Kumpulan Puisi Emha Ainun Najib
Mahaanggun
Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
1987
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
1987
Kerja dan
fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987
sayang
sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
Kepadamu
kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
Kita pasar
riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
Ketika
engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
Di dalam
sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Dari
bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Ditanyakan
kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988
di yogya aku
lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Begitu
engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
NOCTURNO
Tuhan si
anak kenangan berbaring di cakrawala selatan
Tuhan si
anak kenangan berloncatan di atas bintang-bintang
Tuhan si
anak kenangan berebut masuk keluar pernapasan
Tuhan si
anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam
Tuhan si
anak kenangan terjatuh!
: dalam bayang
bayang
“Selamat
malam!
O, si buah angan
Selamat
malam!
O, si Anak Hilang!”
75
SAJAK JATUH
CINTA
Karena ini
bunga
Maka ciumlah
dengan bening jiwa
Karena ini
sajak
Maka
terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum
Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun
Pada air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian senyap sesaat
Tuhan melintaskan syafaat
Kemudian daun-daun bersijingkat
Dalam pesona memikat
Karena ini
bunga, dik
Maka ciumlah
dengan bening jiwa
Karena ini
sajak, dik
Maka
terimalah dengan mripat kanak-kanak
75
LAGU
Sangatlah
nyaman
Serta penuh
kekhusyukan
Bersahabat
dengan angin
Dan matahari
pagi
Wajah gadisku yang membayang
Mengajakku sejenak berpejam
Tunduk kepala, dan
Menggumamkan salam
Dan embun
menguap
Setelah
semalaman
- bagai
peristiwa cinta -
Membungkus
dedaunan lelap
O, biru langit!
O, bukit-bukit!
Saksikanlah bahwa merdeka
Sangatlah mengikat
Bahwa jiwa
Butuh
saat-saat alpa
Di mana roh
diguncang
Tercampak
dari tanya dan pikiran
Gadisku!
Wahai gadisku!
Sangatlah
nyaman
Bersetia
kasih dengan Alam
Dan di bawah
Iman-Nya: kita tenggelam
75
SAJAK
Demi
rembulan yang Engkau ciptakan
Khusus untuk
memulangkan diriku
Kepada
kumandang tangis bayi, yang telanjang
Yang hening
lagunya bergaung
Ke
ladang-ladang jiwa
Yang
meripatnya bening
Dan yang
semua geraknya
Dibimbing
Oleh
kegaiban
Demi rembulan
di larut malam
Yang bagai
kereta kencana
Ditarik oleh
kuda siluman
Yang bangkit
dari cakrawala
Yang bangkit
begitu saja
Berderap
Perlahan
Dan
menciptakan gemuruh
Dalam
kediaman
Demi
rembulan yang Engkau ciptakan
Untuk
mengusap kening jiwa yang berabad menangis
Jiwa Adam
Rintih
kerinduan
Yang
mencegatnya di ujung jalan
Dan yang
mencegatku kini
Dalam derita
dan keasingan
Yang terus
menjelma
Yang
mengawali setiap pekik kelahiran
Dan yang
terus berkembang dalam kenangan
Demi
rembulan yang bagai pejalan sunyi
Menjelajah
seluruh malam
Sehingga
terciptalah dunia dan kehidupan
Dari angin,
embun dan dedaunan
Yang
berkilat
Karena
cahayanya
Yang seakan
mengisyaratkan harapan
Bagi
kerinduanku nantinya
Ah, Tuhan!
Demi
rembulan yang Engkau ciptakan
Buat menggoda!
Di
semak-semak ini
Di hutan
gelap yang tercipta
Dalam gaung
jiwa
Dalam
gelegak samudera
Dalam
gelegak darahku
Yang letih
Dan maya
: kutikamkan pisau ini
ke dadaku!
(terimalah
semangatku
reguklah
cintaku!)
75
APAKAH
PUISI-PUISI INI
Apakah
puisi-puisi ini
Jelmaan
roh-Mu, Tuhanku
Sehingga aku
merasa bahagia
Jika bergaul
dengannya
Ia selalu
membuka ruang
Hingga aku
setia pada kemungkinan
Ia adalah
sembahyang
Yang penuh
kemerdekaan
Tuhan, di
antara sekian cara hidup
Agama dan
peraturan-peraturan
Puisi
memberi keikhlasan
Kepada apa
pun yang Kaulakukan
Yogya 77
PRAMBANAN
Kenapa aku
tak bisa diam sepertimu
Diam pada
angin
Pada hujan,
pada lindu
Dan langit
yang semu
Apa benar
hidup lebih baik
Dari yang
disebut mati
Seperti
lukisan air mukamu
Seperti
sikap diammu
Hidup ini
besar ongkosnya
Sedang kita
terus berlari keras dan gila
Mengejar-ngejar
apa
Tak ketemu
jua
Kenapa aku
tak bisa diam sepertimu
Diam pada
angin, langit, Tuhan ...
77
DI DEPAN
PATUNG BUDHA
Kau ada
Aku pun ada
Tapi kau
bahagia
Aku tidak
Apa kerna
ada nyawa
Maka tak
bahagia
Sedang
dengan nyawa
Orang ingin
bahagia
Kukira salah
mulanya
Adam
dilempar dari surga
Mengapa
harus kembali ke sana
Mengapa tak
ke Tiada
Borobudur 77
AKU INI
TERMASUK ORANG YANG SUKAR BERBAHAGIA
Aku ini
termasuk orang yang sukar berbahagia
Sebab makin
banyak memandang adegan kehidupan
Makin
bertumpuk pula pertanyaan kepada Tuhan
Hidup ini
ruwet seperti lingkaran setan
Seperti
perang brubuh yang tak bisa diuraikan
Serta penuh
benturan yang seperti sengaja diciptakan
Ah, tetapi
mudah saja jika Tuhan mau mengubah semuanya
Atau
menghapusnya lantas menciptakan lagi dunia
Yang sedikit
agak bermutu, terhormat dan mulia
Tetapi
kukira itu tak mungkin terlaksana
Sebab siapa
tahu Tuhan merasa asyik dengan kekonyolan kita
Dan agar tak
kehilangan permainan: kita terus saja dipelihara
Yogya 77
KOSONG
Kenapakah
kadang-kadang
Demikian
kosong hidup ini, Tuhanku
Segala
keramaian di sekelilingku
Lalu lalang
pikiran dan hasrat kehidupan
Yang
menggoreskan seribu warna peradaban
Segala apa
pun yang dikurung langit-Mu
Segala apa
pun yang di bilikku
Telapak
tanganku yang tiba-tiba kuamati
Bahkan
wajahku yang dipantulkan oleh cermin ini
Kurasakan
amat kosong dan sunyi
Tetapi di
dalam dadaku
Tetapi di
dalam jiwaku
Ada bergaung
suara-suara
Ada
tekanan-tekanan yang asing rasanya
Seperti
jeritan
Seperti
teriakan dalam diam
Seperti diam
dalam teriakan
Seperti
dendam
Seperti
kerinduan
Atau pusaran
permainan
Yang tak
bisa aku hindarkan
Tuhanku,
apakah perasaan yang semacam ini juga
Yang
mendorong-Mu untuk menciptakan manusia
Dan semesta
yang fana?
Salatiga 77
TAKUT PADA
MATAMU
Kekagumanku
kepada Tuhan
Membuat aku
takut pada matamu
Apakah
engkau sendiri mengerti, kekasihku
Apa gerangan
yang memancar dari matamu itu?
Bertahun-tahun
kita hanya berpandangan saja
Engkau bisu
Dan aku tuli
Karena
sangat tidak mengerti
Bola matamu
yang bening
Adalah ruang
yang tiada terbatas
Tetapi jika
pun engkau kelak menjadi wanitaku
Akan bisakah
kumasuki ruang itu?
Surabaya 77
DARI BUKIT
KOTAMU
sekali waktu
ingin kuajak engkau kemari, kasihku
untuk
melihat lampu-lampu kotamu yang berdebu
berdiri di
sini bagai berada di luar kehidupan
jika kita
bergoyang-goyang ditimang tangan Tuhan
apa salahnya
beberapa saat kita istirah
pasrah diri
kepada kelam yang jauh
apa salahnya
sejenak alpa pada luka yang dalam
dan hati
yang robek di dalam pergulatan
sekali waktu
ingin kuajak kau bersandar di pohon ini, kasihku
untuk
menghela napas panjang, melepas keletihan
meredakan
segenap dendam, meniti masa silam
dan bersiap,
melayani hari-hari esok yang panjang
Bandung 77
SAJAK ORANG
TUA SERIBU
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku
seribu
Yang satu
ngajari sembahyang
Lainnya
nyuruh edan
Yang satu
ngasih kitab Qur’an
Lainnya
menyodorkan minuman
Yang satu
berkhotbah kebaikan
Lainnya
mendorong ganggu istri orang
Lainnya lagi
penuh kebajikan
Sekaligus
bajingan
Langit
muntah
Hujan tumpah
Mancur ke
tenggorokan bumi
Membanjirkan
sampah kotoran
Dari selokan
dan kali-kali
Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku
misteri
Hiruk pikuk
yang sunyi
Satu wajah
Ganti beribu
kali
Ibu hamil
karena Tuhan
Lahir aku
tercampak di air pasang
Yang
bergerak menyeret tanpa ampunan
Yeaahh!
Kini ambil
putusan
Si Diam
bergerak ke sebaliknya
Balikkan
badan
Curi ruang
di antara ruang
Sang Maha
Gunung terletak sumbernya
Sampai darah
kering kutatap ia!
1982
KABUT
Selalu
kaupanggil-panggil namaku
Aku
mengangguk dan tersenyum kepadamu
Tapi
sebenarnya kabutlah
Yang kaupanggil
itu
Kauseret
tubuhku, kaubawa ke perjalanan
Kau
perkenalkan kepada setiap orang
Kabut pun
menebal, diriku tersembunyikan
Tak
kauingatkan sudah berapa topeng
Yang
kautempelkan di wajahku?
Jadi engkau
sendirilah ini, bukan aku
Tetangga,
politik, dan persangkaan
Nafsu,
idolatri, dan kepentingan
Mengepulkan
debu, mengabuti sejatiku
Kita semua
adalah Tuhan yang menyamar
Menyiksa
diri dengan sejarah yang samar-samar
Kalau tak
juga kautanggalkan topeng-topeng ini
Kepalsuan
kita panggul sampai mati
DI ATAS
CRETE
Jauh di atas
kepulauan Crete, pesawat saya
menggerunjal, seperti sedang melewati jalanan
di kampungku yang penuh lobang dan batu-batu
Pilot
pemandu hidup memberi peringatan tentang
cuaca amat buruk, hingga kami harus menegakkan
tempat duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkan
untuk berdoa
Para
penumpang langsung bermuka mendung, para suami
istri dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan,
semua tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil di hadapan-Nya
sebagai pengemis-pengemis yang malang
Supaya tidak
mengganggu lingkungan saya pun menunduk
khusyu, sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa lega
bagaikan menerima lotere
Terima
kasih, terima kasih, Tuhan – katanya – Saya
tidak ingin menitipkan onggokan daging busuk ini
kepada siapa pun. Kalau Engkau berkenan, biarlah
sampah hina yang duduk cemas di kursi ini segera
saja sirna, agar saya pun merdeka!
Tapi tak
lama kemudian jiwa saya itu pun ngambeg
karena segera ada pengumuman tentang yang disebut
keselamatan, dan daging-daging bau itu pun menarik
nafas lega, sambil bersiap turun, berjejal-jejal
memenuhi tong-tong sampah yang bertebaran di atas dunia
1984
PESAWAT
TERBANG
Pertama kali
naik pesawat terbang, saya ingin
memasang iklan di koran nasional bahwa saya
benar-benar sudah pernah naik burung ajaib
yang dikagumi oleh seluruh kanak-kanak
dan orang dewasa
Kali kedua
pengin dishoot kamera betapa saya
memasang seat-belt segampang menelan ludah
kemudian dengan lincah menggoda stewardesses
Yang ketiga
saya berpikir menelusuri dari modal siapa
gerangan pesawat mewah ini dibikin, bagaimana
modal itu diputar di meja perjudian
ekonomi politik internasional, serta membayangkan
siapa saja, yang bisa menikmatinya
Namun toh
pada kali keempat saya masih saja sedikit
mengagumi otak manusia penemu daya sihir
burung-burung, meskipun kemudian bosan
dan tidur kepala berat
Sehingga
tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh kali,
di samping selalu disergap oleh ratusan
pikiran murung: saya merasa pesawat terbang
tak pernah membawa saya naik ke mana-mana
Ada
kemungkinan para teknolog, teknokrat serta
para pemakai
mereka, gagal melihat mana bawah
yang
sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya
1984
MAKAN DAN
MINUM 1
Selalu jiwa
saya bertanya kenapa tiap hari
orang mesti makan dan minum
Saya bilang
itu merupakan syarat agar mereka
bisa berak dan kencing
Kalau yang
orang maui, kata jiwa saya, hanya
buang air baik besar maupun kecil
Kenapa
makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,
bertingkat-tingkat serta berhias-hias
Saya bilang
karena mereka tak bisa tentukan
kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing
Kalau
begitu, kata jiwa saya lagi, segera
mendekatlah padaku, agar tak terlalu
lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup
berak dan kencing
1984
MAKAN DAN
MINUM 6
Pada
mulanya, kata jiwa saya, orang pergi
berburu binatang, menombak rusa atau
memanah burung-burung
Akhirnya
hewan menipis jumlahnya dan hutan
hanya dipenuhi manusia, maka orang menembak orang
orang menggusur orang,
orang menembak orang
Sesampainya
di dapur, mereka bikin sate
beramai-ramai
Yang
kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa
sesudah makan dan minum seratus kali
lipat dari kapasitas perutnya, para pemenggal,
penggusur dan penembak itu tidak menjadi kenyang,
melainkan justru semakin lapar
1984
SYAIR MALING
Perjuangan
utama sebuah syair, hanyalah
Untuk tak
menjadi slogan
Atau kembang
plastik
Dari Tuhan
lahir seorang bayi
Dituding
sebagai subversi, atau dipupuk
Menjadi
hostes para priyayi
Syair-syair
diagung-agungkan
Hingga
menjadi barang kerajinan
Yang
menggelikan
Cukuplah ia
– kata seorang teman
Lahir dari
angin
Tapi sahabat
lagi mengklaim
-- syair
ialah berak
Berak nasib
Orang-orang
terpilin
Maka kita
bertengkar
Buntu dan
gagap
Dari hari ke
hari
Sambil
membiarkan maling-maling
1983
SESOBEK BUKU
HARIAN INDONESIA
Melihat
pentas-pentas drama di negeriku
berjudul
Pesta Darah di Jember
Menyerbu
Negeri Hantu Putih di Solo
Klaten,
Semarang, Surabaya dan Medan
Teror atas
Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke
hari kemarin
pentas
sandiwara rakyat
yang
berjudul Komando Jihad
Ingat
Malari.
Ingat
beratus pentas drama
yang
naskahnya tak ketahuan
dan mata
kita yang telanjang
dengan
gampang dikelabui dan dijerumuskan
Ah,
drama-drama total
yang tanpa
panggung
melainkan
berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala
penonton
Darah
mengucur, kembang kematian.
Bau busuk
air liur para sutradara licik
yang
bersembunyi di hati mulia para rakyat.
Drama peradaban
yang bermain nyawa
mencumbu
kemanusiaan
berkelakar
secara rendahan kepada Tuhan
Kita
orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran
disetir
Hidung
dicocok dan disemprot parfum
Pantat
disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada
maknanya
Kita yang
terlalu polos dan pemaaf
beriuh
rendah di antara kita sendiri
bagai
anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian
tertidur lelap
sesudah
disuapi sepotong kue bolu dan permen karet
Ah, milik
siapa tanah ini
Milik siapa
hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah
dan kayu yang secara resmi diseludupkan
Milik siapa
tambang-tambang
keputusan
buat masa depan
Milik siapa
tabungan alam
yang kini
diboroskan habis-habisan
Milik siapa
perubahan-perubahan
kepentingan
dari surat-surat keputusan
Kita ini
sendiri
milik siapa
gerangan.
Pernahkan
kita sedikit saja memiliki
lebih dari
sekedar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkan
kita sedikit saja menentukan
lebih dari
sekedar ditentukan, dan ditentukan.
Yogya, 13
Maret 1982
YOGYAKU
Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku
apimu membekukan dinginmu memanggang
Di kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang
keabadianku di antara pijar matahari dan
malaikat
salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak
jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya
Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu
sang Sutradara hanya menorehkan sepi
Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung
beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan
bercakap-cakap
denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar,
menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar
dan
menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai
Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur
diri kepadamu di tengah program bingung
dan gerak
yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang
oleh
kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau
jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati
rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa meraka
pernah
kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan
langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan
para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana
Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di
singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika
engkau
dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak
kan pernah
bisa digadaikan atau dicuri
Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk
hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa
datang dan
tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,
waktu tak di
dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela
garis batasnya ...
1984
BELAJAR
TIDAK
Ajari kami
membedakan
ya dan tidak
tanpa embel-embel
Tuntunlah
kami
bilang ya
dan bilang tidak
tanpa hitung
untung
Tenaga apa
bisa kami pakai
untuk bilang
ya
bagi setiap
ya
untuk bilang
tidak
bagi setiap
tidak
Apa mesti
pakai sukma Tuhan
untuk bisa
tahan
tuding tidak
pada tidak
karena tidak
ialah tidak
Udara sarat
tidak
tiap hari
sibuk tidak
tetapi sebab
dicekik ya
terpaksa
bilang ya
******
Mata siapa
bisa kami pinjam
untuk
melihat benar kehidupan
untuk
menangkap setiap murni getaran
Tangan siapa
bisa kami ulurkan
untuk
menggenggam air bah kenyataan
Mau nimba ke
mana
Belajar
kepada apa
Berguru ke
siapa
Ilmukah atau
batu
Anginkah
atau guru
Langitkah
atau suhu
Mataharikah
atau waktu
Rohkah atau
langit biru
Pohonkah
atau buku
Gunungkah
atau para biksu
Pedang-pedangkah
atau primbon
masa lalu
Lautan
katakah
atau Allah
yang bisu
*******
Sejuta ilmu
lupa pada
yang sederhana
Hidup
teramat lama
untuk tak
bisa ngomong tidak
Hidup
terlalu sumpeg
untuk selalu
tak bilang tidak
Waktu
terentang panjang
bisa tampung
berjuta tidak
Irama begini
sesak
untuk bilang
satu saja tidak
Dinding amat
tebal
Ruang
terbagi-bagi
Bagian-bagian
terbagi-bagi
tanpa pintu
Angin
membusuk
Pikiran
meracuni jiwa
Sukma
tertidur
takut ngerti
sampai di mana
Kata tidak
menumpuk
di sel-sel
penjara
di
butir-butir darah
nyangkut di
mata merah
******
Ya sering
nampak sebagai tidak
Tidak sering
seperti ya
Ya
seakan-akan tidak
Tidak
seolah-olah ya
Ada ya yang
ketidak-tidakkan
Ada tidak
yang keya-yaan
Ya biasa
disulap jadi tidak
Tidak
dianggap sebagai ya
Orang ya
terpaksa bilang tidak
Orang tidak
terpaksa bilang ya
Segala ya
jadi kuasa
Bikin setiap
tidak jadi ya
Asal kami
bilang ya
Soal jadi
tak ada
Tapi jika
bilang tidak
Hari esok
bisa binasa
Hukum jadi
samar
Benar jadi
omong besar
Merdeka jadi
patung-patung
******
Kami inginkan
ya yang lugas
Tidak yang
tegas
Tapi
siapakah guru kami?
Para guru
sangat pandai
mengajarkan
upaya
Pemimpin
kami amat pintar
membendung
segala tidak
dari mulut
kami
yang
dibilang pengkhianat
Beribu nilai
tersedia
Namun kami
hanya dipilihkan
Oleh suatu
rangka dan susunan keadaan
Kami
dikepung dan dikendalikan
Kiranya guru
kami ialah
kata tidak
itu sendiri
Tidak
Beratus-ratus
tidak
Beribu-ribu
tidak
Berjuta-juta
tidak
Kami ucapkan
tiap pagi
siang, sore
dan malam
harinya
sampai
bersiap merdeka
atau gila.
Yogya, 10
Juni 1982
SYAIR CANDU
1
kalau kamu
bilang agama itu candu
dengarkan
allah-lah candu hidupku
tuak cinta
maha membeningkan pikiran
melempangkan
yang sebenar-benarnya jalan
jika sukmaku
meminumnya
badan tegak
dan jiwa perkasa
menyingkir
rasa takut dan kesedihan
sehingga
takkan kubatalkan pemberontakan
para peminum
kesejatian
sanggup
keluar dari setiap barisan
yang
menghardik utuhnya kemanusiaan
meski
ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparan
kamu takkan
tahu bau napasnya begitu merangsang
menyisihkan
segala yang tampak menggiurkan
menjelaskan
betapa remehnya godaan
serta apa
pun saja yang seolah dan seakan-akan
kalau kamu
bilang agama itu candu
kuperdengarkan
allah dan tak ada yang selain itu
firmannya
merasuki darah bagai arak suci
kusandang
untuk menyibak zaman ini
1985
SYAIR CANDU
5
paduka
kenyataan hamba
paduka juga
impian hamba
luka parah
hamba memburunya
semesta
rahasia
tak
terhingga jumlah pintunya
sehingga
realitas terus bekerja
kenyataan
tak bisa distop langkahnya
sebab
terangkai oleh kemungkinan
yang tak
tertangkap oleh kata benda
paduka aduk
mitos kenyataan
padaka
tertawakan kenyataan mitos
ketika orang
membeku di salah satunya
maka
terimalah hamba
ikut
berdenyut di jantung paduka
mengembarai
hakikat yang betapa anehnya
1985
HIJRAH
mimpiku
pawai burung
tanpa sayap
terbang ke surga
mimpiku mata
rabun
nyangkut di
langit hampa
insyaallah
angan-angan ini
disetujui
oleh para nabi
tapi jarang
kuteliti
teori mereka
mengolah bumi
kemudian
tiba ke khomeiny
marx,
fraire, dan ali syari’ati
madrasah
frankfurt, ngo pinggir kali
berperang
brubuh di rumah sini
di wajah
beberapa kawan
nama-nama
itu menjelma siluman
ketika
tangan mereka acungkan
terciptalah
mesin percetakan
aku jatuh
terjengkang
tolol di
pojok jalan
hanya
sanggup berpamitan
hijrah ke
semesta pengembaraan
1985
AMBIL SI
PENARI UNTUKKU TARIANNYA
Dzu Walayah membawaku mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi
berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu
bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu
puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul
wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk
dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat
kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk
selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara
tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit
pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan
kepadaku tariannya.”
1987
TUHAN SUDAH
SANGAT POPULER
Satu
Tuhan sudah
sangat populer
Nama-Nya
dihapal luar kepala
Sehingga
amat jarang ada
Orang yang
sungguh-sungguh mengingat-Nya
Tuhan sudah
sangat populer
Seperti
matahari tak pernah tak bercahaya
Sehingga
hanya kadang-kadang saja
Orang
menyadari ada dan peran-Nya
Tuhan sudah
sangat populer
Baik di kota
maupun di desa
Kalau terasa
tak ada, orang menanyakan-Nya
Ketika
jelas, ada orang melupakan-Nya
1987
AJARI AKU
TIDUR
tuhan sayang
ajari aku tidur
seperti dulu
menemuimu di rahim ibu
sesudah
lahir menjadi anak kehidupan
sesudah
didera tatakrama, pendidikan, politik
dan kebodohan
bisaku cuma
tertidur
tertidur
tuhan sayang
tak kurang-kurang engkau menghibur
tapi setiap
kali badan terbujur ruhku bangkit
memekik-mekik!
hidupku jadi
ngantuk, luar biasa ngantuk
tanpa pernah
bisa sungguh-sungguh tidur
di siang
dunia berseliweran kecemasan
orang-orang
berburu prasangka
menumpuk
salah paham terhadap kehidupan
memburu
dugaan, bersandar pada bayangan
mengulum
batu-batu akik, aku ngantuk
sungguh-sungguh
ngantuk
di malam
segala nina bobo yang menenggelamkan
tak mampu
kubaringkan mati kecilku
ajari mati,
ya tuhan sayang, ajari aku mati
nasib
sejarah menggumpal di jantungku
jantung
mengerjat-ngerjat
tapi tak
pingsan
telah beribu
kali
jantung
meledak tak mati-mati
tuhan
sayang, ya tuhan sayang
rinduku amat
tua
dan sakit
1986
MEMBELAH
DIRI
sayang,
kenapa harus membelah diri
kalau sampai
begini sakit
untuk
menyatu kembali
merekah
engkau jadi kita
jadi tuan
dan hamba
panjang
jarak tak terkira
sayang, o
sayang
jangan
bilang sekedar satu dua hari
jangan
katakan hanya sebatas matahari
sebab
bergulat harus sedemikian nyeri
jatuh bangun
mencari
tertunda-tunda
ketemu diri sendiri
1986
MENERTAWAKAN
DIRI SENDIRI
Bermakna
lebih dari segala ilmu
Ialah
menertawakan diri sendiri
Sesudah
kegagahan dipacu
Tahu langkah
tak sedalam tangis bayi
Kelahiran
dan maut memain-mainkan
Kita jadi
perlu sekeras ini bersitegang
Padahal gua
Ibunda tak di masa silam
Dan kematian
tak nunggu di usia petang
Nyembah
puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian
sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka laron
tahu usia tak sampai semalam
Maka kita
pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu
malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan
cilukba wayang pergantian siang malam
Heran kenapa
Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal
jelas jatah kita abadi
1985
TIDUR HANYA
BISA PADAMU
Tidur hanya
bisa padaMu
Ketika larut
badan tak mengada
Sudah khatam
segala tangis rindu
Tinggal jiwa
kusut dan sebuah lagu
Jiwa terajah
luka
Bersujud
sepanjang masa
Di peradaban
yang sakit jiwa
Hanya bisa
kupeluk guling rahasia
Tidar hanya
bisa padaMu
Ya kekasih,
tidur hanya bisa padaMu
Kalau tak
kau eluskan tangan
Bangunku
tetap jua ke dunia
Sejak semula
telah kuikrarkan
Cuma engkau
sajalah yang kudambakan
Dengan
sangat kumohonkan tidur abadi
Agar
kumasuki bangun yang sejati
1986
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar