Analisis Novel “Jerit (Suatu Ketika di Lho’sumawe
)”
Sinopsis
Kecintaan akan alam dan jiwa petualang yang selalu
menggoda membawa Ragil de Luana gadis seksi berdarah campuran Kairo, Jawa dan
Perancis ‘terdampar’ di tengah kerusuhan Lho’sumawe. Ketika nyaris menjadi
korban huru hara yang tengah berlangsung, Ragil diselamatkan Damas wartawan
musik tapi juga sama-sama suka petualangan. Pertolongan yang diulurkannya tidak
hanya mengobati luka memar di tubuh Ragil, tapi juga batin Ragil yang mulai
sering terlibat pertengkaran dengan kekasihnya Fabio.
Perkenalan degan Agam bocah hitam
kecil berdarah asli Aceh, menambah nuansa kehidupan singkatnya di Lho’sumawe.
Pembantaian keluarga Agam secara kejam dan penganiayaan yang tak henti mengiris
hati Ragil. Perjalanan di Lho’sumawe makin memilukan ketika toh persahabatan
tulusnya membuat ayah Agam terluka dan terus menerus curiga akan sosok asing
Ragil.
Di
bagian lain, ketika percintaan antara Ragil dan Damas sampai perpisahan dengan
Fabio tak dapat dihindarkan lagi, Ragil mengalami ‘luka’ baru yang teramat
sangat ketika didapatinya Damas ternyata beristri.
Dengan jerit tangis tak terkendali
Ragil meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu. Tapi ternyata perlakuan
orang asing yang tahu situasi tanah air tidak banyak menolong. Hari-harinya
suram di Costa Messa karena selalu teringat luka yang ditinggalkan Damas. Namun
waktu akhirnya dia tahu banyak orang lainyang menjerit sepeninggalan Ragildi
tanah air, dia malu pada dirinya sendiri. Dia menjerit untuk urusan cinta,
sementara saudara-saudara sebangsa yang lain punya jeritan lebih menyayat hati.
Yang miskin menjerit kelaparan dan yang kaya pun terimbas ketika mereka harus
menjerit karena ketakutan.
Ragil kembali ke tanah air, dan
sekali lagi terlibat percintaan dengan pemuda pirang bermata biru, Pulga
Sambirono awal cinta yang indah membuat Ragil melupakan jeritan cinta bersama
Damas namun ternyata berakhir tak kalah tragis. Pulga menikah tiba-tiba dan
Ragil tak pernah mengizinkan Pulga menjelaskan sebabnya. Kembali Ragil ‘lari’
melanglang buana samapi diaditaklukkan Yoridahn Boudard di St. Pemy yang
elegan. Yoridahn yang membuat Ragil kembali percaya bahwa cinta itu memang ada.
Di tengah kemantapan hatinya mengambil keputusan pilihan hidup, Ragil
kembali mendapati betapa Agam sahabat
kecilnya di Lho’sumawe kembali diguncang prahara dan situasi tanah air makun
memburuk lebih dari apa yang pernah dibayangkan.
Ketika Ragil baru menetapkan pilihan
hidup yang sesungguhnya dengan mempersetankan kata nasionalisme, tragedi lain
sekali lagi menghampiri Ragil.vkali ini dia benar-benar menjerit tak
tertahankan dan hampir mengakhiri hidupnya sendiri.......
Ita
Sembiring,
Januari
akhir, 2009
Unsur
Intrinsik
Alur
: campuran
Cerita
diawali ketika ragil terbangun di reruntuhan banguanan dengan badan penuh luka
dan dia bertemu dengan damas sampai
akhirnya diceritakan beberapa kisah percintaan ragil, lalu ragil bertemu dengan
anak kecil di lho’sumawe yang bernama agam, kemudian agam memnceritakan kisah
kehidupan si agam dan cerita ini diakhiri dengan ragil tidak ingin memikirkan
segala sesuatu tentang kisah cinta dan masa lalunya dan dia memutuskan untuk
menetap di yogyakarta kaliurang.
Tahap-tahap
alur
1. Perkenalan
: perkenalan tokoh dibuktikan ketika kejadian di lho’seumawe
2. Konflik :
Ø konflik
terjadi ketika Ragil merasa dirinya akan dibantu pada saat kejadian gerakan
aceh merdeka tapi ternyata ragil tidak ditolong karena dikiranya Ragil sudah
meninggal dan ditinggalkan.
Ø Ragil
merasakan cinta saat bertemu dengan damas, tetapi ternyata damas telah
mempunyai istri yang sedang mengandung anak pertamanya.
3. Komplikasi
: setiap ragil merasakan cinta tetapi pada akhirnya patah hati dan membuat
ragil sakit hati.
4. Klimaks
: saat ragil mulai menemukan cinta sejatinya bersama yordhan tetapi akhirnya
yordhan meninggal Karena kecelakaan
5. Resolusi:
ragil memutuskan untuk pergi ke kaliurang jogja dan menetap disana, dan tinggal
bersama dengan seorang laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya
Tokoh:
Ragil
de luana :
o
pemberani : ketika dia berangkat
sendirian di saat suasana di aceh sedang memanas
o
keras kepala : dia tidak mau
mendengarkan nasihat ibunya, agar tidak berangkat ke lho’sumawe
o
mudah percaya dengan orang lain : ketika
damas mengatakan perasaannya dan dia langsung percaya tanpa melihat latar
belakang dari damas
o
tegar : berkali-kali ragil mengalami
permasalahan ragil tetap menjalani kehidupannya
Damas
:
o
pembohong : damas tidak mengakui dari awal kalau dia
sudah mempunyai istri
o
egois : walaupun damas sudah memiliki
istri, damas tetap menginginkan hubungannya dengan ragil tetap berlanjut
o
perhatian : Damas selalu menanyakan
kabar Ragil, dan ketika Ragil di rumah sakit Damas menjaga dan merawatnya.
o
Romantis: Damas selalu memberi kasih sayang kepada
Ragil
Fabio:
o
Over
Protectif(suka mengatur) : dijelaskan dalam novel fabio tidak
mengizinkan ragil untuk meliput
peristiwa kekacauan
Agam:
o
Penakut:
Ketika Agam hendak naik angkot bersama Ragil, ia melihat orang
berseragam, ia pun tidak jadi naik
angkot karena takut dengan seseorang yang berseragam.
o
Polos:
Ketika ia diberi permen oleh Ragil dan ditanyai mengenai masa lalu
keluarganya, ia langsung menjawab tanpa memperdulikan siapa yang bertanya
kepadanya.
Arlik
o
Perhatian: Ia selalu mendengarkan keluh
kesah dari Ragil dan memberikan solusi setiap permasalahan yang dihadapi oleh
Ragil.
o
Setia kawan: Ia selalu ada buat Ragil
kapanpun dan dimanapun.
Yordhan
o
Setia : yordhan hanya mencintai ragil
dan ingin hidup bersama selamanya
o
Tanggung jawab : semua masalah ragil
diselesaikan oleh yordhan dan ingin membuat rumah untuk kehidupannya yang akan
datang.
Mike
tua
·
Cerewet, sok tahu : Mike terlalu banyak
bicara tentang keadaan di Indonesia
Nyonya
kinayah hermas
·
Perhatian : khawatir sama ragil, selalu
menelpon ragil menanyakan kabarnya
Suami
istri Thiery-sylvie
·
Perhatian,
penyayang
Karina
·
perhatian,
baik hati
Latar
:
·
Tempat :
Lho’seumawe, Medan, Santa Elizabeth, Polonia, Reulung Manyang, Ulee Lheu, Cot
Pling, Jakarta, Bundaran HI, Costa Messa, Santa Monica Beach, Poenix Arizona,
Long Beach, San Fransisco, Blok M, Samborino di elevator, St. remy, Startford,
Paris, Kaliurang.
·
Waktu :
Gerakan Aceh Merdeka September tahun 1998
·
Suasana :
Menegangkan
: disaat terjadi kejadian
kerusuhan GAM yang terjadi di Aceh
Menyedihkan
: ketika mengetahui bahwa
Damas telah mempunyai istri dan ketika kejadian kecelakaan yang menimpa
Yordhan.
Romantis
:ketika menjalin cinta dengan
Damas, yang sering bertemu dan menjalin kasih antara mereka berdua
Menyebalkan
:ketika seorang bule yang
bernama Mike menyindir tentang negera Indonesia, dan hal itu benar-benar
membuat Ragil kesal dengan bule itu
Membingungkan
:ketika Ragil di Prancis dan
bertemu dengan Yordhan Dia bingung untuk menentukan tetap tinggal di Indonesia
atau di Prancis.
e.
Amanat :
·
jangan mudah jatuh cinta
·
jangan terlalu larut dalam cinta
·
setia
pada satu pasangan, dan mencoba untuk menjaga perasaan pasangannya
f.
Sarana cerita :
·
Judul : jerit (suatu ketika di
lho’sumawe )
·
Sudut pandang : orang ketiga serba tahu
:Karena pengarang berada di luar cerita dan mengetahui semua peristiwa yang
terjadi dalam cerita tersebut, menggunakan nama orang
·
Gaya bahasa : menggunakan bahasa
sehari-hari, banyak mengguanakan bahasa sehari-hari seperti bahasa ingggris,
prancis.
·
Nada :
kritik dibuktikan .............
Romantisme
dibuktikan dengan kisah cinta ragil
Marah dibuktikan
ragil merasa marah dengan negara indonesia yang berbeda jauh dengan kondisi di
luar negeri
·
Tema : percintaan
g.
Pendekatan :
·
Emotif : pembaca benar-benar terbawa
perasaannya saat pengarang menceritakan ragil musibah di lho;sumawe dan kisah
asmara ragil yang selalu kandas ditengah jalan.
·
Analisis : didalam novel tersebut
dijelaskan terdapat unsure intrinsik , meliputi : alur, sudut pandang, tema,
tokoh dan penokohan, setting, amanat dan unsure ekstrinsik yang berupa biografi
pengarang.
·
Historis : adanya sejarah GAM yang melatar
belakangi terciptanya novel jerit (ketika di Lho’sumawe)
·
Sosio-psikologis : kebudayaan yang bebas
dalam pergaulan yang kontras dengan kebudayaan di aceh.
h.
Suspens :
·
ketika ragil sedang meliput peristiwa di
lho’sumawe untuk penulisan bukunya, tetapi dia malah yang menjadi salah satu
korban kerusuhan
·
ketika keluarga agam (kakak perempuan
dan ibunya ) menjadi korban kesalah fahaman. Ibunya dan kakak perempuannya di
perkosa dan akhirnya kakak perempuannya bunuh diri dan bapaknya dibunuh.
i.
Surprise :
·
Ketika ragil mengetahui kalau damas
sudah mempunyai istri
·
Ketika agam mengirim surat dan
didalamnya terdapat foto agam yang didapati kakinya cacat karena kekerasan yang
terjadi di aceh
·
Ketika Ragil menerima telfon dari salah
satu rumah sakit di Prancis tentang keadaan yordhan yang kecelakaan ketika mngendarai mobil.
j.
Plausibility
·
Agam merasa ketakutan ketika melihat
orang yang memakai seragam tentara, karena mengingatkan dia pada kejadian yang
menimpa keluarganya.
Tema:
percintaan
Ekstrinsik
:
1. Sosiologis
:
·
pengarang menggambarkan ragil yang mudah
bergaul dengan orang lain
·
pengarang juga menggambarkan ragil mudah
beradaptasi dengan setiap tempat yang
didatangi.
2. Pragmatik
:
·
Nilai yang terkandung dalam novel ini
adalah nilai keagamaan dibuktikan ketika di Aceh dia menghormati dengan tidak
memakai pakaian yang terbuka
·
Nilai budaya dibuktikan dalam budaya
barat dan budaya orang aceh.
·
Nilai moral dibuktikan dengan Gerakan
Aceh Merdeka mengakibatkan banyak korban yang tidak bersalah menjadi sasaran.
Unsur
ekstrinsik
'Penulis Setiap Tragedi', Itulah julukan yang diberikan wartawan kepada
Ita Sembiring. Wanita kelahiran Medan, 45 tahun yang lalu ini memang ahli
dibidang menulis kisah-kisah yang kerap terjadi disekitar kita sehari-hari dan
dituangkannya menjadi novel yang menarik untuk dibaca.
Ita sudah menulis sejak ia duduk di bangku SD. Saat itu, Ita kecil
menulis sebuah puisi tentang kampung halamannya dan dimuat di koran lokal di
Medan, Sinar Indonesia Baru. Sejak dimuatnya puisi tersebut, Ita semakin giat
menulis puisi dan cerpen. Saat ditanya mengapa ia suka menulis, ia menjawab
bahwa saat ia menulis, ia mengalami kepuasan batin. “Kalau sedang menulis,
rasanya seperti menjadi Tuhan. Karena kita bisa menciptakan dan mengatur tokoh
kita sendiri.” ungkap S1 FISIP Universitas Indonesia tersebut.
Tekad Ita untuk menjadi seorang penulis novel semakin bulat ketika SMP,
bungsu dari lima bersaudara ini diajak oleh kakak-kakaknya pergi menonton di
salah satu bioskop. “Waktu itu, kita pergi ke bioskop kecil, nonton film yang
berkesan banget, judulnya Best
Seller. Film tentang kakek tua yang kekeuh menulis sampai
tulisannya jadi buku. Bener aja, bukunya jadi best seller. Keluar
dari bioskop, saya ingat sekali, saya bertekad untuk jadi seperti kakek itu.
Suatu saat, nama saya harus ada di buku.” ujar pengagum tulisan-tulisan
Pramoedya Ananta Toer dan Mario Puzo itu.
Tahun 1998 menjadi tahun yang tak terlupakan bagi ibu dua anak ini. Buku
pertamanya, Catatan dan Refleksi
Tragedi Jakarta, 13-14 Mei ’98 diterbitkan. Waktu itu, Ita yang baru
kembali dari kampus, terjebak di jalan karena adanya kerusuhan dimana-mana.
Disaat terjebak itu, Ita teringat pada Zlata Filipović yang terkenal dengan Zlata’s Diary-nya,
menuangkan catatan hariannya menjadi sebuah buku. Ita pun berpikir, jika Zlata
bisa, mengapa ia tidak mencoba menulis Catatan Tragedi. Jadilah ketika itu, ia
membuat tulisan-tulisan kecil mengenai apa yang ia lihat, apa yang ia dan
korban lainnya alami. “Saya naik mobil pick up sama orang-orang lain,
saya ngeliat sendiri kerusuhan itu, dimana-mana kebakaran. Saya bikin
notes-notes kecil didalam mobil. Semua yang saya lihat dan alami, saya
tulis.” cerita wanita yang pernah tinggal di Belanda selama 7 tahun itu. Begitu
sampai dirumah, ia langsung mengetik dan mencetaknya. Setelah tulisannya
rampung, langsung ia serahkan ke penerbitan. Buku tersebut disetujui dan
langsung diterbitkan. Dua minggu setelah terbit, langsung cetakan kedua.
“Benar-benar surprise banget, kayak mimpi. Akhirnya impian saya
terwujud. Nama saya ada dibuku itu hehehe...” ucapnya sambil tersenyum.
Tidak berhenti sampai disitu, wanita berdarah Medan-Belanda ini terus
menulis tentang kejadian-kejadian yang terjadi. Seperti novelnya, Negeri Bayangan: Terrorist Free, yang
menceritakan tentang tragedi WTC 11 September. Juga novel No Velvere: Biarkan Aku Pulang, yang
diangkat dari kerinduan Ita akan Tanah Air ketika ia tinggal di Belanda. Tidak
heran, Ita dijuluki ‘penulis setiap tragedi’ karena kerap menulis
tragedi-tragedi yang terjadi. “Saya kalau nulis, 90% kisah ‘nyata’” ujar
Ita sambil membuat tanda kutip dengan jarinya.
Dalam salah satu bukunya bersama Muhammad Misrad, Jakartaku Harapanku, Ita mencoba
membuat coretan menjadi buku. Berawal dari coretan warga Jakarta tentang usulan
dan uneg-uneg seputar Jakarta melalui spanduk putih besar yang
dibentangkan di Bundaran Hotel Indonesia saat memperingati HUT DKI Jakarta
tahun lalu. Ita yang ikutan mengisi spanduk tersebut mendapat ide untuk
menuangkannya menjadi sebuah buku. Ita pun mengajak Mice, begitu biasa Muhammad
Misrad disapa, untuk menggarapnya. “Saya bekerja sama dengan Ita dalam
pembuatan buku ini karena menurut saya gaya bahasa Ita yang enak, santai namun
lugas, cocok dengan gambar-gambar saya. Ita juga penulis yang baik, easy-going.
Sehingga bekerja sama dengan Ita terasa mengasyikkan.” jawab komikus itu ketika
ditanya bagaimana kesannya bekerja sama dengan Ita Sembiring, via e-mail
beberapa waktu lalu.
Ita mengaku, ia jarang sekali menulis sambil berimajinasi. Ita juga
bercerita, bahwa tidak ada mood khusus untuknya dalam menulis. Ia dapat
menulis kapan dan dimana saja. Ketika ditanya soal inspirasi, wanita yang hobi
menari ini berkata, disaat sedih dan tertekan pun, kita bisa mendapat
inspirasi, jadi jangan takut untuk menulis hanya karena belum mendapat ide.
Kejadian-kejadian kecil jika dirangkai dengan indah juga bisa menghasilkan
tulisan yang baik, seperti buku Jakartaku Harapanku. “Tinggal kita yang mau apa
enggak mempublishnya.” ujarnya. “Orang-orang sudah takut
duluan sebelum mencoba. Padahal, kita belum tahu nantinya, siapa tahu bisa jadi
best seller ‘kan...” tambah Ita, yang juga mengajar creative writing ini.
“Saya mengajar creative writing bukan ngajarin mereka teknik nulis,
tapi bagaimana membangun rasa percaya diri dalam menulis.” ungkapnya. Karena
menurut Ita, biasanya yang sulit adalah membangun rasa percaya diri tersebut.
Maka, saran Ita kepada para penulis muda, jangan takut dengan adanya perubahan,
melainkan buatlah perubahan dan jadilah bagian dari perubahan itu. Yakin bahwa
buku yang dibuat tersebut pasti akan ada yang membaca, walaupun hanya 1 dari 10
orang. Serta jangan lupa percaya diri. Karena kalau diri sendiri kita tidak
yakin akan buku kita sendiri, bagaimana orang lain akan menghargainya juga.
“Saya waktu itu sih maju aja terus, soal diterima atau ditolak
urusan belakang, yang penting usaha dulu. Kalau ditolak, ya revisi lagi, kirim
lagi, sampai bukunya terbit.” kata Ita sambil tertawa.
2 komentar:
agam, amak, agam, amak..
Ragil, Damas, mengharukan sekali.
Selamat menyimak, semangat!! ;)
Posting Komentar