Laut Lepas Kita Pergi
Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya
kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung
banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan
tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa
bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau
bahkan ratusan kilometer.
Sebelum
pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya,
kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu
cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk
menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini
tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi
pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau
perlahan-lahan mati.”
Mata Ayah
memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya.
Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia
bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar.
Tetapi, hatiku terkesiap mendengarnya.
“Aku akan
berangkat pagi ini juga, sebelum orang ramai ke jalan-jalan. Sebelum banyak
ibu-ibu antri di kamar mandi umum. Sebelum tampak asap di dapur terbuka itu.
Aku percaya, kamu akan sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat
ototmu yang kuat, badanmu yang sehat, dan terutama perasaanmu yang tabah.
Ingat! Jangan pernah menangis lagi.”
Bibirku
mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata berkerumun di ujung lidah.
Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi. Membuat rahangku keras
seperti terbuat dari logam. Tetapi, tak ada suara yang sanggup keluar dari
mulutku.
“Aku menulis
surat untukmu, karena kukira kamu tak akan bangun saat subuh. Bacalah setelah
matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu tak mungkin
kudengar lagi.” Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah-olah aku sendiri yang berduka
dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. “Maafkan aku
jika selama menjadi ayahmu tak pernah membuatmu bahagia.”
Tidak ada
pelukan dari Ayah. Tangannya mengusap pipiku, terasa kasar. Keriput yang
terbentuk dari serangkaian kerja keras itu berusaha melekat di paras mukaku.
Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu.
Dan kini
Ayah telah melangkah memunggungiku. Ke arah selatan. Seperti memberikan isyarat
bahwa di sana akan menjadi akhir dari pengembaraannya.
Begitu sadar
Ayah telah semakin jauh: hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk dan
segerumbul pohon yang miring di ujung pandangan siap mengaburkannya, aku segera
berlari ke dalam tenda. Jika benar Ayah menulis surat untukku, tentu disimpan
tak jauh dari alas tidurku. Memang kutemukan selipat kertas lembap yang tampak
baru saja disisipkan ke bawah timbunan sarung.
Aku berdebar
membuka lipatan surat itu seakan-akan hendak membaca isi testamen. Ternyata
hanya beberapa baris kalimat yang mudah dihapal setelah membaca dua kali.
“Mustafa,
anakku. Aku terlampau sedih dalam peristiwa kehilangan ini, dan mungkin
sebentar lagi menjadi gila. Aku akan pergi. Mudah-mudahan kamu tetap kuat untuk
tinggal. Aku ternyata seorang pengecut. Selamat tinggal.”
Aku melompat
bagai tersengat kalajengking. Tanpa sadar aku telah melanggar permintaannya
untuk tidak memanggilnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju arah Ayah
berjalan. Tapi sampai aku terengah-engah, tak kutemui lagi bayangan Ayah.
Mungkin tikungan, atau bekas tikungan, telah menyembunyikan arah langkahnya.
Sandalku telah lepas entah ke mana. Tanah becek dan kerikil yang menghunjam
telapak kakiku tak benar-benar kurasakan sakitnya. Lebih sakit perasaan dalam
relung dadaku. Pisau sepi menoreh begitu dalam. Baru saja Ayah pergi, tapi
kesepian begitu lekas menyergap. Aku seperti menjadi seorang diri di dunia.
Dari seorang piatu menjadi sekaligus yatim dan sebatang kara. Terasa hidup
sendiri di bawah langit yang selalu mendung. Jauh dari laut tapi gemuruh itu
tak pernah mau hilang dari rongga telingaku.
Kini aku
berjalan lunglai kembali ke permukiman sementara. Kata sementara itu mulai
terasa tak terbatas. Terutama bagiku yang kini sudah tidak memiliki siapa-siapa
lagi. Satu-satunya tumpuan harapan telah meninggalkanku. Pergi begitu saja.
Hanya meninggalkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk.
Memang
sekarang bukan lagi saatnya untuk terus menangis. Setiap hari kuhabiskan
waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan, dan utara. Dari
seluruh penjuru mata angin. Adakah yang menemukan Meutia? Adakah yang
mendapatkan sosok Hasan? Adakah yang sempat bersimpang jalan dengan Siti
Salamah?
Bahkan andai
kata telah berbentuk jenazah!
Atau mungkin
tinggal serangkai belulang dari tubuhnya yang terhimpit rangka bangunan. Bekas
perjalanan yang tak lazim: terseret sekian kilometer bersama puing dan ombak
berwarna coklat. Terhempas dan hanyut berkali-kali.
Atau sekadar
sobekan pakaian terakhir yang dikenakannya menjelang gelombang tsunami datang.
Mungkin aku masih sanggup mencium aroma sisa tubuhnya, di antara lumpur dan
segala yang hancur. Aku akan memeluknya untuk penghabisan kali sebelum
kurelakan masuk ke dalam lubang bersama mayat lain yang baru ditemukan. Tanpa
nama, kecuali jika aku menandainya dengan setulus hati, lalu berusaha mengingat
letaknya.
“Ayah,
mungkinkah kita akan sanggup menziarahi mereka?”
Namun, aku
tidak lagi bersama Ayah. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah tiba di wilayah
lain yang juga tidak dikenalnya karena suasananya sudah berubah. Sementara aku
akan tetap tinggal di sini, bersama beberapa penduduk yang masih bertahan
dengan keadaan seperti ini. Bersama beberapa tentara yang kulihat juga mulai bosan
dan kusut mukanya.
Ketika Ayah
memberiku sepucuk rencong, aku baru saja selesai menunaikan SMP. Umurku
menjelang lima belas tahun.
Usai
menerima pengumuman kelulusan, aku bersama teman- teman merayakan dengan cara
membakar baju seragam di tengah ladang. Anak seorang juragan kambing
menyumbangkan seekor domba untuk pesta syukuran. Aku pulang menjelang magrib
dengan perasaan mekar sumringah. Setelah libur panjang aku akan memasuki dunia
sekolah yang lain. Seolah- olah ada selembar kertas harapan untuk ditulisi
segala keinginan. Dicoret-coret dengan gambar impian sekehendak hati. Aku pun
berjalan sambil bersiul-siul.
Di pintu
pagar rumah aku mendapatkan mata Ayah yang nyalang seperti elang. Aku serentak
menduga ada hal yang sangat penting dan mungkin akan disampaikan dengan nada
marah. Firasat itu begitu kuat, membuat dadaku berdegup kencang. Rasa takut
menjalar. Semua ingar-bingar yang tadi mengepung api unggun perayaan pesta
lulus sekolah, langsung sirna.
“Mustafa!”
panggil Ayah.
“Ya, Ayah.”
Aku mempercepat langkah. Dengan dada terbuka seperti ini, tentu tampak bagai
menantang. Tapi, ya, bajuku sudah sempurna menjadi abu di persawahan kering dua
jam yang lalu.
“Ayah mau
amanatkan sesuatu kepadamu! Duduklah!”
Perasaanku
mengkerut. Serambi rumah tampak sepi. Langit redup. Sebentar lagi akan
terdengar suara azan dari surau di belakang rumah. Aku segera duduk di bangku
kayu yang terletak setengah miring di teras.
“Ayah, hari
ini aku lulus sekolah.” Aku mencoba meredakan gejolak dengan cara menyampaikan
berita gembira. Siapa tahu akan menurunkan temperamen Ayah. Tapi ternyata tak
mengubah apa pun.
“Aku tahu!
Karena itulah aku memanggilmu. Sudah saatnya kamu menerima ini,” Ayah
mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih, “Bukalah!”
Dengan agak
gentar, aku melolos kain kafan yang sudah tidak baru lagi. Serta merta
terkejut, meski sudah menduga dari bentuknya, ketika mendapatkan sebuah rencong
yang masih mengkilat meskipun gagangnya berupa kayu yang sudah berumur panjang.
Mendadak
tanganku gemetar. Apa maksud Ayah memberiku sebuah benda tajam yang berbahaya
ini? Setiap menghadapi logam tajam, apalagi dengan beberapa lengkung yang mirip
ukiran, aku merasa sedang berhadapan dengan masalah besar.
“Ayah… ini
sebuah rencong….”
“Syukurlah
kamu tahu. Aku tak bisa menunda waktu lagi. Sudah saatnya kamu memahami arti
bahaya di luar sana.”
Aku
memandang sekitar. Kukira Ayah keliru dalam menilai situasi. Desa kami daerah
yang paling aman. Bahkan, jarang menjadi lintasan anggota Gerakan Aceh Merdeka,
secara terang-terangan maupun menyamar.
“Kamu mulai
bertanggung jawab melindungi keluargamu. Bahu-membahu dengan Ayah. Jaga
keselamatan Meutia dan Hasan. Sementara aku akan menjaga Salamah, ibumu.”
Tanganku
semakin gemetar mendengar penjelasan Ayah. Seperti sebentar lagi akan meletus
perang. Sementara angin senja kala bertiup lebih dingin dari biasa. Kemudian
terdengar azan magrib berkumandang. Entah siapa yang menjadi muadzin sore ini,
suaranya terdengar mendayu-dayu. Mengiris liang telinga seperti pipih sembilu.
“Ayo lekas
simpan rencong itu! Kini menjadi milikmu. Jangan dibiarkan telanjang,
salah-salah disambar iblis.” Ayah mengingatkan. “Sekarang kita ke surau.”
Sehabis
sembahyang aku merenung di dalam bilik. Rupanya hari ini berlangsung dihiasi
berbagai peristiwa yang mendebarkan. Sejak pagi aku sudah berdebar-debar
menunggu pengumuman ujian akhir. Aku tidak terlampau bodoh. Tetapi, bukan
berarti pasti lulus.
Ketika
membuat api unggun dan membakar baju-baju, angin bertiup cukup kencang. Kemarau
telah berhasil membuat setiap petak ladang menjadi kering, tumpukan jerami
bertebaran di mana-mana. Tentu kami berdebar-debar dan selalu terkesiap setiap
kali melihat api meliuk ke arah gubuk.
Dan, senja
ini: sebuah rencong diwariskan kepadaku! Begitu mendadak, seakan-akan musuh
sudah berada di balik dinding rumah. Telinga kami menduga, ada semacam keresek
langkah kaki orang jahat yang mendekat. Ya. Aku telah menjadi pemuda!
Ketika Ayah
memintaku untuk khitan, Hasan belum lahir. Ia masih berada dalam perut Ibu yang
membuncit seperti mendekap ember di balik kain sarungnya. Sedangkan Meutia
mulai sekolah seminggu tiga kali di madrasah terdekat.
“Sudah
waktunya kamu memotong ujung kulupmu. Itu sumber penyakit! Mau berangkat
sendiri atau kuantar?”
Aku
terkesima. Mengapa Ayah tidak menunggu aku benar-benar khatam Al Quran dengan
tartil dan lafal yang benar? Atau membiarkan aku mengalami mimpi basah yang
pertama?
“Tidak!”
Seolah Ayah mendengar keragu-raguanku. “Sunat sekarang atau tidak usah masuk ke
dalam rumah.”
“Ambillah
kain sarung yang baru, Mustafa.” Ucapan Ibu lebih lembut. “Sudah kusiapkan di
ranjangmu.”
Aku pun
mengangguk. Aku tak pernah tega menolak permintaan Ibu. Sesulit apa pun.
Setakut apa pun.
Aku belum
menjumpai petualangan yang seru, selain lomba berenang di arus sungai yang
deras. Tapi pengalaman dipotong ujung penisku tentu merupakan salah satu
keberanian seorang anak laki-laki. Jangan menangis! Ya, jangan menangis
Mustafa!
“Aku
percaya, kamu bukan anak cengeng, Mustafa!” ujar Ayah membekali perjalananku.
Maka, berangkatlah
aku ke seorang mantri sunat. Menyerahkan kelaminku yang gemetar untuk dipotong,
dijahit, dan diperban, setelah sebelumnya dibius dengan suntikan di sekitar
“burung”-ku itu. Aku meringis saat perih menjalar, menembus tabir anestesi.
Akan tetapi,
aku berhasil mempertahankan agar mataku tetap nyalang, tanpa setitik air
menggenang di sudutnya. Aku berhasil dan begitu bangga. Aku seorang anak yang
berani. Tidak cengeng! Aku hanya malu kepada Ibu yang tak pernah takut untuk
melahirkan. Sebentar lagi akan ada bayi ketiga yang melewati pintu rahimnya.
Pasti sakit luar biasa, karena ukuran bayi tidak sebanding dengan diameter
lubang yang hendak dilaluinya. Itu menurut akalku, yang masih duduk di kelas
empat sekolah dasar.
“Inilah anak
Ayah yang pemberani.” Ayah menepuk bahuku, ketika sedang kunikmati seekor ayam
panggang yang khusus dimasak oleh Ibu. “Aku percaya, kamu bukan anak cengeng!”
Akan tetapi,
lihatlah hari ini, di ambang waktu dhuha: ternyata akhirnya aku menangis!
Dadaku
seperti mau meledak oleh himpitan kesepian. Padahal, aku tahu, di sekitarku
masih ada orang-orang lain yang setengah gila akibat perasaan kehilangan.
Ibu-ibu yang putus asa. Anak-anak kecil yang bermain tapi tidak tahu meski
mencari pelukan siapa ketika lapar datang. Dan, beberapa tentara yang rindu
keluarganya. Juga para relawan yang sudah nyaris mabuk oleh aroma busuk yang
melayang-layang sepanjang pekan.
Ketika Ayah
meninggalkan tempat permukiman, yang terdiri dari tenda-tenda militer dan
sebagian lagi berupa bangunan kayu yang berdiri tanpa fondasi, hanya kulihat
punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak
lipatan di sana-sini, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya, karena
diperolehnya dari kardus yang dilempar oleh sebuah helikopter yang gemuruh di
suatu siang bermega pekat. Ia tadi berjalan tidak terlampau cepat, tapi jarak
antara kami demikian pasti menjadi semakin jauh. Semakin terasa bahwa telah
terbentang ruang yang memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan
kilometer.
Apakah aku
masih perlu mencari Meutia? Hasan? Atau ibuku? Yang entah berkubur di mana.
Tsunami yang perkasa telah merebutnya dari kami tanpa memberi kesempatan untuk
belajar cemburu lebih dulu. Maafkan aku. *
(Tanda
simpati untuk Azhari, cerpenis dari Aceh)
Jakarta, 29
Januari 2005
Catatan :
Judul “Laut
Lepas Kita Pergi” dipetik dari judul lagu Leo Kristi di album “Nyanyian Malam”,
1977
Juru Rias dan Seorang Pesolek
Malam
beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu
berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki
gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar
terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis
lipatan setrikanya dari jasa laundry.
“Sekarang
sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo.
Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun
tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung.
Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru.
Lalu bibir
Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih
mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail
Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi
memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh
satu tahun. Bukan enam belas tahun.
Maharayi
membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan
serbuk lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati
tangannya bergerak, seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang
itu.
“Bapak dulu
tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum. Barangkali,
jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu.
“Nama saya
Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias
wajah Bapak.”
Maharayi
tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia
biasa bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat
mendengar dan bahkan menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa
berbahagia memperlakukan seorang almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering
kali seperti terdapat senyum dari bibir jenazah itu saat ia pamit meninggalkan
ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar.
“Akhirnya
selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih
luas. Saya akan pulang.”
Maharayi
memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan
rias lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali
lagi wajah Sugondo sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena
bukan istri atau kerabatnya. Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang
perias jenazah.
Di depan
pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian
mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang
kerabat almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih.
Maharayi sedikit terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang
kerap tampil di halaman majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin,
celak di bawah mata serta selapis pemerah bibir yang samar.
“Keluarga
yang lain di mana?”
“Kebetulan
sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?”
“Oh, tidak,”
Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.”
“Baiklah.
Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak terlalu sipit
itu sedikit membungkukkan badan.
Mereka pasti
orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga
dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang
dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas.
SEJAK
suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil
sendiri. Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu
masuk ke dalam rumah, dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito,
kelas I SMP, yang meringkuk dalam dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya
dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi malam ini bukan Kemal yang
siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara penyiar radio
ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium pipinya.
Listy masih
terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu
ibunya membuka pintu kamar.
“Besok tidak
ada ulangan, Nak?”
“Sudah
belajar,” sahut Listy tanpa memandang.
“Ibu mandi
dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap sebuah potret
yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?”
“Alessandro.”
“Pemain
sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu berkelebat
dalam ingatan. Wajah itu!
“Peragawan.”
“Kamu
kenal?” Terdengar nada kagum.
“Hampir
semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.”
Maharayi
menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih
menggayut saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah
dalam ingatannya.
“O, hebat!
Kamu berteman dengan bintang televisi.”
Kepala Listy
tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir.
Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak.
“Ibu aneh.”
Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu aku kenal.”
“Apakah
menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?”
“Zaman
sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak
laki-laki, Bu.”
“Ya, sudah.”
Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap kelebat wajah
yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro!
Anak atau
cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang
peragawan sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka
Alessandro menjadi bintang film?
Maharayi
melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung
mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.”
Sinar
matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan
mobil, melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang
meninggalkan bunyi bip dua kali.
Langkah
sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu
mengetuk pintu karena ternyata tidak dikunci.
“Dito!”
Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi. “Listy!”
Di ruang
tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak
biasa. Dan Maharayi mengulang pertanyaannya.
“Kak Listy
pergi.”
“Ke mana?”
Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban.
“Apakah Ibu
tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap dengan raut
cemas. Cemas yang tidak biasa.
“Ya Tuhan…”
Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga Sugondo, tapi tak
terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari kunjungan
rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu.
Mungkin Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan?
Dito berlari
ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan
segera meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri.
Sekarang ia lebih menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang
favoritnya. Dapat dibayangkan, tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus
itu kini tak mungkin tampil lagi di depan penggemarnya kecuali memutar ulang
film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat dibayangkan kesedihan macam
apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi… ke mana sebenarnya
Listy?
“Kalau
begitu, Ibu mau melawat ke rumah…”
“Lihat, Bu!
Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi tertegun
memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah
jurang sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun
benturan di kepala membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah
suasana rumah sakit saat jenazahnya turun dari ambulans.
Maharayi
hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang
menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya
sendiri di rumah. Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga
Alessandro seandainya sulit membujuk Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler
Listy tidak diaktifkan?
“Ibu akan
menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus mencarinya.” Itu
keputusan Maharayi.
Sunyi
memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut
kedatangan Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang
memintanya beberapa hari lalu untuk merias wajah Pak Sugondo.
“Saya tak
tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu.
Maharayi
menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut
berduka.
“Dia masih
muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.”
“Sayang
sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang baik.”
Ingin
Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…” tapi urung.
Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan.
“Saya minta
Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.”
“Terima
kasih atas kepercayaan Ibu.”
Seseorang
mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu,
sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka
tas yang dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak
terdapat di dalamnya. Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas
besarnya? Atau justru tertinggal di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa
membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini.
“Kenapa?”
tanya pengantar itu.
“Tidak
apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.”
“Apakah
boleh saya tinggal?”
“Ya. Biarkan
saya sendiri.”
Maharayi
menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah.
Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang
laki-laki. Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa
alat rias? Maharayi belum hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya
dari dekat.
Tertegun ia
memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar.
Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu
ditangani selama ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak
tepat pada tempatnya. Wajah yang tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi
yang kemerahan…
“Apa lagi
yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi sendiri.
“Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.”
Tiba-tiba
mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap
jenazah selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang
tak pernah dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy.
“Benar
pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir Maharayi
gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang
cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?”
Pandangan
Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu
tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka
perlahan. Mata yang kemudian tersenyum.
“Ibu tak
perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi
mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat
gerakan bibir pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa
dengan santun tiga hari lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo.
Mata itu
kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar,
tertegun dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan
dan membuat sepasang kakinya berangsur dingin.
Listy?
Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser
mundur. Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap
mengertap. Tak ada suara burung gereja yang biasanya bercericit di lubang
angin. Tak ada suara angin yang biasanya menggerakkan daunan pohon di sisi
krematorium.
Tapi ia
mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa
membentur lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang
menggigil dengan wajah basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case
coklat muda miliknya.
“Maafkan
aku, Ibu.”
Maharayi
memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara
padanya? Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya
mulai basah oleh air mata Listy.*
Jakarta, 15
Agustus 2004
Roti Tawar
Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan
menampakkan lelehan pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari.
Meskipun ada pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut.
Dalam
seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan sesekali aku
membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari plastik. Pada pukul
sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar, biasanya aku tergoda untuk membuka
bekal dan menggigit roti tawar itu dengan perasaan iseng.
“Boleh minta
separuh?” suatu saat Nila memergoki.
Aku memotong
bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?”
“Apa saja.”
Ia tersenyum. Matanya tampak lebih lapar. “Terima kasih.”
Akhirnya aku
menghentikan pekerjaan dan memandang cara Nila makan. Sungguh tak tebersit
sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah lebih cepat
dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud meracuninya. Tentu
dia tak akan bertahan lebih dari lima menit. Selanjutnya terjungkal dari kusi
dengan – atau tanpa- mulut berbusa.
Aku
tersenyum, karena memang tidak bermaksud membuatnya celaka. Aku menyelesaikan
separuh roti tawar dengan selai kacang itu lebih perlahan. Perutku memang belum
sepenuhnya lapar.
“Kamu mau
kopi? Aku baru saja membuatnya.” Nila berjalan menuju meja kerjanya di ujung
ruang. Lalu kembali dengan cangkir yang tampak mengepulkan asap.
Aroma kopi
menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi kopi
itu. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Nila menuang kopi dari cangkirnya tanpa
tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin di rumah, dia sudah biasa melakukannya.
Terhadap suami atau anak-anaknya. Eh, apakah dia sudah tak lajang lagi?
sependengaranku, Nila tak pernah menceritakan perihal anak atau suami.
Kini aku
mengamati caranya menyeruput kopi. Begitu khidmat. Tidak dengan sambil-lalu.
Barangkali kopi adalah bagian dari ritualnya sehari-hari. Seperti roti tawar
bagiku.
“Terima
kasih roti tawarnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir. Menghindari salah
tingkah lantaran kuperhatikan.
“Terimakasih
juga kopinya…”
“Tapi kamu
belum mencobanya,” Nila memotong.
“Oh ya,
sebentar lagi. Masih panas.” Aku sengaja menyentuh gelas dengan telapak tangan.
“Percayalah,
justru kalau sudah dingin akan kehilangan rasa sedapnya. Itu yang penting.”
Nila menyebut
’yang penting’ dengan cara seolah benar-benar penting. Maka aku pun mengangkat
gelas dengan sergapan wangi kopi ke dalam lorong hidung. Kuhirup dan kucecap
dengan lidah. Astaga… pahit! Tapi, tentu saja tidak kutunjukkan keterkejutan
dengan ekspresi bibir dan lidah yang terjulur tanda menolak.
“Enak,
bukan?” Nila tersenyum memandangku lurus.
“Hm, ya.
Tapi…”
“Pahitkah?”
pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Aku tidak
suka kopi manis,” katanya kemudian.
Dengan
demikian, pikirku, besok pagi jika memang ditawari lagi, sebaiknya kutolak.
Sepanjang dia tak tersinggung, tentu.
Nila bangkit
dari duduk. “Kuambilkan gula di pantry Mbak Mimi?”
“Oh, tidak
usah.”
“Ayolah,
Seto! Daripada kopiku nanti kamu buang.”
“Pasti
kuminum.” Heran. Aku berjanji, mengatakan pasti, tapi setengah hati.
“Terima
kasih. Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?”
Aku
menyebutkan sebuah nama. Nila pasti sudah sering mendengar nama itu. Tidak
terlalu populer, tapi mudah dicari di supermarket, bahkan di circle-K.
“Eh, jam
berapa ini? Sudah waktunya kerja lagi.” Nila tertawa dan berdiri. “Apakah kamu
selalu meluangkan waktu untuk coffee break?”
“Kadang-kadang.”
Aku tersenyum. Dari seberang sana, Nila akan sulit melihat kebiasaanku. Ada
berderet meja karyawan lain. Hanya saat mengambil air dari dispenser, sesekali
dia bisa menoleh kepadaku.
“Ok, selamat
bekerja kembali.”
Nila
melenggang. Justru setelah dia pergi, wangi parfumnya tertinggal. Light Blue.
Dolce & Gabbana! Harum jasmin yang meruap. Ah, aku teringat sesuatu! Tapi
segera kutepis, karena orang-orang secara bersamaan keluar dari ruang rapat
menuju ke meja masing-masing. Kini ruangan dengan gaya open space itu kembali
ramai.
Saat
perjalanan pulang ke rumah, aku teringat kembali percakapan singkat dengan
Nila. Kukira itu terjadi tiga tahun sekali. Maksudku, setelah aku bekerja di
kantor ini selama tiga tahun, peristiwa itu terjadi. Padahal aku kerap membawa
bekal roti tawar ke kantor dan pada pukul sepuluh sering tergoda untuk
menggigitnya.
Entah
kenapa, sebelum tiba di rumah aku sengaja mampir ke sebuah toko bakery
langganan. Entah kenapa aku sengaja membeli roti tawar dua kali lebih banyak
daripada biasanya. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuk esok pagi. Aku akan
membawa bekal dan menunggu hingga jam sepuluh. Menunggu mataku (bukan perutku)
tergoda untuk menggigit roti tawarku. Menunggu Nila melangkah mendekat dan
menawariku kopi. Tapi … apakah sebaiknya kopi itu kutolak?
Kasir
menyebut harga yang harus kubayar untuk dua pak roti tawar tanpa kulit. Aku
teringat pujian Nila: Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?
Kubaca nama
toko bakery itu seperti berusaha menghafal dari awal. Lalu kuingat-ingat, sejak
kapan aku mulai menetapkan pilihan padanya? Banyak sekali roti tawar yang
pernah kucoba, tapi yang ini memang berbeda. Begitu lembut. Ada semacam rasa
ketagihan saat mengunyahnya.
Perjalananku
berakhir di depan pagar rumah. Cahaya kuning temaram menyambutku. Seseorang
telah menyalakan menjelang petang tadi. Mungkin Isah, atau ibuku. Hanya dengan
mereka berdua aku tinggal di rumah tipe 45 berhalaman sempit ini. Karena itulah
kupilih mobil Karimun yang tak begitu panjang.
Sebelum
kuletakkan segala bawaan dari kantor, yang terdiri dari lap-top dan majalah,
aku mencari Isah hanya untuk mengatakan: “Besok pagi, siapkan roti tawar lebih
banyak.”
“Semua
dengan selai kacang?”
Aku
tertegun. Apakah sungguh-sungguh Nila menyukai roti tawar dengan selai kacang?
Kebetulan tadi pagi aku membawa selai kacang, tidak ada pilihan lain. Dan Nila
mengatakan: Apa saja. Dengan mata yang tampak lapar.
“Kalau
begitu, buatkan juga dengan stroberi dan nenas.”
Setelah itu
aku menjenguk Ibu di kamar tidurnya. Tampaknya sedang sibuk membereskan lemari
bajunya. Padahal aku tak sabar ingin menyampaikan berita agak penting: “Tadi
pagi ada seorang perempuan, namanya Nila, minta roti tawarku.”
Lalu
pertanyaan dalam hati itu mengusik kembali: apakah Nila sudah tak lajang?
Kegemarannya akan kopi pahit terasa agak unik. Karena seingatku dia salah
seorang sekretaris, bukan desainer atau arsitek yang umumnya bekerja begadang.
ENTAH
kenapa, kemudian, aku bangun di pagi berikutnya lebih lekas daripada biasa dan
penuh semangat. Entah kenapa, sebelum ke kamar mandi aku menengok persiapan di
meja makan. Tentu saja belum ada apa-apa. Mungkin Isah baru saja terjaga.
Ini hari
Rabu, membayangkan Nila tidak mengenakan seragam seperti hari Senin dan Selasa.
Mungkin hari ini dia akan mengenakan setelan baju ketat dengan celana panjang
atau justru rok mini. Ah, mengapa serentak hatiku berdebar? Aku mandi melupakan
air dingin, sambil menggosok tubuhku lebih teliti ketimbang kemarin.
Ketika aku
memasukkan empat tangkup roti tawar dengan aneka rasa itu (satu di antaranya
diisi taburan cokelat) ke dalam tempat yang terbuat dari plastik dengan ukuran
lebih besar, tebersit keraguan. Bagaimana aku membawa turun dari mobil dan
masuk ke dalam lift bersama karyawan lain di gedung 12 lantai itu? Bisa jadi
menimbulkan pertanyaan yang agak menggoda: “Mau piknik ke mana, Seto?”
Aku harus
tiba lebih awal, saat lift masih kosong. Tapi keraguan kedua muncul.
Jangan-jangan, pada pukul sepuluh nanti, tidak ada rapat seperti kemarin,
sehingga tentu banyak kawan-kawan lain di sekitar kami. Aku duduk berderet
dengan karyawan lain. Bagaimana mungkin ’mengundang’ Nila ke mejaku? Atau aku
yang mendatanginya? Itu justru semakin tidak mungkin, menenteng tempat roti ke
wilayah sekretaris, yang berdekatan dengan tempat duduk direktur, bukan pada
jam istirahat pula.
Tentu nanti
ada akal! Aku pun pamit kepada Ibu dan mengurungkan niatku untuk menyampaikan
peristiwa kemarin karena sedang mengejar waktu. Pandangan Ibu agak heran dengan
bekal yang kubawa.
“Seto, kamu
tidak akan ke luar kota, kan?”
“Oh, tidak.
Kebetulan aku belum sarapan, sekalian untuk makan siang.”
“Apakah
tidak ada kantin di kantormu? Kamu pernah cerita ada tempat makan yang selalu
ramai.”
Aku mulai
gelisah. “Kadang-kadang pekerjaan sangat padat, membuat aku harus tetap berada
di tempat.”
Ibu
tersenyum. Mungkin karena bangga terhadap cara kerjaku. Atau karena memergoki
alasan yang kurang masuk akal? Atau hanya ingin terpingkal lantaran sejak kecil
aku begitu menyukai roti tawar?
“Hati-hati
di jalan.” Pesannya sewaktu kucium tangannya. “Apakah di kantormu tidak ada
gadis cantik yang menjadi teman kerjamu?”
Aku nyaris
tersengal. Apakah sebaiknya kuceritakan sekarang? Mungkin tak cukup seperempat
jam. “Ada. Tapi tidak kenal dekat. Nanti malam kuceritakan pada Ibu.”
Aku segera
berlalu sebelum bertambah banyak pertanyaan. Percayalah, nanti malam
kuceritakan. Aku sedang mencoba mempertaruhkan hari ini. Sebagai tanda
dibukanya kembali pintu hatiku.
Sepanjang
perjalanan, banyak hal melintas di kepala. Ingatan yang berlompatan, mendesak
untuk tampil di ruang benakku. Beberapa nama yang sempat tertanam lama meskipun
telah jauh berlalu. Saling tumpang-tindih awalnya, kemudian mulai tersusun
seperti sebuah peristiwa yang diputar ulang.
Kekasihku
yang pertama, Putri, melompat dari balkon hotel lantai 23. Dia patah hati
dengan Rangga dan aku mencoba menyembuhkan lukanya. Namun undangan bertemu
bekas kekasihnya itu, di hotel berbintang lima, membuatnya pergi secara
misterius tanpa sepengetahuanku. Beberapa lama sesudah peristiwa menyedihkan
itu, aku mencoba menghibur ibunya yang tak pernah menghapus tulisan terakhir
anaknya di cermin riasnya.
Untuk
melupakan kenangan itu aku pindah bekerja, dari sebuah rumah produksi beralih
menjadi pembuat program acara radio. Aku menjadi jarang jalan-jalan karena
lebih banyak bekerja di studio. Temanku seorang dara yang gagal menjadi penyanyi
dan kemudian menjadi penyiar. Ia menyukai segala sesuatu yang bergambar babi:
mulai dari tas, dompet, gelas minum, t-shirt, saputangan, bahkan sprei dan
boneka babi. Yang tak pernah kusangka, ia ternyata memelihara babi mungil yang
boleh berkeliaran di dalam rumahnya. Itu kuketahui saat aku mengantarnya pulang
sesudah acara siaran langsung pertunjukan festival band kampus.
“Meristin,
apakah itu bukan robot babi?” kataku kaget ketika kulihat babi merah jambu
menyerbu di depan pintu yang dibuka oleh ibunya, suatu tengah malam.
“Sembarangan
ngomong!” tegurnya sambil tertawa. “Dia tak akan pergi tidur sebelum aku
pulang.”
Aku lebih
terkesima saat Meristin memeluk dan mencium moncong babi yang basah itu.
Astaga! Seandainya aku menjadi kekasihnya, apakah aku harus berbagi bibir
Meristin dengan babi itu? Aku mencoba menahan muntah. Padahal, aku mulai jatuh
cinta dengan penyanyi gagal itu.
Selanjutnya
aku mulai menjaga jarak agar tidak terlampau jatuh hati dan mungkin lambatlaun
menjadi teman sejawat saja. Bahkan untuk sekadar berjabat tangan saja aku mulai
berpikir, jangan-jangan sebelumnya Meristin mengelus-elus hidung babi
kesayangannya. Dan ketika untuk kedua kalinya aku terpaksa mengantar Meristin
pulang menjelang pagi, babi itu juga belum tidur. Sesungguhnya aku tak percaya
pada pernyataan Meristin. Babi sialan itu pasti sudah tidur mendengkur sejak
sore dan terbangun menyambut majikannya ketika mendengar suara gaduh di pagar
halaman.
“Hei, Baby!
Kasihan kamu belum tidur…” sambut Meristin.
Saat itu aku
pun ingin muntah. Lekas-lekas aku pamit. Namun rupanya Meristin gadis yang
sopan, sehingga ia mengantarku sampai ke pintu pagar. Aku tak melihat babi
kesayangannya meluncur dari gendongannya persis ketika aku menjalankan mobil
dengan gas penuh. Bunyi ’nguik!’ dan mobil yang berguncang oleh tubuh babi yang
mungkin terlindas ban membuatku menginjak rem mendadak. Maka gemparlah pagi
buta itu dengan tangis Meristin dan orangtuanya yang marah-marah. Ketika dua
orang satpam melangkah dari gardu di ujung jalan, aku punya pikiran kerdil
untuk segera melarikan diri. Itulah yang kulakukan. Aku akan bertanggung jawab,
misalnya dengan membeli babi sebagai penggantinya, tetapi tak ingin babakbelur
seandainya dua orang satpam yang kurang tidur itu lepas kendali.
Selamat
tinggal Meristin! Aku pun pindah kerja lagi dan kini diterima pada bagian
distribusi unit di perusahaan otomotif. Tahun-tahun berjalan dengan berusaha
melupakan Putri dan Meristin. Pada suatu acara pertemuan dealer mobil seluruh
Indonesia, aku bertemu dengan seorang gadis wiraniaga yang selalu meninggalkan
wangi jasmin setiap kali melintas di depanku. Tiga hari tiga malam di Lido
Resort membuat kami dekat satu sama lain. Namun pada malam terakhir aku kecewa
karena kupergoki dia menghuni kamar yang salah bersama seorang laki-laki. Aku
lebih mudah melupakannya karena ia segera kembali ke kotanya di luar Jawa,
namun tak mudah melupakan aroma parfumnya. Aku mencoba mengenali jenis dan
mereknya.
Kemarin Nila
memiliki aroma yang sama! Light Blue!
Kini aku
melambatkan mobil, memasuki halaman parkir gedung kantor. Hatiku mulai
berdebar. Aku merencanakan sesuatu pada jam sepuluh nanti. Akankah Nila kali
ini curiga dengan bekalku yang bertambah banyak? Aku gembira mendapatkan kantor
masih lengang. Dan segera meletakkan bekalku di bawah meja kerja. Tentu belum
ada yang datang kecuali office boy yang sedang merapikan ruangan.
Ketika jam
kerja dimulai, perhatianku mulai terpecah pada hal-hal yang kurencanakan. Aku
tidak jadi sarapan, agar jam sepuluh nanti perutku cukup lapar. Dari jauh aku
melihat Nila mengenakan blouse warna ungu muda ditutup blazer dan pada lehernya
tersimpul scarf. Warna yang mengganggu perasaan. Warna yang dikenakan gadis
wiraniaga dari luar Jawa itu pada hari penghabisan rapat nasional. Ternyata aku
masih kecewa. Tapi, pasti tak ada hubungan antara Nila dengan peristiwa itu.
Mengapa jam
terasa begitu lambat? Dan rupanya aku menjadi tidak produktif. Entah kenapa,
saat Nila berjalan dari ujung ruang menuju dispenser, aku seperti telah
mengenal ketukan langkahnya. Seperti sebuah gerakan perlambatan, sengaja
kuambil bekal dan kuletakkan di atas meja. Pagi ini tidak ada rapat, semua
karyawan sedang sibuk di meja masing-masing. Sementara yang kutunggu dengan
perasaan berdebar tak kunjung tiba. Nila tidak menoleh sama sekali ke arahku.
Saat itu teman sebelah-menyebelahku memergoki sejumlah roti tawar dari tempat
transparan dengan mata bersinar.
“Seto, bagi
rotinya ya!” Entah siapa yang memiliki gagasan itu, sekitar empat orang
mendekat. Adi, Yong, Yudi, dan Ibnu berkerumun. Mau tak mau aku membuka kotak
bekalku. Mataku mencoba mencari Nila, tapi perempuan itu sudah kembali ke
mejanya. Bahkan agaknya tak mendengar kata ’roti’ yang diucapkan teman
sebelahku. Sayup aroma kopi yang diseduhnya terbang ke hidungku…
Rencana
pukul sepuluhku berlalu menyedihkan. Di kotak bekal tinggal setangkup roti
berisi selai nenas yang tidak kusukai. Tapi tak mungkin juga kutawarkan kepada
Nila, seolah menyodorkan penganan sisa. Aku tak perlu mendengar ucapan terima
kasih kawan-kawan yang juga memuji lezat dan lembutnya roti tawarku. Mereka tak
pernah tahu, bahwa roti tawar itu untuk Nila!
Sisa hari
yang panjang tak memberi semangat, tapi mungkin aku masih punya kesempatan
mengajaknya makan siang bersama. Maka menjelang pukul dua belas aku sengaja
menunggu di depan elevator, pura-pura hendak turun makan. Nanti, ketika Nila
muncul dari ruangan untuk istirahat makan siang, bisa turun bersama-sama.
Saat pintu
lift terbuka, seorang tamu laki-laki keluar dari kabin menuju resepsionis. Sementara
itu beberapa orang keluar ruangan, sebagian dengan kotak rokok di tangan, siap
turun makan siang. Lantai tujuh ini memang paling banyak memiliki karyawan.
Lobi segera meriah oleh suara mereka yang antri di depan lift. Tak lama
kemudian, Nila muncul dari ruangan dengan wajah sumringah. Aku menanti
berdebar, siap berebut tempat jika Nila masuk ke dalam lift. Namun yang
terjadi, Nila berjalan lurus menuju seorang laki-laki yang berdiri di depan
meja resepsionis.
“Hai, tepat
waktu kamu!” ujar Nila pada laki-laki itu. Lalu mengucapkan terima kasih pada
Sofie, resepsionis yang memanggilnya melalui telepon internal. Perasaanku ciut.
Kekasih atau suaminya?
Kami
bersama-sama menunggu lift yang selalu penuh di kala jam makan siang. Aku
tersenyum kepada Nila. Ia membalas senyumku, tapi seperti lupa kejadian
kemarin. Aku tentu tak bermaksud mengingatkan, apalagi di depan laki-laki lain.
Entah kenapa, aku bersyukur Nila tak memperkenalkan temannya itu. Dan entah
kenapa, sewaktu pintu elevator terbuka, aku tak ikut masuk ke dalamnya. Aku
memilih lewat tangga darurat.
Dalam
perjalanan pulang ada yang kurasakan hilang. Tapi seperti biasa aku tetap
singgah di toko roti langganan. Lama aku berdiri, sampai seorang pramuniaga
mengambilkan roti tawar kegemaranku. “Oh ya, terima kasih. Tapi satu saja.”
Ketika tiba
di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan dengan wajah yang tampak segar. Aku
tersenyum dan mengatakan hendak mandi dulu. Isah menyambut roti tawar yang
kubawa seraya bertanya: “Besok pagi mau bawa berapa tangkup?”
“Seperti
biasa satu saja. Isi selai kacang.”
Aku pun
mandi dengan perasaan ngungun. Ibu masih di meja makan begitu aku selesai
mengenakan baju rumah.
“Ibu buatkan
kopi, agar letihmu hilang.”
“Wah, terima
kasih.” Aku pun duduk di depannya.
“Kamu janji
mau ceritakan sesuatu, bukan?”
Kini aku
gelisah. Kemudian mencoba mencari cangkir baru. “Kopinya dibagi dua saja.”
Aromanya begitu wangi menyergap hidung. Mengingatkan harum kopi Nila kemarin
pagi.
Dengan cara
yang sungguh mumpuni, Ibu menuang kopi dari satu cangkir ke cangkir lainnya
tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin sebelumnya sudah biasa melakukannya.
Terhadap Ayah, semasa masih hidup. Eh, bukankah Ayah sudah lama tiada? Tentu
sudah lama pula Ibu tak membagi secangkir kopi menjadi dua.
“Bagaimana
tentang perempuan kawan kerjamu?” tanya Ibu.
“Boleh aku
minum kopi dulu?” aku mengulur waktu. Aku pun menyeruput, dan… ah! Aku menahan
lidahku dalam geletar.
“Pahitkah?”
tanya Ibu. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan?
“Ayah tak pernah minum kopi manis. Itu yang membuat ayahmu kuat, tabah, dan tak
mudah putus asa untuk mencapai keinginannya.”
Mungkinkah
Ibu menyindirku? Kini aku harus lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Sebenarnya
sejak kapan aku gemar roti tawar?’
Ibu nyaris
tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin kedengaran aneh. Tapi aku serius ingin
tahu. Kadang-kadang terpikir, apa enaknya roti tawar? Kata ’tawar’ boleh jadi
membuat perasaanku selalu tawar. Kata ’tawar’ menyebabkan segala yang kulakukan
berada dalam keragu-raguan: selalu dalam keadaan tawar-menawar. Sedangkan kopi
pahit, sebagaimana kata Ibu, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah, dan tidak
putus asa. Nila menyukai kopi pahit seperti Ayah!
“Pasti Ibu
ingat, kapan aku mulai menyukai roti tawar?”
Kini Ibu
benar-benar tertawa.
Jakarta, 15
Agustus 2004
Abu Jenazah Ayah
Bandara
masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk
belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah
ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak
payah karena mataku mulai rabun jauh.
Pintu 6,”
kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena
masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke
Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor
teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita
sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu.
Benar
dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari
percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar
calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu
berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup
rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal
dari tulang, daging, atau rambut.
“Bukankah
ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu.
“Benar. Abu
jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.”
“Waktu
ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini
sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut.
“Usiaku
sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang
dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.”
“Kamu
sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan
inspiratif, lho!” usul Agni.
“Wah, apakah
itu di tepi Kalimas?”
Pesawat
melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan
berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di
halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau
siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan,
ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan,
ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang
menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri?
Kuputar
kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap
langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa
laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya
terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku
terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan
hidangan.
Tiba di
Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms,
termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di
antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku.
Aku
tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan
Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi,
kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di
Kalimas.
“Kenapa
harus di Kalimas?” tanya Banu.
“Karena
ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.”
“Bagaimana
perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman.
Air mataku
benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi
jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu.
Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada
molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya.
“Aku sangat
kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.”
“Aku turut
berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni.
“Karena tak
ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar
dari ingatan itu.”
“Mana lebih
dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu.
“Ketika ibu
hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.”
“Jam berapa
kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman.
Adakah aku
dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya
mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah
angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai.
“Biarkan air
yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang
kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali
bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai,
atau hanyut ke arah kerajaan laut.”
“Pamanmu
mungkin seorang penyair,” komentar Agni.
“Ia yang
menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.”
“Hidupmu,
dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu.
“Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.”
Keluar dari
ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat
perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai
dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan.
“Kita makan
soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang.
“Boleh.
Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?”
“Tak jauh
dari sini.”
Kami naik
Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah
setiap hari macet seperti ini?”
“Ini karena
kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa.
“Ah, ini
hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita
mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.”
“Sepagi
ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.”
Kusisir
kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu.
Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti
tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu.
Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan
melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun
menemui ibumu.”
“Mungkin
pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan
mata?” tanya Ery.
Aku tak
ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam
bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan
sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio.
“Ia pemuja
Dewi Kwan Im?” tanya Hilman.
“Mungkin.
Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.”
O, jadi ini
yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva,
tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan
kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya.
Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang.
“Habis ini
kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari
lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery.
Aku hanya
mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring
kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda.
Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung.
“Jangan lupa
beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan.
“Kukira sore
nanti. Ketika matahari mulai surup.”
Boleh jadi,
pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin
agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.”
Setiap kali
mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami
meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat
favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang
kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of
Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas
gunting sensor.
“Apakah
kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni.
Gagasan itu
bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan
handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius.
“Apakah kamu
menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin
kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling
bijak adalah menjawab sekenanya.
“Dua juta
delapan ratus enam puluh empat butir.”
“Apakah roh
ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu.
Aku mencoba
mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang
sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku,
tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!”
Hardikan ibu
betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat
membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur.
Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat.
Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah
ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa.
Aku
terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat
wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah
mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku
juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat.
“Kukira
sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery.
“Baiklah,
kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.”
Hari mulai
redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras.
Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci
dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku,
dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di
teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah.
Aku berdoa.
Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi
tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah
kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang
mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu.
Karena yang
kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah
ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga
bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….”
Suara derit
rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga
jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan
kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur
angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti
dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke
tubuhku!
Ah, aku lupa
mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya!
Jakarta, 9
Februari 2003
https://cerpenkompas.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar