Recent Posts

Kamis, 25 Desember 2014

Kumpulan cerpen Kurnia Effendi



Laut Lepas Kita Pergi
Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer.

Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.”
Mata Ayah memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya. Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar. Tetapi, hatiku terkesiap mendengarnya.
“Aku akan berangkat pagi ini juga, sebelum orang ramai ke jalan-jalan. Sebelum banyak ibu-ibu antri di kamar mandi umum. Sebelum tampak asap di dapur terbuka itu. Aku percaya, kamu akan sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat ototmu yang kuat, badanmu yang sehat, dan terutama perasaanmu yang tabah. Ingat! Jangan pernah menangis lagi.”
Bibirku mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata berkerumun di ujung lidah. Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi. Membuat rahangku keras seperti terbuat dari logam. Tetapi, tak ada suara yang sanggup keluar dari mulutku.
“Aku menulis surat untukmu, karena kukira kamu tak akan bangun saat subuh. Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu tak mungkin kudengar lagi.” Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah-olah aku sendiri yang berduka dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. “Maafkan aku jika selama menjadi ayahmu tak pernah membuatmu bahagia.”
Tidak ada pelukan dari Ayah. Tangannya mengusap pipiku, terasa kasar. Keriput yang terbentuk dari serangkaian kerja keras itu berusaha melekat di paras mukaku. Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu.
Dan kini Ayah telah melangkah memunggungiku. Ke arah selatan. Seperti memberikan isyarat bahwa di sana akan menjadi akhir dari pengembaraannya.
Begitu sadar Ayah telah semakin jauh: hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk dan segerumbul pohon yang miring di ujung pandangan siap mengaburkannya, aku segera berlari ke dalam tenda. Jika benar Ayah menulis surat untukku, tentu disimpan tak jauh dari alas tidurku. Memang kutemukan selipat kertas lembap yang tampak baru saja disisipkan ke bawah timbunan sarung.
Aku berdebar membuka lipatan surat itu seakan-akan hendak membaca isi testamen. Ternyata hanya beberapa baris kalimat yang mudah dihapal setelah membaca dua kali.
“Mustafa, anakku. Aku terlampau sedih dalam peristiwa kehilangan ini, dan mungkin sebentar lagi menjadi gila. Aku akan pergi. Mudah-mudahan kamu tetap kuat untuk tinggal. Aku ternyata seorang pengecut. Selamat tinggal.”
Aku melompat bagai tersengat kalajengking. Tanpa sadar aku telah melanggar permintaannya untuk tidak memanggilnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju arah Ayah berjalan. Tapi sampai aku terengah-engah, tak kutemui lagi bayangan Ayah. Mungkin tikungan, atau bekas tikungan, telah menyembunyikan arah langkahnya. Sandalku telah lepas entah ke mana. Tanah becek dan kerikil yang menghunjam telapak kakiku tak benar-benar kurasakan sakitnya. Lebih sakit perasaan dalam relung dadaku. Pisau sepi menoreh begitu dalam. Baru saja Ayah pergi, tapi kesepian begitu lekas menyergap. Aku seperti menjadi seorang diri di dunia. Dari seorang piatu menjadi sekaligus yatim dan sebatang kara. Terasa hidup sendiri di bawah langit yang selalu mendung. Jauh dari laut tapi gemuruh itu tak pernah mau hilang dari rongga telingaku.
Kini aku berjalan lunglai kembali ke permukiman sementara. Kata sementara itu mulai terasa tak terbatas. Terutama bagiku yang kini sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Satu-satunya tumpuan harapan telah meninggalkanku. Pergi begitu saja. Hanya meninggalkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk.
Memang sekarang bukan lagi saatnya untuk terus menangis. Setiap hari kuhabiskan waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan, dan utara. Dari seluruh penjuru mata angin. Adakah yang menemukan Meutia? Adakah yang mendapatkan sosok Hasan? Adakah yang sempat bersimpang jalan dengan Siti Salamah?
Bahkan andai kata telah berbentuk jenazah!
Atau mungkin tinggal serangkai belulang dari tubuhnya yang terhimpit rangka bangunan. Bekas perjalanan yang tak lazim: terseret sekian kilometer bersama puing dan ombak berwarna coklat. Terhempas dan hanyut berkali-kali.
Atau sekadar sobekan pakaian terakhir yang dikenakannya menjelang gelombang tsunami datang. Mungkin aku masih sanggup mencium aroma sisa tubuhnya, di antara lumpur dan segala yang hancur. Aku akan memeluknya untuk penghabisan kali sebelum kurelakan masuk ke dalam lubang bersama mayat lain yang baru ditemukan. Tanpa nama, kecuali jika aku menandainya dengan setulus hati, lalu berusaha mengingat letaknya.
“Ayah, mungkinkah kita akan sanggup menziarahi mereka?”
Namun, aku tidak lagi bersama Ayah. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah tiba di wilayah lain yang juga tidak dikenalnya karena suasananya sudah berubah. Sementara aku akan tetap tinggal di sini, bersama beberapa penduduk yang masih bertahan dengan keadaan seperti ini. Bersama beberapa tentara yang kulihat juga mulai bosan dan kusut mukanya.
Ketika Ayah memberiku sepucuk rencong, aku baru saja selesai menunaikan SMP. Umurku menjelang lima belas tahun.
Usai menerima pengumuman kelulusan, aku bersama teman- teman merayakan dengan cara membakar baju seragam di tengah ladang. Anak seorang juragan kambing menyumbangkan seekor domba untuk pesta syukuran. Aku pulang menjelang magrib dengan perasaan mekar sumringah. Setelah libur panjang aku akan memasuki dunia sekolah yang lain. Seolah- olah ada selembar kertas harapan untuk ditulisi segala keinginan. Dicoret-coret dengan gambar impian sekehendak hati. Aku pun berjalan sambil bersiul-siul.
Di pintu pagar rumah aku mendapatkan mata Ayah yang nyalang seperti elang. Aku serentak menduga ada hal yang sangat penting dan mungkin akan disampaikan dengan nada marah. Firasat itu begitu kuat, membuat dadaku berdegup kencang. Rasa takut menjalar. Semua ingar-bingar yang tadi mengepung api unggun perayaan pesta lulus sekolah, langsung sirna.
“Mustafa!” panggil Ayah.
“Ya, Ayah.” Aku mempercepat langkah. Dengan dada terbuka seperti ini, tentu tampak bagai menantang. Tapi, ya, bajuku sudah sempurna menjadi abu di persawahan kering dua jam yang lalu.
“Ayah mau amanatkan sesuatu kepadamu! Duduklah!”
Perasaanku mengkerut. Serambi rumah tampak sepi. Langit redup. Sebentar lagi akan terdengar suara azan dari surau di belakang rumah. Aku segera duduk di bangku kayu yang terletak setengah miring di teras.
“Ayah, hari ini aku lulus sekolah.” Aku mencoba meredakan gejolak dengan cara menyampaikan berita gembira. Siapa tahu akan menurunkan temperamen Ayah. Tapi ternyata tak mengubah apa pun.
“Aku tahu! Karena itulah aku memanggilmu. Sudah saatnya kamu menerima ini,” Ayah mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih, “Bukalah!”
Dengan agak gentar, aku melolos kain kafan yang sudah tidak baru lagi. Serta merta terkejut, meski sudah menduga dari bentuknya, ketika mendapatkan sebuah rencong yang masih mengkilat meskipun gagangnya berupa kayu yang sudah berumur panjang.
Mendadak tanganku gemetar. Apa maksud Ayah memberiku sebuah benda tajam yang berbahaya ini? Setiap menghadapi logam tajam, apalagi dengan beberapa lengkung yang mirip ukiran, aku merasa sedang berhadapan dengan masalah besar.
“Ayah… ini sebuah rencong….”
“Syukurlah kamu tahu. Aku tak bisa menunda waktu lagi. Sudah saatnya kamu memahami arti bahaya di luar sana.”
Aku memandang sekitar. Kukira Ayah keliru dalam menilai situasi. Desa kami daerah yang paling aman. Bahkan, jarang menjadi lintasan anggota Gerakan Aceh Merdeka, secara terang-terangan maupun menyamar.
“Kamu mulai bertanggung jawab melindungi keluargamu. Bahu-membahu dengan Ayah. Jaga keselamatan Meutia dan Hasan. Sementara aku akan menjaga Salamah, ibumu.”
Tanganku semakin gemetar mendengar penjelasan Ayah. Seperti sebentar lagi akan meletus perang. Sementara angin senja kala bertiup lebih dingin dari biasa. Kemudian terdengar azan magrib berkumandang. Entah siapa yang menjadi muadzin sore ini, suaranya terdengar mendayu-dayu. Mengiris liang telinga seperti pipih sembilu.
“Ayo lekas simpan rencong itu! Kini menjadi milikmu. Jangan dibiarkan telanjang, salah-salah disambar iblis.” Ayah mengingatkan. “Sekarang kita ke surau.”
Sehabis sembahyang aku merenung di dalam bilik. Rupanya hari ini berlangsung dihiasi berbagai peristiwa yang mendebarkan. Sejak pagi aku sudah berdebar-debar menunggu pengumuman ujian akhir. Aku tidak terlampau bodoh. Tetapi, bukan berarti pasti lulus.
Ketika membuat api unggun dan membakar baju-baju, angin bertiup cukup kencang. Kemarau telah berhasil membuat setiap petak ladang menjadi kering, tumpukan jerami bertebaran di mana-mana. Tentu kami berdebar-debar dan selalu terkesiap setiap kali melihat api meliuk ke arah gubuk.
Dan, senja ini: sebuah rencong diwariskan kepadaku! Begitu mendadak, seakan-akan musuh sudah berada di balik dinding rumah. Telinga kami menduga, ada semacam keresek langkah kaki orang jahat yang mendekat. Ya. Aku telah menjadi pemuda!
Ketika Ayah memintaku untuk khitan, Hasan belum lahir. Ia masih berada dalam perut Ibu yang membuncit seperti mendekap ember di balik kain sarungnya. Sedangkan Meutia mulai sekolah seminggu tiga kali di madrasah terdekat.
“Sudah waktunya kamu memotong ujung kulupmu. Itu sumber penyakit! Mau berangkat sendiri atau kuantar?”
Aku terkesima. Mengapa Ayah tidak menunggu aku benar-benar khatam Al Quran dengan tartil dan lafal yang benar? Atau membiarkan aku mengalami mimpi basah yang pertama?
“Tidak!” Seolah Ayah mendengar keragu-raguanku. “Sunat sekarang atau tidak usah masuk ke dalam rumah.”
“Ambillah kain sarung yang baru, Mustafa.” Ucapan Ibu lebih lembut. “Sudah kusiapkan di ranjangmu.”
Aku pun mengangguk. Aku tak pernah tega menolak permintaan Ibu. Sesulit apa pun. Setakut apa pun.
Aku belum menjumpai petualangan yang seru, selain lomba berenang di arus sungai yang deras. Tapi pengalaman dipotong ujung penisku tentu merupakan salah satu keberanian seorang anak laki-laki. Jangan menangis! Ya, jangan menangis Mustafa!
“Aku percaya, kamu bukan anak cengeng, Mustafa!” ujar Ayah membekali perjalananku.
Maka, berangkatlah aku ke seorang mantri sunat. Menyerahkan kelaminku yang gemetar untuk dipotong, dijahit, dan diperban, setelah sebelumnya dibius dengan suntikan di sekitar “burung”-ku itu. Aku meringis saat perih menjalar, menembus tabir anestesi.
Akan tetapi, aku berhasil mempertahankan agar mataku tetap nyalang, tanpa setitik air menggenang di sudutnya. Aku berhasil dan begitu bangga. Aku seorang anak yang berani. Tidak cengeng! Aku hanya malu kepada Ibu yang tak pernah takut untuk melahirkan. Sebentar lagi akan ada bayi ketiga yang melewati pintu rahimnya. Pasti sakit luar biasa, karena ukuran bayi tidak sebanding dengan diameter lubang yang hendak dilaluinya. Itu menurut akalku, yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar.
“Inilah anak Ayah yang pemberani.” Ayah menepuk bahuku, ketika sedang kunikmati seekor ayam panggang yang khusus dimasak oleh Ibu. “Aku percaya, kamu bukan anak cengeng!”
Akan tetapi, lihatlah hari ini, di ambang waktu dhuha: ternyata akhirnya aku menangis!
Dadaku seperti mau meledak oleh himpitan kesepian. Padahal, aku tahu, di sekitarku masih ada orang-orang lain yang setengah gila akibat perasaan kehilangan. Ibu-ibu yang putus asa. Anak-anak kecil yang bermain tapi tidak tahu meski mencari pelukan siapa ketika lapar datang. Dan, beberapa tentara yang rindu keluarganya. Juga para relawan yang sudah nyaris mabuk oleh aroma busuk yang melayang-layang sepanjang pekan.
Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, yang terdiri dari tenda-tenda militer dan sebagian lagi berupa bangunan kayu yang berdiri tanpa fondasi, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan di sana-sini, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya, karena diperolehnya dari kardus yang dilempar oleh sebuah helikopter yang gemuruh di suatu siang bermega pekat. Ia tadi berjalan tidak terlampau cepat, tapi jarak antara kami demikian pasti menjadi semakin jauh. Semakin terasa bahwa telah terbentang ruang yang memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer.
Apakah aku masih perlu mencari Meutia? Hasan? Atau ibuku? Yang entah berkubur di mana. Tsunami yang perkasa telah merebutnya dari kami tanpa memberi kesempatan untuk belajar cemburu lebih dulu. Maafkan aku. *
(Tanda simpati untuk Azhari, cerpenis dari Aceh)
Jakarta, 29 Januari 2005
Catatan :
Judul “Laut Lepas Kita Pergi” dipetik dari judul lagu Leo Kristi di album “Nyanyian Malam”, 1977

Juru Rias dan Seorang Pesolek
Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa laundry.
“Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru.
Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun.
Maharayi membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan serbuk lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati tangannya bergerak, seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang itu.
“Bapak dulu tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum. Barangkali, jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu.
“Nama saya Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias wajah Bapak.”
Maharayi tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia biasa bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat mendengar dan bahkan menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa berbahagia memperlakukan seorang almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering kali seperti terdapat senyum dari bibir jenazah itu saat ia pamit meninggalkan ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar.
“Akhirnya selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih luas. Saya akan pulang.”
Maharayi memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan rias lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali lagi wajah Sugondo sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena bukan istri atau kerabatnya. Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang perias jenazah.
Di depan pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang kerabat almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih. Maharayi sedikit terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang kerap tampil di halaman majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin, celak di bawah mata serta selapis pemerah bibir yang samar.
“Keluarga yang lain di mana?”
“Kebetulan sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?”
“Oh, tidak,” Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.”
“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak terlalu sipit itu sedikit membungkukkan badan.
Mereka pasti orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas.
SEJAK suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil sendiri. Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu masuk ke dalam rumah, dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito, kelas I SMP, yang meringkuk dalam dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi malam ini bukan Kemal yang siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara penyiar radio ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium pipinya.
Listy masih terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu ibunya membuka pintu kamar.
“Besok tidak ada ulangan, Nak?”
“Sudah belajar,” sahut Listy tanpa memandang.
“Ibu mandi dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap sebuah potret yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?”
“Alessandro.”
“Pemain sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu berkelebat dalam ingatan. Wajah itu!
“Peragawan.”
“Kamu kenal?” Terdengar nada kagum.
“Hampir semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.”
Maharayi menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih menggayut saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah dalam ingatannya.
“O, hebat! Kamu berteman dengan bintang televisi.”
Kepala Listy tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir. Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak.
“Ibu aneh.” Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu aku kenal.”
“Apakah menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?”
“Zaman sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak laki-laki, Bu.”
“Ya, sudah.” Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap kelebat wajah yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro!
Anak atau cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang peragawan sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka Alessandro menjadi bintang film?
Maharayi melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.”
Sinar matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan mobil, melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang meninggalkan bunyi bip dua kali.
Langkah sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu mengetuk pintu karena ternyata tidak dikunci.
“Dito!” Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi. “Listy!”
Di ruang tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak biasa. Dan Maharayi mengulang pertanyaannya.
“Kak Listy pergi.”
“Ke mana?” Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban.
“Apakah Ibu tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap dengan raut cemas. Cemas yang tidak biasa.
“Ya Tuhan…” Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga Sugondo, tapi tak terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari kunjungan rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu. Mungkin Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan?
Dito berlari ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan segera meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri. Sekarang ia lebih menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang favoritnya. Dapat dibayangkan, tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus itu kini tak mungkin tampil lagi di depan penggemarnya kecuali memutar ulang film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat dibayangkan kesedihan macam apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi… ke mana sebenarnya Listy?
“Kalau begitu, Ibu mau melawat ke rumah…”
“Lihat, Bu! Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi tertegun memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah jurang sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun benturan di kepala membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah suasana rumah sakit saat jenazahnya turun dari ambulans.
Maharayi hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya sendiri di rumah. Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga Alessandro seandainya sulit membujuk Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler Listy tidak diaktifkan?
“Ibu akan menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus mencarinya.” Itu keputusan Maharayi.
Sunyi memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut kedatangan Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang memintanya beberapa hari lalu untuk merias wajah Pak Sugondo.
“Saya tak tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu.
Maharayi menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut berduka.
“Dia masih muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.”
“Sayang sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang baik.”
Ingin Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…” tapi urung. Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan.
“Saya minta Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ibu.”
Seseorang mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu, sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka tas yang dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak terdapat di dalamnya. Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas besarnya? Atau justru tertinggal di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini.
“Kenapa?” tanya pengantar itu.
“Tidak apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.”
“Apakah boleh saya tinggal?”
“Ya. Biarkan saya sendiri.”
Maharayi menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah. Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki. Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa alat rias? Maharayi belum hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya dari dekat.
Tertegun ia memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar. Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu ditangani selama ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak tepat pada tempatnya. Wajah yang tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi yang kemerahan…
“Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi sendiri. “Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.”
Tiba-tiba mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap jenazah selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang tak pernah dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy.
“Benar pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir Maharayi gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?”
Pandangan Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka perlahan. Mata yang kemudian tersenyum.
“Ibu tak perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat gerakan bibir pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa dengan santun tiga hari lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo.
Mata itu kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar, tertegun dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan dan membuat sepasang kakinya berangsur dingin.
Listy? Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser mundur. Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap mengertap. Tak ada suara burung gereja yang biasanya bercericit di lubang angin. Tak ada suara angin yang biasanya menggerakkan daunan pohon di sisi krematorium.
Tapi ia mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa membentur lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang menggigil dengan wajah basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case coklat muda miliknya.
“Maafkan aku, Ibu.”
Maharayi memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara padanya? Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya mulai basah oleh air mata Listy.*
Jakarta, 15 Agustus 2004




Roti Tawar
Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut.
Dalam seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan sesekali aku membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari plastik. Pada pukul sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar, biasanya aku tergoda untuk membuka bekal dan menggigit roti tawar itu dengan perasaan iseng.
“Boleh minta separuh?” suatu saat Nila memergoki.
Aku memotong bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?”
“Apa saja.” Ia tersenyum. Matanya tampak lebih lapar. “Terima kasih.”
Akhirnya aku menghentikan pekerjaan dan memandang cara Nila makan. Sungguh tak tebersit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud meracuninya. Tentu dia tak akan bertahan lebih dari lima menit. Selanjutnya terjungkal dari kusi dengan – atau tanpa- mulut berbusa.
Aku tersenyum, karena memang tidak bermaksud membuatnya celaka. Aku menyelesaikan separuh roti tawar dengan selai kacang itu lebih perlahan. Perutku memang belum sepenuhnya lapar.
“Kamu mau kopi? Aku baru saja membuatnya.” Nila berjalan menuju meja kerjanya di ujung ruang. Lalu kembali dengan cangkir yang tampak mengepulkan asap.
Aroma kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi kopi itu. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Nila menuang kopi dari cangkirnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin di rumah, dia sudah biasa melakukannya. Terhadap suami atau anak-anaknya. Eh, apakah dia sudah tak lajang lagi? sependengaranku, Nila tak pernah menceritakan perihal anak atau suami.
Kini aku mengamati caranya menyeruput kopi. Begitu khidmat. Tidak dengan sambil-lalu. Barangkali kopi adalah bagian dari ritualnya sehari-hari. Seperti roti tawar bagiku.
“Terima kasih roti tawarnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir. Menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan.
“Terimakasih juga kopinya…”
“Tapi kamu belum mencobanya,” Nila memotong.
“Oh ya, sebentar lagi. Masih panas.” Aku sengaja menyentuh gelas dengan telapak tangan.
“Percayalah, justru kalau sudah dingin akan kehilangan rasa sedapnya. Itu yang penting.”
Nila menyebut ’yang penting’ dengan cara seolah benar-benar penting. Maka aku pun mengangkat gelas dengan sergapan wangi kopi ke dalam lorong hidung. Kuhirup dan kucecap dengan lidah. Astaga… pahit! Tapi, tentu saja tidak kutunjukkan keterkejutan dengan ekspresi bibir dan lidah yang terjulur tanda menolak.
“Enak, bukan?” Nila tersenyum memandangku lurus.
“Hm, ya. Tapi…”
“Pahitkah?” pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Aku tidak suka kopi manis,” katanya kemudian.
Dengan demikian, pikirku, besok pagi jika memang ditawari lagi, sebaiknya kutolak. Sepanjang dia tak tersinggung, tentu.
Nila bangkit dari duduk. “Kuambilkan gula di pantry Mbak Mimi?”
“Oh, tidak usah.”
“Ayolah, Seto! Daripada kopiku nanti kamu buang.”
“Pasti kuminum.” Heran. Aku berjanji, mengatakan pasti, tapi setengah hati.
“Terima kasih. Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?”
Aku menyebutkan sebuah nama. Nila pasti sudah sering mendengar nama itu. Tidak terlalu populer, tapi mudah dicari di supermarket, bahkan di circle-K.
“Eh, jam berapa ini? Sudah waktunya kerja lagi.” Nila tertawa dan berdiri. “Apakah kamu selalu meluangkan waktu untuk coffee break?”
“Kadang-kadang.” Aku tersenyum. Dari seberang sana, Nila akan sulit melihat kebiasaanku. Ada berderet meja karyawan lain. Hanya saat mengambil air dari dispenser, sesekali dia bisa menoleh kepadaku.
“Ok, selamat bekerja kembali.”
Nila melenggang. Justru setelah dia pergi, wangi parfumnya tertinggal. Light Blue. Dolce & Gabbana! Harum jasmin yang meruap. Ah, aku teringat sesuatu! Tapi segera kutepis, karena orang-orang secara bersamaan keluar dari ruang rapat menuju ke meja masing-masing. Kini ruangan dengan gaya open space itu kembali ramai.
Saat perjalanan pulang ke rumah, aku teringat kembali percakapan singkat dengan Nila. Kukira itu terjadi tiga tahun sekali. Maksudku, setelah aku bekerja di kantor ini selama tiga tahun, peristiwa itu terjadi. Padahal aku kerap membawa bekal roti tawar ke kantor dan pada pukul sepuluh sering tergoda untuk menggigitnya.
Entah kenapa, sebelum tiba di rumah aku sengaja mampir ke sebuah toko bakery langganan. Entah kenapa aku sengaja membeli roti tawar dua kali lebih banyak daripada biasanya. Diam-diam aku merencanakan sesuatu untuk esok pagi. Aku akan membawa bekal dan menunggu hingga jam sepuluh. Menunggu mataku (bukan perutku) tergoda untuk menggigit roti tawarku. Menunggu Nila melangkah mendekat dan menawariku kopi. Tapi … apakah sebaiknya kopi itu kutolak?
Kasir menyebut harga yang harus kubayar untuk dua pak roti tawar tanpa kulit. Aku teringat pujian Nila: Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?
Kubaca nama toko bakery itu seperti berusaha menghafal dari awal. Lalu kuingat-ingat, sejak kapan aku mulai menetapkan pilihan padanya? Banyak sekali roti tawar yang pernah kucoba, tapi yang ini memang berbeda. Begitu lembut. Ada semacam rasa ketagihan saat mengunyahnya.
Perjalananku berakhir di depan pagar rumah. Cahaya kuning temaram menyambutku. Seseorang telah menyalakan menjelang petang tadi. Mungkin Isah, atau ibuku. Hanya dengan mereka berdua aku tinggal di rumah tipe 45 berhalaman sempit ini. Karena itulah kupilih mobil Karimun yang tak begitu panjang.
Sebelum kuletakkan segala bawaan dari kantor, yang terdiri dari lap-top dan majalah, aku mencari Isah hanya untuk mengatakan: “Besok pagi, siapkan roti tawar lebih banyak.”
“Semua dengan selai kacang?”
Aku tertegun. Apakah sungguh-sungguh Nila menyukai roti tawar dengan selai kacang? Kebetulan tadi pagi aku membawa selai kacang, tidak ada pilihan lain. Dan Nila mengatakan: Apa saja. Dengan mata yang tampak lapar.
“Kalau begitu, buatkan juga dengan stroberi dan nenas.”
Setelah itu aku menjenguk Ibu di kamar tidurnya. Tampaknya sedang sibuk membereskan lemari bajunya. Padahal aku tak sabar ingin menyampaikan berita agak penting: “Tadi pagi ada seorang perempuan, namanya Nila, minta roti tawarku.”
Lalu pertanyaan dalam hati itu mengusik kembali: apakah Nila sudah tak lajang? Kegemarannya akan kopi pahit terasa agak unik. Karena seingatku dia salah seorang sekretaris, bukan desainer atau arsitek yang umumnya bekerja begadang.
ENTAH kenapa, kemudian, aku bangun di pagi berikutnya lebih lekas daripada biasa dan penuh semangat. Entah kenapa, sebelum ke kamar mandi aku menengok persiapan di meja makan. Tentu saja belum ada apa-apa. Mungkin Isah baru saja terjaga.
Ini hari Rabu, membayangkan Nila tidak mengenakan seragam seperti hari Senin dan Selasa. Mungkin hari ini dia akan mengenakan setelan baju ketat dengan celana panjang atau justru rok mini. Ah, mengapa serentak hatiku berdebar? Aku mandi melupakan air dingin, sambil menggosok tubuhku lebih teliti ketimbang kemarin.
Ketika aku memasukkan empat tangkup roti tawar dengan aneka rasa itu (satu di antaranya diisi taburan cokelat) ke dalam tempat yang terbuat dari plastik dengan ukuran lebih besar, tebersit keraguan. Bagaimana aku membawa turun dari mobil dan masuk ke dalam lift bersama karyawan lain di gedung 12 lantai itu? Bisa jadi menimbulkan pertanyaan yang agak menggoda: “Mau piknik ke mana, Seto?”
Aku harus tiba lebih awal, saat lift masih kosong. Tapi keraguan kedua muncul. Jangan-jangan, pada pukul sepuluh nanti, tidak ada rapat seperti kemarin, sehingga tentu banyak kawan-kawan lain di sekitar kami. Aku duduk berderet dengan karyawan lain. Bagaimana mungkin ’mengundang’ Nila ke mejaku? Atau aku yang mendatanginya? Itu justru semakin tidak mungkin, menenteng tempat roti ke wilayah sekretaris, yang berdekatan dengan tempat duduk direktur, bukan pada jam istirahat pula.
Tentu nanti ada akal! Aku pun pamit kepada Ibu dan mengurungkan niatku untuk menyampaikan peristiwa kemarin karena sedang mengejar waktu. Pandangan Ibu agak heran dengan bekal yang kubawa.
“Seto, kamu tidak akan ke luar kota, kan?”
“Oh, tidak. Kebetulan aku belum sarapan, sekalian untuk makan siang.”
“Apakah tidak ada kantin di kantormu? Kamu pernah cerita ada tempat makan yang selalu ramai.”
Aku mulai gelisah. “Kadang-kadang pekerjaan sangat padat, membuat aku harus tetap berada di tempat.”
Ibu tersenyum. Mungkin karena bangga terhadap cara kerjaku. Atau karena memergoki alasan yang kurang masuk akal? Atau hanya ingin terpingkal lantaran sejak kecil aku begitu menyukai roti tawar?
“Hati-hati di jalan.” Pesannya sewaktu kucium tangannya. “Apakah di kantormu tidak ada gadis cantik yang menjadi teman kerjamu?”
Aku nyaris tersengal. Apakah sebaiknya kuceritakan sekarang? Mungkin tak cukup seperempat jam. “Ada. Tapi tidak kenal dekat. Nanti malam kuceritakan pada Ibu.”
Aku segera berlalu sebelum bertambah banyak pertanyaan. Percayalah, nanti malam kuceritakan. Aku sedang mencoba mempertaruhkan hari ini. Sebagai tanda dibukanya kembali pintu hatiku.
Sepanjang perjalanan, banyak hal melintas di kepala. Ingatan yang berlompatan, mendesak untuk tampil di ruang benakku. Beberapa nama yang sempat tertanam lama meskipun telah jauh berlalu. Saling tumpang-tindih awalnya, kemudian mulai tersusun seperti sebuah peristiwa yang diputar ulang.
Kekasihku yang pertama, Putri, melompat dari balkon hotel lantai 23. Dia patah hati dengan Rangga dan aku mencoba menyembuhkan lukanya. Namun undangan bertemu bekas kekasihnya itu, di hotel berbintang lima, membuatnya pergi secara misterius tanpa sepengetahuanku. Beberapa lama sesudah peristiwa menyedihkan itu, aku mencoba menghibur ibunya yang tak pernah menghapus tulisan terakhir anaknya di cermin riasnya.
Untuk melupakan kenangan itu aku pindah bekerja, dari sebuah rumah produksi beralih menjadi pembuat program acara radio. Aku menjadi jarang jalan-jalan karena lebih banyak bekerja di studio. Temanku seorang dara yang gagal menjadi penyanyi dan kemudian menjadi penyiar. Ia menyukai segala sesuatu yang bergambar babi: mulai dari tas, dompet, gelas minum, t-shirt, saputangan, bahkan sprei dan boneka babi. Yang tak pernah kusangka, ia ternyata memelihara babi mungil yang boleh berkeliaran di dalam rumahnya. Itu kuketahui saat aku mengantarnya pulang sesudah acara siaran langsung pertunjukan festival band kampus.
“Meristin, apakah itu bukan robot babi?” kataku kaget ketika kulihat babi merah jambu menyerbu di depan pintu yang dibuka oleh ibunya, suatu tengah malam.
“Sembarangan ngomong!” tegurnya sambil tertawa. “Dia tak akan pergi tidur sebelum aku pulang.”
Aku lebih terkesima saat Meristin memeluk dan mencium moncong babi yang basah itu. Astaga! Seandainya aku menjadi kekasihnya, apakah aku harus berbagi bibir Meristin dengan babi itu? Aku mencoba menahan muntah. Padahal, aku mulai jatuh cinta dengan penyanyi gagal itu.
Selanjutnya aku mulai menjaga jarak agar tidak terlampau jatuh hati dan mungkin lambatlaun menjadi teman sejawat saja. Bahkan untuk sekadar berjabat tangan saja aku mulai berpikir, jangan-jangan sebelumnya Meristin mengelus-elus hidung babi kesayangannya. Dan ketika untuk kedua kalinya aku terpaksa mengantar Meristin pulang menjelang pagi, babi itu juga belum tidur. Sesungguhnya aku tak percaya pada pernyataan Meristin. Babi sialan itu pasti sudah tidur mendengkur sejak sore dan terbangun menyambut majikannya ketika mendengar suara gaduh di pagar halaman.
“Hei, Baby! Kasihan kamu belum tidur…” sambut Meristin.
Saat itu aku pun ingin muntah. Lekas-lekas aku pamit. Namun rupanya Meristin gadis yang sopan, sehingga ia mengantarku sampai ke pintu pagar. Aku tak melihat babi kesayangannya meluncur dari gendongannya persis ketika aku menjalankan mobil dengan gas penuh. Bunyi ’nguik!’ dan mobil yang berguncang oleh tubuh babi yang mungkin terlindas ban membuatku menginjak rem mendadak. Maka gemparlah pagi buta itu dengan tangis Meristin dan orangtuanya yang marah-marah. Ketika dua orang satpam melangkah dari gardu di ujung jalan, aku punya pikiran kerdil untuk segera melarikan diri. Itulah yang kulakukan. Aku akan bertanggung jawab, misalnya dengan membeli babi sebagai penggantinya, tetapi tak ingin babakbelur seandainya dua orang satpam yang kurang tidur itu lepas kendali.
Selamat tinggal Meristin! Aku pun pindah kerja lagi dan kini diterima pada bagian distribusi unit di perusahaan otomotif. Tahun-tahun berjalan dengan berusaha melupakan Putri dan Meristin. Pada suatu acara pertemuan dealer mobil seluruh Indonesia, aku bertemu dengan seorang gadis wiraniaga yang selalu meninggalkan wangi jasmin setiap kali melintas di depanku. Tiga hari tiga malam di Lido Resort membuat kami dekat satu sama lain. Namun pada malam terakhir aku kecewa karena kupergoki dia menghuni kamar yang salah bersama seorang laki-laki. Aku lebih mudah melupakannya karena ia segera kembali ke kotanya di luar Jawa, namun tak mudah melupakan aroma parfumnya. Aku mencoba mengenali jenis dan mereknya.
Kemarin Nila memiliki aroma yang sama! Light Blue!
Kini aku melambatkan mobil, memasuki halaman parkir gedung kantor. Hatiku mulai berdebar. Aku merencanakan sesuatu pada jam sepuluh nanti. Akankah Nila kali ini curiga dengan bekalku yang bertambah banyak? Aku gembira mendapatkan kantor masih lengang. Dan segera meletakkan bekalku di bawah meja kerja. Tentu belum ada yang datang kecuali office boy yang sedang merapikan ruangan.
Ketika jam kerja dimulai, perhatianku mulai terpecah pada hal-hal yang kurencanakan. Aku tidak jadi sarapan, agar jam sepuluh nanti perutku cukup lapar. Dari jauh aku melihat Nila mengenakan blouse warna ungu muda ditutup blazer dan pada lehernya tersimpul scarf. Warna yang mengganggu perasaan. Warna yang dikenakan gadis wiraniaga dari luar Jawa itu pada hari penghabisan rapat nasional. Ternyata aku masih kecewa. Tapi, pasti tak ada hubungan antara Nila dengan peristiwa itu.
Mengapa jam terasa begitu lambat? Dan rupanya aku menjadi tidak produktif. Entah kenapa, saat Nila berjalan dari ujung ruang menuju dispenser, aku seperti telah mengenal ketukan langkahnya. Seperti sebuah gerakan perlambatan, sengaja kuambil bekal dan kuletakkan di atas meja. Pagi ini tidak ada rapat, semua karyawan sedang sibuk di meja masing-masing. Sementara yang kutunggu dengan perasaan berdebar tak kunjung tiba. Nila tidak menoleh sama sekali ke arahku. Saat itu teman sebelah-menyebelahku memergoki sejumlah roti tawar dari tempat transparan dengan mata bersinar.
“Seto, bagi rotinya ya!” Entah siapa yang memiliki gagasan itu, sekitar empat orang mendekat. Adi, Yong, Yudi, dan Ibnu berkerumun. Mau tak mau aku membuka kotak bekalku. Mataku mencoba mencari Nila, tapi perempuan itu sudah kembali ke mejanya. Bahkan agaknya tak mendengar kata ’roti’ yang diucapkan teman sebelahku. Sayup aroma kopi yang diseduhnya terbang ke hidungku…
Rencana pukul sepuluhku berlalu menyedihkan. Di kotak bekal tinggal setangkup roti berisi selai nenas yang tidak kusukai. Tapi tak mungkin juga kutawarkan kepada Nila, seolah menyodorkan penganan sisa. Aku tak perlu mendengar ucapan terima kasih kawan-kawan yang juga memuji lezat dan lembutnya roti tawarku. Mereka tak pernah tahu, bahwa roti tawar itu untuk Nila!
Sisa hari yang panjang tak memberi semangat, tapi mungkin aku masih punya kesempatan mengajaknya makan siang bersama. Maka menjelang pukul dua belas aku sengaja menunggu di depan elevator, pura-pura hendak turun makan. Nanti, ketika Nila muncul dari ruangan untuk istirahat makan siang, bisa turun bersama-sama.
Saat pintu lift terbuka, seorang tamu laki-laki keluar dari kabin menuju resepsionis. Sementara itu beberapa orang keluar ruangan, sebagian dengan kotak rokok di tangan, siap turun makan siang. Lantai tujuh ini memang paling banyak memiliki karyawan. Lobi segera meriah oleh suara mereka yang antri di depan lift. Tak lama kemudian, Nila muncul dari ruangan dengan wajah sumringah. Aku menanti berdebar, siap berebut tempat jika Nila masuk ke dalam lift. Namun yang terjadi, Nila berjalan lurus menuju seorang laki-laki yang berdiri di depan meja resepsionis.
“Hai, tepat waktu kamu!” ujar Nila pada laki-laki itu. Lalu mengucapkan terima kasih pada Sofie, resepsionis yang memanggilnya melalui telepon internal. Perasaanku ciut. Kekasih atau suaminya?
Kami bersama-sama menunggu lift yang selalu penuh di kala jam makan siang. Aku tersenyum kepada Nila. Ia membalas senyumku, tapi seperti lupa kejadian kemarin. Aku tentu tak bermaksud mengingatkan, apalagi di depan laki-laki lain. Entah kenapa, aku bersyukur Nila tak memperkenalkan temannya itu. Dan entah kenapa, sewaktu pintu elevator terbuka, aku tak ikut masuk ke dalamnya. Aku memilih lewat tangga darurat.
Dalam perjalanan pulang ada yang kurasakan hilang. Tapi seperti biasa aku tetap singgah di toko roti langganan. Lama aku berdiri, sampai seorang pramuniaga mengambilkan roti tawar kegemaranku. “Oh ya, terima kasih. Tapi satu saja.”
Ketika tiba di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan dengan wajah yang tampak segar. Aku tersenyum dan mengatakan hendak mandi dulu. Isah menyambut roti tawar yang kubawa seraya bertanya: “Besok pagi mau bawa berapa tangkup?”
“Seperti biasa satu saja. Isi selai kacang.”
Aku pun mandi dengan perasaan ngungun. Ibu masih di meja makan begitu aku selesai mengenakan baju rumah.
“Ibu buatkan kopi, agar letihmu hilang.”
“Wah, terima kasih.” Aku pun duduk di depannya.
“Kamu janji mau ceritakan sesuatu, bukan?”
Kini aku gelisah. Kemudian mencoba mencari cangkir baru. “Kopinya dibagi dua saja.” Aromanya begitu wangi menyergap hidung. Mengingatkan harum kopi Nila kemarin pagi.
Dengan cara yang sungguh mumpuni, Ibu menuang kopi dari satu cangkir ke cangkir lainnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin sebelumnya sudah biasa melakukannya. Terhadap Ayah, semasa masih hidup. Eh, bukankah Ayah sudah lama tiada? Tentu sudah lama pula Ibu tak membagi secangkir kopi menjadi dua.
“Bagaimana tentang perempuan kawan kerjamu?” tanya Ibu.
“Boleh aku minum kopi dulu?” aku mengulur waktu. Aku pun menyeruput, dan… ah! Aku menahan lidahku dalam geletar.
“Pahitkah?” tanya Ibu. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Ayah tak pernah minum kopi manis. Itu yang membuat ayahmu kuat, tabah, dan tak mudah putus asa untuk mencapai keinginannya.”
Mungkinkah Ibu menyindirku? Kini aku harus lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Sebenarnya sejak kapan aku gemar roti tawar?’
Ibu nyaris tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin kedengaran aneh. Tapi aku serius ingin tahu. Kadang-kadang terpikir, apa enaknya roti tawar? Kata ’tawar’ boleh jadi membuat perasaanku selalu tawar. Kata ’tawar’ menyebabkan segala yang kulakukan berada dalam keragu-raguan: selalu dalam keadaan tawar-menawar. Sedangkan kopi pahit, sebagaimana kata Ibu, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah, dan tidak putus asa. Nila menyukai kopi pahit seperti Ayah!
“Pasti Ibu ingat, kapan aku mulai menyukai roti tawar?”
Kini Ibu benar-benar tertawa.
Jakarta, 15 Agustus 2004

Abu Jenazah Ayah
Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh.
Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu.
Benar dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal dari tulang, daging, atau rambut.
“Bukankah ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu.
“Benar. Abu jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.”
“Waktu ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut.
“Usiaku sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.”
“Kamu sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan inspiratif, lho!” usul Agni.
“Wah, apakah itu di tepi Kalimas?”
Pesawat melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri?
Kuputar kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan hidangan.
Tiba di Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms, termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku.
Aku tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi, kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di Kalimas.
“Kenapa harus di Kalimas?” tanya Banu.
“Karena ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.”
“Bagaimana perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman.
Air mataku benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu. Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya.
“Aku sangat kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.”
“Aku turut berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni.
“Karena tak ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar dari ingatan itu.”
“Mana lebih dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu.
“Ketika ibu hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.”
“Jam berapa kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman.
Adakah aku dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai.
“Biarkan air yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai, atau hanyut ke arah kerajaan laut.”
“Pamanmu mungkin seorang penyair,” komentar Agni.
“Ia yang menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.”
“Hidupmu, dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu. “Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.”
Keluar dari ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan.
“Kita makan soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang.
“Boleh. Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?”
“Tak jauh dari sini.”
Kami naik Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah setiap hari macet seperti ini?”
“Ini karena kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa.
“Ah, ini hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.”
“Sepagi ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.”
Kusisir kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu. Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu. Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun menemui ibumu.”
“Mungkin pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan mata?” tanya Ery.
Aku tak ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio.
“Ia pemuja Dewi Kwan Im?” tanya Hilman.
“Mungkin. Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.”
O, jadi ini yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva, tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya. Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang.
“Habis ini kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery.
Aku hanya mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda. Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung.
“Jangan lupa beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan.
“Kukira sore nanti. Ketika matahari mulai surup.”
Boleh jadi, pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.”
Setiap kali mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas gunting sensor.
“Apakah kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni.
Gagasan itu bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius.
“Apakah kamu menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling bijak adalah menjawab sekenanya.
“Dua juta delapan ratus enam puluh empat butir.”
“Apakah roh ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu.
Aku mencoba mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku, tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!”
Hardikan ibu betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur. Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat. Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa.
Aku terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat.
“Kukira sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery.
“Baiklah, kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.”
Hari mulai redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras. Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku, dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah.
Aku berdoa. Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu.
Karena yang kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….”
Suara derit rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke tubuhku!
Ah, aku lupa mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya!
Jakarta, 9 Februari 2003


Sumber:

https://cerpenkompas.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar