Wiro Seledri
Berita lelayu yang diumumkan mesjid desa sesudah
shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro meninggal dunia, padahal 3 hari
yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama ta’ziah di tetangga dekat rumah
yang meninggal.
Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di
gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat,
beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di
atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi
selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus
sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak
tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng.
Pak Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan,
tadi sehabis shalat subuh, mbah Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan
pulang seperti biasanya lewat sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya
kereta dari Jakarta menuju Solo Balapan akan lewat. Sementara dia menutup
palang rel kereta, dari sinar lampu kereta yang datang terlihat bayangan mbah
Wiro yang masih berjalan di tengah rel. Pak Min berusaha mengejar sambil
berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro semakin cepat melangkah sambil
mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro
terpental ke sawah di samping rel.
”Tidak banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki
patah” jelas pak Min.
***
Sebetulnya belumlah bisa disebut rumah karena masih
berupa gubug bambu beratap rumbia tak jauh dari rel kereta, seluas tak lebih
dari 12 meter persegi, dengan secuil tanah sekeliling teritisannya dipenuhi
tanaman sayur seledri yang rimbun, adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah
dihuninya lebih 10 tahun. Dengan penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri
ini, sangat menarik perhatian dan keingintahuan saya.
Konon mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah
belasan tahun mendekam di tanah buangan jauh di belahan timur negeri ini.
Usianya mungkin hampir 80 tahun. Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan
sambil membawa segepok sayur seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian
yang mebuatnya disebut juga mbah Wiro Seledri.
Pertama kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu
berta’ziah seorang kerabat yang meninggal beberapa tahun lalu. Saya perhatikan,
sementara jenasah sedang dishalatkan, dia duduk menyendiri, dengan mata rapat
terpejam, kedua tangan dalam sikap mau shalat, nafas hampir tak terdengar.
Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat, dia pun berhal demikian.
Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga yang meninggal, saya menjumpai
hal yang sama, sehingga mengusik hati dan penasaran untuk ingin tahu, apa
sebenarnya yang dia lakukan.
Dari pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang
rajin melayat siapapun warga yang meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga
kadang orang mencibir, itu kan hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari
keluarga yang berduka. Tetapi warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti
itu. Kalaupun ada saya lihat mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong
saya makin ingin tahu tentang dia.
Kesempatan itu datang saat ada acara pemakaman di desa
sebelah. Kami pulang bersama meniti pematang. Secara tidak langsung saya
bertanya tentang doa untuk orang meninggal. Dia menatap saya agak lama,
sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu sendiri sudah tahu!”
”Begini nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan
untuk saya sendiri,” jelasnya, ”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan,
karena dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat.”
Saya terperangah sejenak.
“Maksudnya mbah.”
Dia hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya.
Ah, gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan
saya akan misteri orang sepuh ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara
pemakaman siapa saja untuk bertemu mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah
menganggap saya ini pengikut ajaran mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan
apa yang ingin mbah Wiro lihat.
Izroil!
Wah, makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat
maut?!
Akhirnya saya paksa diri saya pada suatu hari
berkunjung ke tempat tinggalnya.
”Nak mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang
telah menjalani perjalanan hidup yang kelewat panjang adalah saat untuk
merindukan ketenangan. Saya tahu malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang
meninggal”
Saya masih belum mengerti maksudnya
”Mbah pernah melihat Izroil?”
Dia menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan
bergumam pelan dia berkata:
”Saya rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan
perjalanan sejarah kelam yang telah terjadi di negeri ini?”
”Sudah pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas
”Sekitar 40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal
itu terjadi. Bersamaan dengan munculnya lintang kemukus di langit menjelang
tengah malam, itu pertanda bahwa dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak
jelas, ribuan saudara kita dimakan pedang dan clurit.”
Saya belum menangkap maknanya.
Mbah Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang
kemudian disodorkan ke saya. Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam.
Asapnya menyembur ke seluruh ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia
ucapkan maaf dan menyilakan saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang
pahit benar di lidah saya.
”Nak mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan
kemanisan hidup. Juga kemanisan hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan
hidup.”
”Maksudnya?”
”Semasa muda saya hidup senang sebagai petani dengan
sawah warisan orangtua yang luas. Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia
suka lupa diri, kurang mensyukuri nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung
ayam. Jatuh ke tangan orang kaya yang banyak orang menyebutnya seorang tuan
tanah. Akhirnya jadilah saya cuma sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan
hidup ini, sebuah organisasi persatuan para petani datang sebagai dewa
penolong, paling tidak menolong saya lebih bersemangat dalam menghadapi hidup.
Organisasi ini menjanjikan perjuangan untuk memperbaiki kehidupan petani,
dengan melawan apa yang disebut setan desa, seperti rentenir, tengkulak ijon,
dan apa saja yang merugikan kaum tani, termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif
di dalamnya sebagai ketua ranting desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa
organisasi ini mendapat julukan onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!”
Mbah Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik
nafas panjang, kemudian meneruskan:
”Dan pertanda lintang kemukus malam itu terbukti.
Petaka besar terjadi. Hanya dengan tudingan terindikasi partai terlarang saja,
saudara-saudara kita dibantai oleh sesama saudara. Perburuan telah membuat desa
ini banjir darah. Nyawa manusia lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang
menasehatkan saya untuk melarikan diri, karena menurut dia saya sudah masuk
daftar. Tapi saya enggan. Sampai suatu tengah malam segerombolan orang
berseragam membawa senjata laras panjang dan beberapa warga menyandang pedang
dan clurit terdengar bergerak menuju tempat tinggal saya. Istri saya suruh
sembunyi di semak-semak kebun belakang, sedang saya di ladang jagung, tak jauh
dari depan rumah.
Setelah mereka menggeledah rumah ternyata kosong.
Seorang dari mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya
lari. Terus saja lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta
ampun istri saya. Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai
jatuh terjerembab di bantalan rel kereta di pinggir desa.
Kemudian dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel
hingga sampai stasiun di batas kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya
sudah terbaring di tengah beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya
dibawa ke suatu rumah besar yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa
mereka bukan ABRI, karena hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya
benar-benar merasa akan dihabisi oleh sesama saudara!”
Sampai di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan
Izroil? Yang saya tahu hanyalah cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu
di sekolah menengah.
”Setelah disekap satu hari, tengah malam saya
dinaikkan truk bersama banyak orang tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan
tangan terikat dan mata tertutup kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami
diturunkan di tempat yang saya pikir pasti hutan karena saya mendengar suara
gemerisik dedaunan yang kami lewati. Kami dibariskan satu-satu disertai
tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami disuruh maju selangkah. Dan
sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun serta suara benda berat jatuh
ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai. Ya Tuhan ampunilah segala
dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju setapak lagi. Saya
tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti. Dalam kegelapan
mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa
dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya….
Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dan
langkah-langkah berat berdatangan. Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami
tiarap. Teriakan kematian bersahutan. Sesaat kemudian berhenti.
Ternyata yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan
tutup mata dan tali ikatan kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang
sekarat dan seorang benar-benar meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar
masih di tangan. Dan ya Allah, sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir
sungai besar di mana menurut kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor
buaya di sungai itu!
Itulah permulaan jalan panjang saya menuju tanah
pengasingan di sebuah pulau yang jauh di sebelah timur sana”
Badan saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi
ragu dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan
film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua
warga sampai anak sekolah harus menonton.
Melihat wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya
mencoba mengalihkan pembicaraan:
”Wah hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.”
”Darah dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro
manggut-manggut, ”Tuhan menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan
hidup dalam keadaan apa pun.”
”Termasuk semaktu di tanah pengasingan mbah?”
”Benar nak mas. 12 tahun memendam perasaan
kesendirian, kesepian, kengerian keadaan ribuan tahanan yang tak lepas dari
kekerasan petugas, jaminan hidup tak memadai, harga diri sebagai manusia
dihabisi, dan segala yang rasanya membikin hilang harapan. Tetapi ternyata itu
semua makin memperkuat ketahanan kita untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di
daerah perbukitan yang gersang. Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu
putih.
Semula memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi
akhirnya sadar bahwa kami dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban
pemerintah untuk memberi makan kami. Itulah yang membuat kami semua merasa
mempunyai satu ikatan kekeluargan yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi,
tebu, jagung, ubi, dan kacang, Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan
pupuk, tanaman kami cukup memuaskan.”
”Lalu dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan.
”Sedikit ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya
tersenyum mendengar jawabannya. Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir
menangis.
”Tinja memang kita anggap barang paling hina dan
menjadi santapan enak bagi babi.
Tapi benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil
lagi!”
Mbah Wiro tercenung beberapa saat, kemudian
mendekatkan wajahnya padaku, sambil ujarnya pelan:
”Suatu hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya
berontak, yang membuat saya tak tahan buang air besar di sungai yang tak jauh
dari barak. Tiba-tiba sebuah bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala
saya. Segera saya lari menuju barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah
menunggu saya. Dengan tendangan saya dipaksa mengambil tinja yang sudah
terapung di sungai. Dan di depan teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan
tendangan bertubi-tubi serta ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan
seekor babi.
Selama seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya
selama ini runtuh. Betapa hinanya harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak
tahan saya untuk tidak menyiapkan tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan
sudah tak sadarkan diri sekilas seorang berjubah hitam mengendarai kuda di
angkasa menoleh dan tersenyum kepada saya. Tiba-tiba teman-teman menolong
menurunkan saya!”
Mbah Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada
dirinya sendiri:
”Ya sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika
telah dipulangkan dari sana. Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai
rumah dan istri serta sanak keluarga saya.”
Seakan ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar
kisah terakhir ini. Lama kami terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang
jauh ke depan, ke arah rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel
kereta yang lurus sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya:
”Lihat nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam
kereta di atas rel lurus dengan tujuan yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak
bisa membelokkan sendiri ke arah lain!”
Kami ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum
meninggalkan rumahnya, saya sempat bertanya setengah bercanda:
”Omong-omong bagamana wajah malaekat itu, mbah?”
”Itu rahasia Tuhan!” jawabnya tegas.
Sesampai di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman
seledrinya yang nampak benar sangat subur, saya bertanya pula:
”Pupuknya apa mbah?”
Dia hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke
rumahnya.
Sehabis pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya,
sehubungan dengan tugas saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan
saya bertemu mbah Wiro sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur
seledri. Basa basi saya menyapa dengan bertanya apa kabar.
”Semalam saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia
telah mengabulkan permohonan saya tentang kerinduan yang selama ini saya
dambakan” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat
aneh.
***
Sehabis dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke
pemakaman di pinggir desa. Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya
ikut mengusung kerandanya.
Sewaktu jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika
kain kafan di wajahnya dibuka, saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang
dan nampak tersenyum. Saya rasa mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil
ikut menunggang kuda di angkasa!
Klaten, 2011
Wanita Berpedang Samurai
Perempuan itu berjalan mendekatiku sambil tangan
kirinya menggenggam pangkal sarung pedang, sedang tangan kanannya mencengkeram
tangkai pedang, siap menghunusnya.
Pedang yang bersarung kulit itu paling tidak sudah
selama 60 tahun tergantung di dinding ruang tamu persis di atas sofa. Seingatku
semenjak usiaku lima tahun sudah kulihat terpampang di situ. Bentuknya yang
ramping memanjang, dengan hiasan logam keemasan di tangkainya, membuatku
terkagum-kagum membayangkan betapa gagahnya orang yang menyandangnya. Almarhum
ayah pernah bercerita, pedang itu hadiah dari Seigo-san, seorang serdadu Jepang
sahabat ayah di zaman pendudukan Dai Nippon. Mereka bersahabat mungkin karena
mempunyai kegemaran sama, yakni minum-minum sampai mabuk dan wanita.
“Sewaktu Jepang kalah perang, dia ditarik kembali ke
negerinya,” cerita ayah. “Sebelum pergi kami menyanyikan Kimigayo bersama-sama
sambil menangis. Kemudian dia menyerahkan pedang sebagai kenangan dengan
harapan bisa bertemu lagi. Paling tidak ketemu di akhirat nanti.”
“Rawatlah dan hargailah pedang itu dengan baik
sebagaimana kau mencintai istrimu kelak. Pedang samurai adalah lambang dari
kesetiaan dan harga diri. Jadikanlah hidupmu seperti seorang samurai.
Sebagaimana keris, pedang samurai dengan mata pedang yang sangat tajam yang
ditempa dari wesi aji, kemudian dilapisi baja di punggungnya sehingga lentur
tak mudah patah, adalah lambang ketegaran hidup yang tidak gampang patah dan
berwawasan tajam,” pesan ayah menjelang kepergian untuk selamanya.
Setiap kali kubersihkan pedang dan kubasuh dengan
minyak cendana, seperti yang kulakukan untuk koleksi keris-kerisku. Kekagumanku
tak pernah habis menikmati keindahan bilahnya setiap kuhunus. Di depan cermin
aku suka berdiri bak samurai menggenggam tangkainya dengan kedua tangan dan
membayangkan diriku seperti Musashi.
Itu semua rupanya memberikan getaran-getaran benang
halus yang menghubungkan hatiku sehingga jatuh cinta kepada Jepang. Dari usia
sekolah hingga sekarang aku sangat menyukai gambar-gambar alam Jepang juga
lukisan-lukisan ukiyoe karya Utamaro atau Hirosige. Juga nyanyian tradisionil
Jepang, Shina No Yoru, hingga lagu-lagu Kenji Sawada. Semua film karya Kurosawa
saya lalap habis. Begitu juga film serial Zatoichi.
Rupanya pedang itu telah merasuk dalam jiwa ragaku.
Mungkin bisa dibilang aku kesurupan pedang, sehingga bagaikan Musashi yang
dalam perjalanan hidupnya selalu mencari tantangan. Dan kemudian sang penantang
yang datang kepadaku adalah senyuman dari perempuan itu yang badannya semampai,
matanya sedikit sipit dan sayu, rambutnya panjang tergerai, kutemukan dia di
sebuah diskotek paling liar di Jakarta.
“Kita para lelaki itu biasanya, kalau sedang jatuh
cinta, jarak antara otak dan ‘senjata’-nya sangat berjauhan, sehingga apa pun
akan dilakukannya tanpa pakai otak,” ujar sahabatku memberi peringatan ketika
aku nampak tergila-gila pada si mata sayu.
“Dimulai dengan mengirim bunga, hadiah-hadiah, harta,
sampai sedia menjadi budaknya, bahkan sampai nyawa pun diserahkan,” tambahnya.
Ah, enggak percaya pikirku. Masa iya, sampai sebegitu jauhnya, kan aku seorang
samurai.
Dan jadilah kemudian sebuah kisah cinta bagaikan opera
sabun sinetron di televisi kita. Memang dimulai dengan sekuntum bunga mawar.
Kemudian bukan hanya bunga saja, melainkan masa depan hidup aku serahkan kepadanya.
Meskipun bibir tipisnya suka bicara setajam pedang samurai, dan dia datangnya
lewat tajamnya sinar laser lampu-lampu diskotek, serta tajamnya perbedaan usia
kami berdua, aku malah semakin mencintainya. Apalagi setelah anak lelaki tampan
telah dia lahirkan, melengkapi kebanggaanku sebagai seorang samurai yang habis
menang berlaga.
Musim gugur di Kyoto ditandai dengan mulainya daun
momiji yang hijau berubah menguning yang nantinya akan berubah merah meronai
kota indah itu. Kota yang pernah dihadiri Musashi ini, yang telah lama
kuimpikan, akhirnya kenyataan telah datang dengan tugasku di negeri matahari
terbit ini. Daun momiji yang berakhir dengan menghitam layu di akhir tahun,
telah memberikan kerinduan gaib dalam jiwaku.
Bermula dari ketika kuhabiskan waktu sore sepulang
dari jalan-jalan ke Ginkakuji, dengan menyusuri jalan setapak Tetsugaku no
Michi yang dalam buku petunjuk wisata disebut philosophy pathway, jalan untuk
merenung sambil menyusuri sungai di sampingnya. Sementara pohon momiji rindang menaungi
sepanjang jalan dengan daunnya masih menghijau.
Di seberang kanan jalan sebuah restoran kecil
meniupkan bahu semerbak, mengundang selera saya. Noren di atas pintu masuk
bertuliskan yakitori.
“Irashaimase…,” suara halus dari seorang wanita
beryukata muncul dari balik noren dengan sikap ojigi, ketika langkahku sampai
di depan kedai. Budaya Jepang yang santun ini membuatku tak bisa menolak
undangannya. Kuambil kursi dekat jendela yang menghadap rimbunnya daun momiji.
“Dozo…,” ucapnya sambil menyerahkan daftar menu dengan
sedikit senyum tersungging.
“Yakitori to biru ni shimasu,” jawabku.
Kuperhatikan langkah-langkah halusnya setelah dia
berbalik ke dapur. Yukata dengan obi di punggung serta leher baju bagian
belakang agak turun ke bawah ditambah sanggul yang agak ke atas, telah
membuatku terkesima. Di mataku terlihat tengkuknya putih bagai salju dengan
bulu-bulu halus kebiruan. Benar juga kata sementara teman, bahwa keindahan
wanita Solo adalah pada pinggang ramping dan pinggulnya, sedang wanita Jepang pada
tengkuknya!
Sambil menunggu datangnya pesananku, kubuka buku Ai No
Kawaki karya Mishima Yuko yang kupinjam dari koleksi buku Murai shensei.
“Omatashe-shimashita…,” ucapnya minta maaf karena
telah menunggu agak lama sambil meletakkan sepiring yakitori, segelas bir dan
secawan kecil oshiko yang di atasnya ditaruh sehelai daun momiji hijau.
“Its okey, domo,” jawabku sekenanya.
Kuambil sehelai daun momiji dari cawan acar itu dan
kuselipkan ke buku Mishima dengan hati-hati sebagai pembatas buku. Dia perhatikan
apa yang aku kerjakan sambil tersenyum. Senyumannya itu… ah!!
Dan senyuman itulah yang kemudian memberiku perasaan
aneh mulai melilitku. Mungkin kecantikan asli wanita Jepang paruh baya ini
sebagaimana digambarkan dalam lukisan Ukiyoe Utamaro dengan mata sipit, hidung
mancung dan kulit putih, serta namanya yang indah dan enak didengar. Harumi
memaksaku untuk kerap mengunjungi restoran itu, supaya bisa menemuinya setiap
sore, menjelang dia pulang kerja. Sepertinya ada kegelisahan penuh rahasia di antara
kami berdua. Apalagi bagiku, kalau teringat si mata sayu di rumah yang beberapa
tahun terakhir ini suka uring-uringan tidak jelas juntrungannya.
Tanpa kami sadari setahun telah berjalan dengan
sendirinya, dan aku kerap pula mengantarkannya, dengan kereta subway menuju
stasiun terdekat dengan tempat tinggalnya, meskipun apartemenku berlawanan
arah. Di kereta, kami lebih banyak berbicara dalam diam. Hanya saling memandang
dengan tersenyum. Rupanya dia sadar benar akan keterbatasanku dengan bahasa negerinya.
Di peron stasiun pemberhentiannya kami berpisah. Dia ucapkan sayonara sambil
menyerahkan setangkai kecil daun momiji tiga helai yang masih hijau, yang dia
ambil dari tas jinjingnya, dan kemudian menaiki tangga keluar. Aku pun
melanjutkan langkah mencari peron sebaliknya.
Getaran-getaran aneh yang selalu menyelinap dalam
jalan bersama ini, sepertinya sangat kami nikmati, hampir setiap hari. Sehingga
daun momiji yang aku terima dan kemudian menjadi pembatas bukuku ini, telah
menjadi catatan mesra selama musim gugur. Dari warna hijau, lalu kuning, merah,
hingga coklat dan daun kering menghitam tanda musim gugur usai.
Dua musim gugur telah berlalu. Selama itu telah banyak
aku dengarkan cerita tentang dirinya sendiri. Rupanya juga tak jauh berbeda
denganku. Insan yang menjalani hidup ini dengan perasaan tak jelas arahnya.
Perjalananku ke negeri sakura ini sebenarnyalah bagai terhempas ke dunia yang
dihimpit sepi, tak bertujuan, karena hanya menyerah pada keadaan. Begitu juga
dia. Kesehariannya adalah rutinitas yang baginya bukan lagi kodrat, melainkan
nasib. Nasib seorang perempuan yang dijauhkan dari impiannya sebagai ibu dan
istri. Anak sudah menikah, jauh dari rasa peduli kepada ibunya. Suami pulang
kerja tengah malam dengan bau alkohol, seperti biasanya kaum pekerja di Jepang
yang menghabiskan waktu pulangnya dengan minum-minum sesama koleganya. Bahkan
harus rela berbesar hati apabila sang suami pulang mabuk, dipapah seorang
wanita lain.
Pagi hingga malam terjerat kesendirian, setelah
menyiapkan makan pagi sang suami, kemudian membereskan rumah, belanja, masak,
dan akhirnya hanya ditemani acara televisi yang sangat membosankan. Dan
akhirnya terhempas pula di restoran ini untuk bisa berjumpa dengan orang lain.
Tiga tahun lebih, aku telah merasa benar-benar bagai
samurai sehebat Mushasi. Kami menikmati hari-hari indah ini dengan penuh
kerahasiaan yang kami simpan berdua. Menjelang akhir tugasku, kujumpai dia
dengan kabut di wajahnya. Matanya agak lebam dan pipi kirinya nampak memar
meskipun disaput dengan bedak tebal. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa aku
tak usah bertanya. Hampir dua bulan aku tak bisa menemuinya sesudah itu. Bahkan
sehari sebelum kepulanganku, tak kujumpai dia di restoran itu. Mama-san,
pemilik kedai yang biasa dipanggil, mengatakan bahwa Harumi sudah tidak bekerja
di situ lagi.
Hampir tiap bulan aku terima suratnya, berhuruf kanji
yang kurang aku mengerti. Hanya tempelan daun momiji dari warna hijau hingga
merah yang aku ketahui maknanya. Lewat penantian yang panjang, setelah puluhan
kali suratku tak terbalas, barulah setahun kemudian kuterima surat tanpa
tulisan dengan tempelan daun momiji hitam yang sudah kering kerontang.
Perempuan itu semakin mendekat. Pedangnya mulai
terhunus. Mata sayunya lenyap. Berubah menjadi tajam berkilat, mulutnya
mengatup rapat. “Ada apa yang…?” tanyaku terkesima. Ujung pedangnya telah
menyentuh dadaku. “Tidak usah tanya! Ceraikan aku sekarang atau kubunuh kau!”
jawabnya sambil menekan ujung pedangnya semakin keras. “Ada apa yang?” tanyaku
lagi.
“Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di Jepang?
Tua bangka gak tahu diri!” Ujung pedangnya mulai menembus bajuku. Ah aku pikir
bukan itu alasannya. Apa yang kurasakan belakangan ini adalah seperti yang
telah diperingatkan teman-teman. Penyebabnya adalah setelah akal sehatku
hilang, setelah apa yang kupunya kuserahkan atas nama dia, rumah, tanah, mobil,
bahkan asuransi jiwaku, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak membuka
topengnya.
“Tidak mungkin aku menceraikan kau dong yang,” ujarku
setenang mungkin. “Bagaimana dengan nasib anak kita nanti…?”
“Anak kita?! Bukan!! Yang pasti anak itu bukan anak
kamu! Dia anak diskotek!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya.
Sebelum pedangnya menebas leherku, aku sudah keburu
hancur berkeping-keping!
Kyoto, 2008
Candik Ala
Setelah matahari tengah hari tergelincir, langit
berangsur berubah berwarna kuning. Sinar menyilaukan berpendar-pendar
membiaskan kabut kuning menerpa seisi alam. Cuaca seperti inilah yang oleh ibu
disebut sore “candik ala”. Suatu sore yang jelek. Suatu sore yang membawa
malapetaka dan penyakit. Dalam cuaca seperti ini, kami diharuskan masuk ke
dalam rumah.
Aku tidak lagi mau bertanya kepada ibu, perihal kenapa
kita mesti takut kepada cuaca seperti itu. Karena kalau aku bertanya hal-hal
aneh, seperti misalnya larangan untuk duduk di depan pintu yang nanti akan
dimakan Batara Kala, akan selalu dijawab dengan nada agak marah, dengan kata
yang tak kupahami maksudnya: “Ora ilok!” kata ibu.
Tapi kali itu, setelah beberapa kali mengalami sore
candik ala, aku tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang ayah, yang sudah
berbulan-bulan tidak pulang. Ibu seperti menghindar, memalingkan muka menyembunyikan
wajahnya, sambil jawabnya:
“Nanti juga kalau saatnya pulang, pasti pulang.”
“Apa nggak kena penyakit karena candik ala, Bu?”
tanyaku tak sabar. Ibu diam saja.
Memang, kadang-kadang setengahnya aku kurang percaya
dengan hal-hal aneh demikian, tapi kadang kala pula hati dibuat ciut dengan
kejadian seperti yang pernah kami alami tahun lalu. Menjelang tengah malam
kudengar suara kentongan bertalu-talu, seperti jutaan kentongan dipukul
bersamaan. Semula terdengar samar-samar, seperti dari kejauhan, semakin lama
semakin keras seperti semakin mendekat. Ibu segera berdiri di balik pintu
depan, sambil komat kamit membaca doa. Kudengar sepotong doanya:
“Ngalor, ngalor, aja ngetan aja ngulon.”
Kupeluk kaki ibu karena ketakutan oleh sesuatu yang
tidak kumengerti.
“Ada gejog,” kata ibu, “Nyai Roro Kidul bersama bala
tentaranya sedang berarak menuju istananya di gunung Merapi. Orang yang tinggal
dekat Segara Kidul, yang pertama kali melihat ombak laut besar dan suara
gemuruh, mulai memukul kentongan. Itu pertanda Nyai Roro Kidul keluar, naik
kereta kencana, diiringi para serdadu jin. Kemudian orang desa yang akan
dilewati rombongan itu beramai-ramai memukul kentongan supaya beliau tidak
singgah ke desanya. Karena setiap beliau singgah, beliau akan mengambi abdi dalem
baru.”
Aku tetap kurang paham akan keterangan ibu. Yang aku
tahu ibu telah berdoa supaya rombongan itu tidak singgah ke sebelah timur
Gunung Merapi, letak desa kami.
Beberapa hari kemudian, malamnya, dua lelaki
berseragam loreng datang ke rumah dan mengajak ayah pergi, sepertinya dengan
cara paksa. Ibu mengejar sampai halaman depan sambil memohon supaya ayah jangan
dibawa dengan penuh iba.
“Ayah dibawa Nyai Roro Kidul ya Bu?” tanyaku.
“Hush!” jawab ibu sambil bergegas langsung masuk kamar
tidur. Kudengar tangisan ibu menyayat hati.
Berita tentang perginya ayah merebak ke seluruh desa.
Meskipun tak begitu aku pahami artinya, kudengar dari Lik Kasdi, pamanku, bahwa
ayahku terlibat. Terlibat apa aku kurang jelas, hanya yang kuketahui juga dari
tetangga bahwa ayahku adalah seorang pegawai negeri yang suka memberi
penyuluhan kepada para petani.
Sejak itu, ibu kerap pergi dengan menjinjing rantang
berisi nasi dengan lauk ikan asin dan sayur daun singkong kesukaan ayah. Kami,
anak-anak, tidak diperkenankan ikut serta. Beberapa kali, aku yang merasa anak
terkecil suka merengek minta ikut. Dengan sedikit marah ibu menjawab:
“Ibu akan nengok ayahmu yang sedang kerja, kamu jangan
ganggu dia!”
Pasti ayah sedang kerja lembur, pikirku. Tetapi
beberapa bulan kemudian, ibu tidak bisa lagi berbohong, karena kemarin aku
dengar dari Lik Kasdi, bahwa ayah ditahan di kota.
Dan dia bercerita panjang lebar, tentang pemberontakan
besar. Waktu itu yang tertangkap dalam otak kecilku adalah tentang para
jenderal yang dikorbankan dimakan buaya di sebuah lobang.
“Ayahmu sedang berjuang,” ujar ibu dengan wajah keruh
ketika aku tanya soal tahanan ayah. Tanpa tahu apakah yang dimaksud dengan
berjuang, yang pasti aku kerap kali menangis sendirian bila malam waktu tidur
tiba. Setiap bangun pagi, ibu melihat mataku sembab. Rupanya ibu pun tahu akan
kerinduanku pada ayah. Kulihat air matanya mengembang. Kemudian memelukku
erat-erat, dan tangisnya tertahan meskipun air matanya deras membasahi
pundakku. Jadinya aku ikut menangis tanpa kutahu sebabnya.
Sore itu, cahaya candik ala menyelinap lewat jendela
menerpa lemari kaca tempat memajang foto ayah dalam bingkai. Mungkin karena
rinduku pada ayah, kulihat seakan foto ayah bergerak, tangannya melambai
kepadaku. Terasa di dalam dadaku ada yang menggelepar-gelepar.
Kudengar pula dari Lik Kasdi, ayah bersama para
tahanan beberapa lama ini sedang dipekerjakan membuat tanggul sepanjang rawa
besar di daerah tak jauh dari rumah kami. Katanya tanggul yang sepanjang tiga
kilometer ini sekaligus untuk jalan penghubung antardesa yang terpisah oleh
rawa. Karena rinduku tak tertahankan lagi, dengan mengendap-endap lewat pintu
dapur, tanpa sepengetahuan ibu dan tanpa takut dengan cuaca candik ala, sambil
membawa pancing bambu, kugenjot sepedaku lari kencang ke rawa, dengan harapan
ayah masih di sana.
Setiba di sana, nampak banyak orang berseragam loreng
dengan menyandang senjata laras panjang. Mereka berjaga di sebelah timur rawa,
di mana kulihat ratusan orang sedang bekerja menggali tanah dan mengangkat batu.
Dalam terpaan cahaya kuning, wajah-wajah kurus semakin mempertegas cekungan
mata bagai mayat hidup. Dadaku berdebar-debar, tak sabar untuk bisa cepat-cepat
bertemu ayah, yang mungkin ada di sana. Beberapa meter sebelum mencapai tempat
mereka, seorang petugas mengusirku, dan menyuruhku mancing agak jauh dari situ.
Kutaruh sepeda di pinggir jalan, kemudian duduk
mencangkung di atas batu padas di pinggir rawa. Dengan berpura-pura memancing,
terus kutajamkan mataku mencari ayah di antara ratusan orang yang sedang
bekerja. Langit yang membiaskan warna kuning agak menyilaukan mataku, sehingga
sulit mencari di mana ayah berada. Ketika langit berubah warna memerah,
pertanda magrib menjelang tiba, dan ketika aku nyaris putus asa, kulihat di
kejauhan seseorang berdiri tegak memandang ke arahku, sementara yang lain masih
bekerja…. Itulah ayah!
Kulempar pancing, tanpa menghiraukan para petugas, aku
pun berlari, menangis sambil berteriak keras-keras memanggil ayah. Ayah seperti
tertegun melihat kedatanganku.
Tetapi kemudian wajahnya berubah gembira, meskipun
kulihat seperti dipaksakan. Lengannya terentang menyambutku. Kujatuhkan diriku
memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya. Kulihat ayahku sangat kurus dan
lusuh, tapi nampak diusahakan selalu tubuhnya ditegap-tegapkan.
“Kapan ayah pulang? Kapan, yah, kapan?” tanyaku
berulang-ulang
Ayah tersenyum lebar sambil jawabnya: “Nanti kalau
kerja besar ini selesai, cah bagus.”
Beberapa petugas mendekati kami. Ayah bicara kepada
mereka beberapa saat, kemudian kami dibiarkan berdua. Kami hanya berpelukan
sampai terdengar peluit tanda usai kerja. Kami bergerak bersama para tahanan
menuju truk-truk yang sudah tersedia, sambil kupeluk pinggang ayah.
“Ayah tidak kena penyakit karena candik ala?” tanyaku.
Ayah tertawa. Sambil mengelus rambutku ayah bekata:
“Tidak mungkin ayah kena. Ayah sehat karena banyak
makan sayur.”
Kemudian ayah membopongku, menciumiku sambil tawanya
yang nampak dipaksakan pula. “Ayah nanti tidur di p..p..penjara?” tanyaku
terbata-bata menahan tangis.
“Siapa bilang, he..he..he, bukan di penjara, tapi di
hotel!”
“Ayah sedang berjuang?” tanyaku kemudian. Ayah nampak
kaget.
“Ibu yang bilang…,” kataku menjelaskan. Ayah tertawa
mendengar ini.
Menjelang dekat truk, ayah berjalan dengan tegak
sambil menyanyikan sebaris lagu Indonesia Raya. Para petugas dan para tahanan
terheran-heran, memandang kami. Setelah menurunkan aku dari gendongannya, ayah
melompat ke bak truk. Sambil menoleh kepadaku, ayah mengacungkan tinju ke atas,
dan katanya keras-keras:
“Ingat Aryo, kamu harus selalu berjalan tegak,
menghadapi nasib apa pun. Termasuk kalau ada candik ala…. Dan jangan lupa lagu
Indonesia Raya!”
Barisan truk pelan-pelan semakin jauh meninggalkanku
sendirian di pinggir rawa. Tak terasa air mata membanjir membasahi pipi.
“Ayaaaaaaaaah!!” teriakku keras-keras muncul sendiri
tanpa kusadari.
Saat usia sekolahku tiba, suatu malam Lik Kasdi, yang
sudah menjadi carik desa, datang mengunjungi rumah kami. Di ruang depan dia
bicara setengah berbisik kepada ibuku. Dari balik pintu kamarku, kutangkap
pembicaraan mereka, bahwa ayah sudah menyambut maut dengan gagah sambil
menyanyikan Indonesia Raya, katanya.
“Saya sudah berusaha keras menolongnya, Mbakyu,” ujar
Lik Kasdi, “Sudah kuberi bukti bahwa Mas Kasman tidak terlibat, melainkan
karena fitnah bekas bawahannya yang sakit hati karena dia pecat.” Aku mau
menangis keras, tapi terasa tenggorokanku tercekik. Semalam suntuk aku terduduk
di balik pintu kamar, sambil mendengar isakan ibu dan Yu Rini, berkepanjangan
di kamarnya.
Tiga tahun kemudian, ibuku pun menyusul ayah. Bukan
karena diambil Nyai Roro Kidul, melainkan oleh sakit batuk yang diidapnya
sekian lama. Yu Rini pun menikah dengan seorang aparat desa dan aku ikut
dengannya. Berpuluh tahun kemudian, setelah melewati berapa puluh sore candik
ala, setiap cuaca demikian, ada sesuatu yang pedih, seakan ada yang pecah
berkeping-keping di dalam dadaku. Dan telah sekian puluh tahun pula aku mencoba
benar-benar berjalan tegak, tapi sangatlah sulit. Hanya karena aku adalah anak
kandung ayah. Dan semua orang masih saja mengingat ayah adalah ayah kandungku.
Sekarang ini, aku masih juga mencoba berjalan tegak,
meskipun sudah sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi hanya baru bisa
melata di tanah!
Klaten, 2005
Catatan:
Candik ala: pertanda buruk dengan cuaca sore yang
membiaskan warna kuning
Ora ilok: pamali, larangan
Gejog: barisan roh halus
Nyai Roro Kidul: Ratu Laut Selatan
Ngalor, ngalor, aja ngetan, aja ngulon: ke utara, ke
utara, jangan ke timur jangan ke barat
Segara Kidul: Laut Selatan
Kali Woro: sungai besar di lereng gunung Merapi yang
dipenuhi pasir dan lahar dingin
GM Sudarta (30 September 2007)
Cerita tentang Orang Mati yang Tidak
Mau Masuk Kubur
Hampir selama 30 tahun, sepasang mata yang seakan
memancarkan api kebencian itu selalu mengikuti aku pergi. Selama itu pula
membuatku nyaris menjadi gila. Dengan mengikuti bimbingan seorang kiai,
akhirnya aku bisa menganggap tidak ada kehadiran sepasang mata itu, meskipun
masih selalu mengikuti aku.
Adanya lintang kemukus yang muncul di langit dini hari
adalah benar-benar pertanda alam akan adanya pageblug. Dan 40 hari kemudian,
ternyata perang saudara meledak. Tidak hanya di daerah kami, malahan di seluruh
negeri, sejak terdengar berita terbantainya para jenderal di sebuah lubang
sumur di pinggiran kota Jakarta.
Setahun kemudian, suatu malam, aku dan Mulyono,
sahabat karibku, bersama regu ronda dengan komandan Mas Parman, seorang
pimpinan gerakan pemuda, mendapat tugas rutin dari aparat yang sungguh tidak
kami harapkan. Yakni tugas sebagai tukang kubur. Berpuluh-puluh orang
diturunkan dari truk di tengah kebun jati, dengan kedua ibu jarinya diikat
kawat. Setelah ikatannya dilepas, di bawah ancaman tendangan dan pukulan
pistol, setiap empat orang diharapkan menggali sebuah lubang selebar dua meter.
Akhirnya mereka diharuskan berjongkok menghadap lubang, dan dentuman-dentuman
pistol bergema. Kami memejamkan mata atau melengos ke samping. Hanya Mas Parman
yang tampak tegar melihat eksekusi ini.
Tugas kami berikutnya adalah mengubur mereka,
meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah tersedia. Satu
lubang untuk empat jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat dan memang harus
bungkam meskipun mayat-mayat itu kami ketahui adalah tetangga atau kerabat
kami. Kalau tidak, mungkin kami bernasib seperti mereka.
“Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti
ini. Bayangkan! Kalau mereka menang, akan jadi apa kita?! Kita pun akan
disembelih seperti para jenderal itu,” nasihat Mas Parman kepada kami.
Malam-malam seterusnya adalah malam kematian.
Kehidupan hanya sebatas jangkauan lampu minyak yang tergantung di gardu ronda.
Selebihnya adalah gelap semata. Di gardu jaga, kami lebih banyak diam
berselimut sarung, meringkuk dan merapat ke dinding. Binatang malam pun tak
terdengar suaranya. Warga kampung juga lebih menyukai mematikan lampu dan
bersembunyi dari ketakutan ke dalam kegelapan. Hanya Mas Parman yang selalu
siaga mondar-mandir di depan gardu.
Suatu kali, kata sandi yang kami terima dari kelurahan
adalah rokok-kelembak. Adalah tugas kami para pemuda yang memperoleh giliran
jaga untuk mencegat siapa saja yang keluar malam hari dan menegurnya dengan
kata sandi rokok. Bila tidak menyahut dengan kata kelembak, kami berhak
memukulinya dan menyerahkan ke aparat setempat.
Menjelang tengah malam, terlihat seorang berjalan
terbungkuk-bungkuk melintas di depan gardu kami sambil membawa upet sebagai
penerang jalan.
“Stop! Rokok!” teriak Mas Parman.
Ternyata orang itu adalah Mbah Warso yang kami kenal
sebagai penggali sumur di kampung kami. Dia kaget dan tergagap. Dia keluarkan
sebungkus rokok keretek dari sakunya, sambil katanya: “Rokok Man? Nih!” Tapi
uluran tangannya ditepis oleh Mas Parman hingga rokoknya terpental.
“Dari mana kamu!” tanya Mas Parman garang.
“Dari jagong bayen, Man…” jawab Mbah Warso
terheran-heran.
Tiba-tiba, plak! Mas Parman menampar muka Mbah Warso
dan perintahnya kepada kami: “Tangkap! Bawa ke markas!”
Kami tidak berani membantah, meskipun kami tahu bahwa
mungkin Mbah Warso lupa atau tidak tahu sandi kampung kami. Kami yang tidak
tega dengan nasib Mbah Warso, segera meninggalkannya di markas, sementara Mas
Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan dan rintihan menyayat
orang minta ampun.
Beberapa hari kemudian, setengahnya aku protes
terhadap penangkapan Mbah Warso terhadap Mas Parman, tapi ujarnya dengan keras,
“Dia adalah salah satu saksi mata dan mungkin antek mereka! Berapa banyak dia
menerima pesanan menggali sumur dari siapa-siapa yang menggunakan galiannya
seperti di Lubang Buaya.”
Hatiku berdesir, saya mengetahui bahwa ternyata Pak
Hardi, tetangga saya, aktivis partai, juga membuat galian sumur di belakang
rumahnya, meskipun sudah memiliki sumur di samping rumah. Bukan tidak mungkin
aku pun akan menghuni galian itu apabila mereka menang seperti kata Mas Parman.
Malaikat maut tampaknya semakin menebarkan sayapnya.
Perlawanan dari pihak yang terburu bermunculan pula, mungkin lantaran terdesak.
Suatu malam, rumah Pak Karto, warga desa sebelah, terbakar. Pak Karto adalah
sebuah aktivis sebuah partai pula yang gencar memburu dan mendata siapa saja
anggota partai terlarang yang harus ditangkap. Dia diketemukan, ya Allah,
hangus di bawah reruntuhan rumahnya dengan dua paku besar menancap di kiri
kanan pelipisnya seperti tanduk! Konon yang melakukan adalah anaknya sendiri.
Hatiku ngilu!
“Kamu lihat!” kata Mas Parman kepada kami. “Mereka mau
menantang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa.” Kemudian dia
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. “Dan ini mereka-mereka yang harus
diciduk malam ini!”
Dari mana Mas Parman mendapatkan daftar itu, kami
tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan panglima perang,
bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah dan menyeret para
lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada di rumah
sebagai gantinya. Para istri atau para kakek pun diciduk pula tanpa ampun. Termasuk
Mbak Sri yang sedang hamil tua.
“Mereka sangat diperlukan untuk interogasi, ke mana
mereka yang masih jadi buronan?!” ujar Mas Parman, sebelum aku berniat protes.
Di markas, dalam ruang pemeriksaan yang sempit, tampak
di dinding dan di beberapa tempat, ada bekas-bekas cipratan darah. Dengan lampu
remang-remang, tempat ini lebih meniupkan aroma ruang siksa daripada ruang
pemeriksaan. Mas Parman sibuk menyiapkan alat pembangkit listrik yang kabelnya
semrawut dengan ujung telanjang. Bayangan menyeramkan membuat kepalaku
berkunang-kunang.
Ketika kemudian para tawanan bergiliran dipanggil ke
dalam, kemudian terdengar bentakan suara Mas Parman dan kemudian terdengar
raungan menyayat orang kesakitan, perutku jadi terasa mual dan aku pun
muntah-muntah. (Kudengar beberapa waktu kemudian, Mbak Sri meninggal di tahanan
dengan benjolan-benjolan memar di sekujur tubuhnya).
Semakin lama tugas kami semakin berat. Kecuali siap
siaga siang malam, hampir setiap tengah malam kami harus mengubur
berpuluh-puluh mayat. Bahkan kamilah yang menggali kubur apabila yang datang
sudah menjadi mayat. Bila sudah begini, kepalaku semakin berkunang-kunang,
peluh dingin membuatku menggigil, perut mual, muntah-muntah, dan tidak jarang
jatuh tak sadarkan diri. Juga Mulyono, kalau bertugas mengubur mayat, peluh
dingin membasahi dahinya, tangannya gemetar, serta suka menggigit bibirnya
sampai berdarah-darah. Oleh karena itu, Mas Parman menyuruh aku dan Mulyono
istirahat cuti beberapa hari di rumah.
Tinggal seharian di rumah inilah, kusempatkan untuk
menyadap berita bisik-bisik dari para tetangga bahwa banyak korban tidak
bersalah dan tidak tahu apa-apa. Betapa murahnya nyawa, ujar Mulyono. Hanya
dengan dendam pribadi, kecemburuan, terlibat utang, atau ingin merebut istri
orang, seorang bisa menjadi korban hanya dengan bisikan fitnah. (Jangan-jangan
Mbak Sri juga termasuk korban, karena setahuku dia pernah menolak cinta Mas
Parman).
Rupanya api dendam telah membakar seluruh rakyat.
Penangkapan warga terhadap warga sendiri yang dicurigai mempunyai indikasi,
mulai merebak. Yang kusaksikan kemudian adalah keadaan tak terkendali. Baku
curiga, baku tuduh, baku fitnah, dan baku bantai antara warga sendiri. Rupanya
Mulyono juga mempunyai perasaan seperti aku. Kerap kali kami menghindar dari tugas
itu dengan berbagai alasan. Bahkan kami pernah sembunyi di dalam hutan beberapa
lama karena mencoba berpikir waras untuk melawan kengerian yang juga bisa
membuat kami sekarat. Karena itu, aku sempat digelandang Mas Parman ke balai
desa.
Di depan warga ia berucap dengan berang, “Jangan jadi
orang banci! Dasar anak yatim, kalau bukan sepupuku sendiri, sudah aku ciak
kamu!” Kutahan perasaan untuk tidak menangis mendengar caciannya.
Kulihat Mas Parman semakin garang dengan seragam
kesatuan pemuda loreng-loreng seperti tentara dengan sepucuk pistol terselip di
pinggang. Rupanya selama kami absen, teman-teman lain mendapat latihan
menembak. Sulit kubayangkan bahwa kami juga ditambahi tugas semakin berat
sebagai eksekutor, mengingat semakin gawatnya perang saudara. Kemarin ditemukan
banyak mayat ditenggelamkan di sebuah rawa sehingga beberapa waktu hasil
pertanian kangkung di rawa tersebut tidak laku dijual. Peristiwa itu menyusul
setelah adanya penangkapan besar-besaran oleh aparat terhadap ratusan pemuda
yang ingin menjarah persenjataan di gudang senjata di pusat pendidikan prajurit
di kota kami.
Dan malapetaka itu pun terjadi. Setiap malam, berpuluh
tahanan dibawa ke sungai pasir di lereng gunung merapi. Mas Parman memaksaku
untuk menghabisi Marjo, pemuda tetanggaku yang selalu berseragam hitam dengan
sapu tangan merah di lehernya. Dengan tangan terikat, dia harus menghadap
lubang galian pasir. Aku siap dengan pistol di belakangnya. Terdengar aba-aba
siap. Peluh membasahi telapak tanganku. Badanku menggigil. Kepalaku
berkunang-kunang. Perutku mual, mau muntah…
“Tembaaak!” teriak aba Mas Parman. Tiba-tiba Marjo
berbalik menghadapku bersamaan dengan tekanan pelatuk pistolku. Matanya
menatapku tajam. Tepat di dadanya muncrat darah mengenai mukaku. Jantungku
seperti terhenti, kemudian hanya kegelapan menerpa pandanganku… Dan kemudian
yang tersisa hingga sekian lama adalah tatapan mata Marjo yang selalu
mengikutiku.
Kartu lebaran yang kuterima dari sahabatku, Mulyono,
membuatku menghabiskan masa liburan ini di kota kelahiran bersama keluargaku,
setelah hampir tiga puluh tahun ingin kulupakan. Mulyono yang sudah jadi dokter
dan baru pulang haji menyambutku dengan pelukan dan tangis. Pengalaman masa
lalunya juga tak jauh berbeda denganku. Jiwanya juga pernah terguncang sewaktu
menghabisi seorang tawanan. Tidak dengan pistol melainkan dengan parang.
“Kamu tahu, Aryo,” ceritanya. “Setelah aku lulus dan
mulai praktik, beberapa kali aku kedatangan pasien yang sama. Lelaki kurus,
pucat, dan bermata cekung. Setiap kutanya sakit apa, dia buka bajunya dan
tampak perutnya robek menganga dengan usus yang terburai. Sesudah itu aku tak
tahu dia pergi karena aku pingsan. Hingga aku pun juga hampir jadi gila. Tapi
sekarang aku tenang, setelah bisa aku atasi dengan tekun beribadah.”
“Sekarang Mas Parman di mana ya?” tanyaku. Cepat dia
jawab dengan pandangan aneh seperti mengandung rahasia. “Oh ya, kau harus
tengok dia. Dia sempat diangkat jadi camat. Sekarang dia sakit. Beberapa kali
dia dibawa kemari. Dia sekarang tinggal di desa kelahirannya sana!”
Mas Parman masih segar ingatannya saat kutemui. Dia
merangkulku sambil menepuk-nepuk punggungku. Kami mengobrol ke sana kemari
tentang Jakarta dan tentang jabatan camat yang dia peroleh setelah kekacauan
usai. Ketika aku berbasa-basi mengucapkan terima kasih bagaimana dia dulu telah
menggemblengku jadi orang tegar, tiba-tiba dia meringkuk sambil merintih
kesakitan. Seluruh tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan memar seperti
habis disengat listrik. Aku pun panik. Akan kugotong dan kubawa ke dokter,
tetapi istrinya tampak tenang saja.
“Tidak apa-apa, biar saja Mas,” ujarnya, “sejak jadi
camat, penyakit aneh ini selalu timbul ketika diingatkan tentang masa lalunya.
Tapi saat hendak dibawa ke dokter, penyakitnya selalu hilang dengan
sendirinya.”
Ah, masa, pikirku. Dengan setengah memaksa, kubawa dia
dengan mobil ke tempat Mulyono. Begitu sampai di depan pintu ruang praktiknya,
mendadak penyakit Mas Parman hilang dengan sendirinya. Rintihannya berhenti dan
wajahnya penuh ketidakmengertian.
Mulyono keluar. Senyumannya aneh menyambut kami…
Klaten, 2003
Catatan:
Lintang kemukus: meteor berekor asap
Pageblug: musim kematian manusia
Upet: tali bambu kering yang dibakar ujungnya
Jagong bayen: menghadiri selamatan kelahiran bayi
Jagabaya: aparat keamanan kelurahan
Diciduk: ditangkap
Ciak: makan
Rokok kelembak: rokok berbumbu menyan
Lintang kemukus: meteor berekor asap
Pageblug: musim kematian manusia
Upet: tali bambu kering yang dibakar ujungnya
Jagong bayen: menghadiri selamatan kelahiran bayi
Jagabaya: aparat keamanan kelurahan
Diciduk: ditangkap
Ciak: makan
Rokok kelembak: rokok berbumbu menyan
Kirimi Aku Makanan
Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini.
Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat akrab dengannya. Semula pada suatu
sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan salam dengan menyebut
nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol ngalor-ngidul tentang
dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan. Seakan
dia sudah tahu benar bahwa aku paling suka cerita-cerita begituan sampai paling
getol nonton televisi yang menayangkan tentang dunia hantu dan alam gaib.
Di kompleks rumah Mas Sudar ini ada yang pelihara
tuyul lho,” katanya.
”Ah yang benar!” sahutku.
”Benar! Mas Sudar kerap kali kehilangan uang kan?”
Memang benar. Aku kerap dan bahkan sangat kerap
kehilangan uang. Uang ”laki-laki” yang aku simpan di tas kerjaku kerap berkurang.
Tapi aku tak menyangka itu pekerjaan tuyul, paling-paling kerjaan istriku yang
tahu nomor kode kunci tas kerjaku. Karena dia pun suka ngerjain kartu ATM saya.
”Kok tahu?” tanyaku tertawa.
Kemudian dengan serius dia mengatakan bahwa
pekerjaannya adalah sebagai mediator untuk orang-orang yang perlu bantuan untuk
bisa memelihara tuyul, genderuwo atau jin.
”Di kota ini sudah banyak pengusaha toko sepeda motor,
mobil, atau restoran yang memerlukan penjaga usahanya dengan memelihara makhluk
seperti itu berkat bantuan saya. Bahkan beberapa pejabat negara pun minta
dicarikan jin.”
Saya terdiam bengong.
”Betul kok Mas, saya biasa melihat siapa saja yang
memelihara tuyul atau sebangsanya. Kalau Mas Sudar mau bisa saya carikan.”
”Ah musyrik,” jawabku. ”Anda sendiri gimana.
Berprofesi makelar tuyul, apa tidak dosa?”
”Ah ya tidak. Wong saya hanya perantara. Meskipun saya
mendapat bayaran untuk itu, aku tidak mau dibayar dengan uang sesudah dapat
tuyul. Harus dengan uang sebelumnya. Dan saya sudah serahkan tanggung jawab
kepada mereka, bahwa mereka akan selamanya sampai hari kiamat menjadi budak
setan.”
Beberapa hari kemudian, ada peristiwa aneh di rumahku.
Kami sekeluarga sedang menghitung uang belanja dan memisah-misahkan mana untuk
belanja harian, mana untuk uang sekolah anak-anak, dan lain-lain. Uang kami
atur menurut nilainya, lima puluhan ribu ditumpuk jadi satu, ratusan ribu
dengan ratusan ribu. Dan baru sedetik istriku menaruh selembar ratusan ribu,
detik itu pula raib di depan mata kami. Kami bingung mencarinya.
”Diambil tuyul kali Yah!” kata anakku.
”Tuyul?… Tuyul kepala hitam!” jawabku. Istriku
merengut, rupanya tersinggung karena saya selalu menyebut diambil oleh tuyul
kepala hitam, setiap uang di tas kerjaku hilang. Lebih mengherankan lagi tak
lama kemudian Roni datang.
”Betul kan Mas, ada tuyul di sekitar sini,” katanya.
”Mau tahu siapa yang punya.”
Kemudian dia minta disediakan baskom berisi air. Dia
minta memerhatikan air. Nanti akan terlihat siapa orangnya. Tapi sampai mata
saya hampir lepas tak kulihat siapa-siapa, kecuali bayang-bayang wajahku
sendiri.
”Lihat Mas. Itu orangnya. Perempuan berambut ikal. Nah
itu nomor rumahnya kelihatan.”
”Saya tidak melihat apa-apa,” jawabku.
”Ah memang, perlu tirakat dan ritus tertentu untuk
bisa melihat penampakan…. Nanti kalau mau saya ajari. Tapi sekarang kalau Mas
Sudar melihat seorang perempuan jalan sore dengan kedua tangan di belakang, itu
dia sedang menggendong tuyul. Coba nanti dari belakang kita cibiri dia, maka
dia akan menoleh karena tuyulnya memberi tahu bosnya.”
Ternyata betul dengan apa yang Roni katakan. Dan
sekarang saya tidak pernah lagi kehilangan uang. Mungkin tuyulnya malu karena
sudah ketahuan.
Rupanya perkenalanku dengan alam gaib semakin jauh.
Kami sekeluarga baru saja menikmati honor cerpenku yang telah dimuat di sebuah
majalah dengan makan-makan di warung lesehan, Roni mengunjungi kami lagi di
rumah.
”Cerpenmu bagus Mas,” katanya. ”Saya dengar mau bikin
novel ya?”
Aku baru saja membuat cerita pendek dengan latar
belakang peristiwa G30S, dengan mengumpulkan referensi dan data dari para saksi
mata dan pelaku yang masih hidup.
”Harusnya Mas Sudar melengkapinya dengan menambahkan
dari narasumber yang menjadi korban pembantaian!”
Ah gila. Mana mungkin, pikirku.
”Bisa lho Mas,” ujarnya. ”Mereka ini masih penasaran
jadi arwah yang masih gentayangan karena merasa tidak rela akan nasibnya.
Kuburan massalnya ada di daerah Luwengombo, Pandansimping, atau di Desa
Tempuran. Dengan cara tertentu kita bisa menemui mereka. Dan nanti akan membuat
novel Mas benar-benar hebat.”
Benar-benar gila orang ini, pikirku.
”Benar-benar biasa lho Mas! Dengan ritual tertentu
kita bisa berhadapan dengan mereka di tempat mereka dibunuh. Cuma kita harus
tabah dan siap mental karena mereka akan hadir dengan bentuk keadaan terakhirnya.
Saya sendiri kurang berani menghadapinya. Sungguh mengerikan mereka menampakkan
diri dengan kepala terbelah atau usus terburai atau tanpa kepala.”
Bulu kudukku meremang.
”Tapi kalau Mas hanya ingin mengenal dunia alam gaib
mereka, ini saya beri tahu ritualnya.”
Dia menulis kelengkapan ritual dengan laku, rapal, dan
amalan di atas sesobek kertas dan diberikan kepadaku.
Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini…! Oleh kekuatan
rasa ingin tahuku, tanpa setahu istriku aku laksanakan ritual itu. Ah, ini
pasti perbuatan iseng si Roni, pikirku.
Hingga pada suatu sore, sewaktu aku mengunjungi
sahabat di sebuah pesantren di Desa Tempuran, agak di luar kota. Ketika
melintasi jembatan sungai berpagar tembok di ujung desa, terasa bulu kudukku
meremang. Di sepanjang pinggiran sungai penuh pohon pisang sehingga memberi
kesan gelap. Pulangnya sehabis magrib, menjelang melintasi jembatan, tiba-tiba
saja ada seorang lelaki tua melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu
dari arah mana dia muncul. Kupinggirkan sepeda motorku di samping pagar
jembatan.
”Monggo Pak,” sapaku. ”Kalau mau ke kota, saya
boncengkan.”
”Tidak kok Nak Mas,” jawabnya lirih. ”Saya hanya mau
minta tolong untuk menyampaikan pesan saya kepada anak saya, supaya kerap
mengirimi saya makanan.”
”Alamat anak Bapak di mana?”
Dia sebutkan sebuah nama dengan alamat jalan nomor
rumah di luar kota.
”Lha, Bapak tinggal di mana?”
”Tidak jauh dari sini kok, Nak,” jawabnya sambil
menunjuk searah dengan rumpun pisang. Mungkin tinggal di desa seberang sawah
sana, pikirku.
Saat kunyalakan sepeda motor dan berpamitan, dia
mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Tapi… senyum itu… ya Allah, senyuman
seperti orang menahan sakit itu, telah membuatku tidak bisa tidur semalaman.
Paginya kusempatkan waktuku untuk mencari alamat
anaknya. Ternyata tidak mudah. Setelah bertanya kesana-kemari, kebanyakan orang
mengatakan tidak tahu, bahkan ada yang kelihatan enggan menjawab. Ataupun kalau
menjawab pasti ditambah kata: oooh…, eks tapol Pulau Buru itu? Akhirnya
kutemukan juga. Seorang lelaki paruh baya, air mukanya nampak bagai orang yang
telah mengalami tempaan hidup yang keras, menyambut kedatanganku dengan
pandangan penuh curiga.
”Dari mana Bapak tahu alamat saya, dan tujuan Bapak
mencari saya?” tanyanya menyelidik. Kusampaikan kepadanya bahwa aku telah
bertemu ayahnya yang tinggal di Desa Tempuran, serta kusampaikan pula pesan
ayahnya. Dia tertegun beberapa saat.
”Ayah saya? Seperti apa dia?”
”Rambut sudah beruban, alis tebal, berjanggut yang
sudah sebagian memutih, berbaju lurik dan memakai sarung pelekat hijau,”
jawabku seingatnya.
Tiba-tiba dia benamkan wajahnya di kedua telapak
tangannya. Katanya di sela sedu sedannya:
”Ya Allah, dalam pakaian itulah sewaktu ayah dibantai
bersama orang-orang yang dianggap melakukan gerakan makar. Ternyata benar kata
orang mereka telah dikubur di bantaran sungai yang kemudian ditanami pohon
pisang di atasnya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak!
(Belakangan aku sarankan kepadanya untuk mengirim doa
kepada ayahnya setiap kali dia shalat. Mungkin itu yang dipesankan ayahnya
untuk dikirimi makanan. Dan selama ini aku tidak lagi berjumpa dengan Roni,
kabarnya dia telah menjadi salah satu penasihat spiritual pejabat tinggi di
Jakarta.)
Klaten 2004
Catatan:
Ngalor-ngidul: Utara Selatan, tak terarah
Laku: Melakukan ritual fisik, seperti puasa, tidak
tidur malam, dsb.
Rapal: Mantra
Amalan: Bacaan Doa
Monggo: Mari, silakan
Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar