Jalan Kecil di Tahun Baru
Kau
tahu jalan panjang yang berada di pojok timur dusun ini? Ukurannya yang begitu
kecil dan juga sempit, yang tak bisa untuk jalur mobil. Apalagi memutar bodi si
mobil, mustahil jika bisa berjalan dengan sempurna. Bilamana lebar jalan ini
tak seluas pada umumnya, namun panjangnya entah sampai ke mana, lelah jika aku berniat
menyusurinya. Berlapis plesteran
pasir campur semen, jalan ini bertekstur persegi tersekat oleh pola-pola cekungan.
Di kanan kirinya bercabang jalan-jalan kecil yang sebagian entah aku juga tak
tahu arah ke mana. Dengan umur yang semakin tua dan ulah tangan nakal manusia,
jalan ini tak semulus dulu lagi.
Banyak retakan di sana sini, di selokan
samping jalan tumpukan pecahan genting tanah liat dengan tak bersalahnya
tercecer bersama tanah yang memadat. Besi-besi selokan menjadi bahan colongan di malam hari, lalu ditukarkan
kepada tukang rongsokan, mendapat
uang lalu dibuat untuk berjudi, itu kata tetangga dan itu mungkin, aku percaya.
Samping lainnya lagi terdapat tumbuhan dadah
yang menghijau tua, tumbuh di sepanjang jalan, sebagai pelindung orang-orang
yang menyusuri jalan ini. Kekhawatiran penduduk, aku juga bapakku meluap ketika
tumbuhan dadah itu kini tinggal
sedikit, barisannya yang memanjang sudah tak sempurna lagi, banyak celah-celah yang
memungkinkan air hujan bercampur sampah dengan bebasnya mengguyur deras ke
bawah bak air terjun. Lalu menerpa dinding luar rumahku yang berdiri di samping
bawah jalan ini.
Itulah
jalan arah rumahku. Jalan yang sangat biasa-biasa saja. Jalan yang tak bernama,
tak ada embel-embel inilah itulah. Tak ada jalan Lili, tak ada jalan Semar,
Delima satu, Delima dua. Tidak Ada. Tak ada mobil mewah berplat merah melintas
di jalan ini. Jalan yang tak kerap teraba oleh sandal-sandal para priayi, sampai
pada orang-orang yang tak beralas kaki sama sekali. Tak ramai, malah bisa
dibilang begitu sepi. Tidak seperti dulu, banyak anak-anak berseragam putih
merah melalui jalan ini untuk sampai ke desa seberang, sekolah mereka. Namun
sekarang mereka lebih suka diantar oleh bapaknya atau meminta uang saku lebih
agar bisa membayar angkutan untuk sampai ke sekolah. Kaki-kaki mereka tak ingin
lelah. Pagi-pagi sekali, orang-orang berlomba-lomba melalui jalan ini untuk
sampai ke sungai, lalu mencari tempat yang enak dan juga aman untuk berhajat
besar. Itu dulu, dan kini jaman sudah begitu modern. Tak lengkap rasanya bila
sebuah rumah tanpa ada kamar mandi beserta toiletnya. Rasa malu mereka kini
sudah meninggi. Dalam berhajat, mereka tak ingin seorangpun melihat. Bila dulu
antara satu dengan yang lain saling tegur sapa tanpa adanya rasa canggung, kini
jangan harap, lalat pun tak akan bisa melihat aktivitas itu dengan bebas
seperti dulu. Kini hanya lima sampai delapan orang yang melintas melalui jalan
ini, dan mungkin bisa dihitung dengan jari dalam sehari. Aku, bapakku dan juga
ibukku yang harus memaksakan diri, mau bagaimana lagi, untuk menuju rumah keluargaku
harus melalui jalan ini. Terkadang aku protes kepada bapak mengapa aku harus
tinggal di rumah yang tak mengenal tetangga. Rumah yang paling pojok di kampung,
rumah yang menyendiri, rumah yang sunyi.
Kau
tahu, jalan tak bernama ini sering sekali menjadi tempat terjadinya
kejadian-kejadian yang aneh. Dulu kata bapak, pernah ada pemuda yang tewas di
jalan ini karena jatuh dari sepeda. Jalan ini juga pernah melahirkan dua bayi selama
dua hari berturut-turut. Bayi yang pertama ditemukan oleh bapak ketika pagi
yang masih begitu dini, dan yang kedua ditemukan ketika adzan maghrib di
surau-surau kampung masih berkumandang. Entah mereka milik siapa. Dan kau tahu,
jalan ini sering menjadi tempat perjudian ketika malam hari. Orang-orang yang
tak tahu malu mengambil hak-hak istrinya itu rela tidak memanjakan mata demi
uang. Uang setan. Dengan bermodalkan sentir,
kartu remi dan pastinya uang, malam panjang pun dihabiskan untuk menghabiskan
uang. Ya benar, banyak sekali pejudi-pejudi yang tak handal itu mengeluh di
pagi harinya karena tak jeli bermain kartu, dan akhirnya uang pun bablas entah
sampai ke tangan siapa. Sampai sekarang aku hanya bisa tertawa jahat dalam hati
mendengar keluhan-keluhan itu. Apakah jalan
ini adalah sebuah peninggalan? Peninggalan Nyai Ngirang, seorang wanita tua yang konon memiliki wajah yang begitu
menyedihkan. Ah itu mungkin sebuah mitos saja.
Namun
bila kau tahu, dibalik buruknya jalan tak bernama ini, ada sesuatu yang
menjadikannya begitu istimewa di mata penduduk dan juga aku. Jalan ini adalah
satu-satunya tempat terbaik di kampung untuk melihat indahnya kembang api
ketika tahun baru. Banyak sekali penduduk kampung yang berdiri dengan
mengembangkan senyuman pada bibirnya di jalan ini ketika malam tahun baru. Jika
kembang api memancarkan keindahannya ketika pukul dua belas malam lebih, jalan
ini pun penuh sesak dua jam sebelumnya. Dan di situ sudah ada aku, remaja
satu-satunya yang menikmati malam tahun baru di kampung. Remaja yang begitu
setia berteman dengan jalan yang tak bernama ini. Kesetiaan yang hanya tumbuh setiap
malam tahun baru.
Namaku
Chas, seorang lelaki berumur delapan belas tahun yang tak ingin tahu apa-apa
tentang kehidupan yang sebenarnya. Kata orang-orang seumuran, aku adalah orang
yang tak tahu dunia luar. Dunia anak-anak muda yang penuh kebebasan. Aku hanya
menuju tua dengan kesendirian tanpa adanya teman. Aku tak pandai bergaul, tak
pandai menyetir motor seperti pemuda-pemuda pada umumnya, tak pandai mencari
pacar, tak pandai pada sesuatu yang mencirikan anak muda dan kebebasan.
Seringkali aku dianggap tinggi hati oleh pemuda-pemuda kampung karena aku tak
sering keluar rumah dan bergaul sebagaimana mestinya. Hanya satu yang bisa aku
banggakan dariku. Aku adalah satu-satunya pemuda di kampung yang bisa
melanjutkan pendidikan di bangku yang begitu maha. Dibalik ketidaktahuanku
mengenai pergaulan dunia luar aku begitu menyombongkan pendidikanku. Banyak
sekali orang-orang tua di kampung yang memujiku. Dan aku begitu bangga dengan hal
itu. Namun aku begitu benci kepada pemuda-pemuda seumuranku. Tak ada satu pun
dari mereka yang memuji akan diriku, bahkan mungkin malah mereka tak tahu akan
pendidikanku. Mereka tak peduli pada diriku, atau malah mereka tak menganggap
kalau diriku ada: semoga saja itu prasangka burukku saja. Aku selalu berharap,
semoga tidak ada pemuda kampung yang menyaingiku dalam hal ini. Kurangnya
pergaulan dalam hidupku kututupi dengan sebuah kesombongan yang begitu jahat.
Aku akan tertawa dalam hati ketika mendengar pemuda kampung terkena kasus
akibat pergaulan bebasnya. Bila aku mendengar seorang pemuda yang akan segera
menikah karena menghamili pacarnya, pemuda yang dihajar warga karena ketahuan
mencuri ayam tetangga, pemuda yang tidak melanjutkan sekolah, tawaku akan
melebar kemana-mana. Tawa yang penuh dengan kesombongan dan juga kejahatan.
Namun
kini hati ini mulai memberontak, diri ini mulai jujur. Aku sadar, keirianku
terhadap pemuda seumuranku kini kian meninggi. Dalam angan aku ingin seperti
mereka, menikmati suatu kehidupan yang begitu nyata. Bukan seperti diriku yang
selama ini, yang hanya mampu berperan baik dalam sandiwara. Aku ingin mencoba
menikmati bagaimana duduk lesehan di atas sebuah tikar, menikmati secangkir
kopi bersama teman-teman seumuran di taman kota ketika malam hari. Aku ingin
bisa mengendarai motor seperti pemuda kampung yang lain, bersama-sama pergi ke
makam desa seberang, mendoakan nenek moyang yang telah tiada. Aku ingin berbagi
bersama mereka. Tawanya pecah di mana-mana, di bengkel, di poskamling kampung,
di pinggir jalan raya. Ingin aku bergabung dalam organisasi remaja kampung,
ikut musyawarah remaja sampai dini hari. Ingin ku mengenal dunia yang
sebenarnya. Dan yang kuimpikan sejak dulu adalah ketika aku bisa menikmati
indahnya kembang api pada malam tahun baru di taman kota, bukan kembang api di
jalan yang tak bernama. Lalu bagaimana aku akan menuju ke arah sana bila
kesombongan yang begitu tinggi masih betah tinggal di tubuh ini. Aku menganggap
bahwa diriku masih tak pantas bergaul dengan pemuda-pemuda desa yang tak
berpendidikan itu. Huh sebuah penjagaan harga diri yang begitu keterlaluan,
padahal tak berarti apa-apa. Lalu kapan ketakutan ini akan berakhir? Kapan diri
ini menjadi sebuah wayang yang tanpa adanya campur tangan dalang keegoisan.
Kini aku serba salah. Atauu orang tuaku yang salah? Yang dulu selalu melarangku
bermain bersama teman-teman kampung.
***
“Lalu
bagaimana? Marahlah jika kau mau marah kepadaku, bahkan benci pun aku terima.
Maafkan aku Chas, sungguh malam ini aku tak bisa”
Dia
begitu gelisah mengatakan semua itu kepadaku. Kulihat matanya sudah
berkaca-kaca. Aku yakin sebenarnya dia sangat bersalah melakukan hal itu. Tapi
aku tak peduli. Kebencian ini kepadanya mulai tumbuh subur begitu saja.
“Hanya
karena itu? Keinginanku yang kuimpikan beberapa waktu yang lalu kini hanya
menjadi sebuah kertas tissue yang begitu mudah dibakar, kemudian hangus dan
berhamburan entah sampai ke mana. Lalu dilupakan begitu saja dan aku harus
menunggu setahun lagi. Kemudian seperti ini lagi. Kemudian tak jadi lagi,
begitu?”
“Bukan
begitu Chas, aku tahu perasaanmu. Tapi...”
“Tapi
apa? Kau lebih mementingkan dia daripada aku . Kau senang bukan melihatku
seperti ini? Atauu kau memang sengaja mengubahku menjadi seorang kerdil yang
tidak akan bisa menyentuh bintang di langit?”
Amarahku
kini semakin memuncak, membakar seluruh tubuhku sampai menjalar bebas ke
seluruh ruangan. Air hujan di luar tak akan mampu meredakan semua ini.
Kebakaran
akhirnya hanya menjadi sebuah keheningan. Bibirku dan bibirnya tak saling
berucap. Tetesan-tetesan hujan kini semakin membesar, membuat sketsa yang tak
beraturan pada kaca jendela, mencoba masuk ke dalam namun tak bisa. Suara air
hujan berusaha menamatkan keheningan ini. Dan benar, tak lama kemudian ia
bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah tempat aku berdiri, namun ia tak
menghadapku. Ketukan suara sepatu boots
pada lantai menciptakan suara dalam ruangan. Ternyata kaca jendela yang telah
menggodanya. Entah apa yang ia lihat di balik kaca jendela itu.
Tak
ada lebih dari seperempat menit ia kembali pada tempat duduknya, memutar gelas
beling yang sudah tak berisi air di meja. Nampaknya ia semakin gugup, pandangan
mataku tak dibalas olehnya.
“
Baik, bagaimana jika kugantikan hari esok, atau mungkin lusa?”
Kali
ini suaranya begitu tenang, aku kaget. Kegugupan itu berubah total hanya dalam
hitungan detik.
“Kau
tahu kan apa yang aku inginkan? Ini adalah awalku. Hari esok atau lusa itu jauh
dari keinginanku, aku ingin pertemuan ini adalah sebuah harapan”.
“Tetap,
sebagaimana besarnya kamu mengharapkanku, aku tidak bisa. Ini akhirku, sesuatu
yang harus aku lakukan agar menjadi sebuah awal yang baik. Kau harus mengerti.
Aku yakin, kau pasti bisa melakukannya tanpa diriku. Tapi jika kau tak mau
melakukanya malam ini, tunggu setahun lagi”.
Aku
terdiam. Air mata ini adalah jawaban atas pernyataannya. Seperti ada angin yang
mendorong tubuhku ke tembok. Aku lelah, kaki-kaki ini pun sudah tak kuat
berdiri tegak. Aku duduk di pojok ruangan, kutundukkan wajahku lalu kusandarkan
pada lutut-lutut kaki.
“Aku
harus pergi, tak banyak waktu lagi untukku. Maaf.”
Dia
meninggalkan ruangan, tak mempedulikanku dimakan keheningan. Dia pergi, mencoba
menyapa hujan. Mataku sudah tak bernafsu lagi melihat punggungnya. Suaranya tak
kuhiraukan.
Kini
hanya ada kesedihan, hanya ada awal yang gagal.
***
Pergantian tahun baru
2012, 00.09 WIB
Sebuah
malam yang penuh dengan gemerlap cahaya, nyanyian terompet terdengar di
sana-sini mencoba mengganggu telinga. Gegap gempita melebar di tanah air bahkan
dunia. Anak-anak, tetua juga para pemuda begitu meluapkan keceriaan di malam
ini. Melupakan hal buruk di masa lalu dan mencoba hal yang baru. Penuh dengan
harapan.
Namun
berbeda dengan jalan kecil yang tak bernama di kampungku. Tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya. Malam ini jalan itu begitu sepi. Tak ada penduduk kampung di sana,
tak ada aku. Kembang api tak menjadi sesuatu yang indah di malam ini bagi
diriku dan juga penduduk kampung. Keramaian penduduk kampung beralih ke
rumahku, menjadi sebuah keramaian kesedihan.
Sebuah awal yang menjadi akhir.
Aku
melakukannya, kesombonganku telah kubunuh, kejahatanku telah kubunuh,
ketakutan, harapan, keinginan telah kubunuh bersama diriku. Mungkin itu adalah
sesuatu yang bodoh. Aku merasa, aku hanyalah manusia yang tak bersaudara,
sendiri, keegoisanku begitu tinggi. Aku adalah suatu zat yang jahat. Dan sore
tadi adalah suatu isyarat bahwa diriku tak diterima oleh dia dan mungkin oleh
mereka: itu pikiranku.
Maka
telah kuakhiri semuanya. Malam ini jalan itu begitu sepi karena diriku. Tak ada
pertunjukkan yang indah di malam tahun baru ini di kampungku.
3 komentar:
Wah karyanya mas andri kece :) blognya juga simple .suka keren..
kerenmas, apalagi musiknya bikin betah baca postingannya mas andri
Ya terima kasih mbak Pembenci Senja dan mbak Reiza Kusuma Dewi. Selamat berselancar di blog saya :)
Posting Komentar