Recent Posts

Kamis, 25 Desember 2014

Kumpulan Cerpen GM Sudarta



Wiro Seledri
Berita lelayu yang diumumkan mesjid desa sesudah shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro meninggal dunia, padahal 3 hari yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama ta’ziah di tetangga dekat rumah yang meninggal.

Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng.
Pak Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan, tadi sehabis shalat subuh, mbah Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan pulang seperti biasanya lewat sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya kereta dari Jakarta menuju Solo Balapan akan lewat. Sementara dia menutup palang rel kereta, dari sinar lampu kereta yang datang terlihat bayangan mbah Wiro yang masih berjalan di tengah rel. Pak Min berusaha mengejar sambil berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro semakin cepat melangkah sambil mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro terpental ke sawah di samping rel.
”Tidak banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki patah” jelas pak Min.
***
Sebetulnya belumlah bisa disebut rumah karena masih berupa gubug bambu beratap rumbia tak jauh dari rel kereta, seluas tak lebih dari 12 meter persegi, dengan secuil tanah sekeliling teritisannya dipenuhi tanaman sayur seledri yang rimbun, adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah dihuninya lebih 10 tahun. Dengan penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri ini, sangat menarik perhatian dan keingintahuan saya.
Konon mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah belasan tahun mendekam di tanah buangan jauh di belahan timur negeri ini. Usianya mungkin hampir 80 tahun. Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan sambil membawa segepok sayur seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian yang mebuatnya disebut juga mbah Wiro Seledri.
Pertama kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu berta’ziah seorang kerabat yang meninggal beberapa tahun lalu. Saya perhatikan, sementara jenasah sedang dishalatkan, dia duduk menyendiri, dengan mata rapat terpejam, kedua tangan dalam sikap mau shalat, nafas hampir tak terdengar. Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat, dia pun berhal demikian. Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga yang meninggal, saya menjumpai hal yang sama, sehingga mengusik hati dan penasaran untuk ingin tahu, apa sebenarnya yang dia lakukan.
Dari pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang rajin melayat siapapun warga yang meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga kadang orang mencibir, itu kan hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari keluarga yang berduka. Tetapi warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti itu. Kalaupun ada saya lihat mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong saya makin ingin tahu tentang dia.
Kesempatan itu datang saat ada acara pemakaman di desa sebelah. Kami pulang bersama meniti pematang. Secara tidak langsung saya bertanya tentang doa untuk orang meninggal. Dia menatap saya agak lama, sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu sendiri sudah tahu!”
”Begini nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan untuk saya sendiri,” jelasnya, ”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan, karena dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat.”
Saya terperangah sejenak.
“Maksudnya mbah.”
Dia hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya.
Ah, gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan saya akan misteri orang sepuh ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara pemakaman siapa saja untuk bertemu mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah menganggap saya ini pengikut ajaran mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan apa yang ingin mbah Wiro lihat.
Izroil!
Wah, makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat maut?!
Akhirnya saya paksa diri saya pada suatu hari berkunjung ke tempat tinggalnya.
”Nak mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang telah menjalani perjalanan hidup yang kelewat panjang adalah saat untuk merindukan ketenangan. Saya tahu malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang meninggal”
Saya masih belum mengerti maksudnya
”Mbah pernah melihat Izroil?”
Dia menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan bergumam pelan dia berkata:
”Saya rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan perjalanan sejarah kelam yang telah terjadi di negeri ini?”
”Sudah pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas
”Sekitar 40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal itu terjadi. Bersamaan dengan munculnya lintang kemukus di langit menjelang tengah malam, itu pertanda bahwa dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak jelas, ribuan saudara kita dimakan pedang dan clurit.”
Saya belum menangkap maknanya.
Mbah Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang kemudian disodorkan ke saya. Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam. Asapnya menyembur ke seluruh ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia ucapkan maaf dan menyilakan saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang pahit benar di lidah saya.
”Nak mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan kemanisan hidup. Juga kemanisan hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan hidup.”
”Maksudnya?”
”Semasa muda saya hidup senang sebagai petani dengan sawah warisan orangtua yang luas. Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia suka lupa diri, kurang mensyukuri nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung ayam. Jatuh ke tangan orang kaya yang banyak orang menyebutnya seorang tuan tanah. Akhirnya jadilah saya cuma sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan hidup ini, sebuah organisasi persatuan para petani datang sebagai dewa penolong, paling tidak menolong saya lebih bersemangat dalam menghadapi hidup. Organisasi ini menjanjikan perjuangan untuk memperbaiki kehidupan petani, dengan melawan apa yang disebut setan desa, seperti rentenir, tengkulak ijon, dan apa saja yang merugikan kaum tani, termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif di dalamnya sebagai ketua ranting desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa organisasi ini mendapat julukan onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!”
Mbah Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas panjang, kemudian meneruskan:
”Dan pertanda lintang kemukus malam itu terbukti. Petaka besar terjadi. Hanya dengan tudingan terindikasi partai terlarang saja, saudara-saudara kita dibantai oleh sesama saudara. Perburuan telah membuat desa ini banjir darah. Nyawa manusia lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang menasehatkan saya untuk melarikan diri, karena menurut dia saya sudah masuk daftar. Tapi saya enggan. Sampai suatu tengah malam segerombolan orang berseragam membawa senjata laras panjang dan beberapa warga menyandang pedang dan clurit terdengar bergerak menuju tempat tinggal saya. Istri saya suruh sembunyi di semak-semak kebun belakang, sedang saya di ladang jagung, tak jauh dari depan rumah.
Setelah mereka menggeledah rumah ternyata kosong. Seorang dari mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya lari. Terus saja lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta ampun istri saya. Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai jatuh terjerembab di bantalan rel kereta di pinggir desa.
Kemudian dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel hingga sampai stasiun di batas kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya sudah terbaring di tengah beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya dibawa ke suatu rumah besar yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa mereka bukan ABRI, karena hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya benar-benar merasa akan dihabisi oleh sesama saudara!”
Sampai di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan Izroil? Yang saya tahu hanyalah cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu di sekolah menengah.
”Setelah disekap satu hari, tengah malam saya dinaikkan truk bersama banyak orang tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan tangan terikat dan mata tertutup kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami diturunkan di tempat yang saya pikir pasti hutan karena saya mendengar suara gemerisik dedaunan yang kami lewati. Kami dibariskan satu-satu disertai tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami disuruh maju selangkah. Dan sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun serta suara benda berat jatuh ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai. Ya Tuhan ampunilah segala dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju setapak lagi. Saya tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti. Dalam kegelapan mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya….
Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dan langkah-langkah berat berdatangan. Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami tiarap. Teriakan kematian bersahutan. Sesaat kemudian berhenti.
Ternyata yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan tutup mata dan tali ikatan kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang sekarat dan seorang benar-benar meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar masih di tangan. Dan ya Allah, sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir sungai besar di mana menurut kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor buaya di sungai itu!
Itulah permulaan jalan panjang saya menuju tanah pengasingan di sebuah pulau yang jauh di sebelah timur sana”
Badan saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi ragu dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua warga sampai anak sekolah harus menonton.
Melihat wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya mencoba mengalihkan pembicaraan:
”Wah hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.”
”Darah dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro manggut-manggut, ”Tuhan menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan apa pun.”
”Termasuk semaktu di tanah pengasingan mbah?”
”Benar nak mas. 12 tahun memendam perasaan kesendirian, kesepian, kengerian keadaan ribuan tahanan yang tak lepas dari kekerasan petugas, jaminan hidup tak memadai, harga diri sebagai manusia dihabisi, dan segala yang rasanya membikin hilang harapan. Tetapi ternyata itu semua makin memperkuat ketahanan kita untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di daerah perbukitan yang gersang. Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu putih.
Semula memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi akhirnya sadar bahwa kami dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban pemerintah untuk memberi makan kami. Itulah yang membuat kami semua merasa mempunyai satu ikatan kekeluargan yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi, tebu, jagung, ubi, dan kacang, Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan pupuk, tanaman kami cukup memuaskan.”
”Lalu dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan.
”Sedikit ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya tersenyum mendengar jawabannya. Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir menangis.
”Tinja memang kita anggap barang paling hina dan menjadi santapan enak bagi babi.
Tapi benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil lagi!”
Mbah Wiro tercenung beberapa saat, kemudian mendekatkan wajahnya padaku, sambil ujarnya pelan:
”Suatu hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya berontak, yang membuat saya tak tahan buang air besar di sungai yang tak jauh dari barak. Tiba-tiba sebuah bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala saya. Segera saya lari menuju barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah menunggu saya. Dengan tendangan saya dipaksa mengambil tinja yang sudah terapung di sungai. Dan di depan teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan tendangan bertubi-tubi serta ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan seekor babi.
Selama seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya selama ini runtuh. Betapa hinanya harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak tahan saya untuk tidak menyiapkan tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan sudah tak sadarkan diri sekilas seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa menoleh dan tersenyum kepada saya. Tiba-tiba teman-teman menolong menurunkan saya!”
Mbah Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada dirinya sendiri:
”Ya sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika telah dipulangkan dari sana. Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai rumah dan istri serta sanak keluarga saya.”
Seakan ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar kisah terakhir ini. Lama kami terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang jauh ke depan, ke arah rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel kereta yang lurus sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya:
”Lihat nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam kereta di atas rel lurus dengan tujuan yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak bisa membelokkan sendiri ke arah lain!”
Kami ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum meninggalkan rumahnya, saya sempat bertanya setengah bercanda:
”Omong-omong bagamana wajah malaekat itu, mbah?”
”Itu rahasia Tuhan!” jawabnya tegas.
Sesampai di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman seledrinya yang nampak benar sangat subur, saya bertanya pula:
”Pupuknya apa mbah?”
Dia hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke rumahnya.
Sehabis pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya, sehubungan dengan tugas saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan saya bertemu mbah Wiro sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur seledri. Basa basi saya menyapa dengan bertanya apa kabar.
”Semalam saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia telah mengabulkan permohonan saya tentang kerinduan yang selama ini saya dambakan” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat aneh.
***
Sehabis dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke pemakaman di pinggir desa. Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya ikut mengusung kerandanya.
Sewaktu jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika kain kafan di wajahnya dibuka, saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang dan nampak tersenyum. Saya rasa mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil ikut menunggang kuda di angkasa!
Klaten, 2011

Wanita Berpedang Samurai
Perempuan itu berjalan mendekatiku sambil tangan kirinya menggenggam pangkal sarung pedang, sedang tangan kanannya mencengkeram tangkai pedang, siap menghunusnya.
Pedang yang bersarung kulit itu paling tidak sudah selama 60 tahun tergantung di dinding ruang tamu persis di atas sofa. Seingatku semenjak usiaku lima tahun sudah kulihat terpampang di situ. Bentuknya yang ramping memanjang, dengan hiasan logam keemasan di tangkainya, membuatku terkagum-kagum membayangkan betapa gagahnya orang yang menyandangnya. Almarhum ayah pernah bercerita, pedang itu hadiah dari Seigo-san, seorang serdadu Jepang sahabat ayah di zaman pendudukan Dai Nippon. Mereka bersahabat mungkin karena mempunyai kegemaran sama, yakni minum-minum sampai mabuk dan wanita.
“Sewaktu Jepang kalah perang, dia ditarik kembali ke negerinya,” cerita ayah. “Sebelum pergi kami menyanyikan Kimigayo bersama-sama sambil menangis. Kemudian dia menyerahkan pedang sebagai kenangan dengan harapan bisa bertemu lagi. Paling tidak ketemu di akhirat nanti.”
“Rawatlah dan hargailah pedang itu dengan baik sebagaimana kau mencintai istrimu kelak. Pedang samurai adalah lambang dari kesetiaan dan harga diri. Jadikanlah hidupmu seperti seorang samurai. Sebagaimana keris, pedang samurai dengan mata pedang yang sangat tajam yang ditempa dari wesi aji, kemudian dilapisi baja di punggungnya sehingga lentur tak mudah patah, adalah lambang ketegaran hidup yang tidak gampang patah dan berwawasan tajam,” pesan ayah menjelang kepergian untuk selamanya.
Setiap kali kubersihkan pedang dan kubasuh dengan minyak cendana, seperti yang kulakukan untuk koleksi keris-kerisku. Kekagumanku tak pernah habis menikmati keindahan bilahnya setiap kuhunus. Di depan cermin aku suka berdiri bak samurai menggenggam tangkainya dengan kedua tangan dan membayangkan diriku seperti Musashi.
Itu semua rupanya memberikan getaran-getaran benang halus yang menghubungkan hatiku sehingga jatuh cinta kepada Jepang. Dari usia sekolah hingga sekarang aku sangat menyukai gambar-gambar alam Jepang juga lukisan-lukisan ukiyoe karya Utamaro atau Hirosige. Juga nyanyian tradisionil Jepang, Shina No Yoru, hingga lagu-lagu Kenji Sawada. Semua film karya Kurosawa saya lalap habis. Begitu juga film serial Zatoichi.
Rupanya pedang itu telah merasuk dalam jiwa ragaku. Mungkin bisa dibilang aku kesurupan pedang, sehingga bagaikan Musashi yang dalam perjalanan hidupnya selalu mencari tantangan. Dan kemudian sang penantang yang datang kepadaku adalah senyuman dari perempuan itu yang badannya semampai, matanya sedikit sipit dan sayu, rambutnya panjang tergerai, kutemukan dia di sebuah diskotek paling liar di Jakarta.
“Kita para lelaki itu biasanya, kalau sedang jatuh cinta, jarak antara otak dan ‘senjata’-nya sangat berjauhan, sehingga apa pun akan dilakukannya tanpa pakai otak,” ujar sahabatku memberi peringatan ketika aku nampak tergila-gila pada si mata sayu.
“Dimulai dengan mengirim bunga, hadiah-hadiah, harta, sampai sedia menjadi budaknya, bahkan sampai nyawa pun diserahkan,” tambahnya. Ah, enggak percaya pikirku. Masa iya, sampai sebegitu jauhnya, kan aku seorang samurai.
Dan jadilah kemudian sebuah kisah cinta bagaikan opera sabun sinetron di televisi kita. Memang dimulai dengan sekuntum bunga mawar. Kemudian bukan hanya bunga saja, melainkan masa depan hidup aku serahkan kepadanya. Meskipun bibir tipisnya suka bicara setajam pedang samurai, dan dia datangnya lewat tajamnya sinar laser lampu-lampu diskotek, serta tajamnya perbedaan usia kami berdua, aku malah semakin mencintainya. Apalagi setelah anak lelaki tampan telah dia lahirkan, melengkapi kebanggaanku sebagai seorang samurai yang habis menang berlaga.
Musim gugur di Kyoto ditandai dengan mulainya daun momiji yang hijau berubah menguning yang nantinya akan berubah merah meronai kota indah itu. Kota yang pernah dihadiri Musashi ini, yang telah lama kuimpikan, akhirnya kenyataan telah datang dengan tugasku di negeri matahari terbit ini. Daun momiji yang berakhir dengan menghitam layu di akhir tahun, telah memberikan kerinduan gaib dalam jiwaku.
Bermula dari ketika kuhabiskan waktu sore sepulang dari jalan-jalan ke Ginkakuji, dengan menyusuri jalan setapak Tetsugaku no Michi yang dalam buku petunjuk wisata disebut philosophy pathway, jalan untuk merenung sambil menyusuri sungai di sampingnya. Sementara pohon momiji rindang menaungi sepanjang jalan dengan daunnya masih menghijau.
Di seberang kanan jalan sebuah restoran kecil meniupkan bahu semerbak, mengundang selera saya. Noren di atas pintu masuk bertuliskan yakitori.
“Irashaimase…,” suara halus dari seorang wanita beryukata muncul dari balik noren dengan sikap ojigi, ketika langkahku sampai di depan kedai. Budaya Jepang yang santun ini membuatku tak bisa menolak undangannya. Kuambil kursi dekat jendela yang menghadap rimbunnya daun momiji.
“Dozo…,” ucapnya sambil menyerahkan daftar menu dengan sedikit senyum tersungging.
“Yakitori to biru ni shimasu,” jawabku.
Kuperhatikan langkah-langkah halusnya setelah dia berbalik ke dapur. Yukata dengan obi di punggung serta leher baju bagian belakang agak turun ke bawah ditambah sanggul yang agak ke atas, telah membuatku terkesima. Di mataku terlihat tengkuknya putih bagai salju dengan bulu-bulu halus kebiruan. Benar juga kata sementara teman, bahwa keindahan wanita Solo adalah pada pinggang ramping dan pinggulnya, sedang wanita Jepang pada tengkuknya!
Sambil menunggu datangnya pesananku, kubuka buku Ai No Kawaki karya Mishima Yuko yang kupinjam dari koleksi buku Murai shensei.
“Omatashe-shimashita…,” ucapnya minta maaf karena telah menunggu agak lama sambil meletakkan sepiring yakitori, segelas bir dan secawan kecil oshiko yang di atasnya ditaruh sehelai daun momiji hijau.
“Its okey, domo,” jawabku sekenanya.
Kuambil sehelai daun momiji dari cawan acar itu dan kuselipkan ke buku Mishima dengan hati-hati sebagai pembatas buku. Dia perhatikan apa yang aku kerjakan sambil tersenyum. Senyumannya itu… ah!!
Dan senyuman itulah yang kemudian memberiku perasaan aneh mulai melilitku. Mungkin kecantikan asli wanita Jepang paruh baya ini sebagaimana digambarkan dalam lukisan Ukiyoe Utamaro dengan mata sipit, hidung mancung dan kulit putih, serta namanya yang indah dan enak didengar. Harumi memaksaku untuk kerap mengunjungi restoran itu, supaya bisa menemuinya setiap sore, menjelang dia pulang kerja. Sepertinya ada kegelisahan penuh rahasia di antara kami berdua. Apalagi bagiku, kalau teringat si mata sayu di rumah yang beberapa tahun terakhir ini suka uring-uringan tidak jelas juntrungannya.
Tanpa kami sadari setahun telah berjalan dengan sendirinya, dan aku kerap pula mengantarkannya, dengan kereta subway menuju stasiun terdekat dengan tempat tinggalnya, meskipun apartemenku berlawanan arah. Di kereta, kami lebih banyak berbicara dalam diam. Hanya saling memandang dengan tersenyum. Rupanya dia sadar benar akan keterbatasanku dengan bahasa negerinya. Di peron stasiun pemberhentiannya kami berpisah. Dia ucapkan sayonara sambil menyerahkan setangkai kecil daun momiji tiga helai yang masih hijau, yang dia ambil dari tas jinjingnya, dan kemudian menaiki tangga keluar. Aku pun melanjutkan langkah mencari peron sebaliknya.
Getaran-getaran aneh yang selalu menyelinap dalam jalan bersama ini, sepertinya sangat kami nikmati, hampir setiap hari. Sehingga daun momiji yang aku terima dan kemudian menjadi pembatas bukuku ini, telah menjadi catatan mesra selama musim gugur. Dari warna hijau, lalu kuning, merah, hingga coklat dan daun kering menghitam tanda musim gugur usai.
Dua musim gugur telah berlalu. Selama itu telah banyak aku dengarkan cerita tentang dirinya sendiri. Rupanya juga tak jauh berbeda denganku. Insan yang menjalani hidup ini dengan perasaan tak jelas arahnya. Perjalananku ke negeri sakura ini sebenarnyalah bagai terhempas ke dunia yang dihimpit sepi, tak bertujuan, karena hanya menyerah pada keadaan. Begitu juga dia. Kesehariannya adalah rutinitas yang baginya bukan lagi kodrat, melainkan nasib. Nasib seorang perempuan yang dijauhkan dari impiannya sebagai ibu dan istri. Anak sudah menikah, jauh dari rasa peduli kepada ibunya. Suami pulang kerja tengah malam dengan bau alkohol, seperti biasanya kaum pekerja di Jepang yang menghabiskan waktu pulangnya dengan minum-minum sesama koleganya. Bahkan harus rela berbesar hati apabila sang suami pulang mabuk, dipapah seorang wanita lain.
Pagi hingga malam terjerat kesendirian, setelah menyiapkan makan pagi sang suami, kemudian membereskan rumah, belanja, masak, dan akhirnya hanya ditemani acara televisi yang sangat membosankan. Dan akhirnya terhempas pula di restoran ini untuk bisa berjumpa dengan orang lain.
Tiga tahun lebih, aku telah merasa benar-benar bagai samurai sehebat Mushasi. Kami menikmati hari-hari indah ini dengan penuh kerahasiaan yang kami simpan berdua. Menjelang akhir tugasku, kujumpai dia dengan kabut di wajahnya. Matanya agak lebam dan pipi kirinya nampak memar meskipun disaput dengan bedak tebal. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa aku tak usah bertanya. Hampir dua bulan aku tak bisa menemuinya sesudah itu. Bahkan sehari sebelum kepulanganku, tak kujumpai dia di restoran itu. Mama-san, pemilik kedai yang biasa dipanggil, mengatakan bahwa Harumi sudah tidak bekerja di situ lagi.
Hampir tiap bulan aku terima suratnya, berhuruf kanji yang kurang aku mengerti. Hanya tempelan daun momiji dari warna hijau hingga merah yang aku ketahui maknanya. Lewat penantian yang panjang, setelah puluhan kali suratku tak terbalas, barulah setahun kemudian kuterima surat tanpa tulisan dengan tempelan daun momiji hitam yang sudah kering kerontang.
Perempuan itu semakin mendekat. Pedangnya mulai terhunus. Mata sayunya lenyap. Berubah menjadi tajam berkilat, mulutnya mengatup rapat. “Ada apa yang…?” tanyaku terkesima. Ujung pedangnya telah menyentuh dadaku. “Tidak usah tanya! Ceraikan aku sekarang atau kubunuh kau!” jawabnya sambil menekan ujung pedangnya semakin keras. “Ada apa yang?” tanyaku lagi.
“Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di Jepang? Tua bangka gak tahu diri!” Ujung pedangnya mulai menembus bajuku. Ah aku pikir bukan itu alasannya. Apa yang kurasakan belakangan ini adalah seperti yang telah diperingatkan teman-teman. Penyebabnya adalah setelah akal sehatku hilang, setelah apa yang kupunya kuserahkan atas nama dia, rumah, tanah, mobil, bahkan asuransi jiwaku, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak membuka topengnya.
“Tidak mungkin aku menceraikan kau dong yang,” ujarku setenang mungkin. “Bagaimana dengan nasib anak kita nanti…?”
“Anak kita?! Bukan!! Yang pasti anak itu bukan anak kamu! Dia anak diskotek!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya.
Sebelum pedangnya menebas leherku, aku sudah keburu hancur berkeping-keping!
Kyoto, 2008

Candik Ala
Setelah matahari tengah hari tergelincir, langit berangsur berubah berwarna kuning. Sinar menyilaukan berpendar-pendar membiaskan kabut kuning menerpa seisi alam. Cuaca seperti inilah yang oleh ibu disebut sore “candik ala”. Suatu sore yang jelek. Suatu sore yang membawa malapetaka dan penyakit. Dalam cuaca seperti ini, kami diharuskan masuk ke dalam rumah.
Aku tidak lagi mau bertanya kepada ibu, perihal kenapa kita mesti takut kepada cuaca seperti itu. Karena kalau aku bertanya hal-hal aneh, seperti misalnya larangan untuk duduk di depan pintu yang nanti akan dimakan Batara Kala, akan selalu dijawab dengan nada agak marah, dengan kata yang tak kupahami maksudnya: “Ora ilok!” kata ibu.
Tapi kali itu, setelah beberapa kali mengalami sore candik ala, aku tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang ayah, yang sudah berbulan-bulan tidak pulang. Ibu seperti menghindar, memalingkan muka menyembunyikan wajahnya, sambil jawabnya:
“Nanti juga kalau saatnya pulang, pasti pulang.”
“Apa nggak kena penyakit karena candik ala, Bu?” tanyaku tak sabar. Ibu diam saja.
Memang, kadang-kadang setengahnya aku kurang percaya dengan hal-hal aneh demikian, tapi kadang kala pula hati dibuat ciut dengan kejadian seperti yang pernah kami alami tahun lalu. Menjelang tengah malam kudengar suara kentongan bertalu-talu, seperti jutaan kentongan dipukul bersamaan. Semula terdengar samar-samar, seperti dari kejauhan, semakin lama semakin keras seperti semakin mendekat. Ibu segera berdiri di balik pintu depan, sambil komat kamit membaca doa. Kudengar sepotong doanya:
“Ngalor, ngalor, aja ngetan aja ngulon.”
Kupeluk kaki ibu karena ketakutan oleh sesuatu yang tidak kumengerti.
“Ada gejog,” kata ibu, “Nyai Roro Kidul bersama bala tentaranya sedang berarak menuju istananya di gunung Merapi. Orang yang tinggal dekat Segara Kidul, yang pertama kali melihat ombak laut besar dan suara gemuruh, mulai memukul kentongan. Itu pertanda Nyai Roro Kidul keluar, naik kereta kencana, diiringi para serdadu jin. Kemudian orang desa yang akan dilewati rombongan itu beramai-ramai memukul kentongan supaya beliau tidak singgah ke desanya. Karena setiap beliau singgah, beliau akan mengambi abdi dalem baru.”
Aku tetap kurang paham akan keterangan ibu. Yang aku tahu ibu telah berdoa supaya rombongan itu tidak singgah ke sebelah timur Gunung Merapi, letak desa kami.
Beberapa hari kemudian, malamnya, dua lelaki berseragam loreng datang ke rumah dan mengajak ayah pergi, sepertinya dengan cara paksa. Ibu mengejar sampai halaman depan sambil memohon supaya ayah jangan dibawa dengan penuh iba.
“Ayah dibawa Nyai Roro Kidul ya Bu?” tanyaku.
“Hush!” jawab ibu sambil bergegas langsung masuk kamar tidur. Kudengar tangisan ibu menyayat hati.
Berita tentang perginya ayah merebak ke seluruh desa. Meskipun tak begitu aku pahami artinya, kudengar dari Lik Kasdi, pamanku, bahwa ayahku terlibat. Terlibat apa aku kurang jelas, hanya yang kuketahui juga dari tetangga bahwa ayahku adalah seorang pegawai negeri yang suka memberi penyuluhan kepada para petani.
Sejak itu, ibu kerap pergi dengan menjinjing rantang berisi nasi dengan lauk ikan asin dan sayur daun singkong kesukaan ayah. Kami, anak-anak, tidak diperkenankan ikut serta. Beberapa kali, aku yang merasa anak terkecil suka merengek minta ikut. Dengan sedikit marah ibu menjawab:
“Ibu akan nengok ayahmu yang sedang kerja, kamu jangan ganggu dia!”
Pasti ayah sedang kerja lembur, pikirku. Tetapi beberapa bulan kemudian, ibu tidak bisa lagi berbohong, karena kemarin aku dengar dari Lik Kasdi, bahwa ayah ditahan di kota.
Dan dia bercerita panjang lebar, tentang pemberontakan besar. Waktu itu yang tertangkap dalam otak kecilku adalah tentang para jenderal yang dikorbankan dimakan buaya di sebuah lobang.
“Ayahmu sedang berjuang,” ujar ibu dengan wajah keruh ketika aku tanya soal tahanan ayah. Tanpa tahu apakah yang dimaksud dengan berjuang, yang pasti aku kerap kali menangis sendirian bila malam waktu tidur tiba. Setiap bangun pagi, ibu melihat mataku sembab. Rupanya ibu pun tahu akan kerinduanku pada ayah. Kulihat air matanya mengembang. Kemudian memelukku erat-erat, dan tangisnya tertahan meskipun air matanya deras membasahi pundakku. Jadinya aku ikut menangis tanpa kutahu sebabnya.
Sore itu, cahaya candik ala menyelinap lewat jendela menerpa lemari kaca tempat memajang foto ayah dalam bingkai. Mungkin karena rinduku pada ayah, kulihat seakan foto ayah bergerak, tangannya melambai kepadaku. Terasa di dalam dadaku ada yang menggelepar-gelepar.
Kudengar pula dari Lik Kasdi, ayah bersama para tahanan beberapa lama ini sedang dipekerjakan membuat tanggul sepanjang rawa besar di daerah tak jauh dari rumah kami. Katanya tanggul yang sepanjang tiga kilometer ini sekaligus untuk jalan penghubung antardesa yang terpisah oleh rawa. Karena rinduku tak tertahankan lagi, dengan mengendap-endap lewat pintu dapur, tanpa sepengetahuan ibu dan tanpa takut dengan cuaca candik ala, sambil membawa pancing bambu, kugenjot sepedaku lari kencang ke rawa, dengan harapan ayah masih di sana.
Setiba di sana, nampak banyak orang berseragam loreng dengan menyandang senjata laras panjang. Mereka berjaga di sebelah timur rawa, di mana kulihat ratusan orang sedang bekerja menggali tanah dan mengangkat batu. Dalam terpaan cahaya kuning, wajah-wajah kurus semakin mempertegas cekungan mata bagai mayat hidup. Dadaku berdebar-debar, tak sabar untuk bisa cepat-cepat bertemu ayah, yang mungkin ada di sana. Beberapa meter sebelum mencapai tempat mereka, seorang petugas mengusirku, dan menyuruhku mancing agak jauh dari situ.
Kutaruh sepeda di pinggir jalan, kemudian duduk mencangkung di atas batu padas di pinggir rawa. Dengan berpura-pura memancing, terus kutajamkan mataku mencari ayah di antara ratusan orang yang sedang bekerja. Langit yang membiaskan warna kuning agak menyilaukan mataku, sehingga sulit mencari di mana ayah berada. Ketika langit berubah warna memerah, pertanda magrib menjelang tiba, dan ketika aku nyaris putus asa, kulihat di kejauhan seseorang berdiri tegak memandang ke arahku, sementara yang lain masih bekerja…. Itulah ayah!
Kulempar pancing, tanpa menghiraukan para petugas, aku pun berlari, menangis sambil berteriak keras-keras memanggil ayah. Ayah seperti tertegun melihat kedatanganku.
Tetapi kemudian wajahnya berubah gembira, meskipun kulihat seperti dipaksakan. Lengannya terentang menyambutku. Kujatuhkan diriku memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya. Kulihat ayahku sangat kurus dan lusuh, tapi nampak diusahakan selalu tubuhnya ditegap-tegapkan.
“Kapan ayah pulang? Kapan, yah, kapan?” tanyaku berulang-ulang
Ayah tersenyum lebar sambil jawabnya: “Nanti kalau kerja besar ini selesai, cah bagus.”
Beberapa petugas mendekati kami. Ayah bicara kepada mereka beberapa saat, kemudian kami dibiarkan berdua. Kami hanya berpelukan sampai terdengar peluit tanda usai kerja. Kami bergerak bersama para tahanan menuju truk-truk yang sudah tersedia, sambil kupeluk pinggang ayah.
“Ayah tidak kena penyakit karena candik ala?” tanyaku.
Ayah tertawa. Sambil mengelus rambutku ayah bekata:
“Tidak mungkin ayah kena. Ayah sehat karena banyak makan sayur.”
Kemudian ayah membopongku, menciumiku sambil tawanya yang nampak dipaksakan pula. “Ayah nanti tidur di p..p..penjara?” tanyaku terbata-bata menahan tangis.
“Siapa bilang, he..he..he, bukan di penjara, tapi di hotel!”
“Ayah sedang berjuang?” tanyaku kemudian. Ayah nampak kaget.
“Ibu yang bilang…,” kataku menjelaskan. Ayah tertawa mendengar ini.
Menjelang dekat truk, ayah berjalan dengan tegak sambil menyanyikan sebaris lagu Indonesia Raya. Para petugas dan para tahanan terheran-heran, memandang kami. Setelah menurunkan aku dari gendongannya, ayah melompat ke bak truk. Sambil menoleh kepadaku, ayah mengacungkan tinju ke atas, dan katanya keras-keras:
“Ingat Aryo, kamu harus selalu berjalan tegak, menghadapi nasib apa pun. Termasuk kalau ada candik ala…. Dan jangan lupa lagu Indonesia Raya!”
Barisan truk pelan-pelan semakin jauh meninggalkanku sendirian di pinggir rawa. Tak terasa air mata membanjir membasahi pipi.
“Ayaaaaaaaaah!!” teriakku keras-keras muncul sendiri tanpa kusadari.
Saat usia sekolahku tiba, suatu malam Lik Kasdi, yang sudah menjadi carik desa, datang mengunjungi rumah kami. Di ruang depan dia bicara setengah berbisik kepada ibuku. Dari balik pintu kamarku, kutangkap pembicaraan mereka, bahwa ayah sudah menyambut maut dengan gagah sambil menyanyikan Indonesia Raya, katanya.
“Saya sudah berusaha keras menolongnya, Mbakyu,” ujar Lik Kasdi, “Sudah kuberi bukti bahwa Mas Kasman tidak terlibat, melainkan karena fitnah bekas bawahannya yang sakit hati karena dia pecat.” Aku mau menangis keras, tapi terasa tenggorokanku tercekik. Semalam suntuk aku terduduk di balik pintu kamar, sambil mendengar isakan ibu dan Yu Rini, berkepanjangan di kamarnya.
Tiga tahun kemudian, ibuku pun menyusul ayah. Bukan karena diambil Nyai Roro Kidul, melainkan oleh sakit batuk yang diidapnya sekian lama. Yu Rini pun menikah dengan seorang aparat desa dan aku ikut dengannya. Berpuluh tahun kemudian, setelah melewati berapa puluh sore candik ala, setiap cuaca demikian, ada sesuatu yang pedih, seakan ada yang pecah berkeping-keping di dalam dadaku. Dan telah sekian puluh tahun pula aku mencoba benar-benar berjalan tegak, tapi sangatlah sulit. Hanya karena aku adalah anak kandung ayah. Dan semua orang masih saja mengingat ayah adalah ayah kandungku.
Sekarang ini, aku masih juga mencoba berjalan tegak, meskipun sudah sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi hanya baru bisa melata di tanah!
Klaten, 2005
Catatan:
Candik ala: pertanda buruk dengan cuaca sore yang membiaskan warna kuning
Ora ilok: pamali, larangan
Gejog: barisan roh halus
Nyai Roro Kidul: Ratu Laut Selatan
Ngalor, ngalor, aja ngetan, aja ngulon: ke utara, ke utara, jangan ke timur jangan ke barat
Segara Kidul: Laut Selatan
Kali Woro: sungai besar di lereng gunung Merapi yang dipenuhi pasir dan lahar dingin
GM Sudarta (30 September 2007)


Cerita tentang Orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur
Hampir selama 30 tahun, sepasang mata yang seakan memancarkan api kebencian itu selalu mengikuti aku pergi. Selama itu pula membuatku nyaris menjadi gila. Dengan mengikuti bimbingan seorang kiai, akhirnya aku bisa menganggap tidak ada kehadiran sepasang mata itu, meskipun masih selalu mengikuti aku.
Adanya lintang kemukus yang muncul di langit dini hari adalah benar-benar pertanda alam akan adanya pageblug. Dan 40 hari kemudian, ternyata perang saudara meledak. Tidak hanya di daerah kami, malahan di seluruh negeri, sejak terdengar berita terbantainya para jenderal di sebuah lubang sumur di pinggiran kota Jakarta.
Setahun kemudian, suatu malam, aku dan Mulyono, sahabat karibku, bersama regu ronda dengan komandan Mas Parman, seorang pimpinan gerakan pemuda, mendapat tugas rutin dari aparat yang sungguh tidak kami harapkan. Yakni tugas sebagai tukang kubur. Berpuluh-puluh orang diturunkan dari truk di tengah kebun jati, dengan kedua ibu jarinya diikat kawat. Setelah ikatannya dilepas, di bawah ancaman tendangan dan pukulan pistol, setiap empat orang diharapkan menggali sebuah lubang selebar dua meter. Akhirnya mereka diharuskan berjongkok menghadap lubang, dan dentuman-dentuman pistol bergema. Kami memejamkan mata atau melengos ke samping. Hanya Mas Parman yang tampak tegar melihat eksekusi ini.
Tugas kami berikutnya adalah mengubur mereka, meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah tersedia. Satu lubang untuk empat jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat dan memang harus bungkam meskipun mayat-mayat itu kami ketahui adalah tetangga atau kerabat kami. Kalau tidak, mungkin kami bernasib seperti mereka.
“Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. Bayangkan! Kalau mereka menang, akan jadi apa kita?! Kita pun akan disembelih seperti para jenderal itu,” nasihat Mas Parman kepada kami.
Malam-malam seterusnya adalah malam kematian. Kehidupan hanya sebatas jangkauan lampu minyak yang tergantung di gardu ronda. Selebihnya adalah gelap semata. Di gardu jaga, kami lebih banyak diam berselimut sarung, meringkuk dan merapat ke dinding. Binatang malam pun tak terdengar suaranya. Warga kampung juga lebih menyukai mematikan lampu dan bersembunyi dari ketakutan ke dalam kegelapan. Hanya Mas Parman yang selalu siaga mondar-mandir di depan gardu.
Suatu kali, kata sandi yang kami terima dari kelurahan adalah rokok-kelembak. Adalah tugas kami para pemuda yang memperoleh giliran jaga untuk mencegat siapa saja yang keluar malam hari dan menegurnya dengan kata sandi rokok. Bila tidak menyahut dengan kata kelembak, kami berhak memukulinya dan menyerahkan ke aparat setempat.
Menjelang tengah malam, terlihat seorang berjalan terbungkuk-bungkuk melintas di depan gardu kami sambil membawa upet sebagai penerang jalan.
“Stop! Rokok!” teriak Mas Parman.
Ternyata orang itu adalah Mbah Warso yang kami kenal sebagai penggali sumur di kampung kami. Dia kaget dan tergagap. Dia keluarkan sebungkus rokok keretek dari sakunya, sambil katanya: “Rokok Man? Nih!” Tapi uluran tangannya ditepis oleh Mas Parman hingga rokoknya terpental.
“Dari mana kamu!” tanya Mas Parman garang.
“Dari jagong bayen, Man…” jawab Mbah Warso terheran-heran.
Tiba-tiba, plak! Mas Parman menampar muka Mbah Warso dan perintahnya kepada kami: “Tangkap! Bawa ke markas!”
Kami tidak berani membantah, meskipun kami tahu bahwa mungkin Mbah Warso lupa atau tidak tahu sandi kampung kami. Kami yang tidak tega dengan nasib Mbah Warso, segera meninggalkannya di markas, sementara Mas Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan dan rintihan menyayat orang minta ampun.
Beberapa hari kemudian, setengahnya aku protes terhadap penangkapan Mbah Warso terhadap Mas Parman, tapi ujarnya dengan keras, “Dia adalah salah satu saksi mata dan mungkin antek mereka! Berapa banyak dia menerima pesanan menggali sumur dari siapa-siapa yang menggunakan galiannya seperti di Lubang Buaya.”
Hatiku berdesir, saya mengetahui bahwa ternyata Pak Hardi, tetangga saya, aktivis partai, juga membuat galian sumur di belakang rumahnya, meskipun sudah memiliki sumur di samping rumah. Bukan tidak mungkin aku pun akan menghuni galian itu apabila mereka menang seperti kata Mas Parman.
Malaikat maut tampaknya semakin menebarkan sayapnya. Perlawanan dari pihak yang terburu bermunculan pula, mungkin lantaran terdesak. Suatu malam, rumah Pak Karto, warga desa sebelah, terbakar. Pak Karto adalah sebuah aktivis sebuah partai pula yang gencar memburu dan mendata siapa saja anggota partai terlarang yang harus ditangkap. Dia diketemukan, ya Allah, hangus di bawah reruntuhan rumahnya dengan dua paku besar menancap di kiri kanan pelipisnya seperti tanduk! Konon yang melakukan adalah anaknya sendiri. Hatiku ngilu!
“Kamu lihat!” kata Mas Parman kepada kami. “Mereka mau menantang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa.” Kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. “Dan ini mereka-mereka yang harus diciduk malam ini!”
Dari mana Mas Parman mendapatkan daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan panglima perang, bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah dan menyeret para lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada di rumah sebagai gantinya. Para istri atau para kakek pun diciduk pula tanpa ampun. Termasuk Mbak Sri yang sedang hamil tua.
“Mereka sangat diperlukan untuk interogasi, ke mana mereka yang masih jadi buronan?!” ujar Mas Parman, sebelum aku berniat protes.
Di markas, dalam ruang pemeriksaan yang sempit, tampak di dinding dan di beberapa tempat, ada bekas-bekas cipratan darah. Dengan lampu remang-remang, tempat ini lebih meniupkan aroma ruang siksa daripada ruang pemeriksaan. Mas Parman sibuk menyiapkan alat pembangkit listrik yang kabelnya semrawut dengan ujung telanjang. Bayangan menyeramkan membuat kepalaku berkunang-kunang.
Ketika kemudian para tawanan bergiliran dipanggil ke dalam, kemudian terdengar bentakan suara Mas Parman dan kemudian terdengar raungan menyayat orang kesakitan, perutku jadi terasa mual dan aku pun muntah-muntah. (Kudengar beberapa waktu kemudian, Mbak Sri meninggal di tahanan dengan benjolan-benjolan memar di sekujur tubuhnya).
Semakin lama tugas kami semakin berat. Kecuali siap siaga siang malam, hampir setiap tengah malam kami harus mengubur berpuluh-puluh mayat. Bahkan kamilah yang menggali kubur apabila yang datang sudah menjadi mayat. Bila sudah begini, kepalaku semakin berkunang-kunang, peluh dingin membuatku menggigil, perut mual, muntah-muntah, dan tidak jarang jatuh tak sadarkan diri. Juga Mulyono, kalau bertugas mengubur mayat, peluh dingin membasahi dahinya, tangannya gemetar, serta suka menggigit bibirnya sampai berdarah-darah. Oleh karena itu, Mas Parman menyuruh aku dan Mulyono istirahat cuti beberapa hari di rumah.
Tinggal seharian di rumah inilah, kusempatkan untuk menyadap berita bisik-bisik dari para tetangga bahwa banyak korban tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Betapa murahnya nyawa, ujar Mulyono. Hanya dengan dendam pribadi, kecemburuan, terlibat utang, atau ingin merebut istri orang, seorang bisa menjadi korban hanya dengan bisikan fitnah. (Jangan-jangan Mbak Sri juga termasuk korban, karena setahuku dia pernah menolak cinta Mas Parman).
Rupanya api dendam telah membakar seluruh rakyat. Penangkapan warga terhadap warga sendiri yang dicurigai mempunyai indikasi, mulai merebak. Yang kusaksikan kemudian adalah keadaan tak terkendali. Baku curiga, baku tuduh, baku fitnah, dan baku bantai antara warga sendiri. Rupanya Mulyono juga mempunyai perasaan seperti aku. Kerap kali kami menghindar dari tugas itu dengan berbagai alasan. Bahkan kami pernah sembunyi di dalam hutan beberapa lama karena mencoba berpikir waras untuk melawan kengerian yang juga bisa membuat kami sekarat. Karena itu, aku sempat digelandang Mas Parman ke balai desa.
Di depan warga ia berucap dengan berang, “Jangan jadi orang banci! Dasar anak yatim, kalau bukan sepupuku sendiri, sudah aku ciak kamu!” Kutahan perasaan untuk tidak menangis mendengar caciannya.
Kulihat Mas Parman semakin garang dengan seragam kesatuan pemuda loreng-loreng seperti tentara dengan sepucuk pistol terselip di pinggang. Rupanya selama kami absen, teman-teman lain mendapat latihan menembak. Sulit kubayangkan bahwa kami juga ditambahi tugas semakin berat sebagai eksekutor, mengingat semakin gawatnya perang saudara. Kemarin ditemukan banyak mayat ditenggelamkan di sebuah rawa sehingga beberapa waktu hasil pertanian kangkung di rawa tersebut tidak laku dijual. Peristiwa itu menyusul setelah adanya penangkapan besar-besaran oleh aparat terhadap ratusan pemuda yang ingin menjarah persenjataan di gudang senjata di pusat pendidikan prajurit di kota kami.
Dan malapetaka itu pun terjadi. Setiap malam, berpuluh tahanan dibawa ke sungai pasir di lereng gunung merapi. Mas Parman memaksaku untuk menghabisi Marjo, pemuda tetanggaku yang selalu berseragam hitam dengan sapu tangan merah di lehernya. Dengan tangan terikat, dia harus menghadap lubang galian pasir. Aku siap dengan pistol di belakangnya. Terdengar aba-aba siap. Peluh membasahi telapak tanganku. Badanku menggigil. Kepalaku berkunang-kunang. Perutku mual, mau muntah…
“Tembaaak!” teriak aba Mas Parman. Tiba-tiba Marjo berbalik menghadapku bersamaan dengan tekanan pelatuk pistolku. Matanya menatapku tajam. Tepat di dadanya muncrat darah mengenai mukaku. Jantungku seperti terhenti, kemudian hanya kegelapan menerpa pandanganku… Dan kemudian yang tersisa hingga sekian lama adalah tatapan mata Marjo yang selalu mengikutiku.
Kartu lebaran yang kuterima dari sahabatku, Mulyono, membuatku menghabiskan masa liburan ini di kota kelahiran bersama keluargaku, setelah hampir tiga puluh tahun ingin kulupakan. Mulyono yang sudah jadi dokter dan baru pulang haji menyambutku dengan pelukan dan tangis. Pengalaman masa lalunya juga tak jauh berbeda denganku. Jiwanya juga pernah terguncang sewaktu menghabisi seorang tawanan. Tidak dengan pistol melainkan dengan parang.
“Kamu tahu, Aryo,” ceritanya. “Setelah aku lulus dan mulai praktik, beberapa kali aku kedatangan pasien yang sama. Lelaki kurus, pucat, dan bermata cekung. Setiap kutanya sakit apa, dia buka bajunya dan tampak perutnya robek menganga dengan usus yang terburai. Sesudah itu aku tak tahu dia pergi karena aku pingsan. Hingga aku pun juga hampir jadi gila. Tapi sekarang aku tenang, setelah bisa aku atasi dengan tekun beribadah.”
“Sekarang Mas Parman di mana ya?” tanyaku. Cepat dia jawab dengan pandangan aneh seperti mengandung rahasia. “Oh ya, kau harus tengok dia. Dia sempat diangkat jadi camat. Sekarang dia sakit. Beberapa kali dia dibawa kemari. Dia sekarang tinggal di desa kelahirannya sana!”
Mas Parman masih segar ingatannya saat kutemui. Dia merangkulku sambil menepuk-nepuk punggungku. Kami mengobrol ke sana kemari tentang Jakarta dan tentang jabatan camat yang dia peroleh setelah kekacauan usai. Ketika aku berbasa-basi mengucapkan terima kasih bagaimana dia dulu telah menggemblengku jadi orang tegar, tiba-tiba dia meringkuk sambil merintih kesakitan. Seluruh tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan memar seperti habis disengat listrik. Aku pun panik. Akan kugotong dan kubawa ke dokter, tetapi istrinya tampak tenang saja.
“Tidak apa-apa, biar saja Mas,” ujarnya, “sejak jadi camat, penyakit aneh ini selalu timbul ketika diingatkan tentang masa lalunya. Tapi saat hendak dibawa ke dokter, penyakitnya selalu hilang dengan sendirinya.”
Ah, masa, pikirku. Dengan setengah memaksa, kubawa dia dengan mobil ke tempat Mulyono. Begitu sampai di depan pintu ruang praktiknya, mendadak penyakit Mas Parman hilang dengan sendirinya. Rintihannya berhenti dan wajahnya penuh ketidakmengertian.
Mulyono keluar. Senyumannya aneh menyambut kami…
Klaten, 2003
Catatan:
Lintang kemukus
: meteor berekor asap
Pageblug: musim kematian manusia
Upet: tali bambu kering yang dibakar ujungnya
Jagong bayen: menghadiri selamatan kelahiran bayi
Jagabaya: aparat keamanan kelurahan
Diciduk: ditangkap
Ciak: makan
Rokok kelembak: rokok berbumbu menyan
Kirimi Aku Makanan
Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini. Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat akrab dengannya. Semula pada suatu sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan salam dengan menyebut nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan. Seakan dia sudah tahu benar bahwa aku paling suka cerita-cerita begituan sampai paling getol nonton televisi yang menayangkan tentang dunia hantu dan alam gaib.
Di kompleks rumah Mas Sudar ini ada yang pelihara tuyul lho,” katanya.
”Ah yang benar!” sahutku.
”Benar! Mas Sudar kerap kali kehilangan uang kan?”
Memang benar. Aku kerap dan bahkan sangat kerap kehilangan uang. Uang ”laki-laki” yang aku simpan di tas kerjaku kerap berkurang. Tapi aku tak menyangka itu pekerjaan tuyul, paling-paling kerjaan istriku yang tahu nomor kode kunci tas kerjaku. Karena dia pun suka ngerjain kartu ATM saya.
”Kok tahu?” tanyaku tertawa.
Kemudian dengan serius dia mengatakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai mediator untuk orang-orang yang perlu bantuan untuk bisa memelihara tuyul, genderuwo atau jin.
”Di kota ini sudah banyak pengusaha toko sepeda motor, mobil, atau restoran yang memerlukan penjaga usahanya dengan memelihara makhluk seperti itu berkat bantuan saya. Bahkan beberapa pejabat negara pun minta dicarikan jin.”
Saya terdiam bengong.
”Betul kok Mas, saya biasa melihat siapa saja yang memelihara tuyul atau sebangsanya. Kalau Mas Sudar mau bisa saya carikan.”
”Ah musyrik,” jawabku. ”Anda sendiri gimana. Berprofesi makelar tuyul, apa tidak dosa?”
”Ah ya tidak. Wong saya hanya perantara. Meskipun saya mendapat bayaran untuk itu, aku tidak mau dibayar dengan uang sesudah dapat tuyul. Harus dengan uang sebelumnya. Dan saya sudah serahkan tanggung jawab kepada mereka, bahwa mereka akan selamanya sampai hari kiamat menjadi budak setan.”
Beberapa hari kemudian, ada peristiwa aneh di rumahku. Kami sekeluarga sedang menghitung uang belanja dan memisah-misahkan mana untuk belanja harian, mana untuk uang sekolah anak-anak, dan lain-lain. Uang kami atur menurut nilainya, lima puluhan ribu ditumpuk jadi satu, ratusan ribu dengan ratusan ribu. Dan baru sedetik istriku menaruh selembar ratusan ribu, detik itu pula raib di depan mata kami. Kami bingung mencarinya.
”Diambil tuyul kali Yah!” kata anakku.
”Tuyul?… Tuyul kepala hitam!” jawabku. Istriku merengut, rupanya tersinggung karena saya selalu menyebut diambil oleh tuyul kepala hitam, setiap uang di tas kerjaku hilang. Lebih mengherankan lagi tak lama kemudian Roni datang.
”Betul kan Mas, ada tuyul di sekitar sini,” katanya. ”Mau tahu siapa yang punya.”
Kemudian dia minta disediakan baskom berisi air. Dia minta memerhatikan air. Nanti akan terlihat siapa orangnya. Tapi sampai mata saya hampir lepas tak kulihat siapa-siapa, kecuali bayang-bayang wajahku sendiri.
”Lihat Mas. Itu orangnya. Perempuan berambut ikal. Nah itu nomor rumahnya kelihatan.”
”Saya tidak melihat apa-apa,” jawabku.
”Ah memang, perlu tirakat dan ritus tertentu untuk bisa melihat penampakan…. Nanti kalau mau saya ajari. Tapi sekarang kalau Mas Sudar melihat seorang perempuan jalan sore dengan kedua tangan di belakang, itu dia sedang menggendong tuyul. Coba nanti dari belakang kita cibiri dia, maka dia akan menoleh karena tuyulnya memberi tahu bosnya.”
Ternyata betul dengan apa yang Roni katakan. Dan sekarang saya tidak pernah lagi kehilangan uang. Mungkin tuyulnya malu karena sudah ketahuan.
Rupanya perkenalanku dengan alam gaib semakin jauh. Kami sekeluarga baru saja menikmati honor cerpenku yang telah dimuat di sebuah majalah dengan makan-makan di warung lesehan, Roni mengunjungi kami lagi di rumah.
”Cerpenmu bagus Mas,” katanya. ”Saya dengar mau bikin novel ya?”
Aku baru saja membuat cerita pendek dengan latar belakang peristiwa G30S, dengan mengumpulkan referensi dan data dari para saksi mata dan pelaku yang masih hidup.
”Harusnya Mas Sudar melengkapinya dengan menambahkan dari narasumber yang menjadi korban pembantaian!”
Ah gila. Mana mungkin, pikirku.
”Bisa lho Mas,” ujarnya. ”Mereka ini masih penasaran jadi arwah yang masih gentayangan karena merasa tidak rela akan nasibnya. Kuburan massalnya ada di daerah Luwengombo, Pandansimping, atau di Desa Tempuran. Dengan cara tertentu kita bisa menemui mereka. Dan nanti akan membuat novel Mas benar-benar hebat.”
Benar-benar gila orang ini, pikirku.
”Benar-benar biasa lho Mas! Dengan ritual tertentu kita bisa berhadapan dengan mereka di tempat mereka dibunuh. Cuma kita harus tabah dan siap mental karena mereka akan hadir dengan bentuk keadaan terakhirnya. Saya sendiri kurang berani menghadapinya. Sungguh mengerikan mereka menampakkan diri dengan kepala terbelah atau usus terburai atau tanpa kepala.”
Bulu kudukku meremang.
”Tapi kalau Mas hanya ingin mengenal dunia alam gaib mereka, ini saya beri tahu ritualnya.”
Dia menulis kelengkapan ritual dengan laku, rapal, dan amalan di atas sesobek kertas dan diberikan kepadaku.
Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini…! Oleh kekuatan rasa ingin tahuku, tanpa setahu istriku aku laksanakan ritual itu. Ah, ini pasti perbuatan iseng si Roni, pikirku.
Hingga pada suatu sore, sewaktu aku mengunjungi sahabat di sebuah pesantren di Desa Tempuran, agak di luar kota. Ketika melintasi jembatan sungai berpagar tembok di ujung desa, terasa bulu kudukku meremang. Di sepanjang pinggiran sungai penuh pohon pisang sehingga memberi kesan gelap. Pulangnya sehabis magrib, menjelang melintasi jembatan, tiba-tiba saja ada seorang lelaki tua melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu dari arah mana dia muncul. Kupinggirkan sepeda motorku di samping pagar jembatan.
”Monggo Pak,” sapaku. ”Kalau mau ke kota, saya boncengkan.”
”Tidak kok Nak Mas,” jawabnya lirih. ”Saya hanya mau minta tolong untuk menyampaikan pesan saya kepada anak saya, supaya kerap mengirimi saya makanan.”
”Alamat anak Bapak di mana?”
Dia sebutkan sebuah nama dengan alamat jalan nomor rumah di luar kota.
”Lha, Bapak tinggal di mana?”
”Tidak jauh dari sini kok, Nak,” jawabnya sambil menunjuk searah dengan rumpun pisang. Mungkin tinggal di desa seberang sawah sana, pikirku.
Saat kunyalakan sepeda motor dan berpamitan, dia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Tapi… senyum itu… ya Allah, senyuman seperti orang menahan sakit itu, telah membuatku tidak bisa tidur semalaman.
Paginya kusempatkan waktuku untuk mencari alamat anaknya. Ternyata tidak mudah. Setelah bertanya kesana-kemari, kebanyakan orang mengatakan tidak tahu, bahkan ada yang kelihatan enggan menjawab. Ataupun kalau menjawab pasti ditambah kata: oooh…, eks tapol Pulau Buru itu? Akhirnya kutemukan juga. Seorang lelaki paruh baya, air mukanya nampak bagai orang yang telah mengalami tempaan hidup yang keras, menyambut kedatanganku dengan pandangan penuh curiga.
”Dari mana Bapak tahu alamat saya, dan tujuan Bapak mencari saya?” tanyanya menyelidik. Kusampaikan kepadanya bahwa aku telah bertemu ayahnya yang tinggal di Desa Tempuran, serta kusampaikan pula pesan ayahnya. Dia tertegun beberapa saat.
”Ayah saya? Seperti apa dia?”
”Rambut sudah beruban, alis tebal, berjanggut yang sudah sebagian memutih, berbaju lurik dan memakai sarung pelekat hijau,” jawabku seingatnya.
Tiba-tiba dia benamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Katanya di sela sedu sedannya:
”Ya Allah, dalam pakaian itulah sewaktu ayah dibantai bersama orang-orang yang dianggap melakukan gerakan makar. Ternyata benar kata orang mereka telah dikubur di bantaran sungai yang kemudian ditanami pohon pisang di atasnya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak!
(Belakangan aku sarankan kepadanya untuk mengirim doa kepada ayahnya setiap kali dia shalat. Mungkin itu yang dipesankan ayahnya untuk dikirimi makanan. Dan selama ini aku tidak lagi berjumpa dengan Roni, kabarnya dia telah menjadi salah satu penasihat spiritual pejabat tinggi di Jakarta.)
Klaten 2004
Catatan:
Ngalor-ngidul: Utara Selatan, tak terarah
Laku: Melakukan ritual fisik, seperti puasa, tidak tidur malam, dsb.
Rapal: Mantra
Amalan: Bacaan Doa
Monggo: Mari, silakan


Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar