Recent Posts

Senin, 12 Januari 2015

Cerita Pendek Andri Romdhoni



Jalan Kecil di Tahun Baru
Kau tahu jalan panjang yang berada di pojok timur dusun ini? Ukurannya yang begitu kecil dan juga sempit, yang tak bisa untuk jalur mobil. Apalagi memutar bodi si mobil, mustahil jika bisa berjalan dengan sempurna. Bilamana lebar jalan ini tak seluas pada umumnya, namun panjangnya entah sampai ke mana, lelah jika aku berniat menyusurinya. Berlapis plesteran pasir campur semen, jalan ini bertekstur persegi tersekat oleh pola-pola cekungan. Di kanan kirinya bercabang jalan-jalan kecil yang sebagian entah aku juga tak tahu arah ke mana. Dengan umur yang semakin tua dan ulah tangan nakal manusia, jalan ini tak semulus dulu lagi.
Banyak retakan di sana sini, di selokan samping jalan tumpukan pecahan genting tanah liat dengan tak bersalahnya tercecer bersama tanah yang memadat. Besi-besi selokan menjadi bahan colongan di malam hari, lalu ditukarkan kepada tukang rongsokan, mendapat uang lalu dibuat untuk berjudi, itu kata tetangga dan itu mungkin, aku percaya. Samping lainnya lagi terdapat tumbuhan dadah yang menghijau tua, tumbuh di sepanjang jalan, sebagai pelindung orang-orang yang menyusuri jalan ini. Kekhawatiran penduduk, aku juga bapakku meluap ketika tumbuhan dadah itu kini tinggal sedikit, barisannya yang memanjang sudah tak sempurna lagi, banyak celah-celah yang memungkinkan air hujan bercampur sampah dengan bebasnya mengguyur deras ke bawah bak air terjun. Lalu menerpa dinding luar rumahku yang berdiri di samping bawah jalan ini.

Itulah jalan arah rumahku. Jalan yang sangat biasa-biasa saja. Jalan yang tak bernama, tak ada embel-embel inilah itulah. Tak ada jalan Lili, tak ada jalan Semar, Delima satu, Delima dua. Tidak Ada. Tak ada mobil mewah berplat merah melintas di jalan ini. Jalan yang tak kerap teraba oleh sandal-sandal para priayi, sampai pada orang-orang yang tak beralas kaki sama sekali. Tak ramai, malah bisa dibilang begitu sepi. Tidak seperti dulu, banyak anak-anak berseragam putih merah melalui jalan ini untuk sampai ke desa seberang, sekolah mereka. Namun sekarang mereka lebih suka diantar oleh bapaknya atau meminta uang saku lebih agar bisa membayar angkutan untuk sampai ke sekolah. Kaki-kaki mereka tak ingin lelah. Pagi-pagi sekali, orang-orang berlomba-lomba melalui jalan ini untuk sampai ke sungai, lalu mencari tempat yang enak dan juga aman untuk berhajat besar. Itu dulu, dan kini jaman sudah begitu modern. Tak lengkap rasanya bila sebuah rumah tanpa ada kamar mandi beserta toiletnya. Rasa malu mereka kini sudah meninggi. Dalam berhajat, mereka tak ingin seorangpun melihat. Bila dulu antara satu dengan yang lain saling tegur sapa tanpa adanya rasa canggung, kini jangan harap, lalat pun tak akan bisa melihat aktivitas itu dengan bebas seperti dulu. Kini hanya lima sampai delapan orang yang melintas melalui jalan ini, dan mungkin bisa dihitung dengan jari dalam sehari. Aku, bapakku dan juga ibukku yang harus memaksakan diri, mau bagaimana lagi, untuk menuju rumah keluargaku harus melalui jalan ini. Terkadang aku protes kepada bapak mengapa aku harus tinggal di rumah yang tak mengenal tetangga. Rumah yang paling pojok di kampung, rumah yang menyendiri, rumah yang sunyi.
Kau tahu, jalan tak bernama ini sering sekali menjadi tempat terjadinya kejadian-kejadian yang aneh. Dulu kata bapak, pernah ada pemuda yang tewas di jalan ini karena jatuh dari sepeda. Jalan ini juga pernah melahirkan dua bayi selama dua hari berturut-turut. Bayi yang pertama ditemukan oleh bapak ketika pagi yang masih begitu dini, dan yang kedua ditemukan ketika adzan maghrib di surau-surau kampung masih berkumandang. Entah mereka milik siapa. Dan kau tahu, jalan ini sering menjadi tempat perjudian ketika malam hari. Orang-orang yang tak tahu malu mengambil hak-hak istrinya itu rela tidak memanjakan mata demi uang. Uang setan. Dengan bermodalkan sentir, kartu remi dan pastinya uang, malam panjang pun dihabiskan untuk menghabiskan uang. Ya benar, banyak sekali pejudi-pejudi yang tak handal itu mengeluh di pagi harinya karena tak jeli bermain kartu, dan akhirnya uang pun bablas entah sampai ke tangan siapa. Sampai sekarang aku hanya bisa tertawa jahat dalam hati mendengar keluhan-keluhan itu. Apakah jalan  ini adalah sebuah peninggalan? Peninggalan Nyai Ngirang, seorang wanita tua yang konon memiliki wajah yang begitu menyedihkan. Ah itu mungkin sebuah mitos saja.
Namun bila kau tahu, dibalik buruknya jalan tak bernama ini, ada sesuatu yang menjadikannya begitu istimewa di mata penduduk dan juga aku. Jalan ini adalah satu-satunya tempat terbaik di kampung untuk melihat indahnya kembang api ketika tahun baru. Banyak sekali penduduk kampung yang berdiri dengan mengembangkan senyuman pada bibirnya di jalan ini ketika malam tahun baru. Jika kembang api memancarkan keindahannya ketika pukul dua belas malam lebih, jalan ini pun penuh sesak dua jam sebelumnya. Dan di situ sudah ada aku, remaja satu-satunya yang menikmati malam tahun baru di kampung. Remaja yang begitu setia berteman dengan jalan yang tak bernama ini. Kesetiaan yang hanya tumbuh setiap malam tahun baru.
Namaku Chas, seorang lelaki berumur delapan belas tahun yang tak ingin tahu apa-apa tentang kehidupan yang sebenarnya. Kata orang-orang seumuran, aku adalah orang yang tak tahu dunia luar. Dunia anak-anak muda yang penuh kebebasan. Aku hanya menuju tua dengan kesendirian tanpa adanya teman. Aku tak pandai bergaul, tak pandai menyetir motor seperti pemuda-pemuda pada umumnya, tak pandai mencari pacar, tak pandai pada sesuatu yang mencirikan anak muda dan kebebasan. Seringkali aku dianggap tinggi hati oleh pemuda-pemuda kampung karena aku tak sering keluar rumah dan bergaul sebagaimana mestinya. Hanya satu yang bisa aku banggakan dariku. Aku adalah satu-satunya pemuda di kampung yang bisa melanjutkan pendidikan di bangku yang begitu maha. Dibalik ketidaktahuanku mengenai pergaulan dunia luar aku begitu menyombongkan pendidikanku. Banyak sekali orang-orang tua di kampung yang memujiku. Dan aku begitu bangga dengan hal itu. Namun aku begitu benci kepada pemuda-pemuda seumuranku. Tak ada satu pun dari mereka yang memuji akan diriku, bahkan mungkin malah mereka tak tahu akan pendidikanku. Mereka tak peduli pada diriku, atau malah mereka tak menganggap kalau diriku ada: semoga saja itu prasangka burukku saja. Aku selalu berharap, semoga tidak ada pemuda kampung yang menyaingiku dalam hal ini. Kurangnya pergaulan dalam hidupku kututupi dengan sebuah kesombongan yang begitu jahat. Aku akan tertawa dalam hati ketika mendengar pemuda kampung terkena kasus akibat pergaulan bebasnya. Bila aku mendengar seorang pemuda yang akan segera menikah karena menghamili pacarnya, pemuda yang dihajar warga karena ketahuan mencuri ayam tetangga, pemuda yang tidak melanjutkan sekolah, tawaku akan melebar kemana-mana. Tawa yang penuh dengan kesombongan dan juga kejahatan.
Namun kini hati ini mulai memberontak, diri ini mulai jujur. Aku sadar, keirianku terhadap pemuda seumuranku kini kian meninggi. Dalam angan aku ingin seperti mereka, menikmati suatu kehidupan yang begitu nyata. Bukan seperti diriku yang selama ini, yang hanya mampu berperan baik dalam sandiwara. Aku ingin mencoba menikmati bagaimana duduk lesehan di atas sebuah tikar, menikmati secangkir kopi bersama teman-teman seumuran di taman kota ketika malam hari. Aku ingin bisa mengendarai motor seperti pemuda kampung yang lain, bersama-sama pergi ke makam desa seberang, mendoakan nenek moyang yang telah tiada. Aku ingin berbagi bersama mereka. Tawanya pecah di mana-mana, di bengkel, di poskamling kampung, di pinggir jalan raya. Ingin aku bergabung dalam organisasi remaja kampung, ikut musyawarah remaja sampai dini hari. Ingin ku mengenal dunia yang sebenarnya. Dan yang kuimpikan sejak dulu adalah ketika aku bisa menikmati indahnya kembang api pada malam tahun baru di taman kota, bukan kembang api di jalan yang tak bernama. Lalu bagaimana aku akan menuju ke arah sana bila kesombongan yang begitu tinggi masih betah tinggal di tubuh ini. Aku menganggap bahwa diriku masih tak pantas bergaul dengan pemuda-pemuda desa yang tak berpendidikan itu. Huh sebuah penjagaan harga diri yang begitu keterlaluan, padahal tak berarti apa-apa. Lalu kapan ketakutan ini akan berakhir? Kapan diri ini menjadi sebuah wayang yang tanpa adanya campur tangan dalang keegoisan. Kini aku serba salah. Atauu orang tuaku yang salah? Yang dulu selalu melarangku bermain bersama teman-teman kampung.
***
“Lalu bagaimana? Marahlah jika kau mau marah kepadaku, bahkan benci pun aku terima. Maafkan aku Chas, sungguh malam ini aku tak bisa”
Dia begitu gelisah mengatakan semua itu kepadaku. Kulihat matanya sudah berkaca-kaca. Aku yakin sebenarnya dia sangat bersalah melakukan hal itu. Tapi aku tak peduli. Kebencian ini kepadanya mulai tumbuh subur begitu saja.
“Hanya karena itu? Keinginanku yang kuimpikan beberapa waktu yang lalu kini hanya menjadi sebuah kertas tissue yang begitu mudah dibakar, kemudian hangus dan berhamburan entah sampai ke mana. Lalu dilupakan begitu saja dan aku harus menunggu setahun lagi. Kemudian seperti ini lagi. Kemudian tak jadi lagi, begitu?”
“Bukan begitu Chas, aku tahu perasaanmu. Tapi...”
“Tapi apa? Kau lebih mementingkan dia daripada aku . Kau senang bukan melihatku seperti ini? Atauu kau memang sengaja mengubahku menjadi seorang kerdil yang tidak akan bisa menyentuh bintang di langit?”
Amarahku kini semakin memuncak, membakar seluruh tubuhku sampai menjalar bebas ke seluruh ruangan. Air hujan di luar tak akan mampu meredakan semua ini.
Kebakaran akhirnya hanya menjadi sebuah keheningan. Bibirku dan bibirnya tak saling berucap. Tetesan-tetesan hujan kini semakin membesar, membuat sketsa yang tak beraturan pada kaca jendela, mencoba masuk ke dalam namun tak bisa. Suara air hujan berusaha menamatkan keheningan ini. Dan benar, tak lama kemudian ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah tempat aku berdiri, namun ia tak menghadapku. Ketukan suara sepatu boots pada lantai menciptakan suara dalam ruangan. Ternyata kaca jendela yang telah menggodanya. Entah apa yang ia lihat di balik kaca jendela itu.
Tak ada lebih dari seperempat menit ia kembali pada tempat duduknya, memutar gelas beling yang sudah tak berisi air di meja. Nampaknya ia semakin gugup, pandangan mataku tak dibalas olehnya.
“ Baik, bagaimana jika kugantikan hari esok, atau mungkin lusa?”
Kali ini suaranya begitu tenang, aku kaget. Kegugupan itu berubah total hanya dalam hitungan detik.
“Kau tahu kan apa yang aku inginkan? Ini adalah awalku. Hari esok atau lusa itu jauh dari keinginanku, aku ingin pertemuan ini adalah sebuah harapan”. 
“Tetap, sebagaimana besarnya kamu mengharapkanku, aku tidak bisa. Ini akhirku, sesuatu yang harus aku lakukan agar menjadi sebuah awal yang baik. Kau harus mengerti. Aku yakin, kau pasti bisa melakukannya tanpa diriku. Tapi jika kau tak mau melakukanya malam ini, tunggu setahun lagi”.
Aku terdiam. Air mata ini adalah jawaban atas pernyataannya. Seperti ada angin yang mendorong tubuhku ke tembok. Aku lelah, kaki-kaki ini pun sudah tak kuat berdiri tegak. Aku duduk di pojok ruangan, kutundukkan wajahku lalu kusandarkan pada lutut-lutut kaki.
“Aku harus pergi, tak banyak waktu lagi untukku. Maaf.”
Dia meninggalkan ruangan, tak mempedulikanku dimakan keheningan. Dia pergi, mencoba menyapa hujan. Mataku sudah tak bernafsu lagi melihat punggungnya. Suaranya tak kuhiraukan.
Kini hanya ada kesedihan, hanya ada awal yang gagal.
***
Pergantian  tahun baru 2012, 00.09 WIB
Sebuah malam yang penuh dengan gemerlap cahaya, nyanyian terompet terdengar di sana-sini mencoba mengganggu telinga. Gegap gempita melebar di tanah air bahkan dunia. Anak-anak, tetua juga para pemuda begitu meluapkan keceriaan di malam ini. Melupakan hal buruk di masa lalu dan mencoba hal yang baru. Penuh dengan harapan.
Namun berbeda dengan jalan kecil yang tak bernama di kampungku. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam ini jalan itu begitu sepi. Tak ada penduduk kampung di sana, tak ada aku. Kembang api tak menjadi sesuatu yang indah di malam ini bagi diriku dan juga penduduk kampung. Keramaian penduduk kampung beralih ke rumahku, menjadi sebuah keramaian kesedihan.
Sebuah awal yang menjadi akhir.
Aku melakukannya, kesombonganku telah kubunuh, kejahatanku telah kubunuh, ketakutan, harapan, keinginan telah kubunuh bersama diriku. Mungkin itu adalah sesuatu yang bodoh. Aku merasa, aku hanyalah manusia yang tak bersaudara, sendiri, keegoisanku begitu tinggi. Aku adalah suatu zat yang jahat. Dan sore tadi adalah suatu isyarat bahwa diriku tak diterima oleh dia dan mungkin oleh mereka: itu pikiranku.
Maka telah kuakhiri semuanya. Malam ini jalan itu begitu sepi karena diriku. Tak ada pertunjukkan yang indah di malam tahun baru ini di kampungku.

3 komentar:

Nonisaa mengatakan...

Wah karyanya mas andri kece :) blognya juga simple .suka keren..

Unknown mengatakan...

kerenmas, apalagi musiknya bikin betah baca postingannya mas andri

[Andri Romdhoni] mengatakan...

Ya terima kasih mbak Pembenci Senja dan mbak Reiza Kusuma Dewi. Selamat berselancar di blog saya :)

Posting Komentar