Recent Posts

Senin, 12 Januari 2015

Naskah Drama Andri Romdhoni



Membunuh Simbah

Apa jadinya bila kematian itu adalah suatu yang dipaksakan oleh seseorang? Lalu bagaimana dengan takdir?

BABAK SATU
Simbah Andjani duduk termenung meratapi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sesekali batuk mengiringi aliran air mata yang jatuh menetes ke balutan jarit penutup bagian bawah tumbuh simbah. Sesekali punggung menghentakkan ke arah sandaran kursi agar dapat bergerak lalu bergoyang. Suara radio telah mengganggunya.

( Sebuah ruangan dengan sebuah kursi goyang dan sampingnya terdapat meja bulat. Di atas meja bulat yang sudah lengkap dengan taplak motif bunga terdapat sebuah radio kuno dan juga sebuah gelas berisikan kopi. Di kursi goyang duduk seorang nenek tua dengan pakaian baju kuno dan balutan kain panjang. Rambut dikonde dengan rapi. Di jari tengah bagian kiri melingkar sebuah akik merah. Suasana ruang gelap. Lampu sorot merah fokus ke nenek)

Radio
Turunkan Pemimpin, turunkan pemimpin!! Jangan biarkan dia di atas sana, sedangkan rakyat menderita. Ganti dia, turunkan dia!!
Jangan sampai kebutuhan sehari-hari rakyat menjadi begitu sulit untuk didapat. Ayo turunkan dia!! Turunkan semuanya, jangan mau kita dipermainkan oleh mereka!!
 Nenek
( Mematikan radio )
Apa yang telah terjadi di akhir-akhir ini. Sekitar yang begitu dingin terhadapku. Lingkungan yang tak lagi bersahabat. Tubuh ini memang sudah begitu renta, sudah tak bisa berbuat apa-apa. Menyapu halaman rumah sudah tidak, kaki-kaki ini sudah tak sekuat dulu lagi. Melipat baju pun tidak, tak akan rapi nanti jadinya. Memasak, siapa yang sudi memakan masakanku. Itu pun sudah tak akan bisa. Merawat diri, biarlah mereka yang mengurusku. Itu adalah sebuah balas budi, dan memang aku memerlukannya. Aku. Yang hanya bisa duduk, makan, berak, mendengarkan radio, mendengarkan celotehan mereka, menuruti perintah mereka yang mengurusiku. Tersenyum bila perintah itu lembut dengan khas senyuman, dan tetap tersenyum bila perintah itu kasar. Tidur, berbaring, lalu mati. Dan kapan yang terakhir ini akan terjadi. Aku tak tahu.
Mati, apakah sesuatu yang harus dirindukan? Umurku sudah seabad lebih, dua bulan ke depan umurku menginjak 121 tahun. Aku yakin mereka sudah begitu repot dan bosan mengurusiku. Mungkin dalam benak mereka terpikirkan kapan aku akan mati. Itu mungkin, tapi aku tak berani menanyakannya. Cukup tersenyum ketika pantat ini dibersihkan oleh mereka, tak berani bertanya. Aku sudah sendiri, walau sudah bersama anak, cucu dan keluarga lainnya, rasa sepi ini terus saja melapisi tubuhku, bahkan semakin melebar. Apa aku harus bosan dengan hidup? Sepertinya itu berdosa.
( Nenek berbicara sendiri ke arah penonton, mencurahkan sebuah kesedihan, menangis. Sesekali menghentakkan punggungnya ke arah sandaran kursi agar dapat bergoyang. Kopinya tak dipedulikkan. Suasana sedikit mencekam namun menyedihkan dengan perkataan nenek. Setelah selesai lampu mati )

BABAK DUA
Seorang perempuan separuh baya duduk begitu gelisah pada sebuah ruang tamu. Kegelisahan itu tak sendiri. Ia ditemani oleh sebuah ketenangan yang tegas oleh gadis muda yang ada di sisi lain. Gadis begitu tenang, seperti tak ada masalah. Dan apabila ada pun sepertinya ia bisa menangani.
( Ruang tamu dengan satu meja dan dua kursi. Satu kursi panjang menghadap ke arah penonton dan kursi lainnya sedikit serong ke arah penonton. Pada meja terdapat secangkir kopi dan juga setoples makanan kecil. Di bagian yang lain terdapat asbak yang sudah hampir penuh dengan putung rokok beserta abunya. Di belakang bagian samping terdapat sebuah pintu utama. Suasana sedikit menegangkan namun tak begitu ramai. Kursi panjang diduduki oleh perempuan separuh baya. Kursi kecil diduduki oleh gadis. Lampu sorot berwarna kuning cerah fokus ke arah set kursi )

Retno
Sudahlah tak usah engkau pikirkan lagi bu. Aku tahu bagaimana yang engkau rasakan saat ini. Engkau sudah bosan dan begitu repot kan merawat simbah Andjani? Namun di sisi lain itu orang yang melahirkanmu. Pastinya kau tak berani mengakhiri hidupnya. ( Retno duduk sesekali menghadap ke arah ibunya, sedikt tenang dengan senyuman, ia mulai menenangkan ibunya )

Ibu
Lantas apa yang harus ibu lakukan nak. Memang aku sudah begitu bosan merawat simbahmu itu. Namun bagaimana lagi dia ibuku, durhaka bila aku menyakitinya. Lagian sudah berapa kali kakakmu melakukan berbagai cara untuk mengakhiri hidup simbah, namun selalu gagal. Ketika seperti itu aku bimbang. Aku harus berpihak pada yang mana? (Ibu bimbang, cemas juga takut. Kaki-kakinya merapat, tangannya menggosok-gosokkan paha )
Retno
Itu bu kesalahanmu, kau selalu bingung untuk berpihak pada yang mana. Kau ingin kan simbah cepat mati, namun sebenarnya kau takut dosa bila kematian itu dibuat oleh anakmu sendiri dan kau tetap membiarkannya, seolah-olah kau tak tahu dengan semua itu. Kau tak ingin ikut campur dengan urusan kakak. Namun kau selalu berharap agar misi kakak membunuh simbah itu berhasil, seperti itu bukan? Hah!! ( Senyum retno sudah menghilang berganti dengan sebuah ketegasan, sesekali bangkit dari tempat duduknya lalu duduk kembali )
Ibu
Aku bingung nak, bingung. Sebenarnya aku tak ingin semua itu terjadi, namun bagaimana lagi? ( Ibu semakin takut, matanya sudah berkaca-kaca, duduknya sudah tak lagi tenang )
Retno
Bagaimana lagi bu? Ha bagaimana? Engkau lelah merawatnya? Biar aku bu, biar aku bu yang merawatnya. Bila kakak juga tak sudi merawatnya, ada aku bu. Tenang. Tak usah menyentuhnnya bila kau tak menginginkannya. Cukup aku.
Ibu
Bila kau tahu nak, konon nenek itu diciptakan dalam sebuah tradisi yang begitu melegenda pada jamannya. Upacara itu begitu magis. Tak ada nafsu yang melatarbelakangi penciptaanya, namun sebuah tuntutan karena tradisi. Dan kau tahu apa yang dihasilkan? Dalam tubuh nenek ada sesuatu yang menjadikannya ia begitu kuat dalam hidup, dan mungkin hidupnya masih akan lama lagi. ( Air mata ibu sudah mengalir bebas menyusuri permukaan pipi, perkataanya lebih tenang )
Retno
Bu, tahun kapan ini? Ibu masih begitu percaya dengan hal begitu rupanya. Dosa bu, berdosa!! Itu hanya mitos dan aku tak percaya dengan hal itu. Bila nenek masih hidup, itu semua takdir bu.

( Tiba-tiba pintu utama terbuka, muncul sesosok lelaki bertubuh kurus tinggi dengan tas gendong besar menempel di tubuhnya, ibu dan Retno kaget olehnya )
Larung
Cukup, cukup, cukup. Cukup dengan perbincangan kosong ini. Aku membawa oleh-oleh untukmu ibu dan untuk simbah pastinya. Hahaha ( Dengan omongan yang begitu besar, tas punggungnya lalu diletakkan di lantai. Kemudian  mengambil sesuatu yang ada di dalam tas. Kantong kain berisi cupu digenggamnya erat-erat )
Ibu
Apa yang kau bawa nak?
Larung
Cupu-cupu lucu. Sesuatu yang membuat engkau hidup bebas ibu. Tak ada lagi sesuatu keriput menyibukkanmu setelah ini. hahaha ( Omongannya sedikit berlagu, nada bangga )
Retno
Jangan nekat kak, tak usahlah seperti itu. Kak kumohon, kasihan simbah. ( Retno bangkit dari tempat duduknya )
Larung
Apa? Kau tak kasihan pada diriku? Pergi berbulan-bulan dari rumah hanya untuk mencari cupu-cupu mungil ini. Pergi ke pelosok-pelosok desa, hutan, menyeberangi sungai, masuk gua. Hanya bermodalkan sebuah nyawa. Melawan hal-hal mistis yang ada di sana. Lihat kaki ini ( Menunjuk kaki kiri yang berbalut kain, memperlihatkan ke ibu dan juga Retno ). Ini hasilnya, semua ini hanya untuk kalian. Membebaskan kalian dari kesibukan merawat tetua itu.
Kau tahu cupu-cupu ini lebih kuat dari tajamnya pisau, obat celeng, jarum, paku, panah, pistol, racun makanan. Dan inilah yang akan mengakhiri hidupnya, hahaha!! ( Memamerkan sekantong cupu kepada Retno dan ibu, ke arah penonton )
Retno
Bu cegah dia bu, itu hal yang tak baik. Berdosa. ( Mulai panik )
Larung
Cukup bu, jangan halangi aku. Dan kau Retno, adikku tercinta, janganlah sekali-kali memutuskan langkahku. Ini demi dirimu juga!! Dasar anak tak tahu diuntung. ( Berbicara dengan nada marah, lalu meninggalkan ruangan ke arah pintu utama )

Retno
Kak!! Tunggu, belum selesai.

(Ibu menangis, tertunduk. Retno kemudian diam dan duduk kembali. Suasana kembali sunyi. Sinar lampu gelap )

BABAK TIGA
Cupu-cupu yang lucu. Siaplah engkau tenang
Dalam sebuah barisan. Menuju kematian
Nada: lagu anak” – kupu-kupu yang Lucu-

Dua minggu kemudian. Malam hari. Tanpa sepengetahuan Ibu dan Retno, Larung masuk ke kamar simbah Andjani. Hendak membunuh dengan cara meletakkan cupu-cupu di atas perut simbah dengan formasi satu barisan. Menurut ilmu yang telah ia dapat, apabila cupu-cupu itu dapat menjadi sebuah barisan dengan sempurna, maka cupu-cupu itu akan mengalahkan segalanya. Ia lebih baik dari benda-benda pengantar kematian lainnya, seperti benda tajam, racun dan sebagainya. Mungkin ini cara yang terakhir Larung membunuh neneknya setelah beberapa kali gagal. Dengan langkah yang pelan ia memulai misinya.
( Dalam sebuah ruangan kamar. Terdapat sebuah ranjang lengkap dengan bantal dan selimut. Diatasnya seorang nenek terbaring tidur pulas. Di atas ranjang terdapat sebuah lampu mengantung panjang, satu meter dari tempat nenek terbaring. Suasana sedikit menegangkan, gelap. Cahaya hanya dari lampu gantung ditambah sedikit penerangan berwarna merah. Di sisi kanan kiri panggung sedikit terdapat asap. Instrumen sedikit menambah ketegangan )
Larung
Inilah malam terakhirmu simbah jelita. Cupu-cupu mungil ini akan mengantarmu ke alam yang berbeda dari ini. Tak usah kau repot-repot makan, mandi, berak, mendengarkan para demonstran di radio, minum. Cukup hanya tidur, hahaha
Cupu-cupu yang lucu. Siaplah engkau tenang
Dalam sebuah barisan. Menuju kematian
( Larung menghadap ke arah nenek, menghadap ke penonton. Sembari mengeluarkan cupu-cupu di kantong, ia juga bernyanyi pelan. Sedikit tertawa )
Larung
Satu. Dua. Tiga. Tak usah membuka bajumu, jikalau ia aku bakalan muntah, bau tubuhmu tak enak. Begini saja sudah bereaksi. Sebentar lagi ajal akan menghampirimu, menerobos kain bajumu lalu masuk ke dalam tubuhmu. Hhaha. Emp... Sial jatuh. Huhhh ( Larung meletakkan cupu-cupu itu di atas perut nenek menjadi satu barisan, namun pada cupu yang ke empat ia gagal. Seketika ia kaget, melihat nenek terbangun, kemudian ia menunduk bersembunyi lalu mencari cupu yang jatuh )
Nenek
( Nenek terbangun dengan mata melotot, lalu kepalanya menengok ke arah kiri, ke arah penonton. Kemudian tertidur lagi, ia tidak menjatuhkan cupu-cupu yang telah dipasang cucunya )
Larung
Sial malah bangun. Tidur nek, tidurlah, sebentar lagi tidurmu selamanya. Hahaha. Oke tiga lagi. Empat. Lima. Enam ( Sambil mengumpat ia kembali meletakkan tiga cupu terakhir di perut nenek, dan berhasil. Nafasnya lega )
Nenek
( Beberapa saat kemudian, tubuh nenek bergetar hebat, cupu-cupu yang berada di atas perutnya jatuh ke lantai )
Larung
( Takut. Lalu mundur ke arah belakang menjauhi ranjang nenek, melihat sekeliling panggung)
Nenek
Sialan kau Larung. Jadi semua ini ulahmu. Huhh huhh. Dasar cupu-cupu gila, jahanam kalian. Huhhhhh ( Seketika nenek terbangun, matanya melotot, berkata-kata buruk pada Larung dan juga para cupu. Napasnya memburu, sekujur tubuhnya masih bergetar hebat. Desahan akhir napasnya menandakan bahwa dirinya telah tiada. Ia mati )

( Suasana panggung begitu mencekam. Cahaya seolah-olah berganti, gelap-terang, gelap- terang. Asap semakin banyak menuju ke fokus nenek dan juga Larung. Larung masih di bagian belakang, dan nenek tertidur kembali )

( Simbah Andjani mati )
 Larung
Hahaha, akhirnya aku bebass!!! ( Ia menuju ke arah panggung bagian depan membelakangi ranjang, suaranya menggelegar )
( Suasana panggung menjadi tegang, lalu seketika cahaya menjadi gelap )

Adaptasi dari novel karya Ayu Utami “ Larung” dengan sedikit perubahan.
Sumber: Novel "Larung" karya Ayu Utami

0 komentar:

Posting Komentar