Recent Posts

Selasa, 09 Desember 2014

Kiat-kiat Membaca



KIAT-KIAT MEMBACA

Kiat membaca dapat disinonimkan dengan retorika membaca. Retorika pada awalnya diberi pengertian sebagai studi mengenai seni berpidato (oratoria). Dalam perkembangannya, retorika diberi pengertian sebagai istilah yang diberikan kepada suatu kiat pemakaian bahasa sebagai seni berpidato yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Retorika sebagai seni berpidato mulai menurun peranannya setelah ditemukannya mesin cetak. Peran retorika menjadi bergeser pada seni penggunaan bahasa secara tulis sehingga pengertian retorika menjadi meluas sebagai suatu kiat pemakaian bahasa sebagai seni, baik secara lisan maupun tulis, yang didasarkan atas pengetahuan yang tersusun baik untuk mencapai tujuan tertentu.

Supaya pemakaian bahasa dapat dilakukan secara efektif dan efisien, retorika tidak hanya diperlukan oleh pembicara dan penulis, namun dibutuhkan juga oleh penyimak dan pembaca. Dalam membaca, pembaca dituntut mempunyai kiat atau seni membaca agar dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Apabila tujuan menulis adalah menyampaikan gagasan atau informasi, tujuan membaca adalah menerima gagasan atau informasi. Informasi disampaikan oleh penulis dengan kiat agar gagasan dapat diterima oleh pembaca. Pembaca dalam menerima informasi yang disampaikan penulis perlu kiat juga supaya ia dapat menerima informasi sesuai apa yang ditulis oleh penulis. Untuk itu, cakupan retorika perlu diperluas lagi yang tidak mencakup kiat berbicara dan menulis, tetapi juga kiat menyimak dan membaca.
Membaca merupakan salah satu cakupan retorika. Seperti hanya pada cakupan yang lain (berbicara dan menulis), membaca memerlukan dasar pengetahuan yang tersusun baik yang telah dimiliki dan kemahiran yang telah dikuasai. Dalam membaca, pembaca dituntut dapat menggunakan kedua dasar yang telah dimiliki dan dikuasai secara benar dan tepat agar dapat membaca secara efektif dan efisien. Untuk keperluan itu, pembaca harus mempunyai kiat membaca. Kiat yang dimaksud bagaimana pembaca memilih dan menggunakan model, metode, dan teknik membaca secara tepat dan benar.



Model Membaca
         Tujuan utama membaca adalah mendapatkan informasi. Untuk mencapai tujuan itu, pembaca perlu memakai sistem atau cara kerja dalam membaca. Sistem kerja yang dipakai mencakup cara kerja fisik dan psikis. Gabungan kedua cara kerja tersebut merupakan proses dalam membaca karena membaca dimulai dari proses visual dan diakhiri proses psikis. Sistem kerja, baik fisik maupun psikis, dalam memahami atau menafsirkan bacaan dinamakan model membaca.
          Dalam sejarah perkembangan studi membaca, munculnya model membaca dilatarbelakangi oleh pendekatan. Pendekatan yang melatarbelakanginya adalah pendekatan taksonomik, psikologis, proses informasi, psikomotorik, dan linguistik. Berdasarkan pendekatan tersebut, muncullah berbagai model membaca yang diciptakan oleh para ahli. Dari berbagai model yang muncul dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu Model Membaca Bawah Atas (MMAB), Model Membaca Atas Bawah (MMAB), dan Model Membaca Timbal-balik (MMTB).\


Model Membaca Atas Bawah ( MMAB )
Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks. Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan. Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan. Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis mengenai makna. Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam proses membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa.
Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai "permainan menebak dalam psikolinguistik", berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka. Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut. Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat viasual menangkap lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata, jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya. Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari sistem isyarat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik atau grafo fonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik samping yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya.
Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi pengoreksian yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model "membaca sebagai terjemahan", para ahli MMAB berpendapat bahwa pembaca yang terampil selalu melangkah langsung dari kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran. Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler (koakakata) atau sintaksis yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini disebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap bacaannya itu. Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka pada pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan.
Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioral (hubungan huruf- bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategi-strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegiatan membaca dengan model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat megalami kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa. Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi dengan jalan melakukan prediksi (prakiraan). Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang. Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini. "Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same time".
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab "tidak"? Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan bekal dasar yang lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi wacana yang bagaimana pun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall (1989) dan Goodman (1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu sebagai "psycholinguistic guessing game". Kemampuan memahami bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah yang disebut Smith (1986) sebagai informasi nonvisual.
Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui informasi visual dan informasi nonvisual. Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, dibelakang matanya. Informasi visual dan informasi nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal-balik antara kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak informasi nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam kegiatan membaca, maka kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang, semakin banyaklah informasi visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan siap pembaca sebelumnya, semakin berkuranglah hal-hal yang harus dicari dan ditemukannya dalam bacaan.
Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi bacaan yang sulit, pembaca tidak dapat mengurangi kecepatan bacanya dan mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu ada bottleneck.  Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat tebatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui mata
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala sesuatu yang ada di depan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat langsung. Kita melihat sesuatu, seketika itu pula penglihatan kita terarah kepada sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan bertanggung jawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas-berkas cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan, kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah "memandang" atas perintah otak. Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, sering kali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan "memprediksi", kegiatan memperkirakan. Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan pandangan MMAB.
Dengan kata lain, persepsi visual itu meliputi keputusan-keputusan yang terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di sebrang lapangan, otaklah yang menentukan bahwa yang kita lihat itu adalah seekor kuda. Kita pun akan melihat kuda meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh seseorang dengan tulisan seperti yang tertera di bawah ini
Jika pada MMBA struktur dalam teks (bacaan) sebagai unsur primer dan pengetahuan sebagai unsur sekunder, MMAB berpandangan yang sebaliknya, yaitu pengetahuan merupakan unsur primer dan struktur bacaan merupakan unsur sekunder. Pembaca hanya melihat stimulus yang berupa isyarat simbol grafis seperlunya saja, selebihnya pembaca menggunakan isyarat kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa yang telah dimilikinya. Karena kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa berada di otak pembaca dan otak pembaca berada di atas bacaan, model membaca ini disebut model membaca atas bawah.
MMAB dapat dibagankan berikut ini. MMAB dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks.
Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.
Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca.
Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis mengenai makna.
Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah memiliki perbendaharaan kata dan konsep-konsep yang semakin kaya. Strategi-strategi untuk membuat perkiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan umtuk mengantisipasi apa yang tampak berikutnya di dalam materi cetak yang sedang dibaca.

Proses membaca adalah sebagai berikut
1.      Otak pembaca mengendalikan mata untuk melihat (membaca) lambang-lambang grafis seperlunya saja sesuai yang dibutuhkan.
2.      Rangsangan yang berupa lambang-lambang grafis yang telah dipilih diteruskan oleh syaraf mata ke otak.
3.      Pembaca memberi penafsiran (pemahaman) dari bacaan yang dibaca berdasarkan kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa yang dimilikinya.
Model membaca sangat berkaitan dengan proses membaca. Studi yang sintesis tentang proses membaca dimulai sejak tahun 1880-an. Pada waktu itu proses membaca merupakan pusat perhatian para ahli psikologi eksperimental. Di antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an perhatian para ahli diarahkan pada definisi dan penjelasan tentang membaca. Semenjak tahun 1970-an tumbul model-model dan teori membaca yang bertitik tolak dari pandangan ahli psikologi perkembangan dan psikologi kognitif, proses informasi, psikolinguistik dan linguistik.
Inti dari model membaca atas bawahadalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
Pada MMBA struktur-struktur yang ada di dalam teks itu dianggap sebagai unsure yang memainkan peran utama.Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder.Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder.
Tokoh yang menjadi perintis MMAB adalah Goodman, Smith, Shuy, dan Nutall.Pandangan mereka diilhami dari teori psikolinguistik, yaitu pandangan tentang adanya interaksi antara pikiran dan bahasa.Goodman dan Nutall menggambarkan bahwa membaca merupakan kegiatan psycholinguistic quessing game (permainan menebak dalam psycholinguistik). Maksudnya adalah bahwa membaca merupakan proses yang mencakup penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihan dilakukan pembaca dengan menggunakan kemampuan memperkirakan atau menerka.Pada waktu informasi diproses dalam benak pembaca terjadi keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau menyempurnakan masukan yang diterima.Informasi grafis hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika mata menangkap lambagn-lambang tertulis. Kata-kata atau unsur bacaan yang lain tidak dapat diserap oleh daerah pandangan mata jika tidak sesuai dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Smith berpendapat bahwa mamahami sebuah bacaan merupakan proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Pembaca dapat memahami sebuah bacaan dengan jalan memanfaatkan informasi visual dan nonvisual.Informasi visual diperoleh dari lambang-lambang grafis, sedangkan informasi nonvisual diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki pembaca.Kemampuan memahami sebuah bacaan dilukiskan tidak hanya sebagai kemampuan mengambil dan memilih makna bacaan dari lambang-lambang grafis, namun juga kemampuan menyusun konteks yang ada guna membentuk makna. Hal tersebut berarti dalam proses membaca dibutuhkan peran skema atau skemata. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi andil terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seorang pembaca.
Tokoh psikolinguistik yang lain adalah Shuy. Ia berpendapat bahwa proses hubungan antara huruf dan bunyi (behavioral) terjadi pada pembaca pemula. Setelah pembaca sering melakukan kegiatan membaca, dia semakin meningkatkan proses behavioral dan beralih pada strategi kognitif. Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang diperlukan setelah pembaca mahir, informasi grafis yang diperlukan semakin berkurang tingkat keperluannya karena pembaca sudah mempunyai teknik sampling (memilih) yang baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik, dan telah memiliki perbendaharaan konsep yang lebih banyak.
Pembaca yang sudah terampil dalam membaca akan selalu melangkah langsung menghubungkan kata-kata yang dibaca ke makna tanpa melakukan identifikasi kata-kata yang dibaca secara cermat. Tranformasi dalam bidang vokabuler (kosa kata) atau sintaksis yang tidak mengubah makna dipandang sebagai hal yang dapat diterima.Hal itu terjadi karena pembaca sudah mempunyai pemahaman terhadap bacaan yang dibacanya.
Dengan menggunakan MMAB, pembaca membuat prediksi (prakiraan) terhadap bacaan yang dibacanya. Pembaca hanya melihat beberapa bagian dari bacaan  (kata kunci, bagian yang penting, dan atau kalimat pokok), kemudian pembaca memprediksi pemahaman atau informasi secara menyeluruh yang terdapat pada bacaan. Dengan menggunakan syarat semantik dan sintaksis, pembaca memahami bacaan dan mengantisipasi yang akan ada pada bagian bacaan selanjutnya ketepatan prakiraan dibuat dengan menggunakan stategi konfirmasi. Jika prediksi kurang cermat, pembaca menggunakan strategi konfirmasi. Jika prediksi kurang cermat, pembaca menggunakan strategi koreksi  yang di dalamnya terjadi pemprosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Tugas mata dalam MMAB hanyalah sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf merambat melalui jutaan serabut syaraf optik yang kemudian diteruskan ke otak pembaca. Otak menginterpretasikan apa yang diterimanya ke dalam bentuk pesan, lisan, berita, dan atau informasi dengan memanfaatkan informasi visual.
Informasi visual akan langsung hilang bersamaan dengan beralihnya pandangan mata ke bagian yang lainnya. Informasi yang dapat bertahan lama di dalam pikiran atau otak pembaca adalah informasi nonvisual.Informasi visual dan nonvisual dibutuhkan dalam kegiatan membaca.Keduanya saling berhubungan secara timbal balik, walaupun hubungannya tidak dapat digunakan secara jelas atau tidak dapat dijelaskan secara kongkrit. Secara umum, hubungan keduanya dapat dikatakan bahwa semakin banyak informasi nonvisual yang dimiliki dan digunakan pembaca pada waktu membaca maka kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki dan digunakan pembaca sewaktu membaca, kebutuhan akan informasi visual semakin bertambah. Hubungan antara informasi nonvisual dan visual dapat dibagankan berikut ini.

Hubungan antara informasi visual dan nonvisual dalam proses membaca.
1.      Pembaca membutuhkan informasi visual sedikit atau seperlunya saja (ditandai oleh anak panah 1a) karena pembaca telah memiliki dan menggunakan informasi nonvisual yang banyak (ditandai oleh anak panah 1b).
2.      Pembaca membutuhkan informasi visual banyak (ditandai oleh anak panah 2a) sebab pembaca memiliki dan menggunakan informasi nonvisual yang terbatas atau sedikit (ditandai oleh anak panah 2b).
3.      Hubungan antara informasi visual dan nonvisual secara timbal balik dan bersifat abstrak (ditandai anak panah 3).
Dalam model membaca yang menunjukkan gerak dari atas ke bawah  ini, atau membaca dari belakang, dikenal istilah tunnel vision, yakni peristiwa penyempitan pandangan. Jika sewaktu membaca, seseorang hanya dapat menggunakan dan memanfaatkan sebagian kecil saja informasi nonvisual, maka materi cetak yang dapat dilihatnyapun sedikit pula. Jika pembaca tidak dapat menggunakan informasi nonvisual itu sepenuhnya, maka penglihatannya akan sangat terbatas. Penglihatan yang sangat terbatas itu disebut tunnel vision.Tunnel vision bukanlah penyakit mata.Hal ini bisa terjadi, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.Gangguan tunnel vision (TV) ini pun tidak hanya terjadi pada kegiatan membaca, pada saat orang sedang membaca.Tunnel vision TV terjadi pada setiap situasi, yakni manakala otak dipaksa untuk memproses bahan dalam bentuk informasi yang nonvisual.
Kendala yang dihadapi oleh pembaca yang menggunakan MMAB adalah adanya peristiwa penyempitan pandangan sewaktu membaca atau tunnel vision (TV).Hal itu terjadi jika pembaca hanya dapat menggunakan sebagian kecil informasi nonvisual yang dimilikinya sehingga lambang grafis yang dapat dilihat hanya sedikit.Pembaca tidak dapat memanfaatkan informasi nonvisual yang dimilikinya secara penuh sehingga mengakibatkan penglihatan terbatas (TV). TV bisa terjadi pada siswa-siswa maupun orang dewasa dan terjadi tidak hanya pada proses membaca, tetapi pada proses lainnya. Gangguan TV muncul jika otak dipaksa memproses bahan dalam bentuk informasi yang nonvisual.
Gangguan TV pasti terjadi pada pembaca yang mengalami hal-hal berikut ini.
1.      Pembaca membaca bacaan yang tidak bermakna baginya.
Bacaan tidak bermakna adalah bacaan yang sulit dipahami atau belum dikenal pembaca. Bacaan yang seperti itu akan menyulitkan pembaca memanfaatkan informasi nonvisual secara penuh. Pembaca kesulitan atau bahkan tidak dapat membuat prakiraan dari bacaan yang dibacanya sehingga pembaca mengalami gangguan TV.
2.      Pembaca yang mempunyai kebiasaan yang jelek dalam membaca.
Kebiasaan jelek yang dimaksud adalah membaca terlalu lambat.Hal tersebut karena pembaca tidak mau membaca dengan melaju dari bagian ke bagian unsur bacaan berikutnya.Pembaca seperti itu biasanya mencoba membaca secara cermat kata demi kata yang ada dalam bacaan dan mengulang-ulang bagian bacaan yang sudah dibaca dengan tujuan untuk mengingat hal-hal yang kecil atau informasi yang tidak pokok. Walaupun demikian, kebiasaan jelek dalam membaca justru yang biasanya digunakan dalam pembelajaran membaca karena guru menganggap bahwa membaca secara lambat akan membuat siswa terampil dalam membaca, yaitu bisa memahami secara menyeluruh informasi yang ada pada bacaan. Anggapan tersebut kurang benar karena sistem visual akan tertimbun oleh informasi visual akibat membaca secara lambat.
3.      Pembaca enggan menggunakan informasi nonvisual.
Keengganan pembaca disebabkan oleh dua hal, yaitu pembaca takut salah dan pembaca mengalami kecemasan.Pembaca yang memanfaatkan informasi nonvisual memang mempunyai resiko, yaitu pembaca kemungkinan mengalami kekeliruan dalam memaknai atau menafsirkan bacaan yang dibaca.Sebenarnya, pembaca tidak perlu merasa khawatir jika sudah menggunakan informasi nonvisual dengan benar sehingga pembaca dapat menghindari kekeliruan dalam menafsirkan.
Dalam mempersepsi, kekeliruan merupakan sesuatu yang bisa dimaklumi apa lagi untuk pembaca yang baru taraf latihan. Ketakutan melakukan kekeliruan dalam menafsirkan bacaan akan mengakibatkan pembaca tidak dapat membaca secara efisien sebab pembaca akan menggunakan informasi visual yang lebih banyak atau secara penuh sehingga waktu membaca lebih lama.
Keengganan bisa saja disebabkan oleh kecemasan.Kecemasan merupakan sesuatu yang berpengaruh sangat besar terhadap keengganan menggunakan informasi nonvisual.Dalam situasi apapun, termasuk membaca, kecemasan dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Pembaca yang cemas akan memerlukan banyak informasi visual sebelum memutuskan untuk menafsirkan bacaan sehingga pembaca akan mengalami TV dan akan mengganggu pemahaman terhadap bacaan yang dibacanya.
Dalam pembelajaran membaca, gangguan TV harus diatasi.Gangguan TV dapat diatasi apabila penyebab terjadinya TV diketahui dengan jelas. Siswa yang mengalami TV karena materi bacaannya terlalu sulit atau belum dikenal maka siswa dicarikan bacaan yang sesuai dengan tingkat baca siswa .Jika gangguan TV disebabkan siswa tidak punya latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang memadai tentang isi bacaan yang dibaca, guru memberikan pengetahuan tentang hal yang berhubungan dengan bacannya sebelum kegiatan membaca dilakukan.Caranya adalah dengan memberi tugas siswa untuk membaca buku, surat kabar, majalah, dan yang lainnya yang isinya relevan dengan bacaan yang akan dibaca. Disamping itu, siswa dapat diminta untuk mendengarkan ceramah, menonton film, karya wisata, dan lain-lainnya yang cocok dengan bacaan yang akan dibaca siswa. Keterampilan membaca tidak semata-mata akan baik dengan memberi tugas yang terus-menerus jika tugas yang diberikan tidak sesuai dan terlalu sukar atau terlalu mudah.
Siswa yang mengalami gangguan TV karena kebiasaan membaca yang jelek maka siswa tersebut dikondisikan atau diminta berlatih membaca dengan cepat.Siswa harus diyakinkan bahwa membaca lambat bisa menyelubungi makna bacaan. Informasi-informasi yang ada dalam bacaan akan saling timbun atau tumpang tindih. Banyak pembaca melambatkan dalam membaca karena mereka takut tidak dapat memahami bacaan. Dengan membaca cepat, informasi yang ada pada bacaan akan terkuasai dengan baik. Dari berbagai penelitain yang dilakukan oleh para ahli membuktikan bahwa membaca cepat akan menghasilkan membaca yang efisien dan mempermudah dalam memahami isi bacaan.
Siswa yang mengalami gangguan TV karena perasaan takut yang menghinggapi perasaannya maka siswa itu harus diberi keyakinan bahwa membuat kesalahan tidak perlu ditakuti.Hal tersebut sesuai pepatah “tidak salah, tidak belajar”.Banyak orang yang berhasil karena belajar dari kesalahannya yang sesuai dengan pepatah “Pengalaman, termasuk pengalaman salah, merupakan guru yang baik”. Siswa harus membebaskan diri dari perasaan was-was dan ragu-ragu yang menggangu pikirannya sewaktu membaca. Siswa yang takut membuat kesalahan tidak akan dapat belajar, termasuk dalam kegiatan membaca.
Kendala Model Membaca Atas Bawah
a)      Pembaca membaca bacaan yang tidak bermakna baginya.
b)      Pembaca yang mempunyai kebiasaan jelek dalam membaca.
c)      Pembaca enggan menggunakan informasi visual.
d)     Keengganan bisa saj disebabkan oleh kecemasan.

Model Membaca Bawah Atas ( MMBA )
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) atau bottom-upmerupakan model membaca yang bertitik tolak dari pandangan bahwa yang mempunyai peran penting (primer) dalam kegiatan atau proses membaca adalah struktur bacaan, sedangkanstruktur pengetahuan yang dimiliki (di dalam otak) pembaca mempunyai peransampingan (sekunder). Pembaca bergantung sekali pada bacaan. Dalam bacaan, pembaca melakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis sehingga mata pembaca selalu menatap bacaan. Hasil penyandian kembali dikirim ke otak melalui syaraf visual yang ada di mata untuk dipahami. Karena sistem atau cara kerja berawal dan bergantung pada baaan yang berada di bawah dan baru dikirimkan ke otak yang berada di atas, sistem membaca seperti itu dinamakan model membaca bawah atas.
Tokoh yang menjadi pencetus MMBA adalah Flesch, Gagne, Gough, Fries, La Burge, dan Samuel.Tokoh-tokoh tersebut berlatar belakang dari disiplin ilmu yang berbeda-beda.Flesch berasal dari disiplin ilmu jurnalistik, Gagne dari bidang ilmu psikologi, Gough dan Fries dari bidang informasi. Flesch, Gagne, dan Gough mempunyai pendapat yang sama tentang membaca, yaitu bahwa membaca pada hakikatnya adalah menterjemahkan lambang grafik ke dalam lambang lisan sehingga bahasa tulis tunduk kepada aturan bahasa lisan. Maksudnya adalah pembaca mentransfer kembali simbol-simbol yang berbentuk tulisan ke dalam bentuk bahasa lisan, itu tidak punya makna apa-apa.
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) atau bottom-up merupakan model membaca yang bertitik tolak dari pandangan bahwa yang mempunyai peran penting (primer) dalam kegiatan atau proses membaca adalah struktur bacaan, sedangkan struktur pengetahuan yang dimiliki (didalam otak) pembaca mempunyai peran sampingan (sekunder). Pembaca bergantung sekali pada bacaan.Dalam membaca, pembaca melakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis sehingga mata pembaca selalu menatap bacaan.Hasil penyandian kembali dikirim ke otak melalui syaraf visual yang ada dimata untuk dipahami. Karena sistem atau cara kerja berawal dan bergantung pada bacaan yang berada di bawah dan baru dikirimkan ke otak yang berada di atas, sistem membaca seperti itu dinamakan model membaca bawah atas (MMBA).
Apabila di bagankan model membaca bawah atas adalah sebagai berikut:

Berdasarkan bagan tersebut, proses membaca diawali dari bawah, yaitu bacaan.Bacaan merangsang atau menstimulus mata, kemudian pembacamelakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis.Setelah itu, hasil penyandian kembali dikirim ke otak untuk dipahami.
Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal MMBA yang dalam pelaksanaan proses membacanya mengutamakasn struktur yang tampak pada bahan bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model membaca bawah atas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni dari bacaan, bukan dari otak pembacanya.
Dalam MMBA, modal keterampilan yang harus dimiliki pembaca adalah keterampilan mengkontruksikan antara lambang grafis dan bunyi. Hal tersebut dikarenakan tugas pertama dan utama dalam MMBA adalah mendekod lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa sehingga pembaca bersifat relatif pasif. Yang dibutuhkan pembaca adalah keterampilan yang bersifat mekanik. Keterampilan mekanik menurut Tarigan (1990:11) terdiri atas :
1.   pengenalan huruf-huruf,
2.   pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana),
3.   pengenalan tanda baca dan realisasinya dalam melisankannya,
4.   pengenalan hubungan antara pola ejaan dan bunyi bahasa.
MMBA mengilhami ke dalam metode pembelajaran membaca. Metode-metode pembelajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari MMBA antara lain metode alfabet, metode fonik, metode silabus, dan metode kata. Metode alfabet merupakan metode yang tertua.Metode ini digunakan pada waktu zaman kejayaan Yunani dan Romawi. Prinsip pembelajaran yang dianut berdasarkan metode ini adalah huruf yang diajarkan diucapkan sama dengan ucapan alfabetnya. Huruf b diucapkan be, huruf c diucapkan ce, huruf d diucapkan de, dan seterusnya diucapkan secara alfabetis.
Metode fonik hampir sama dengan metode alfabet. Metode fonik digunakan untuk mengatasi pembelajaran dengan metode alfabet.Pengucapan suatu lambang bunyi diikuti dengan kegiatan menghubung-hubungkan bunyi-bunyi tersebut dengan huruf-huruf yang dilambangkannya. Misalnya, menghubungkan ucapan antara bunyi b [be] dan u [u] menjadi bu [bu] yang ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi siswa dan siswa yang baru membaca (pembaca pemula).Hal itulah yang melatarbelakangi munculnya metode fonik. Huruf konsonan tidak diucapkan secara alfabetis, tetapi secara fon (bunyi). Huruf g tidak diucapkan ge [ge], tetapi diucapkan eg [eg]. Hurug j diucapkan ej [ej], huruf k diucapkan ek [ek], dan seterusnya. Prinsip yang dianut oleh metode fonik adalah setiap lambang grafis (huruf) diucapkan menjadi bunyi (fon).
Metode silabus merupakan metode membaca yang merangkaikan huruf dengan huruf membentuk suku kata (silabus).Metode ini merupakan pengembangan dari metode fonik. Untuk itu, prinsip yang dipakai adalah sama, yaitu membaca huruf menjadi bunyi yang dibaca tidak lagi huruf demi huruf, tetapi rangkaian huruf-huruf, misalnya :
1.      bunyieb dan i dibaca bi,
2.      bunyieb dan u dibaca bu,
3.      bunyieb dan o dibaca bo.
Metode kata merupakan metode membaca merangkaikan suku kata dengan suku kata atau huruf dengan huruf membentuk kata. Disamping proses merangkai suku kata menjadi kata, pembaca juga melakukan proses pemahaman atas kata-kata yang dibacanya.
Keempat metode pembelajaran itu diterapkan atau digunakan dalam membaca permulaan. Pembaca pemula melakukan proses membaca dimulai dari mengenal dan mengidentifikasi lambang-lambang grafis dalam bacaan. Melalui alat visual (mata), pembaca menarik lambang-lambang grafis yang dilihatnya ke dalam memorinya (otaknya) untuk ditafsirkan atau dipahami dalam bentuk ingatan.Oleh karena prosesnya seperti itu (dari bawah ke atas), metode-metode pembelajaran tersebut menganut MMBA.
MMBA mempunyai keterbatasan.Keterbatasan pertama adalah MMBA sangat bergantung kepada peran mata. Jika seorang pembaca menaruh harapan pada kerja mata yang dominan akan berdampak tidak baik terhadap keberhasilan membaca. Semakin berharap pada kerja mata, semakin sulitlah mata mampu melihat lambang-lambang grafis. Pembaca yang terlalu memforsir perhatiannya terhadap bacaan yang ada di depan matanya terus-menerus dapat mengalami kebutaan sementara. Pembaca tidak dapat melihat (membaca) halaman yang dibaca dalam jangka waktu tertentu.Halaman tersebut tampak kosong tidak ada tulisannya apa-apa. Hal itu disebabkan kerja mata ada batasnya sehingga kalau kerja mata diforsir akan mengalami kewalahan dan akhirnya bleng. Disamping itu, mata tidak dapat (tidak mampu) melihat huruf-huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang.
Keterbatasan kedua adalah MMBA hanya cocok untuk bacaan yang belum dikenal atau sulit. Pembaca akan membaca dengan teliti atau cermat bacaan yang berisi hal-hal atau informasi yang baru dan belum diketahuinya atau bacaanya sulit. Jika tidak demikian, pembaca tidak akan bisa memahami bacaan yang dibacanya. Umumnya, pemahaman yang diinginkan pembaca dengan model ini adalah memahami atau menangkap semua informasi atau fakta yang ada pada bacaan yang dibaca, baik yang pokok maupun yang detailnya.Pembaca membaca secara intensif.Dalam kenyataannya, tidak semua bacaan yang dibaca pembaca itu sulit atau belum dikenal.Ada bacaan yang isinya tidak mengandung informasi yang baru bagi pembaca.Pembaca sudah mengetahui seluruhnya atau sebagian isi bacaan yang dibaca sehingga membaca tidak perlu membaca secara teliti.Pembaca bisa saja membaca secara sepintas (skimming) hanya untuk memastikan informasi yang ada dalam bacaan sudah diketahuinya. Untuk itu, pembaca tidak perlu menggunakan model MMBA, tetapi model membaca yang lain, yaitu MMAB.
Keterbatasan ketiga adalah MMBA memerlukan waktu baca yang relatif lama karena pembaca menelusuri semua unsur bacaan dari awal sampai akhir bacaan.Pembaca harus membaca semua kata yang ada dalam bacaan mulai kata pertama sampai kata terakhir.Padahal seorang pembaca bisa saja membaca dalam waktu yang relatif cepat.Caranya adalah membaca unsur-unsur bacaan tertentu saja, tidak perlu membaca seluruh unsur bacaan.Misalnya, pembaca hanya membaca kata kunci, kalimat pokok, hal-hal yang penting.Dalam membaca, mata melakukan lompatan-lompatan dari kata kunci, kalimat pokok atau hal-hal yang penting ke kata kunci, kalimat pokok atau hal-hal yang penting berikutnya.
Untuk mengatasi keterbatasan MMBA, ahli lain menawarkan model membaca atas bawah (MMAB).
MMBA mempunyai beberapa keterbatasan dalam penerapannya.
Selanjutnya, MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekod dan enkod. Dekod ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita.Enkod ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang.Peristiwa decoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa komunikasi tulis).Sementara kegiatan encoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis).
Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu.Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekod dalam bahasa batin.Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak. Jika lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk mengidentifikasikan dan mencari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: jurnalistik (Fleseh), psikologi (Gagne), dan teori proses informasi (Gough) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan.
Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekod lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi.Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan.
Lambang-lambang grafis pada dasarnya tidak punya makna apa-apa.Pembaca tidak memperoleh makna dari simbol-simbol grafis yang dibaca, tetapi pembaca memberikan makna atas simbol-simbol grafis yang dibaca.Contohnya adalah jika pembaca melihat sebuah titik pada kertas, titik tersebut tidak bermakna.Titik tersebut bermakna jika diberi tafsir pembaca.Titik yang berada di akhir deretan kata-kata yang berbentuk klausa maka titik tersebut berarti atau bermakna sebuah tanda berhenti. Jika titik tersebut berada di dalam peta, dimaknai sebagai letak sebuah kota. Dalam sandi morse, titik itu diberi interpretasi sebagai lambang huruf. Dalam bahasa Yunani, titik tersebut sebagai tanda atau simbol vokal. Jika tidak diberi interpretasi, titik
MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam, proses membaca.Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa.Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai “permainan menebak" dalam psikuistik, berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca.Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka.Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut.Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat visual menangkap lambang-olinglambang cetak.Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyarat semantik, sintaksis, dan grafik.Isyarat grafik atau grafofonemik diturunkan dari materi cetak.Isyarat-isyarat lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya.Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik sampling yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya. Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi konfirmasi.Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi mengoreksi yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model “membaca sebagai terjemahan”, para ahli MMAB berpendapat bahawa pembaca yang terampil selalu melangkah dari kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran.Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler atau sintaksis yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima.Hal ini desebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap bacaannya itu.
Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka ada pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan. Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioural (hubungan huruf-bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategi-strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegitan membaca dengan model ini.Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat mengalami kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa.Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi degan jalan melakukan prediksi. Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang.
Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup.Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.
“Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same time”
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab “tidak”? Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan  bekal dasar lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi wacana yang bagaimanapun bentuknya.Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall (1989) dan Goodman (1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu sebagai psycholinguistic guessing game. Kemampuan memahami bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah yang disebut Smith (1989) sebagai informasi nonvisual. Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui informasi visual dan informasi nonvisual.
Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang.Informasi nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, di belakang matanya.Informasi visual dan informasi nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal balik antara kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya.Untuk mengatasi bacaan yang sulit, pembaca dapat mengurangi kecepatan bacanya dan mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu ada bottleneck.Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar berikut.Gambar ini memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat menampung informasi dari informasi visual yang tampak dalam materi cetak. 
Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat terbatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui mata.
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala sesuatu yang ada didepan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang dengan mata terbuka.Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat langsung; kita melihat sesuatu seketika penglihatan kita terarah kepada sesuatu itu.Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan bertanggungjawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke dalam otak.Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan, kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah “memandang” atas perintah otak.
Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, seringkali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan “memprediksi”, kegiatan memperkirakan.Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah.Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan pandangan MMAB.
Pada MMBA struktur-struktur yang ada di dalam teks itu dianggap sebagai unsur yang memainkan peran utama.Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder.Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder.
Selanjutnya, MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekod dan enkod. Dekod ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita.Enkod ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang.Peristiwa decoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa komunikasi tulis).Sementara kegiatan encoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis).
Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu.Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekod dalam bahasa batin.Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak. Jika lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk mengidentifikasikan dan mencari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: jurnalistik (Fleseh), psikologi (Gagne), dan teori proses informasi (Gough) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan.
Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-satunya dalam proses membaca bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekod lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu.
Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi.Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan.
Pada MMBA struktur-struktur yang ada dalam teks itu di anggap sebagai unsur yang memainkan peran utama. Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peranan utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder. MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekode dan enkode. Dekode ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Enkode ialah kegiatan mengubah berita menjadi lambang-lambang. Peristiwa dekoding tampak pada pihak penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca.
Sementara kegiatan enkoding terjadi pada para pembicara (untuk peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis). Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap kata-kata yang diejanya itu. Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekode dalam bahasa batin. Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti yang terjadi pada waktu menyimak.
Jika kita lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Informasi dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk diidentifikasi dan dincari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai bidang profesi, seperti: Flesch (jurnalistik , Gagne (psikologi), dan Gough (teori proses informasi) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu tunduk kepada aturan bahasa lisan. Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satusatunya dalam proses membaca model bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama dan utama dalam membaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya dengan isi bacaan.
Definisi-definisi membaca yang dibuat oleh Rudolf Flesch dan C.C. Fries yang tertera di bawah ini menunjukkan model membaca bawah-atas. Fries (1962), mendefinisikan membaca sebagai kegiatan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan merespon seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang grafis.
Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu melahirkan metode-metode pengajaran membaca tertentu. Para guru membaca akan memilih metode-metode pengajaran tertentu sesuai dengan pandangan teoretis yang dianutnya. Inilah yang oleh Wardaugh disebut sebagai pandangan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap teori tertentu yang dianutnya. Metode-metode pengajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari pandangan MMBA antara lain, metode Alfabet, metode Fonik, metode Kata Kunci, metode Silabik, dan sebagainya. Metode Alfabet merupakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca denagn Metode Alfabet. Dalam Metode ini, huruf-huruf yang akan diajarkan itu diucapkan sama dengan ucapan alfabetisnya. Dengan demikian huruf "D" diucapkan /de/; huruf "K" diucapkan /ka/, huruf "L" diucapkan /el/; huruf "M" diucapkan /em/ dan selanjutnya.
Menghubungkan ucapan "k" /ka/ dan "i" /i/ menjadi "ki" /ki/ ternyata merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca. Itulah sebabnya dalam metode Fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti ucapan Alfabet. Huruf "K" tidak diucapkan /ka/, tetapi /kh/atau /ek/; huruf "D" tidak diucapkan /de/. tetapi /dh/ atau /ed/. Demikian seterusnya, setiap lambang diucapkan berdasarkan bunyinya, berdasarkan bagaimana bunyi itu seharusnya diucapkan.
Langkah metode Fonik ini serupa benar dengan metode Alfabet dalam pengajaran membaca permulaan. Pengucapan suatu lambang bunyi tertentu diikuti oleh kegiatan menghubungkan bunyi itu dengan huruf-huruf yang melambanginya. Dengan demikian, para pemula melakukan proses belajar membaca permulaannya dimulai dari pengenalan dan pengidentfikasian lambang cetak dari teks. Dengan bantuan alat visualnya, para pembaca pemula akan menarik lambang-lambang yang dilihatnya ke dalam memori untuk ditafsirkan (dalam hal ini: diingat-ingat). Oleh karena itu, metode-metode pengajaran tersebut digolongkan ke dalam metode yang menganut pandangan MMBA dalam proses membaca.
Salah seorang tokoh MMBA, Gough (1972) mencoba menunjukkan proses membaca itu dalam sebuah model berurut-lanjut, tidak interaktif. Menurut pendapatnya, proses tersebut meliputi urutan-urutan seperti berikut ini.
1.      Informasi grafemik diserap melalui sistem visual dan disimpan secara singkat di dalam "ikon".
2.      Pesan tersebut dikilas dan diolah di dalam perlengkapan pengenal pola yang dapat mengenali huruf-huruf.
3.      Huruf-huruf ini kemudian dikirim ke pencatat huruf yang menahan huruf-huruf itu, sementara pendekod mengubah huruf-huruf tersebut menjadi gambaran fonem.
4.      Gambaran fonem ini masuk ke dalam "librarian" yang mencarikan leksikon, dan mencocokkan untaian fonemik dengan entri yang sudah ada dalam leksikon.
5.      Untaian leksikal yang dihasilkan oleh librarian itu masuk ke dalam memori pertama.
6.      Memori pertama itu dapat menangkap satuan leksikal itu sampai lima buah, dan hal ini merupakan masukan bagi "merlin".
7.      Merlin menggunakan pengetahuannya tentang sintaksis dan sematik untuk menentukan "struktur dalam" atau mungkin makna masukan itu.
8.      Akhirnya, struktur dalam atau pernyataan-pernyataan tentang makna itu masuk ke dalam "Tempat Tujuan Kalimat-kalimat (TTKSMD), setelah maknanya dipahami.
Dengan demikian, kegiatan membaca itu selesai setelah semua masukan teks itu dapatmelewati sederetan transformasi dan mencapai TTKSMD.

Model Membaca Timbal Balik ( MMTB )
Tokoh yang mencanangkan MMTB adalah Teoris Rumelhart pada tahun 1977. Di pandang dari metode pembelajaran, model Rumelhart mempunyai keunggulan. Keunggulan yang pertama adalah model tersebut sudah membaur dengan berbagai strategi pembelajaran yang telah menunjukkan keberhasilannya. Keunggulan yang kedua adalah model Rumelhart sangat cocok digunakan untuk pembelajaran membaca pada tingkat sekolah menengah, baik menengah pertama (SMP) maupun menengah atas (SMA).Munculnya MMTB disebabkan MMBA dan MMAB tidak memuaskan. Kedua model itu berpedoman pada pandangan formalisme yang menganggap bahwa membaca merupakan proses yang dilaksanakan secara linier. Sifat dari kedua model itu adalah berurut berlanjut, yaitu bahwa membaca merupakan proses melihat dari awal sampai akhir, dari bagian pertama, ke bagian kedua, ke bagian ke tiga, dan seterusnya. Padahal, proses membaca tidaklah seperti itu.Hal tersebut bergantung pada bacaan yang dibaca dan pengetahuan pembaca.Sebuah bacaan kadangkala ada bagian yang sudah dikenal, mudah atau tidak pokok dan ada bagian yang belum dikenal, sulit atau pokok.Untuk itu, pembaca tidak bisa menerapkan salah satu model membaca yang sudah ada, yaitu MMBA atau MMAB.Pengetahuan pembaca pada setiap bagian bacaan juga kadangkala berbeda.Ada bagian bacaan yang sudah sesuai dengan pengetahuan pembaca dan ada yang belum sesuai dengan pengetahuan sehingga pembaca tidak bisa menerapkan MMBA atau MMAB saja. Oleh karena itu, pembaca dituntun tidak hanya memakai salah satu model membaca tersebut, tetapi mengkombinasikan kedua model tersebut dalam proses membaca. Sistem atau cara kerja membaca seperti itu dinamakan MMTB.
MMTB merupakan cara kerja pembaca yang berlangsung secara simultan. Membaca tidak lagi merupakan proses yang linier dan berurut-berlanjut, melainkan proses timbal balik yang bersifat simultan. Pembaca menggunanakan MMBA dan MMAB secara bergantian.Suatu saat MMBA yang berperan dan suatu saat MMAB yang berperan.Penganut paham MMTB percaya bahwa pemahaman itu bergantung pada informasi grafis (informasi visual) dan informasi nonvisual (informasi yang sudah dimiliki oleh pembaca).Disamping itu, proses MMTB dimulai dari peringkat yang lebih tinggi, yaitu mulai dengan semantik atau makna.Pada peringkat ini bank data bekerja secara simultan.Pengetahuan  yang telah dimiliki pembaca yang meliputi sintaksis, semantik, ortografis, dan leksikon bekerja secara serempak untuk memahami (mentransfer) informasi yang disampaikan penulis.
Model Membaca Timbal Balik (MMTB) merupakan model membaca yang menggunakan sisten kerja MMBA dan MMAB secara serentak dalam membaca sebuah bacaan. Dalam model ini, proses membaca berlangsung secara simultan. Membaca tidak lagi berlangsung secara linier dan berurut-berlanjut, tetapi timbal balik. MMBA dan MMAB digunakan secara bergantian karena penganut paham MMTB percaya bahwa proses membaca bergantung pada proses penyandian simbol-simbol grafis oleh mata dan proses penggunaan kompetensi kognitif dan bahasa yang telah dimiliki oleh pembaca.
Pembaca menggunakan MMAB dan MMBA secara bergantian. Pemahaman itu bergantung pada informasi grafis dan informasi non visual.Munculnya MMTB disebabkan MMBA dan MMAB tidak memuaskan. Kedua model itu berpedoman pada pandangan formalismeang menganggap bahwa membaca merupakan proses yang dilaksanakan secara linear. Sifat dari kedua model itu adalah berurut berlanjut, yaitu bahwa membaca merupakan proses melihat dari awal sampai akhir, dari bagian pertama kebagian kedua dan seterusnya. Padahal, proses membaca tidaklah seperti itu.Hal tersebut bergantung pada bacaan yang dibaca dan pengetahuan pembaca.Sebuah bacaan kadang kala ada bagian yang sudah dikenal, mudah atau tidak pokok dan ada bagian yang belum dikenal, sulit atau pokok.Untuk itu, pembaca tidak bisa menerapkan salah satu model membaca yang sudah ada, yaitu MMBA dan MMAB. Oleh karena itu, pembaca dituntun tidak hanya memakai salah satu model membaca tersebut, tetapi mengkombinasikan kedua model tersebut dalam proses membaca. Sistem atau cara membaca seperti itu dinamakan MMTB.
Penganut MMTB percaya bahwa pemahaman itu bergantung pada informasi grafis (informasi visual), dan informasi nonvisual (informasi yang sudah dimiliki oleh pembaca).
Munculnya MMTB disebabkan MMBA dan MMAB tidak memuaskan. Kedua model itu berpedoman pada pandangan formalisme yang menganggap bahwa membaca merupakan proses yang dilaksanakan secara linier. Sifat dari kedua model itu adalah berurut berlanjut, yaitu bahwa membaca merupakan proses melihat dari awal sampai akhir, dari bagian pertama, ke bagian kedua, ke bagian ke tiga, dan seterusnya. Padahal, proses membaca tidaklah seperti itu.Hal tersebut bergantung pada bacaan yang dibaca dan pengetahuan pembaca.Sebuah bacaan kadangkala ada bagian yang sudah dikenal, mudah atau tidak pokok dan ada bagian yang belum dikenal, sulit atau pokok.Untuk itu, pembaca tidak bisa menerapkan salah satu model membaca yang sudah ada, yaitu MMBA atau MMAB.Pengetahuan pembaca pada setiap bagian bacaan juga kadangkala berbeda.Ada bagian bacaan yang sudah sesuai dengan pengetahuan pembaca dan ada yang belum sesuai dengan pengetahuan sehingga pembaca tidak bisa menerapkan MMBA atau MMAB saja. Oleh karena itu, pembaca dituntun tidak hanya memakai salah satu model membaca tersebut, tetapi mengkombinasikan kedua model tersebut dalam proses membaca. Sistem atau cara kerja membaca seperti itu dinamakan MMTB.
Model Membaca Timbal-Balik (MMTB) dicanangkan oleh teoris Rumelhart (1977).Rumeljart mereaksi dua model membaca yang telah kita singgung di muka.Dia beranggapan bahwa model-model yang terdahulu itu tidak memuaskan, karena pada umumnya model-model tersebut bertitik tolak pada pandangan formalisme model-model perhitungan yang linear.Model-model itu mempunyai sifat-sifat berurut-berlanjut, tidak interaktif.
MMTB melukiskan MMBA dan MMAB berlangsung simultan pada pembaca yang mahir. Artinya, proses membaca tidak lagi menunjukkan suatu proses yang bersifat linier, tidak menjukkan proses yang berturut-berlanjut, melainkan suatu proses timbal balik yang bersifat simultan. Pada suatu saat MMBA berperan dan pada saat lain justru MMAB yang berperan. Para penganut paham MMTB percaya bahwa pemahaman itu tergantung pada informasi grafis atau informasi visual dan informasi nonvisual atau informasi yang sudah tersedia dalam pikiran pembaca. Oleh karenanya, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk memahami bacaan yang dibacanya tidak bisa digunakan, baik disebabkan pembaca lupa akan informasi tersebut atau mungkin juga karena skemanya terganggu.
Paradigma yang diajukan Rumelhart untuk melukiskan proses membaca itu berlainan dengan paradigma-paradigma yang pernah ada sebelumnya. Dalam kompultasi paralel selalu terjadi interaksi di antra proses-proses yang berlangsung berkelanjutan dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan.Rumelhart mengajukan pendapat yang menyatakan bahwa membaca sebagai kegiatan yang meliputi berbagai tipe pemrosesan informasi dan unit-unit pemrosesan itu bersifat sangat interaktif dan berlanjut.Dengan menggunakan formalisme yang dikembangkan dengan komputer, Rumelhart dapat menjelaskan secara tepat aspek-aspek membaca yang bersifat parallel dan yang bersifat interaktif.Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rumelhart itu sudah dijelaskan oleh para ahli yang terdahulu.Akan tetapi, penjelasan yang disampaikan para pendahulunya tidak mencapai tingkat kejelasan seperti yang dijelaskan oleh Rumelhart.
Keuntungan bagi siswa jika menggunakan model ini, yaitu siswa dapat membaca fleksibel, siswa tidak cemas kehilangan kosa kata, dan siswa dapat belajar secara efektif. Fleksibilitas membaca dapat dilihat pada kemampuan mengatur kecepatan tempo membaca sesuai dengan sifat, manfaat, tujuan kebutuhan, dan relevansi bacaan yang dibaca.
Latihan membaca akan dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemahiran membaca dan siswa dapat menemukan sendiri strategi yang paling cocok untuk dirinya dalam membaca.
MMTB sukar dilukiskan dalam diagram dua dimensi. Dalam gambar yang berikut ini penyimpan informasi visual (PIV) mencatat informasi grafis.PIV itu disentuh oleh alat penyadap ciri (APC).Ciri-ciri yang disadap itu digunakan sebagai masukan untuk pemadu pola (PP).
PP merupakan komponen yang utama dalam model ini.Ke dalamnya bisa masuk informasi sensoris, informasi tentang kemungkinan-kemungkinan sintaksis, semantik, leksikal, dan struktur ortografis tentang berbagai untaian huruf.PP membuat keputusan berdasarkan informasi-informasi yang masuk ke dalamnya itu.

Model yang dilukiskan dalam diagram di atas, menunjukkan adanya pengaruh berbgai tahapan (grafik, semantic, dan sebagainya) terhadap kegiatan membaca dalam bentuk interaktif. Yang tidak dijelaskan dalam proses tersebut ialah bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pemikiran ahli lain, seperti Goodman dan Ruddel.Yang tidak ada di dalam model itu ialah gambaran tentang kerja pemandu polanya sendiri.
Pengembangan gambaran proses membaca yang dibuat oleh Rumelhart merupakan sumbangan utama terhadap model-model membaca. Rumelhart menampilkan suatu model membaca yang menunjukkan komponen-komponen sensori, semantik, sintaksis, dan pragmatik yang diperoleh dalam bentuk interaktif untuk memperoleh pemahaman tentang bahasa tulis. Berbagai jenis informasi masuk ke dalam pusat berita; berbagai hipotesis dirumuskan, kemudian disetujui, ditentukan, dikukuhkan atau ditolak oleh sumber informasi yang layak.Hipotesis baru digeneralisasikan hingga pada akhirnya tercapailai hipotesis yang paling layak.Interaksi antara hipotesis dan sumber informasi dapat ditandai secara matematis dalam model probabilitas.Dengan demikian, membaca itu dipandang sebagai formulasi hopotesis, pengujian probabilitas dengan menggunakan serangkaian sumber informasi, dan akhirnya dibuatlah keputusan tentang hipotesis yang terbaik yang diterima sebagai makna.
Rumelhat telah melengkapi kita dengan pengetahuan tentang sebuah model yang cukup canggih. Dengan menggunakan model tersebut kita dapat mengatasi masalah yang berkenaan dengan proses kebahasaan seperti yang tampak pada perilaku pola membaca. Model ini mempunyai ciri yang esensial yang menjelaskan betapa proses kebahasaan peringkat yang lebih tinggi (semantik dan makna) mempermudah proses kebahasaan peringkat rendah (huruf, kata), dan betapa penguasaan atas peringkat yang lebih tinggi itu mempermudah penguasaan atas peringkat yang lebih rendah.
Model membaca yang dikemukakan oleh Rumelhart itu mengingatkan pembaca agar informasi yang dimilikinya (meskipun jumlahnya sangat terbatas) dapat dimanfaatkan pada saat melakukan kegiatan membaca.Dilihat dari bidang pengajaran, hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan besar bagi guru untuk menolong para siswanya menjadi pembaca yang fleksibel, ialah pembaca yang mampu mengatur kecepatan tempo bacanya sesuai dengan sifat, manfaat, tujuan, kebutuhan dan relevansi dari materi bacaan tersebut.Pembaca harus dialihkan perhatiannya dari struktur lahir bahasa (kata, huruf, kalimat, dan sebagainya) ke struktur batin, ke bagian yang menghendaki prakiraan.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memprakirakan dan menemukan makna bacaan itu ialah strategi pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan bahasa yang dimilikinya serta informasi pragmatik yang telah dimilikinya dalam proses menyimak dan berbicara. Guru dituntut untuk mengembangkan strategi yang mendorong siswa supaya bersikap aktif-kognitif agar dapat menjadi pembaca yang mahir.
Yang dapat kita lakukan sebagai guru adalah menciptakan lingkungan yang kondusif, yang mendorong menumbuhkan minat baca yang positif.Perlu diutamakan keyakinan bahwa dalam hal ini bukanlah kehadiran guru dalam lingkungan itu yang pertama dan utama, melainkan kehadiran siswa itu sendiri. Kemampuan membaca akan meningkat hanya dengan jalan melakukan kegiatan membaca itu sendiri. Melakukan aktifitas baca sama dengan berlatih membaca. Latihan tersebut akan mendorong mereka meningkatkan kemampuan membaca serta menemukan sendiri strategi yang paling tepat untuk dirinya dalam menghadapi bacaan.
Dalam praktek pengajaran membaca, hal tersebut menunjukkan kita pada berbagai konsep dan pandangan tentang berbagai metode pengajaran membaca.Kiranya kita perlu meninggalkan berbagai asumsi yang pernah menguasai metode pengajaran pada masa-masa silam. Sebagai contoh, guru tidak perlu lagi terlalu memikirkan adanya kebolongan kosakata  yang mungkin belum diketahui siswa. Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut, kemudian guru berpikir bahwa pengajaran membaca tidak mungkin dilakukan.Para guru lebih baik meyakinkan para siswanya bahwa bagaimanapun para siswa tidak perlu berkecil hati dan frustasi dengan bacaan yang sarat dengan kosakata sukar yang tidak dapat dipahaminya.Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan informasi nonvisual. Informasi ini akan membantu siswa untuk merekontruksi makna dari lambang-lambang yang berupa cetakan. Perubahan sikap seperti itu akan membuat mereka percaya diri dan bergantung pada kemampuan sendiri. Hambatan kosakata yang dialaminya akan diatasi sendiri dengan jalan memproses masukan linguistik dan memadukannya dengan aspek kognitif yang dimilikinya. Dengan demikian, para siswa tidak lagi akan bergantung kepada guru atau pun sumber-sumber lainnya yang datang dari luar pada waktu mereka menghadapi masalah-masalah dalam membaca.
Model yang dianjurkan oleh Rumelhart itu mendukung salah satu keyakinan yang secara intuitif telah diterima oleh banyak orang, ialah bahwa pembaca akan lebih merasa terlayani jika kita membekali mereka dengan kesiapan untuk membaca materi yang disajikan kepada mereka. Banyak hal yang bisa dilakukan guru dalam upaya membekali pengetahuan siap mereka. Prosedur-prosedur tersebut dapat berupa kegiatan-kegiatan berikut: diskusi, pertunjukan film, karyawisata, bercerita, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini bermanfaat bagi para siswa dalam upaya membantu mereka untuk menggunakan latar belakang informasi (pengetahuan) yang dimilikinya. Pengetahuan siap ini akan mempermudah proses memahami bacaan dengan lebih layak dan lebih baik.
Cara lama yang masih banyak digunakan para guru ialah pemberian tugas membaca.Pemberian tugas ini kadang-kadang merupakan tugas prasyarat untuk tugas berikutnya berupa diskusi. Tampaknya, meskipun metode pemberian tugas ini tidak terlalu jelek dan merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk membangkitkan motivasi siswa, namun cara ini tampaknya sudah “ketinggalan zaman”. Bagaimanapun hal-hal yang dibawa pembaca tersebut dari proses yang dijalaninya itu. Oleh karena itu, guru boleh berkeyakinan bahwa proses membaca akan berlangsug lebih baik jika prosedur penugasan itu dibalikkan, diskusi dulu, baru kemudian membaca.
Dalam bidang metode pengajaran, model Rumelhart itu dipandang sebagai model yang sudah membaur dengan berbagai strategi pengajaran yang telah menunjukkan keberhasilannya.SQ3R misalnya, memberikan dorongan kepada siswa untuk menyurvai, bertanya dan bertanya, membuat prakiraan, dan membaca untuk menguji hipotesis.Model membaca yang baik harus dapat menjelaskan teori berbagai pendekatan yang baik untuk membaca dan belajar.Model yang baik harus pula memberikan penjelasan terhadap langkah-langkah pengajaran yang baru.
Model Rumelhart berguna sekali untuk pengajaran membaca pada peringkat sekolah menengah, baik sekolah mengengah pertama maupun peringkat di atasnya. Model ini sangat baik untuk mengakrabkan dan mendorong mereka dalam pengujian cara dan strategi membaca yang biasa mereka lakukan sendiri.
Setelah anda mempelajari dengan seksama konsep-konsep MMTB yang diprakarsai Rumelhart, bagaimana pendapat dan komentar anda terhadap prinsip-prinsip yang ada di dalamnya? Ya, mungkin anda tergolong orang yang berpendapat bahwa model Rumelhart itu tidak menarik karena di dalamnya sesungguhnya tidak ada hal-hal yang baru bagi anda. Sebagai guru, anda mungkin sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka yang biasa timbul dalam pikiran anda selagi membaca. Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang muncul selagi kita membaca merupakan cerminan dari proses interaktif dari kerja mata dan kerja kognisi pada saat kita merespon bacaan. Sebagai guru anda pun sudah terbiasa dengan pemberian rangsangan-rangsangan kepada para siswa anda agar mereka membuat prakiraan-prakiraan, hipotesis, antisipasi, klasifikasi, yang memungkinkan mereka untuk berfikir secara divergen.Mungkin, kita telah melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui landas pijaknya. Dengan pengetahuan ini, mudah-mudahan apa yang telah kita lakukan tersebut dapat kita yakini sebagai sebuah kebenaran dan sesuatu yang dapat memberikan manfaat yang lebih baik.
Dalam model Rumelhart, mungkin anda tidak melihat adanya pembicaraan tentang aplikasi. Memang, Rumelhart boleh dikatakan tidak menyinggung masalah aplikasi itu.Dia tidak pula menyinggung masalah pramembaca, yakni suatu kondisi sebelum seseorang sampai pada halaman-halaman bercetak. Dia memulai konsepnya dari halaman bercetak, dan dari situ kemudian bergerak ke depan dengan konsep-konsep interaksi.
MMTB sangat berbeda dengan MMBA seperti yang dikemukakan oleh Gough, La Berge dan Samuel (1974). MMBA bersifat linear dan berjenjang, dimulai dari pemrosesan unit linguistik yang paling kecil, yakni huruf-huruf, kemudian bergerak menuju pemrosesan kelompok huruf, kata-kata, kelompok kata, kalimat, hingga akhirnya sampai ke makna. Sebaliknya MMTB membenarkan proses yang dimulai dari peringkat yang lebih tinggi MMTB mulai dengan semantik atau makna kata. Pada peringkat yang lebih tinggi itu ada bank data yang bekerja secara simultan.Kita memiliki sintaksis, semantik, ortografi, dan leksikon yang bekerja secara serentak, tidak bekerja secara berurutan seperti halnya dalam MMBA.
Kemampuan membaca dapat dikembangkan secara baik melalui pengayaan pengalaman membaca.Siswa perlu sekali membaca materi sebanyak-banyaknya sehingga mereka dapat memahami kata dalam konteks yang berbeda-beda.Guru dapat membantu muridnya mempertinggi dan meningkatkan keterampilannya dalam membaca dengan jalan membimbing mereka untuk terus membaca sebanyak-banyaknya. Yang perlu diperhatikan benar dalam hal ini ialah sikap murid. Guru yang terlalu sering memberi tugas yang berada di luar jangkauan kemampuan muridnya akan membuat siswa terbunuh minat dan motivasinya. Salah satu upaya untuk membangkitkan minat baca siswa ialah dengan jalan menyediakan bahan bacaan yang kira-kira dapat menarik perhatian mereka.
MMTB merupakan cara kerja pembaca yang berlangsung secara simultan. Membaca tidak lagi merupakan proses yang linier dan berurut-berlanjut, melainkan proses timbal balik yang bersifat simultan. Pembaca menggunanakan MMBA dan MMAB secara bergantian. Suatu saat MMBA yang berperan dan suatu saat MMAB yang berperan. Penganut paham MMTB percaya bahwa pemahaman itu bergantung pada informasi grafis (informasi visual) dan informasi nonvisual (informasi yang sudah dimiliki oleh pembaca). Disamping itu, proses MMTB dimulai dari peringkat yang lebih tinggi, yaitu mulai dengan semantik atau makna. Pada peringkat ini bank data bekerja secara simultan. Pengetahuan  yang telah dimiliki pembaca yang meliputi sintaksis, semantik, ortografis, dan leksikon bekerja secara serempak untuk memahami (mentransfer) informasi yang disampaikan penulis.

Sumber:

Haryadi. 2006. Retorika Membaca. Rumah Indonesia : Semarang
Haryadi. 2012. Dasar-dasar Membaca. Semarang
http://tugaskampuss.blogspot.com/2010/02/model-dan-metode-membaca.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2060360-jenis membaca/#ixzz2DbeJmSv3

 

2 komentar:

Unknown mengatakan...

pemilik blog setitik polkadot, blognya bagus, isinya beragam dan sudah mencantumkan dafar pustakanya juga, bagus. lebih bagus lagi jika blognya tidak hanya sekadar putih polos, mungkin bisa ditambahkan warna yang bisa lebih menghidupkan blog anda. semangat!!!

[Andri Romdhoni] mengatakan...

Terima kasih sudah mampir di blog saya. Terima kasih atas kesan, kritik dan juga sarannya. Semoga saya bisa lebih baik lagi dalam mengelola blog. Terima kasih sekali lagi, selamat berjelajah di Indonesia Berbahasa :)

Posting Komentar