Membunuh
Simbah
Apa
jadinya bila kematian itu adalah suatu yang dipaksakan oleh seseorang? Lalu
bagaimana dengan takdir?
BABAK
SATU
Simbah Andjani duduk
termenung meratapi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sesekali batuk
mengiringi aliran air mata yang jatuh menetes ke balutan jarit penutup bagian
bawah tumbuh simbah. Sesekali punggung menghentakkan ke arah sandaran kursi
agar dapat bergerak lalu bergoyang. Suara radio telah mengganggunya.
(
Sebuah ruangan dengan sebuah kursi goyang dan sampingnya terdapat meja bulat.
Di atas meja bulat yang sudah lengkap dengan taplak motif bunga terdapat sebuah
radio kuno dan juga sebuah gelas berisikan kopi. Di kursi goyang duduk seorang
nenek tua dengan pakaian baju kuno dan balutan kain panjang. Rambut dikonde
dengan rapi. Di jari tengah bagian kiri melingkar sebuah akik merah. Suasana
ruang gelap. Lampu sorot merah fokus ke nenek)
Radio
Turunkan Pemimpin,
turunkan pemimpin!! Jangan biarkan dia di atas sana, sedangkan rakyat
menderita. Ganti dia, turunkan dia!!
Jangan sampai kebutuhan
sehari-hari rakyat menjadi begitu sulit untuk didapat. Ayo turunkan dia!!
Turunkan semuanya, jangan mau kita dipermainkan oleh mereka!!
Nenek
(
Mematikan radio )
Apa yang telah terjadi
di akhir-akhir ini. Sekitar yang begitu dingin terhadapku. Lingkungan yang tak
lagi bersahabat. Tubuh ini memang sudah begitu renta, sudah tak bisa berbuat
apa-apa. Menyapu halaman rumah sudah tidak, kaki-kaki ini sudah tak sekuat dulu
lagi. Melipat baju pun tidak, tak akan rapi nanti jadinya. Memasak, siapa yang
sudi memakan masakanku. Itu pun sudah tak akan bisa. Merawat diri, biarlah
mereka yang mengurusku. Itu adalah sebuah balas budi, dan memang aku
memerlukannya. Aku. Yang hanya bisa duduk, makan, berak, mendengarkan radio,
mendengarkan celotehan mereka, menuruti perintah mereka yang mengurusiku.
Tersenyum bila perintah itu lembut dengan khas senyuman, dan tetap tersenyum bila
perintah itu kasar. Tidur, berbaring, lalu mati. Dan kapan yang terakhir ini
akan terjadi. Aku tak tahu.
Mati, apakah sesuatu
yang harus dirindukan? Umurku sudah seabad lebih, dua bulan ke depan umurku
menginjak 121 tahun. Aku yakin mereka sudah begitu repot dan bosan mengurusiku.
Mungkin dalam benak mereka terpikirkan kapan aku akan mati. Itu mungkin, tapi
aku tak berani menanyakannya. Cukup tersenyum ketika pantat ini dibersihkan
oleh mereka, tak berani bertanya. Aku sudah sendiri, walau sudah bersama anak,
cucu dan keluarga lainnya, rasa sepi ini terus saja melapisi tubuhku, bahkan
semakin melebar. Apa aku harus bosan dengan hidup? Sepertinya itu berdosa.
(
Nenek berbicara sendiri ke arah penonton, mencurahkan sebuah kesedihan,
menangis. Sesekali menghentakkan punggungnya ke arah sandaran kursi agar dapat
bergoyang. Kopinya tak dipedulikkan. Suasana sedikit mencekam namun menyedihkan
dengan perkataan nenek. Setelah selesai lampu mati )
BABAK
DUA
Seorang perempuan
separuh baya duduk begitu gelisah pada sebuah ruang tamu. Kegelisahan itu tak
sendiri. Ia ditemani oleh sebuah ketenangan yang tegas oleh gadis muda yang ada
di sisi lain. Gadis begitu tenang, seperti tak ada masalah. Dan apabila ada pun
sepertinya ia bisa menangani.
(
Ruang tamu dengan satu meja dan dua kursi. Satu kursi panjang menghadap ke arah
penonton dan kursi lainnya sedikit serong ke arah penonton. Pada meja terdapat
secangkir kopi dan juga setoples makanan kecil. Di bagian yang lain terdapat
asbak yang sudah hampir penuh dengan putung rokok beserta abunya. Di belakang
bagian samping terdapat sebuah pintu utama. Suasana sedikit menegangkan namun
tak begitu ramai. Kursi panjang diduduki oleh perempuan separuh baya. Kursi
kecil diduduki oleh gadis. Lampu sorot berwarna kuning cerah fokus ke arah set
kursi )
Retno
Sudahlah tak usah
engkau pikirkan lagi bu. Aku tahu bagaimana yang engkau rasakan saat ini.
Engkau sudah bosan dan begitu repot kan merawat simbah Andjani? Namun di sisi
lain itu orang yang melahirkanmu. Pastinya kau tak berani mengakhiri hidupnya. ( Retno duduk sesekali menghadap ke arah
ibunya, sedikt tenang dengan senyuman, ia mulai menenangkan ibunya )
Ibu
Lantas apa yang harus
ibu lakukan nak. Memang aku sudah begitu bosan merawat simbahmu itu. Namun
bagaimana lagi dia ibuku, durhaka bila aku menyakitinya. Lagian sudah berapa
kali kakakmu melakukan berbagai cara untuk mengakhiri hidup simbah, namun
selalu gagal. Ketika seperti itu aku bimbang. Aku harus berpihak pada yang
mana? (Ibu bimbang, cemas juga takut.
Kaki-kakinya merapat, tangannya menggosok-gosokkan paha )
Retno
Itu bu kesalahanmu, kau
selalu bingung untuk berpihak pada yang mana. Kau ingin kan simbah cepat mati,
namun sebenarnya kau takut dosa bila kematian itu dibuat oleh anakmu sendiri
dan kau tetap membiarkannya, seolah-olah kau tak tahu dengan semua itu. Kau tak
ingin ikut campur dengan urusan kakak. Namun kau selalu berharap agar misi
kakak membunuh simbah itu berhasil, seperti itu bukan? Hah!! ( Senyum retno sudah menghilang berganti
dengan sebuah ketegasan, sesekali bangkit dari tempat duduknya lalu duduk kembali
)
Ibu
Aku bingung nak,
bingung. Sebenarnya aku tak ingin semua itu terjadi, namun bagaimana lagi? ( Ibu semakin takut, matanya sudah
berkaca-kaca, duduknya sudah tak lagi tenang )
Retno
Bagaimana lagi bu? Ha
bagaimana? Engkau lelah merawatnya? Biar aku bu, biar aku bu yang merawatnya.
Bila kakak juga tak sudi merawatnya, ada aku bu. Tenang. Tak usah menyentuhnnya
bila kau tak menginginkannya. Cukup aku.
Ibu
Bila kau tahu nak,
konon nenek itu diciptakan dalam sebuah tradisi yang begitu melegenda pada
jamannya. Upacara itu begitu magis. Tak ada nafsu yang melatarbelakangi
penciptaanya, namun sebuah tuntutan karena tradisi. Dan kau tahu apa yang
dihasilkan? Dalam tubuh nenek ada sesuatu yang menjadikannya ia begitu kuat
dalam hidup, dan mungkin hidupnya masih akan lama lagi. ( Air mata ibu sudah mengalir bebas menyusuri permukaan pipi,
perkataanya lebih tenang )
Retno
Bu, tahun kapan ini? Ibu
masih begitu percaya dengan hal begitu rupanya. Dosa bu, berdosa!! Itu hanya
mitos dan aku tak percaya dengan hal itu. Bila nenek masih hidup, itu semua
takdir bu.
(
Tiba-tiba pintu utama terbuka, muncul sesosok lelaki bertubuh kurus tinggi
dengan tas gendong besar menempel di tubuhnya, ibu dan Retno kaget olehnya )
Larung
Cukup, cukup, cukup.
Cukup dengan perbincangan kosong ini. Aku membawa oleh-oleh untukmu ibu dan
untuk simbah pastinya. Hahaha ( Dengan
omongan yang begitu besar, tas punggungnya lalu diletakkan di lantai.
Kemudian mengambil sesuatu yang ada di
dalam tas. Kantong kain berisi cupu digenggamnya erat-erat )
Ibu
Apa yang kau bawa nak?
Larung
Cupu-cupu lucu. Sesuatu
yang membuat engkau hidup bebas ibu. Tak ada lagi sesuatu keriput menyibukkanmu
setelah ini. hahaha ( Omongannya sedikit
berlagu, nada bangga )
Retno
Jangan nekat kak, tak
usahlah seperti itu. Kak kumohon, kasihan simbah. ( Retno bangkit dari tempat duduknya )
Larung
Apa? Kau tak kasihan
pada diriku? Pergi berbulan-bulan dari rumah hanya untuk mencari cupu-cupu
mungil ini. Pergi ke pelosok-pelosok desa, hutan, menyeberangi sungai, masuk
gua. Hanya bermodalkan sebuah nyawa. Melawan hal-hal mistis yang ada di sana.
Lihat kaki ini ( Menunjuk kaki kiri yang
berbalut kain, memperlihatkan ke ibu dan juga Retno ). Ini hasilnya, semua
ini hanya untuk kalian. Membebaskan kalian dari kesibukan merawat tetua itu.
Kau tahu cupu-cupu ini
lebih kuat dari tajamnya pisau, obat celeng, jarum, paku, panah, pistol, racun
makanan. Dan inilah yang akan mengakhiri hidupnya, hahaha!! ( Memamerkan sekantong cupu kepada Retno dan
ibu, ke arah penonton )
Retno
Bu cegah dia bu, itu
hal yang tak baik. Berdosa. ( Mulai panik
)
Larung
Cukup bu, jangan
halangi aku. Dan kau Retno, adikku tercinta, janganlah sekali-kali memutuskan
langkahku. Ini demi dirimu juga!! Dasar anak tak tahu diuntung. ( Berbicara dengan nada marah, lalu
meninggalkan ruangan ke arah pintu utama )
Retno
Kak!! Tunggu, belum
selesai.
(Ibu
menangis, tertunduk. Retno kemudian diam dan duduk kembali. Suasana kembali
sunyi. Sinar lampu gelap )
BABAK
TIGA
Cupu-cupu
yang lucu. Siaplah engkau tenang
Dalam
sebuah barisan. Menuju kematian
Nada:
lagu anak” – kupu-kupu yang Lucu-
Dua minggu kemudian.
Malam hari. Tanpa sepengetahuan Ibu dan Retno, Larung masuk ke kamar simbah
Andjani. Hendak membunuh dengan cara meletakkan cupu-cupu di atas perut simbah
dengan formasi satu barisan. Menurut ilmu yang telah ia dapat, apabila
cupu-cupu itu dapat menjadi sebuah barisan dengan sempurna, maka cupu-cupu itu
akan mengalahkan segalanya. Ia lebih baik dari benda-benda pengantar kematian
lainnya, seperti benda tajam, racun dan sebagainya. Mungkin ini cara yang
terakhir Larung membunuh neneknya setelah beberapa kali gagal. Dengan langkah
yang pelan ia memulai misinya.
(
Dalam sebuah ruangan kamar. Terdapat sebuah ranjang lengkap dengan bantal dan
selimut. Diatasnya seorang nenek terbaring tidur pulas. Di atas ranjang terdapat
sebuah lampu mengantung panjang, satu meter dari tempat nenek terbaring.
Suasana sedikit menegangkan, gelap. Cahaya hanya dari lampu gantung ditambah
sedikit penerangan berwarna merah. Di sisi kanan kiri panggung sedikit terdapat
asap. Instrumen sedikit menambah ketegangan )
Larung
Inilah malam terakhirmu
simbah jelita. Cupu-cupu mungil ini akan mengantarmu ke alam yang berbeda dari
ini. Tak usah kau repot-repot makan, mandi, berak, mendengarkan para demonstran
di radio, minum. Cukup hanya tidur, hahaha
Cupu-cupu
yang lucu. Siaplah engkau tenang
Dalam
sebuah barisan. Menuju kematian
(
Larung menghadap ke arah nenek, menghadap ke penonton. Sembari mengeluarkan
cupu-cupu di kantong, ia juga bernyanyi pelan. Sedikit tertawa )
Larung
Satu. Dua. Tiga. Tak
usah membuka bajumu, jikalau ia aku bakalan muntah, bau tubuhmu tak enak.
Begini saja sudah bereaksi. Sebentar lagi ajal akan menghampirimu, menerobos
kain bajumu lalu masuk ke dalam tubuhmu. Hhaha. Emp... Sial jatuh. Huhhh ( Larung meletakkan cupu-cupu itu di atas
perut nenek menjadi satu barisan, namun pada cupu yang ke empat ia gagal.
Seketika ia kaget, melihat nenek terbangun, kemudian ia menunduk bersembunyi
lalu mencari cupu yang jatuh )
Nenek
(
Nenek terbangun dengan mata melotot, lalu kepalanya menengok ke arah kiri, ke
arah penonton. Kemudian tertidur lagi, ia tidak menjatuhkan cupu-cupu yang
telah dipasang cucunya )
Larung
Sial malah bangun.
Tidur nek, tidurlah, sebentar lagi tidurmu selamanya. Hahaha. Oke tiga lagi.
Empat. Lima. Enam ( Sambil mengumpat ia
kembali meletakkan tiga cupu terakhir di perut nenek, dan berhasil. Nafasnya
lega )
Nenek
(
Beberapa saat kemudian, tubuh nenek bergetar hebat, cupu-cupu yang berada di
atas perutnya jatuh ke lantai )
Larung
(
Takut. Lalu mundur ke arah belakang menjauhi ranjang nenek, melihat sekeliling
panggung)
Nenek
Sialan kau Larung. Jadi
semua ini ulahmu. Huhh huhh. Dasar cupu-cupu gila, jahanam kalian. Huhhhhh ( Seketika nenek terbangun, matanya melotot,
berkata-kata buruk pada Larung dan juga para cupu. Napasnya memburu, sekujur
tubuhnya masih bergetar hebat. Desahan akhir napasnya menandakan bahwa dirinya
telah tiada. Ia mati )
(
Suasana panggung begitu mencekam. Cahaya seolah-olah berganti, gelap-terang,
gelap- terang. Asap semakin banyak menuju ke fokus nenek dan juga Larung.
Larung masih di bagian belakang, dan nenek tertidur kembali )
(
Simbah Andjani mati )
Larung
Hahaha, akhirnya aku
bebass!!! ( Ia menuju ke arah panggung
bagian depan membelakangi ranjang, suaranya menggelegar )
(
Suasana panggung menjadi tegang, lalu seketika cahaya menjadi gelap )
Adaptasi
dari novel karya Ayu Utami “ Larung” dengan sedikit perubahan.
Sumber: Novel "Larung" karya Ayu Utami
0 komentar:
Posting Komentar