengan
buas. Dihunjamkannya berkali-kali besi itu ke tubuh yang terkapar…
Begitulah
kejadiannya. Kuceritakan apa yang kusaksikan, tapi kalian tak pernah percaya
pada saksi mata yang buta. Padahal bukan aku yang dusta, tapi mereka. Peristiwa
pemerkosaan itu mereka tutup-tutupi dengan pembunuhan itu. Mereka bilang mereka
tengah patroli seperti biasa. Mawar mereka bawa dan nasihati baik-baik ketika
mendadak ia mengamuk. Rupanya ia mabok berat. Di tasnya ada beberapa butir pil
dan pisau lipat—yang sengaja ditaruh petugas untuk menjebaknya. Ada bercak
darah di pisau itu. Dan selanjutnya kalian tahu sebagaimana diberitakan
koran-koran: dikatakan Mawar baru saja membunuh seorang pelanggan yang tak
membayarnya. Bahkan petugas bisa mengembangkan bukti, ternyata dialah psikopat
yang selama ini mereka cari. Ia pembunuh yang telah memotong-motong delapan
korbannya. Pelacur dan pembunuh. Itu alasan yang cukup untuk menyeretnya ke
tiang gantungan. Kalian seketika merasa nyaman karena pembunuh misterius itu
telah tertangkap. Dan kalian makin merasa tenang karena kalian memang ingin
melenyapkan maksiat dari kota. Pelacur-pelacur mesti disingkirkan. Mereka
selama ini membuatmu jengah karena takut dengannya suami-suami dan anak
laki-laki kalian berzina. Segala yang cabul mesti dimusnahkah, karena begitulah
menurut undang-undang yang baru kalian sahkan. Maka kalian pun hanya diam
ketika Mawar diarak ke alun-alun kota, dicambuk dan dirajam, kemudian digantung
sebagai tontonan. Kusaksikan senja yang memar, burung gagak merah berkaokan,
dan angin yang muram berkesiur pelan membuat tubuh itu terayun di tiang
gantungan. Sampai malam.
Keesokan
harinya kalian gempar. Mayat itu lenyap dari tiang gantungan!
Di pasar. Di
kantor. Di ruang tunggu rumah sakit. Di warung dan kafe. Di pangkalan ojek. Di
seluruh kota. Orang-orang ramai membicarakan. Sampai sekarang pun kalian masih
terus kasuk-kusuk. Kalian kebingungan ketika anak-anak kalian bertanya. Karena
bagaimanapun tidaklah mungkin mayat itu lenyap begitu saja. Siapa yang
membawanya?
Baiklah,
kuceritakan apa yang telah kusaksikan.
Setelah
mayat itu digantung, kalian pun bubar. Sebagian kalian tertunduk, seakan ingin
menghapus bayangan buruk. Tapi kalian tak ingin terus meneruh disesah kengerian
karena saat itu hari Natal. Kalian mesti ke gereja. Ada yang lebih kudus untuk
dirayakan. Maka malam itu aku pun menyaksikan langit kota yang dipenuhi
nyanyian doa kalian. Hujan rinai turun, malam mengelabu. Aku sendirian di alun-alun
itu, memandangi tubuh Mawar yang tergantung dalam bayangan cahaya murung.
Kurasakan debu-debu beterbangan diembus angin yang makin jekut ketika kesepian
makin membentangkan kelengangan yang menyayatkan keperihan bersama debu dan
dingin yang mulai membaluri kota sementara sisa gema lonceng bagai melekat di
udara yang makin menggigilkanku dalam kesedihan.
Saat itulah,
ketika di gereja kalian memadahkan kidung agung Natal penuh sukacita, aku
tiba-tiba melihat seseorang muncul dari ketiadaan. Ia berjalan mendekati tiang
gantungan. Kalian pasti akan langsung tahu siapa dia begitu melihat wajahnya
yang bersih dan indah, seperti ada cahaya mengitari kepalanya. Matanya seperti
bintang bening. Senyumnya seperti anggur lembut yang seketika bisa menghapus
dahaga. Rambutnya ikal dan panjang. Ia berjalan anggun, seperti seseorang yang
berjalan melintasi permukaan air, meski sesekali tampak limbung karena menahan
luka di lambungnya. Kulihat tangan dan kakinya berdarah. Kudengar ia berseru,
seperti memanggil nama pelacur itu.
Aku begitu
terkesima menyaksikannya. Langit seakan tiba-tiba benderang penuh cahaya
keemasan yang cemerlang. Kulihat ia bersimpuh di bawah tiang gantungan, dan
mencium lembut kaki mayat yang tergantung itu, kemudian menurunkannya. Saat itu
aku melihat ribuan mawar mengapung di udara menyerbakkan harum yang megah.
Kudengar kalian masih menyanyikan doa-doa dan pujian di gereja ketika laki-laki
itu membawanya pergi. Seperti pengantin membopong mempelainya.
Kuceritakan
ini pada kalian, tapi kalian menuduhku pendusta.
Yogyakarta,
2008
Kartu Pos dari Surga
Mobil
jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur.
“Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya.
Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu.
Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk
membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru
menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya
tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu
terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa
mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera
berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk….” Ia nyaris kepleset dan menabrak
pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya
terengah-engah begitu.
“Ada apa,
Non?”
“Kartu
posnya udah diambil Bibik, ya?”
Tongkat pel
yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku.
Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu
seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia
selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Marwan hanya
diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang,
Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah.
“Saya ndak tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada
anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha
menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum
datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak
Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”
Lalu ia
mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan
membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan
Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota
yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang
meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa
telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape.
Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek
sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada
penculikan.
“Kau memang
tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan tak
lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan
tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos
yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena,
yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima
surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras.
Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas
mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya
sendiri itu ia terima.
Ren sejak
kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali
menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari negeri-negeri
yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan
ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu
mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.” Ren kecil duduk di
pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu pos yang
mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya Ayah
pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku
memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak ingin
berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu:
pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari
kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di
pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu menenteng
kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren
menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul
11.20.
“Enggak bisa
tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan
menggandeng anaknya masuk.
“Besok Papa
bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.
“Nganter ke
mana? Pizza Hut?”
Beningnya
menggeleng.
“Ke mana?”
“Ke rumah
Pak Pos…”
Marwan
merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
“Kalu emang
Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos
dari Mama.”
Marwan hanya
diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari kotak
itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun
kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu.
Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih.
Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe
payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan
patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang.
Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai
dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan
ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada
Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya
tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?
“Bilang saja
Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.
Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah
Beningnya pulas,
“Bagaimana
kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah,
kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia
selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang
tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya
terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga
ia dan Ita….
“Atau kamu bisa
saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….”
Marwan
tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
Mobil
jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun.
Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah
melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk
kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu
pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi
kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan
menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah
datang ya kartu posnya?”
Marwan
melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan
kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan
Mama…”
Marwan tak
berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya.
Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus
terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya
akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan
Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman.
Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi
rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus
menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.
Ketukan
gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia
melihat jam kamarnya.
“Ada apa?”
Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
“Beningnya…”
Bergegas
Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang
keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah
bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau
wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya
ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Beningnya!
Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit
ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci.
Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga
terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.
“Beningnya!
Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
“Buka
Beningnya! Cepat buka!”
Entahlah
berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap
dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan
menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.
“Tadi Mama
datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi
Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….”
Beningnya
mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya
kecoklatan bagai bekas terbakar.
Singapura-Yogyakarta,
2008
Serenade Kunang-kunang
Aku suka
matanya, seperti langit hampir malam yang dipenuhi kunang-kunang. Kau akan
melihat hamparan kesenduan dalam mata itu. Mata yang terlalu melankolis untuk
seorang laki-laki yang selalu gugup dan tergesa-gesa ketika berciuman. Tapi,
sepasang mata itulah yang membuatku jatuh cinta.
Sisa hujan
masih terasa dingin di kaca saat aku bertemu dengannya di toko ikan hias. Aku
tengah memandangi ikan-ikan dalam akuarium, ketika sepasang mata itu muncul
dari sebalik kaca—membuatku terkejut. Di antara ikan-ikan kecil warna-warni,
sepasang mata itu bagai mengambang. Sementara gelembung-gelembung udara dan
serakan batu koral membuat wajahnya seperti terpahat di air. Dan saat sepasang
matanya mengerdip, aku teringat pada sepasang kunang-kunang yang melayang di
atas kolam.
Aku tak tahu
bagaimana persisnya aku mulai mengajaknya bicara. Tetapi ketika ia menyebutkan
namanya, aku seperti mendengar denting genta, bergemerincing dalam hatiku.
Barangkali, seperti katamu, aku memang mengindap gangguan jiwa karena terlalu
gampang jatuh cinta.
”Atau
jangan-jangan kamu hanya maniak seks yang takut kesepian. Kamu takut tidur
sendirian…”
Kamu mungkin
tak percaya, kalau kukatakan betapa semua ini bukan semata-mata urusan ranjang.
Memang, berganti pacar bagiku tak lebih seperti ganti baju: tinggal pilih mana
yang cocok buat ke pesta, mana yang pantas buat dipakai makan malam, mana yang
pas buat jalan-jalan, dan mana yang nyaman buat sekadar menghabiskan malam di
ranjang.
”Dan yang
ini?”
Seperti
kukatakan, aku suka matanya yang selalu mengingatkanku pada langit hampir malam
yang dipenuhi kunang-kunang. Menatap matanya menjadi kehangatan tersendiri,
seperti ketika kamu merasa rindu pada masa kanak-kanakmu yang paling
menenteramkan. Itulah yang membuatku betah berada di dekatnya. Aku suka ketika
mendengar ia berbicara. Terdengar seperti lagu pop yang tak terlalu merdu
tetapi dinyanyikan dengan sentimentil…
”Laki-laki
yang romantis rupanya!”
Tidak. Ia
tak pernah mengucapkan rayuan, yang paling gombal sekali pun, untuk sekadar
membuatku tersenyum. Ia malah cenderung selalu gugup bila aku bermanja-manja
memeluknya. Aku ingat, betapa jari-jari tangannya begitu gemetar ketika pertama
kali menyentuh putingku yang ungu. Ia bercinta nyaris tanpa suara. Bahkan aku
tak mendengar desah apa pun ketika ia orgasme. Kau tahu, bercinta dengannya
seperti menikmati nasi goreng: rasanya standar dan bisa didapat di mana saja.
Tapi—entah kenapa—aku selalu menyukainya. Mungkin karena aku merasa nyaman
saja. Bersamanya aku tidak terobsesi untuk melakukan bermacam adegan dan
posisi. Dan kupikir, kalau memang kepingin yang aneh-aneh begitu, aku kan bisa
melakukannya dengan pacar-pacarku yang lain.
”Busyet!!”
Mungkinkah,
kali ini, aku sungguh-sungguh jatuh cinta?
”Gatal
telingaku dengar kamu ngomong soal cinta.”
Bila aku
kangen, bayangannya seperti ketukan ganjil pada pintu saat tengah malam.
Membuatku tergeragap. Lalu kuingat kunang-kunang di matanya, yang membuatku
menyukai kemurungan dan kesenduannya. Dia bukan laki-laki seperti yang sering
kamu lihat di iklan deodoran, yang membuatmu rela melakukan apa saja untuk
sekadar mendapatkan perhatiannya. Sungguh, penampilannya lebih mirip salesman
yang baru saja ditolak masuk rumah, dengan dasi yang selalu terlihat tak serasi
dengan warna sweater-nya yang kelabu. Ada beberapa jerawat di wajahnya yang
coklat. Sedikit berkumis, tipis, tak rapi. Dia agak pendek untuk ukuran
kebayakan laki-laki. Keringatnya meruapkan aroma kamper yang akan membuatmu
teringat pada baju yang menjadi apak karena terlalu lama disimpan.
”Bukan baju
yang pantas buat ke pesta, kukira!”
Lebih mirip seperti
baju yang ingin selalu kamu sembunyikan dalam lemari. Bukan karena kamu tak
suka, tapi karena kamu tak ingin orang lain tahu kamu memilikinya.
Tapi—entahlah, aku begitu menyukainya. Seperti menyukai baju yang selalu ingin
kukenakan diam-diam.
”Anggap saja
ini cinta sejatimu. Dan ini kisah cintamu yang akan jadi dongeng menakjubkan!
Ha-ha-ha…”
Tidakkah kau
tahu, terkadang sebuah kisah cinta bisa saja menakjubkan meskipun tidak seindah
kisah cinta Cinderella dengan Pangeran tampannya? Sampai saat ini aku sendiri
masih heran, kenapa aku jatuh cinta kepadanya. Kadang aku menganggap semua ini
tiada lebih dari kisah cinta yang ganjil dan bermasalah. Tapi, bukankah cinta
memang ganjil dan penuh masalah?! Tapi…
Maaf, aku
mesti pergi.
”Mau ke
mana?”
Kau lihat
kunang-kunang itu? Setiap melihat kunang-kunang, aku selalu merasa dia tengah
memikirkanku. Setiap melihat kunang-kunang, aku jadi ingin ketemu dia.
”Kau suka
kunang-kunang?”
”Hmm.”
”Aku suka
kunang-kunang…”
”Hmm.”
”Aku suka
matamu…”
”Hmm”
“Seperti ada
kunang-kunang dalam matamu.”
”Hmm…”
Ah, selalu
tak mudah mengajaknya bercakap. Padahal, pada saat-saat seperti ini aku ingin
sekali mengajaknya bercakap-cakap tentang kunang-kunang itu. Itulah kenapa aku
mengajaknya kemari. Aku ingin ia melihat sendiri bagaimana setiap bulan purnama
ribuan kunang-kunang itu muncul dari bawah lembah sana, bagai gugusan cahaya
kekuningan yang bangkit. Kemudian terbang mengikuti aliran sungai. Ribuan
kunang-kunang itu terlihat bagaikan selendang kuning yang melayang-layang hanyut
di riak air.
Itulah
pemandangan yang selalu kusaksikan sejak kecil di tempat ini. Ibu selalu
mengajakku kemari, setiap kali aku merasa rindu dengan ayah. Ibu selalu
bercerita bahwa ayah telah menjelma kunang-kunang. Salah satu dari ribuan
kunang-kunang itu adalah ayahmu, kata ibu. Selalu, dengan mata yang layu, ibu
bercerita bagaimana suatu malam ayahku diseret keluar rumah, di zaman gestapu
dulu. Aku masih dalam kandungan ibu, saat itu. Ibu mendengar tubuh ayah dibuang
ke lembah itu, bersama ribuan tubuh lainnya. Seminggu setelah pembantaian, dari
lembah itu muncul ribuan kunang-kunang. Membuat lembah itu menjadi berkilauan.
Kunang-kunang itu adalah jelmaan roh-roh yang penasaran. Dan setiap malam
purnama, ketika lembah itu menjadi bisu, dan angin yang membeku membuat
pepohonan tertugur kelu, ribuan kunang-kunang itu selalu bangkit dan terbang
melayang-layang menyusuri aliran sungai, kemudian gaib begitu saja dalam
kesunyian yang mengelabu.
Kuajak ia
kemari, agar ia menyaksikan kemunculan ribuan kunang-kunang itu. Agar ia
mengerti kenapa aku suka kunang-kunang. Kenapa aku suka pada matanya yang bagai
menyimpan kunang-kunang. Sejak kecil aku kerap bermimpi ayahku muncul dengan
mata yang bagai sepasang kunang-kunang.
”Kau lihat
kunang-kunang itu?!”
”Hmm…”
Ini
pertemuan ke-43. Seperti yang sudah-sudah, ia langsung tidur setelah bercinta.
Dia meringkuk dalam selimut, seperti sosis dalam setangkup roti. Bahkan
kemurungan tak juga menguap dari wajahnya ketika ia terlelap. Dari jendela
apartemen lantai sebelas, kota terlihat gemerlap ditangkup gelap yang pucat.
Aku jadi teringat pada cerita seribu kunang-kunang yang menautkan kesepian dan
kenangan. Rasanya aku pernah membaca cerita seperti itu—mungkin sewaktu SMA,
aku lupa. Aku membayangkan jutaan kunang-kunang muncul dari kegelapan malam dan
terbang berhamburan memenuhi kota…
”Enggak
tidur?” Ia menggeliat, memandangku yang duduk telanjang di sofa.
Ia sungkan
dan jengah. Ia masih saja tak terbiasa melihatku telanjang. Kemudian ia
bangkit, meraih celana dan kemeja di sisi ranjang. Membelakangiku, dan tergesa
mengenakan pakaian. Kurasakan kemurungan yang ganjil ketika ia mendekatiku. Tak
ada pelukan untuk saat-saat seperti ini. Tak ada percakapan. Seolah ia
menginginkan semua ini berlangsung tanpa percakapan yang akan menjadi terlalu
sarat kenangan.
Seperti
jeritan yang teredam, handphone di atas meja bergetar tanpa suara. Ia meraih
handphone itu, dan dengan gerakan pelan menjauhiku, berbicara setengah
berbisik. Aku hanya memandang keluar jendela. Sampai ia mematikan handphone dan
mendekatiku.
”Aku mesti
pergi…” suaranya pelan dan datar. ”Anakku sakit …”
Bukan
sesuatu yang mengagetkan. Tapi, aku tetap saja merasakan kemurungan yang makin
membentang, seperti langit yang bertambah memucat di atas kota yang di penuhi
kunang-kunang. Cahaya perlahan susut dan aus. Desah napas waktu meruapkan basah
pada kaca jendela. Kesunyian tak terpermanai. Dan dingin, seperti dalam sebuah
puisi, tak tercatat pada termometer.
Barangkali,
seperti kerap kau katakan, aku memang wanita paling menyedihkan yang pernah kau
kenal. Karena, selalu saja, aku selalu saja gampang jatuh cinta pada laki-laki
yang sudah beristri….
Jakarta,
2005-2008
Parousia
Pada malam
Natal tahun 3026, aku terlahir kembali ke dunia ini sebagai seekor ular. Aku
keluar dari cangkang kesunyianku. Mendesis pelan dan muncul lewat
gorong-gorong. Kusaksikan cahaya terang kota yang gemerlapan. Tak ada bintang,
dan langit hanya basah. Di kulitku yang licin, udara terasa seperti permukaan
piring keramik yang dingin. Sayup kudengar gemerincing lonceng mekanik Jingle
Bells mengalun dari juke box di etalase hypermarket, seperti rintihan kesepian.
Mobil-mobil silver metalik bertenaga magnetik mendesing lalu lalang di jalanan.
Orang-orang bergegas membawa keranjang belanjaan dan kado-kado Natal berbungkus
kertas warna-warni. Seorang Sinterklas terkantuk-kantuk di trotoar. Aku
benar-benar tak lagi mengenali kota ini. Kota di mana bertahun-tahun lampau,
dalam kehidupanku yang lain, aku pernah begitu mencintainya.
Dulu aku
memang berharap, aku ingin dilahirkan kembali di kota ini, tidak lagi sebagai
bocah idiot yang sering diganggu dilempari kerikil atau tomat busuk. Aku tak
pernah mengerti, kenapa dulu orang-orang di kota ini begitu senang
menggangguku. Mungkin mereka hanya menggodaku. Mungkin mereka butuh hiburan.
Mungkin mereka merasa bahagia bila bisa menggangguku. Apabila melihat aku lagi
berjalan, orang-orang akan menghentikanku. Memberiku moke, yang membuat
kepalaku berdenyut-denyut lembut. Lalu mereka menyuruhku menyanyi dan menari.
Mereka tertawa-tawa melihat aku menari-nari. Pasti aku tampak lucu di mata
mereka. Aku ikut tertawa saat mereka tertawa. Biasanya, mereka kemudian akan
bertanya hal-hal yang terdengar aneh di telingaku.
”Berapa dua
ditambah dua?”
”Tujuh,”
jawabku, sambil menunjukkan empat jariku.
Mereka
tertawa.
”Kalau tiga
ditambah empat?”
”Tujuh,”
jawabku, sambil menunjukkan empat jariku.
Dan mereka
kembali tertawa.
”Dasar
idiot!”
Aku tak
pernah mengerti kenapa mereka mengatakan aku idiot. Mungkin karena mulutku yang
peyot. Mungkin karena celanaku yang selalu melorot. Mungkin karena tampangku
yang terlihat dungu dengan liur kental yang terus menetes. Mungkin karena
itulah orang-orang melihatku dengan jijik. Aku ingat, bagaimana orang-orang
selalu mengusirku bila melihatku memasuki halaman rumah mereka. Aku tak
mengerti, kenapa orang-orang tak memperbolehkan aku masuk rumah mereka.
Padahal, bila ada ular masuk ke pekarangan, mereka tak pernah mengusirnya.
Mereka selalu membiarkan ular masuk ke rumah mereka. Bila ada ular masuk ke
rumah, mereka selalu memberi telur atau sejumput beras buat ular itu. Alangkah
menyenangkan jadi ular. Begitu aku selalu merasa iri pada ular-ular yang banyak
berkeliaran di kota ini. Aku sering bertemu ular-ular itu. Di ladang, di
pinggir jalan, di pepohonan. Kadang kulihat seekor ular melintas menyeberang
jalan, dan semua kendaraan yang lewat berhenti. Kurasakan, betapa orang-orang
lebih menyukai ular ketimbang diriku.
Dari omongan
orang-orang, yang kudengar sepotong-sepotong dan tak gampang aku pahami, aku
mulai tahu kenapa orang-orang di kota ini suka pada ular. Mereka percaya
ular-ular itulah leluhur mereka. Ketika mula dunia tercipta, ketika Bumi masih
rapuh, kabut bagaikan putih telur, ketika batu masih berupa buah muda, saat
tanah masih serupa kuntum yang ranum, ular-ular itulah muasal leluhur yang
mendiami pulau. Leluhur yang selalu membawa rezeki dan nasib baik bagi siapa
pun yang didatanginya. Sejak itulah aku mulai berkhayal, betapa enaknya jadi
ular. Aku ingin suatu hari nanti bisa berubah menjadi ular. Aku ingin Tuhan
akan melahirkanku kembali ke kota ini sebagai seekor ular.
Aku
mendesis, takjub sekaligus merasa asing memandangi kota yang gemerlapan.
Kerlap-kerlip pohon Natal menjulang di tengah-tengah plaza. Lampu-lampu aneka
warna menerangi pertokoan yang berderet sepanjang jalan. Aku benar-benar
bingung dengan kota ini. Seingatku, sepanjang jalan ini hanya berderet
pepohonan, juga beberapa rumah kayu sederhana. Dulu, setiap hari, aku selalu
berjalan sepanjang jalanan ini, yang berkelok turun menuju bukit kecil. Kini
terentang jalan layang dan jembatan penyeberangan yang bagai digantungkan
begitu saja di udara. Mestinya, di pojokan itu ada sebuah gereja. Tapi di situ,
kini aku melihat sebuah mal yang megah. Gerbangnya yang menjulang bagai mulut
raksasa menganga mengisap orang-orang yang lalu lalang. Cahaya seperti telah
menyihir kota ini dan membuatku tak mengenalinya lagi.
Kudengar
lonceng gereja. Seperti sayup ingatan yang membuatku merasa tak tersesat. Bunyi
lonceng seperti itulah yang dulu selalu menuntun perjalananku. Aku suka
berjalan mengelilingi kota karena aku suka mendengarkan lonceng gereja. Aku
tiba-tiba terkenang pada gereja-gereja yang dulu sering aku singgahi. Aku
senang dan merasa tenang bila mendengar suara lonceng gereja yang mengapung
menggetarkan udara senja. Dulu, kota ini penuh dengan gereja. Kota dengan
seribu gereja. Kudengar kembali gema lonceng itu, seperti memanggilku. Aku
merayap menyeberangi jalan. Tiba-tiba kudengar suara jeritan.
”Ular!
Ular!”
Kulihat
orang-orang beringsut ketakutan, menatapku yang mendesis merayap pelan
menyeberangi trotoar. Meski terkejut dengan reaksi mereka, aku mencoba tak
panik. Aku teringat bagaimana dulu orang-orang memberi makanan menyambut
kedatangan ular leluhur mereka. Tapi kudengar seseorang berteriak, ”Cepat bunuh
ular itu! Usir! Pukul” Dan dengan gerakan cepat seseorang mengacungkan tongkat.
Instingku merasakan
bahaya dan dengan cepat aku melesat menyelusup tumpukan tong sampah. Kenapa
mereka ingin membunuhku? Kudengar teriakan-teriakan mengejarku. Terdengar
suara-suara tong ditendang. Aku begitu ketakutan, menghilang dalam kegelapan.
Saat itulah kudengar suara mendesis pelan.
”Ssttt….
Cepat sini….” Kulihat gadis cilik meringkuk di pojok gelap. ”Cepat sembunyi
sini….”
Aku
memandanginya ragu. Sepasang matanya yang bening membuatku pelan-pelan merasa
tenang. Ia mengulurkan tangan, memberiku cuilan roti yang dipungutnya dari
tumpukan sampah. ”Kamu bandel sekali berani keluar gorong-gorong.” Ia berkata
sambil mengelus kepalaku.
Kupandangi
mata gadis itu, seperti kupandangi sepasang bintang yang menandai kelahiranku
kembali ke dunia ini.
Dengan
tangannya yang mungil, gadis itu memungutku. Aku merasa nyaman dalam
dekapannya. Kemudian ia berjalan mengendap-endap, menjauhkan aku dari
orang-orang yang kudengar masih memburuku. Suara-suara itu perlahan lenyap
dalam gelap. Di belakangku, cahaya kota yang gemerlapan kulihat meredup
perlahan ketika gadis ini terus memasuki lorong kelam. Ketika gelap dan sepi
terasa lengket seperti ampas kopi, kulihat gadis cilik yang mendekapku ini
mengeluarkan rosario dari kantung roknya. Kulihat rosario itu menyala
kemerahan, memancarkan sulfur cahaya. Ditentengnya rosario itu seperti ia
menenteng lentera. Cahaya pucat kemerahan menerangi lorong yang kami lalui,
lorong yang berkelok-kelok, membuatku merasa seperti menyusuri labirin
kesunyian yang pastilah akan membuatku tersesat bila sendirian.
Sampai
kemudian aku melihat bayangan deretan rumah yang rapuh, berdesakan dan bau
tengik.
”Kita
sampai,” kata gadis cilik, sambil menurunkanku dari dekapannya. Saat itulah
kudengar suara-suara mendesis pelan keluar dari reruntuhan tembok dan tumpukan
kayu lapuk. Kulihat puluhan ular, ratusan ular, mendesis-desis menatapku.
>diaC<
Kudengar
lonceng gereja yang layu dari kejauhan. Aku diam melingkar di pojokan,
menyaksikan bayangan rumah-rumah kumuh yang bagai mengapung dalam kegelapan.
Sungguh kota ganjil yang serba temaram. Aku merasa asing, meski aku bisa segera
mengenali jajaran pepohonan di sepanjang jalan kota ini. Aku langsung teringat
pada kelokan jalan itu, reruntuhan gereja yang kini hanya terlihat sebagai
tetumpukan batu bata, juga bayangan bukit-bukit di kejauhan, di mana matahari
terlihat menyandarkan cahayanya. Inilah kota yang pada kehidupanku yang dulu
selalu kususuri jalan-jalannya. Aku merasa ini tak lebih dari kota lama yang
ingin dikekalkan dalam ingatan.
Dan seperti
menyusuri ingatan, aku merayapi jalanan kota ini, belajar memahami apa yang
sesungguhnya telah terjadi. Aku kemudian tahu bahwa kota ini sesungguhnya tak
terlalu jauh jaraknya dengan kota yang kulihat saat malam Natal sebulan lalu.
Kota ini terletak di pinggiran kota yang gemerlapan itu, hanya dipisahkan oleh
kenangan. Lorong di mana dulu gadis cilik itu membawaku adalah jalan menuju ke
kota yang penuh cahaya itu. Tapi ular-ular yang kutemui selalu mengingatkan
agar aku jangan pernah berani-berani lagi muncul di kota itu. Cara mereka
mengingatkanku, seperti tengah meyakinkan betapa tempat terbaik bagi ular macam
kami adalah di kota ini
Di kota ini,
kami—ular-ular—memang dibiarkan berkeliaran. Para penduduk memberi kami sisa
makanan mereka meski kadang busuk dan berjamur. Sering kami duduk-duduk dekat
anak-anak, saat mereka berkumpul mendengarkan orangtua mereka mendongeng. Aku
sangat senang mendengarkan dongeng-dongeng itu dituturkan, terdengar seperti
tengah menyanyikan kesedihan. Dongeng tentang kehidupan mereka yang
perlahan-lahan terpinggirkan dari kota. Ketika kota mempercantik diri. Ketika
bangunan-bangunan bertingkat mulai dibangun. Ketika banyak gereja diruntuhkan,
untuk diganti dengan mal-mal. Pada saat itulah, sebagian orang yang mencoba
bertahan memunguti sisa bangunan gereja itu, membawanya masuk ke dalam kabut
kesunyian. Berusaha membangunnya kembali sebagai tumpukan-tumpukan kenangan.
Mereka memunguti puing kota lama yang dihancurkan kemajuan. Pelan-pelan mereka
kembali membangun kota mereka, dengan nyanyian dan upacara yang penuh ratapan
pada leluhur. Dan ular-ular mengikuti mereka karena di kota yang baru mereka
diburu dan tak lagi dituahkan. Di kota yang remang dalam ingatan inilah para
ibu mencoba bertahan hidup dengan memetik embun di daun-daun, menampungnya
dalam gelas, dan menghidangkannya buat sarapan pagi anak-anak mereka. Dan pada
malam hari mereka memeras air mata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya
saat anak-anak mereka sakit.
Aku belajar
mencintai kota ini. Apalagi gadis cilik itu selalu mengajakku jalan-jalan,
seakan-akan ia ingin agar aku mengenal setiap cuil kota ini. Kami belajar
saling mengerti kesepian masing-masing. Kami bercakap-kacap dengan bahasa
leluhur yang hanya bisa kami mengerti. Ia bercerita bahwa sebenarnya ada jalan
tembus melalui gorong-gorong untuk mencapai kota di seberang sana. Aku
menemukannya tak sengaja, katanya. Dulu aku sering pergi lewat jalan itu, kalau
aku mau menjual rosario. Dulu, bila menjelang Natal, kami memang sering
berjualan rosario. Kami mesti menjualnya diam-diam. Sebab bila ketahuan, kami
bisa ditangkap petugas keamanan. Dulu banyak warga kota ini yang setiap hari pergi
ke kota itu, berjualan biji-biji embun dan bermacam daun, rempah-rempah dan
artefak kenangan, menjualnya di lapak trotoar, tetapi selalu diusir. Ia
kemudian mengatakan kalau sekarang ia makin sulit menjual rosario. Tak hanya
karena dikejar-kejar petugas, tetapi karena sekarang ini sudah jarang yang mau
membeli rosario. Sudah lama, anak-anak di kota itu lebih suka dapat hadiah
Natal boneka Barbie atau nitendo daripada rosario. Padahal rosario buatan kami
luar biasa. Kamu sudah melihatnya, kan?
Aku mendesis
mengangguk. Kuingat rosario yang memancarkan cahaya itu. Aku pernah melihat
bagaimana rosario itu dibuat. Ada salib di tengah reruntuhan gereja di kota
ini. Salib itu menjulang, tapi terlihat rapuh, dan Kristus tampak murung dan
sengsara dalam lindap cahaya. Pada tubuh Kristus terlilit selang kecil, dengan
mangkuk perak berbentuk piala di ujung selang itu. Itulah selang yang dipakai
untuk menampung air mata Kristus. Dalam keremangan, salib itu seperti pokok
pohon karet yang tengah disadap. Para penduduk di kota ini menampung air mata
Kristus, yang mereka percaya, pada waktu-waktu tertentu akan mengalir. Kadang
air mata itu menetes bening. Kadang merah serupa darah. Butiran air mata itulah
yang kemudian mereka kumpulkan untuk diuntai jadi rosario. Kemudian dijual. Aku
ingat, gadis cilik itu pernah berkata kepadaku. ”Begitulah, dulu kami bertahan:
dengan menyadap air mata Tuhan…”
Kepada gadis
cilik itu pun aku bercerita tenang kehidupanku dulu. Ia begitu senang saat
mendengar kalau pada kehidupanku yang dulu, aku juga penduduk kota ini.
”Wow, siapa
tahu aku ini salah satu keturunanmu,” teriaknya riang.
Tidak. Aku
tidak menikah, kataku.
”Kamu
Pater?”
Aku mendesis
tersenyum. Dulu aku idiot. Tak ada seorang pun perempuan suka dengan orang
idiot.
”Tapi aku
suka kamu!”
Aku
menggeliat-geliat dalam dekapannya. Ia menyimak ceritaku dengan mata
berkejap-kejap. Ia mendadak terbelalak saat aku bercerita tentang Gereja St
Paulus yang sering kudatangi dulu.
”Kau tahu,”
katanya, ”Itu satu-satunya gereja yang masih berdiri!” Mungkin tepatnya: itulah
satu-satunya gereja yang sengaja dibiarkan berdiri, boleh jadi sebagai tugu
kenangan.
Ada perasaan
sendu ketika kudengar itu. Kukatakan betapa aku ingin melihat gereja itu. Ah,
ia memang gadis yang usil dan nakal, tapi setidaknya ia memahami kerinduanku.
”Kita bisa diam-diam ke sana,” katanya.
Maka pada
malam Natal beberapa bulan kemudian, gadis itu memasukkanku ke dalam keranjang
kecil. Ia hendak membawaku mendatangi gereja yang kurindukan itu. Jangan sampai
orang-orang di kota itu melihatmu, katanya. Ketika ia berjalan, ia seperti
tengah membawa keranjang makanan dan hendak pergi tamasya. Aku melingkar tenang
dalam keranjang. Kenangan-kenangan dalam kehidupanku yang dulu seperti
bermunculan menenteramkanku. Kami menuju kota itu melalui gorong-gorong
rahasia. Kami keluar dari gorong-gorong, tepat di belakang gereja. Dari dalam
keranjang anyaman, samar-samar bisa kurasakan cahaya kota yang gemerlapan. Aku
takut ada penduduk yang memergoki gadis cilik ini. Pasti mereka mengusir kami….
Puji Tuhan,
kudengar gadis itu berbisik pelan mengatakan kalau kami sudah sampai dalam
gereja. Pelan aku dikeluarkan dari dalam keranjang. Kusaksikan ruangan yang
remang, seperti rongga semesta. Kudengar koor Malam Kudus dinyanyikan.
Terdengar syahdu dan megah. Cahaya terasa ultim dan kusaksikan fresko katakombe
di atas altar itu bagai bergetar.
Sampai
kemudian aku menyadari, betapa sunyi gereja ini. Tak ada seorang pun mengikuti
misa Natal, ternyata. Di dekat altar, kulihat stereo set diputar untuk mengumandangkan
nyanyian puji-pujian. Kulihat gadis kecil di sampingku yang hanya menunduk.
Mataku nanar melihat tubuh Kristus yang tersalib memandangi bangku-bangku
kosong.
Ledalero,
2006
Catatan:
1. Nama
tuak/minuman keras lokal di Maumere, Nusa Tenggara Timur.
2. Disitir
dan ditulis ulang dari syair tradisi yang mengisahkan penciptaan alam semesta,
versi Krowe-Sika.
3. Dikutip
dan ditulis ulang dari puisi ”Ibu yang Tabah” karya Joko Pinurbo.
Agus Noor
(23 Desember 2007)
Permen
Melihat
mulut Iza yang terus cembetut, Neal tahu kalau anaknya itu masih kesal karena
tak diperbolehkan membeli permen yang tadi sore dilihatnya dijajakan di
perempatan jalan. Bukannya Neal tak memperbolehkan Iza makan permen. Anak-anak
suka permen, itu biasa. Neal sendiri, sewaktu kanak-kanak, suka sekali permen.
Neal tak akan pernah lupa: di ruang tengah, tempat biasanya Papa, Mama, dan
kakak adiknya berkumpul menonton televisi, selalu tersedia sekotak aneka
permen. Permen dalam bungkus warna-warni. Seperti bantal-bantal mungil milik
peri. Permen toffee, fudge, lollipop, juga permen cokelat dan caramel yang
meleleh lembut di lidahnya. “Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini
manis dan patut kamu nikmati,” kata Mamanya. “Karenanya kamu harus bersyukur
bila hidup memberimu nasib yang manis, penuh warna dan menyenangkan seperti
permen.”
Ah, permen.
Bantal mungil warna-warni milik peri. Neal tak akan pernah lupa dongeng masa
kecilnya itu. Saat kehidupan ini masih ranum, peri-peri yang selalu beterbangan
seperti capung begitu riang memetik biji-biji buah selembut getah yang
bergelantungan di pepohonan mastic dan spruce—sejenis karet dan cemara—yang
menjulang menyentuh kelembutan cahaya. Sepanjang hari yang riang, ketika
peri-peri mungil itu memetiki biji-biji buah yang matang dan manis, hutan yang
berkilauan menjadi penuh nyanyian. Dan pada malam hari, saat peri-peri mungil
itu kelelahan dan berbaring tertidur di dahan-dahan, bibi-biji buah yang lembut
itu mereka gunakan sebagai bantal. Saat peri-peri mungil lelap itulah, seorang
nenek sihir mengambili bantal-bantal itu dengan teramat hati-hati dan pelan
agar peri-peri mungil itu tak terbangun, kemudian mengumpulkannya dalam
keranjang. Saat terbangun pagi hari, peri-peri mungil itu akan terkejut
mendapati bantal mereka sudah hilang. Mereka sedih, dan kembali beterbangan
memetiki biji-biji buah yang bergelantungan, sementara nenek sihir itu telah
jauh keluar hutan dan melintas jalanan desa dengan menyaru sebagai penjaja
manisan. “Ini bantal yang dipakai tidur para peri,” kata nenek sihir itu merayu
anak-anak yang terpesona pada biji-biji mungil itu. Anak-anak begitu bergembira
ketika nenek sihir itu membagikan biji-biji yang rasanya manis dan lembut saat
mereka kulum. Beberapa anak yang rakus dan terlalu banyak makan biji-bijian
itu, di malam hari menjadi bengkak mulutnya.
Neal ingat
bagaimana Mamanya mengakhiri kisah itu dengan suara yang penuh senyuman,
“Begitulah, Nak, sebermula permen muncul di dunia manusia. Ia manis dan lembut
karena dipakai sebagai bantal para peri. Tapi ia juga bisa membuat gigi-gigimu
rusak dan bengkak karena ia dibawa oleh nenek sihir jahat.” Neal mengingat itu
sebagai sebuah nasihat agar jangan terlalu berlebihan menikmati apa pun. Karena
yang manis pun bisa membuat sakit dan menderita. Sampai ia berumur sembilan
tahun, Neal suka meletakkan kotak dari kayu berisi beberapa permen di dekat
jendela kamar tidurnya. Permen-permen dalam kotak itu ia tata menyerupai bantal
di atas kasur kecil. Ia membayangkan, pastilah ada peri yang sedih dan tersesat
ketika mencari bantal-bantal yang dicuri oleh nenek sihir itu. Maka, bila peri
itu masuk ke dalam kamarnya, peri itu bisa nyaman beristirahat di kotak yang ia
sediakan itu.
Sampai
sekarang pun, setelah ia menikah dan punya anak—cukup satu anak, ia tak mau
repot hamil dan melahirkan lagi—Neal sering bermimpi ada peri masuk ke dalam
kamarnya menenteng biji-biji permen. Ia ingat, seminggu sebelum ia melahirkan Iza,
ia bermimpi puluhan peri mungil mendatangi kamarnya dan menjatuhkan biji-bijian
permen ke dalam keranjang bayi. Mimpi yang selalu ia percaya sebagai isyarat
baik.
Tapi, permen
yang banyak dijajakan di perempatan jalan itu rasanya bukanlah isyarat yang baik.
Mestikah ia menjelaskan pada Iza, kalau permen-permen yang dijajakan di
perempatan jalan itu bukan biji-biji ranum yang dipetik para peri dari
dahan-dahan pohon spruce? “Permen itu akan membuatmu mules dan mual,” bujuk
Neal sembari memberikan permen mint yang ia beli di supermarket. “Lebih enak
permen ini, membuat mulut dan tenggorokanmu jadi segar.”
Tapi, wajah
Iza terus cemberut. Dia tetap ingin permen yang dijajakan di perempatan jalan
itu.
Sekarang
ini, hampir di tiap perempatan jalan memang banyak pengasong menjual permen.
Permen berwarna merah keruh yang mirip manisan dalam bungkus-bungkus plastik
kecil. Selintasan, permen itu memang mengundang selera. Tetapi, Neal tak suka
dengan para pengasong itu, yang sering menawarkan dengan cara setengah memaksa:
menyorongkan bungkus itu ke dekat mobil sambil mengetuk-ngetuk—malah kadang
mengedor—kaca jendela. Neal sering panik berhadapan dengan para pengasong itu.
Takut, bila ia tak membeli, mereka akan memecah kaca mobilnya.
Lagi pula
Neal memang tak suka dengan permen yang dijajakan itu. Ia sering mendengar
bagaimana permen itu dibuat. Orang-orang miskin yang hidup di kampung-kampung
kumuh pinggiran kota membuat permen itu dengan cara menampung kesedihan mereka.
Mungkin proses pembuatan permen itu sudah berlangsung lama. Kesedihan dan
kegetiran hidup yang mereka rasakan sehari-hari, mereka peras menjadi keringat
yang ditampung ke dalam panci-panci rongsokan, kemudian diolah dan dimasak di
atas tungku-tungku penderitaan. Mencampurnya dengan gelatin agar kental,
memberinya sedikit gula, pewarna dan pengawet. Malah kabarnya mereka
menggunakan sorbitol—sebagai pengganti gula yang mahal—dan kayu manis sebagai
penyedap aroma. Para perempuan tua yang kelelahan dan terkantuk-kantuk
sepanjang malam mengaduk-aduk adonan itu. Sementara bau got mampet dan bangkai
celurut mengapung di lorong-lorong muram perkampungan itu, para anak yang
matanya nanar tanpa harapan membungkusi butir-butir permen yang sudah selesai
dimasak dan dicetak itu ke dalam kantung-kantung plastik.
Neal
membayangkan, tidak seperti tangan-tangan peri yang lentik ketika memetiki
biji-biji permen ranum yang bergelantungan, tangan anak-anak itu pastilah kotor
dan menjijikkan; kuku-kuku jari tangannya penuh bekas daki ketika mereka
menggaruk pantat mereka yang korengan. Dan tangan itu tak pernah dibersihkan
ketika membungkusi biji-biji permen yang kemudian dijajakan di perempatan
jalan.
“Bagaimana
mungkin aku memberikan permen seperti itu pada Iza!” ujar Neal, setengah
menggerutu, pada Samuel.
“Lho, apa
salahnya?”
“Tidak. Iza
tak boleh makan permen seperti itu. Tidak baik.” Selama ini Neal begitu
hati-hati memilihkan semua yang tak terbaik bagi anaknya. Ia ingin Iza
menikmati masa kanak yang membahagiakan. Dan Neal takut Iza akan tergoda oleh
permen itu. Bagaimana kalau tanpa sepengetahuannya, Iza membeli permen itu
ketika jajan di sekolah?
“Aku kira,
permen itu sebuah gagasan yang cerdas,” kata Samuel, setengah tertawa, menatap
Neal yang tengah memakai kembali g-string-nya.
“Maksud,
lo?” Mata Neal melotot.
“Dengar,”
Samuel menatap serius. “Bukankah mengubah kesedihan menjadi permen itu cara
yang luar biasa? Mungkin itulah cara terbaik bertahan di tengah hidup yang
penuh penderitaan. Membuat yang pahit jadi manis. Kamu jangan meremehkan hanya
karena permen itu terlihat murahan. Ini hanya soal kemasan. Aku kira, kalau
dikemas dalam kotak-kotak yang bagus dan dipasarkan dengan baik, permen itu
akan menarik juga. Mungkin akan jadi komoditi yang menguntungkan. Bukankah ini
peluang pasar? Kita bisa mengembangkan permen itu untuk diekspor. Bayangkan!
Kita bisa mengekspor permen penderitaan itu ke banyak negara. Saya kira itu
jauh lebih baik ketimbang kita melulu mengekspor TKI.”
Samuel
tertawa—mungkin karena merasa lucu. Tapi Neal tak menanggapi.
“Lagi pula,
permen-permen itu telah membuat banyak orang jadi punya kerjaan. Yah, meskipun
cuma jadi asongan di perempatan jalan, tapi itu lebih baik daripada mereka jadi
penjahat kapak merah, kan?”
Dari jendela
hotel Neal memandang ke bawah, ke arah jalanan yang macet. Ia lihat puluhan
pengasong yang berjalan dari satu mobil ke mobil di belakangnya, menawarkan
bungkusan permen itu. Rasanya, dari hari ke hari semakin banyak saja jumlah
penjaja permen itu memenuhi jalanan. Jalanan yang macet jadi makin semrawut
oleh mereka. Samuel memeluknya dari belakang, mengecup tengkuknya pelan.
“Mestinya
kamu tak usah terlalu gelisah. Toh itu hanya permen.”
Tidak. Ini
bukan hanya soal permen baginya. Permen bukan hanya sekadar sesuatu yang manis
di lidahnya. Bukankah ia mencintai Samuel karena laki-laki ini memberinya
sekotak permen ketika pertama kali mereka bertemu? Bagi Neal permen lebih
menggoda daripada buah apel. Bila dulu ia adalah Hawa, dan Tuhan menggodanya
dengan buah apel, pasti ia tak tertarik untuk menikmatinya. Ia akan lebih suka
membayangkan bila di surga penuh bergelantungan biji-biji permen warna-warni
yang memancarkan cahaya. Ia pasti tergoda untuk memetiknya.
Samuel
memberinya permen. Permen yang selama setahun ini ia nikmati bersama Samuel.
Hidup memang seperti permen karet, meskipun lembut dan manis, kita harus
berhenti menikmatinya sebelum terasa asam dan hambar. Makanya Neal menahan
lidah Samuel dengan jarinya ketika laki-laki itu mulai menciumnya lagi. Lagi
pula ini sudah jam tiga sore. Jam di mana Neal harus menelepon suaminya.
Pras menutup
handphone-nya.
“Siapa?”
tanya Melly.
“Neal.”
“Kamu mesti
jemput istrimu?”
Pras
menggeleng. Ia memandangi Melly yang bersandar di sofa dan belum juga memakai
blazernya.
“Cuma
ngomong soal permen…”
“Permen?”
“Ya. Permen.
Dia belakangan ini selalu gelisah soal permen yang dijajakan di perempatan
jalan itu.”
“Permen ini
maksudmu?” Melly mengeluarkan sebiji permen dari tas Louis Vuitton-nya.
Pras
memandangi permen itu. Benar. Itu permen yang sering ia lihat dijajakan di
perempatan jalan. Pras sama sekali tak menyangka kalau Melly menyimpan permen
itu.
“Kok kamu
beli?”
“Itung-itung
ngasih rezekilah. Lagi pula bosan kan terus-terusan menikmati permen rumahan.
Sesekali perlu juga nyoba bagaimana rasanya permen pinggir jalan….”
Pras merasa
wajahnya memerah. Omongan Melly terdengar seperti sindiran.
“Kamu
mungkin menganggap permen ini tak enak, hanya karena dibuat dari adonan
penderitaan. Tak ada yang salah kan kalau ada permen yang dibuat dari
penderitaan? Apa kamu pernah dengar ada permen yang dibuat dari rayap kayu?”
Pras
menganggap Melly bercanda.
“Bener!
Nggak tanggung-tanggung, yang mengembangkan permen dari rayap kayu itu seorang
profesor di Institut Pertanian Bogor. Mungkin kamu nggak mengira kalau rayap
kayu kering jenis cryptotermes cynocephalus light mengandung karbohidrat 10,2
persen dan lemak 25,2 persen, dan ini cocok buat bahan dasar permen jelly yang
kaya dengan nutrisi berupa protein rayap. Tinggal dicampur dengan sirup
fruktosa tinggi, dimasak pada suhu70-100 derajatCelsius, udahdeh, jadipermen…”
“Tahu dari
mana?”
“Baca dong!”
Melly sedikit mendengus. Ia tak suka dengan ekspresi Pras yang tampak tak mau
percaya kalau ia tahu soal permen rayap itu. Apa dikira sekretaris tidak suka
baca?! Pras diam. Melly mendekat ke ranjang dan berbaring di atas tubuhnya,
lalu menyodorkan permen itu tepat ke wajah Pras yang tengadah.
“Coba, deh…”
Pras tanpa
sadar langsung mengatupkan mulutnya.
“Sesekali
kamu makan permen ini kan ya tak apa-apa,” kata Melly sambil memandang mata
Pras dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali kamu sedikit merasakan
penderitaan…”
Pras
memejam. Permen itu mengingatkannya pada kecemasan istrinya. Tapi apa salahnya
mencoba? Toh ia juga suka permen. Rasa permen yang beraneka macam selalu
membuatnya merasakan sensasi petualangan rasa di lidahnya. Apalagi sejak ia
menikah dengan Neal. Ia selalu membawa permen di sakunya. Setiap kali hendak
masuk rumah, ia pasti mengunyah permen terlebih dahulu. Permen bisa menghapus
bau bekas ciuman di mulutnya.
Warna-warni
cahaya kota terlihat bagaikan bermacam bungkus permen yang bertebaran di udara.
Barangkali kota memang seperti permen yang menggoda siapa pun untuk datang
menikmatinya. Kota adalah pabrik gula-gula. Gedung-gedung yang menjulang itu
adalah kotak cokelat raksasa. Neal melihat barisan orang-orang yang
berbondong-bondong ingin menikmati cokelat raksasa itu, yang tampak seolah
meleleh di bawah cahaya. Lalu muncul serombongan orang-orang kumuh yang keluar
dari dalam lorong dan gorong-gorong. Neal panik ketika orang-orang itu mulai
mengepung mobilnya. Tangan mereka yang hitam dan kotor seperti cakar yang
hendak menggaruki mobilnya. Neal mendengar suara jeritan yang melengking
bersahut-sahutan…
Ia
tergeragap. Ternyata itu suara puluhan klakson mobil-mobil yang berderet di
belakangnya. Lampu sudah menyala hijau. Dan ia masih melamun. Seorang pengasong
menyodorkan sebungkus permen ke dekat kaca mobilnya, tetapi Neal segera tancap
gas.
Neal masih
gemetaran saat sampai rumah, dan mendapati Iza sudah tertidur. Pembantunya
bilang, sejak sore anak itu terus nangis. Tak mau les piano—padahal biasanya
ini yang paling disukai anak itu—dan bahkan juga tak mau makan. Hanya karena
kecapean ia kemudian tertidur.
Neal
memandangi anaknya yang lelap. Wajahnya seperti roti gandum yang diolesi susu.
Tiba-tiba Neal merasa takut, betapa wajah anaknya kelak menjadi keruh oleh
penderitaan. Di dalam rumah ini, ia bisa melindungi anaknya. Tapi bagaimana di
luar sana? Sungguh, ia ingin anaknya terus merasakan hidup yang nyaman dan
tenteram. Ia tak ingin pengaruh buruk dari jalanan merusak hidup anaknya.
Menjelang
jam sepuluh Pras pulang, dan seperti biasanya, suaminya itu masuk ke dalam
rumah sambil mengunyah permen. Kebiasaan yang Neal perhatikan mulai dilakukan
Pras sejak mereka menikah.
“Sudah tidur
Iza?”
Neal
mengangguk. Pelan Pras mencium bibir istrinya. Neal merasakan sisa aroma permen
yang lengket di sudut bibir suaminya.
“Bagaimana
kalau besok Iza masih ngambek dan terus minta permen itu?” tanya Neal menjelang
mereka tidur.
“Sesekali
Iza kamu perbolehkan makan permen itu kan ya tak apa-apa,” jawab Pras sambil
memandang mata Neal dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali anak itu
sedikit merasakan penderitaan…”
Jakarta,
2007
Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar