Recent Posts

Kamis, 25 Desember 2014

Kumpulan Cerpen Puthut EA



Sesaat Sebelum Berangkat
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Aku berangkat ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***

Berburu Beruang
Aku dikagetkan oleh suara batu yang dilempar ke pinggir kolam, di samping tempatku duduk mencangkung mengamati ikan-ikan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Mas Burhan tersenyum lebar. Akhirnya, ia bangun juga dari tidurnya. Tanpa basa-basi, bahkan setelah lama tidak jumpa, dari mulutnya keluar kalimat tantangan, “Kamu mau berburu hiu atau berburu beruang?”
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang saja.”
“Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!”
Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi, kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang.
Kaki kami pelan berjingkat, mata kami waspada. Daya penciumanku kupertajam, mencoba mengendus beruang. Tiba-tiba tangan Mas Burhan memberi isyarat, laki-laki berumur hampir enam puluh tahun itu menggerak-gerakkan tangan kirinya, memberi tahu kalau seekor beruang besar sedang akan lewat di balik gerumbul pohon pisang tidak jauh dari tempat kami berada.
Kami berdua segera melompat cepat ke arah gerumbul itu. Aku mengintip dari sela-sela batang- batang pisang, dan aku melihat seekor beruang besar sedang asyik makan. Tanganku segera memberi arahan bahwa kami harus berpencar dari arah yang berbeda. Laki-laki dengan rambut sebahu itu melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah.
Beruang besar itu membelakangi kami. Aku di sebelah belakang agak ke samping kiri, sedangkan Mas Burhan berada di sebelah belakang agak ke sisi kanan. Dadaku bertalu keras. Tangan Mas Burhan memberi isyarat, hitungan maju. Hatiku semakin deg-degan. Tepat di hitungan ketiga, kami melompat bersama dan menghunjamkan tombak-tombak kami ke tubuh beruang besar itu. Tepat di saat itu, kami berteriak keras-keras. Teriakan Mas Burhan keras, melengking, memekakkan telinga seperti ingin mengeluarkan semua beban yang disangganya.
Tombakku tepat mengenai lambung sebelah kiri beruang, sedangkan tombak Mas Burhan menancap di tengkuk binatang raksasa dan buas itu. Beruang itu melenguh keras. Tetapi beruang itu segera meliuk, Mas Burhan terpelanting sementara tombaknya tertancap kuat. Aku segera mencabut tombakku, bersiap menghadapi serangan balasan si beruang.
Benar, beruang itu segera berbalik dan menghadapiku. Sepasang matanya memerah. Binatang mengerikan itu membuka mulut, mempertontonkan barisan giginya yang tajam, dan sepasang kaki depannya terangkat, menunjukkan tajam deretan cakar. Lalu binatang itu mengeluarkan auman yang menggiriskan. Nyaliku segera ciut.
Tahu kalau aku gentar dan kalah mental menghadapi beruang itu, Mas Burhan melompat ke arahku sambil mencopot kausnya. Ia melambai-lambaikan kaus itu, seperti menggoda si binatang. Aku segera berlari menjauhi pantat Mas Burhan, lalu langkah kakiku kubuat sepelan mungkin, berjingkat, menjauh lewat gerumbul bambu, memutar, kemudian berada di belakang beruang besar yang siap menyerang Mas Burhan. Tepat di detik yang menentukan itu, aku melompat dan berteriak kencang, mendahului gerakan si beruang. Tusukanku tepat berada di lambung sebelah kanan, dan aku segera mencabut lagi tombakku. Tapi sayang, tusukan tombakku terlampau kuat, aku gagal mencabutnya, dan beruang itu kembali menggeliat dengan cepat. Aku terjatuh kena kibasan beruang.
Mampus ini, batinku. Beruang itu segera menghadap ke arahku lagi. Mas Burhan segera melompat di depanku lagi, sambil terus memutar-mutar kausnya. “Goblok! Mampus kita!”
“Terus bagaimana, Mas?!” tanyaku.
“Lari, kamu! Bikin tombak lagi! Beruang itu akan mengejarku, dan aku akan naik ke pohon ketapang. Sebelum ia merobohkan ketapang itu atau berhasil menyusulku naik, kamu tombak lehernya. Tepat di lehernya! Jelas kamu?!”
“Jelas, Mas!” usai mengucapkan kalimat itu, aku langsung melompat, lari menjauh dari tempat pertempuran itu dengan cepat membuat lagi sebuah tombak. Saat aku balik lagi ke tempat pertempuran itu, Mas Burhan sudah berada di atas pohon ketapang. Sementara itu, si beruang sedang berusaha memanjat pohon itu. Tetapi tampaknya binatang itu tidak berhasil. Namun kemudian binatang yang marah dan terluka itu menemukan cara yang jitu, pohon ketapang yang belum begitu besar itu, ditabraknya berkali-kali, sehingga pohon itu terancam rubuh.
“Mati aku!” begitu selalu ucapan yang kudengar, setiap kali tubuh beruang itu menggetarkan pohon ketapang. Mungkin hanya butuh tiga kali benturan lagi, pohon itu pasti tumbang.
Dengan agak ragu, aku mendekati pohon ketapang itu, bersembunyi dari balik pohon pisang yang satu ke pohon pisang yang lain.
Tepat di saat beruang itu mundur, mengambil ancang-ancang, aku segera berlari menuju pohon ketapang sambil mengacungkan tombakku. Tubuhku gemetar. Tombak yang kupasang juga gemetar. Tahu kalau aku grogi dan pucat berhadapan dengan binatang itu, Mas Burhan berteriak, “Kamu jangan sok pahlawan! Kalau kamu gemetar, kamu pasti kalah! Kamu pasti mati!”
“Jadi bagaimana solusinya?” tanyaku semakin panik.
“Kamu ingat dan perhatikan nasihatku,” suara Mas Burhan terdengar berbisik, “taruh tombakmu di tanah. Tatap mata binatang itu! Kuatkan hatimu, kamu bisa mengalahkannya. Begitu jahanam itu marah, saat kedua kaki depannya hendak mengerkahmu, saat itulah kamu hunjamkan tombakmu ke lehernya. Jelas?”
Aku mengangguk. Tetapi hatiku tetap kacau. Lalu aku mengambil napas dalam-dalam, dan segera melakukan segala sesuatu seperti yang dibilang Mas Burhan. Tombak kuletakkan di atas tanah.
Sepasang mata bintang itu menatapku dengan tajam. Sepasang mataku berusaha membalas tajam tatapan beruang itu. Di dalam hati, aku mengatakan kalau aku bisa mengalahkan binatang ini. Beruang itu mengaum. Dengan segera, ia melabrakku.
Aku mencoba tidak grogi ketika binatang itu semakin mendekatiku. Dan tetap berusaha tidak grogi ketika beruang itu mulai mengangkat kedua kaki depannya. Di saat yang kupikir tepat, aku membungkuk, menyahut tombakku, kuhunjamkan keras-keras ke arah lehernya.
Semua serba cepat. Hunjamanku tepat. Aku segera menyandarkan tombakku ke pohon ketapang. Semakin beruang itu berusaha menjamahku, semakin dalam ujung tombakku menghunjam lehernya. Tahu kalau aku berhasil, Mas Burhan turun cepat. Ia lalu mencabut tombak yang berada di punggung binatang itu, lalu menghunjamkan ke arah leher beruang.
Kami menunggu beruang itu sesaat. Ketika sudah tidak ada tenaganya lagi, kami dorong tubuh binatang itu dari arah samping. Rubuhlah tubuh besar beruang itu. Segera tubuh beruang itu kami kuliti, dagingnya kami potong-potong, lalu kami talikan potongan-potongan daging segar itu di tombak kami. Kami keluar dari hutan itu dengan langkah tegap.
Begitu keluar dari gerumbul pohon bambu dan pisang, kami disambut oleh Pak Bari dengan tertawa. “Dikubur saja!” kata Pak Bari.
“Jangan, untuk makan malam,” tukas Mas Burhan.
“Ada cakalang bakar dan ikan asin keropa untuk makan malam,” jawab Pak Bari enteng.
“Kamu yang bawa?” tanya Mas Burhan sambil menoleh ke arahku. Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kita kubur saja binatang ini.” Sambil berkata begitu, Mas Burhan meletakkan pikulannya. Aku mengikuti perkataannya. Lalu ia mengambil cangkul yang berada di dekat gubuk, dan ia mencangkul, kemudian kami berdua menanam potongan- potongan tubuh beruang.
Sesungguhnya, yang kami tanam adalah potongan-potongan pohon pisang. Wajah Mas Burhan tampak puas setelah kami usai bermain-main imajinasi ‘berburu beruang’. Keringat berleleran di wajahnya yang memerah.
Selesai mengubur ‘daging beruang’ itu, kami melangkah pergi. Sepasang mataku melirik ke arah kolam ikan, dan sebuah rakit kecil yang terbuat dari batangan-batangan bambu. Kalau tadi aku memilih ‘berburu hiu’, kami akan berada di kolam itu. Rakit itu akan kami anggap perahu, dan kolam itu kami anggap samudra. Kami berdua pasti akan basah kuyup. Aku sedang enggan berbasah-basah.
Kami langsung menuju gubuk yang lebih besar lagi. Pak Bari segera menata piring. Segera, kami bertiga makan dengan lahap. Aku merasa lega. Misi kedatanganku berhasil dengan memuaskan: Mas Burhan mau makan lagi.
Tiga hari yang lalu, aku masih berada di sebuah pulau yang indah untuk mengikuti sebuah kegiatan. Lalu telepon datang dari Mbak Narni, istri Mas Burhan. Ia mengatakan kalau Mas Burhan sedang kumat lagi. Berhari-hari, ia tidak mau pulang dari ladang, dan menurut laporan Pak Bari, Mas Burhan tidak mau makan. “Kalau selesai tugasmu, jenguklah dia,” singkat pesan Mbak Narni.
Banyak orang yang melihat Mas Burhan hanya dari satu sisi. Begitu selalu yang kudengar setiap kali ada orang membicarakan Mas Burhan. Ia selalu disemati oleh julukan-julukan yang aduhai, mulai dari dicap sebagai ‘pembangkang sepanjang umur’ sampai dijuluki sebagai ‘pendekar subversif’. Memang julukan itu bukan tanpa alasan. Dari mulai menginjakkan kuliah, ia sudah mencicipi ikut ontran-ontran Malari. Dan semenjak itu, kakinya sudah tertanam kuat di lahan yang disebut sebagai dunia pergerakan.
Di belantara dunia aktivis, jarang ada yang tahan uji lebih dari 30 tahun untuk terus melawan. Salah satunya, Mas Burhan. Model perlawanannya pun tidak pernah berubah. Tidak pernah masuk ke dalam sistem, tidak pernah dekat-dekat dengan kekuasaan. Ia berada di banyak tempat, berkeliling, mengajar dan menemani banyak sektor masyarakat. “Aja cedhak kebo gupak…” begitu pesan yang selalu dikatakan kepada orang-orang yang lebih muda, berhubungan dengan kekuasaan. Nyalinya luar biasa, dan staminanya mencengangkan. Ia punya daya hidup yang terus memancar, seperti halnya para pembangkang yang tidak pernah takluk.
Banyak orang yang memujinya, dan cenderung memitoskannya. Semua yang berhubungan dengan Mas Burhan, selalu penuh dengan gula-gula. Ia mengidap malaria karena pernah lama di tanah Papua, banyak orang melihat hal itu sebagai sesuatu yang seksi. Ia selalu kekurangan uang karena jika punya uang selalu dipakai untuk kegiatan sosial, orang-orang selalu menyebut hal itu keren. Ia tidak punya rumah dan keluarganya selalu berpindah-pindah kontrakan, dan orang berdecak mengatakan hebat.
Hingga kira-kira lima tahun yang lalu, ia memanggil beberapa orang termasuk aku, untuk mendengar keluh kesahnya: ia merasa berdosa dengan keluarganya yang sejak lama jarang ditemaninya.
Mendengar keluhan itu, aku hanya punya komentar pendek dan langsung kuutarakan, “Wis wayahe mesanggrah, madeg pandhita, Mas.”
Akhirnya Mas Burhan memutuskan untuk mesanggrah dan madeg pandhita beneran. Dengan dibantu teman-teman dekatnya, ia membeli tanah di sebuah kampung, mengelola pertanian. Tidak jauh dari tanahnya yang cukup luas itu, ia mendirikan rumah sederhana. Semenjak itu, ia tidak pernah bepergian lagi. Ia mendampingi warga kampung untuk melakukan pertanian organik.
Tetapi setiap kali ada peristiwa yang mengganggu pikirannya, ia kumat lagi. Seperti saat terjadi kenaikan BBM pada tahun 2005. Ia tidak mau makan berhari-hari. Juga ketika terjadi kenaikan BBM di tahun ini. Berhari-hari ia berada di ladang, tidak mau makan dan emoh pulang.
Seperti halnya tiga tahun lalu, setelah akhirnya senja ini ia mau makan, sambil duduk-duduk, ia mengeluarkan semua unek- uneknya. Ia nyerocos soal pangan, air, dan BBM. Dan dari dulu, ia selalu menekankan tiga hal: imajinasi, daya hidup, dan daya cipta. “Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu, dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukkan!”
Suaranya terus bergema, seakan tidak pernah lelah dan tidak butuh jeda. Begitu terus sampai larut, sampai ia terlihat lega. Aku berharap, seperti beberapa tahun yang lalu, ia kemudian tertidur dan keesokan harinya mengajak pulang ke rumah.
Tetapi kali ini sepertinya tidak. Karena tiba-tiba ia terdiam, menajamkan telinganya, dan berkata, “Kekasih beruang itu marah dan merusak kampung….”
Mampus, batinku. Bakal ada olahraga malam….
“Pak Bari…,” Mas Burhan memanggil nama orang yang menjaga ladangnya.
Tetapi dengan cepat Pak Bari menyahut, “Harus dikejar, Pak! Kalau tidak, kasihan orang-orang kampung. Aku akan menanak nasi lagi supaya nanti saat selesai berburu, makanan sudah siap.”
Pak Bari melirik dan tersenyum kepadaku. Aku tersenyum kecut, orang tua itu sudah segera mencari posisi aman.
“Bagaimana?” tanya Mas Burhan ke arahku.
“Harus kita kejar, Mas!” aku tidak punya dalih.
“Bagus! Kenapa tidak segera bangkit dan menyiapkan dua tombak yang panjang dan tajam?”
Aku segera bangkit, keluar, sambil terus merutuk di dalam hati. Malam itu, seperti dua orang anak kecil, kami menembus malam, mendekati gerumbul bambu dan pisang. Kembali berlarian, berteriak di dalam ladang. Memburu seekor beruang.
Malam itu, setiap kali tombak Mas Burhan menancap kuat di tubuh beruang, maksudku batang pisang, ia berteriak keras. Seperti mengeluarkan dendam. Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan….

Ibu Tahu Rahasiaku
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?
“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….

Koh Su
Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri.
Minyak dituang. Diambilnya sebuah benda dari kotak di dekatnya, digedoknya keras. Remuk. Dilemparkannya ke arah penggorengan. Dilakukannya hal itu beberapa kali. Tidak ada saus tomat di dalam botol, tidak ada juga botol kecap. Hanya ada satu botol yang berisi cairan berwarna coklat di dekatnya. Botol itu dibebat kain, yang dugaanku, dulunya berwarna putih namun sekarang mulai berwarna coklat.
Ketika sebulan yang lalu, sebuah kabar merayap di kampung ini, aku termasuk orang yang tidak peduli. Paling-paling hanya desas-desus yang sengaja disebarkan oleh seorang penjual yang sedang akan menggelar dagangannya agar laris. Seingatku, sudah belasan kali sejak aku kecil hal seperti ini terjadi.
Dari kecil aku sudah biasa dengan drama-drama kecil ini. Tiba-tiba ada beberapa mulut yang mengatakan bahwa resep nasi goreng ala Koh Su sudah ditemukan. Lalu orang-orang begitu ramai. Tidak lama kemudian, berdiri sebuah warung makan di kota kecil ini, khusus menyediakan menu nasi goreng. Orang-orang mengantre. Begitu ramai. Lalu hanya seminggu atau dua minggu, warung itu akan sepi kembali. Kukut. Tutup untuk selamanya. Begitu berkali-kali.
Di kota ini, nasi goreng identik dengan sebuah nama: Koh Su. Begitu dekatnya hubungan antara nasi goreng dan Koh Su, sampai nama Koh Su menjadi kata kerja untuk aktivitas membuat nasi goreng. Kalau ada seseorang yang berkata, ”Tadi pagi saya ngohsu,” itu berarti tadi pagi ia membuat nasi goreng. Atau kalau ada orang yang berkata, ”Ngohsu, yuk…” itu artinya ia mengajak membuat nasi goreng.
Di kota kecil ini, hampir semua jenis masakan yang biasa ditemui di kota-kota lain ada. Hanya satu saja yang tidak ada, warung nasi goreng. Kalaupun warung nasi goreng itu muncul, seperti yang aku ceritakan di atas, didahului dengan bumbu-bumbu cerita, tidak berapa lama sebuah warung berdiri, diserbu pembeli, kemudian mati. Hanya menambah deret kekecewaan orang akan penjual nasi goreng, dan semakin mengukuhkan legenda Koh Su.
Aku memperhatikan lagi penjual nasi goreng yang sedang khusuk dengan masakannya itu. Semua yang kubayangkan tentang Koh Su, memang benar-benar ada pada laki-laki itu. Rambut penjual itu lurus, panjang, agak jarang, dan dikucir. Di kepalanya bertengger kopiah hitam. Kumisnya jarang-jarang tapi dibiarkan tetap tumbuh, juga jenggotnya. Matanya sipit, dan di sepasang mata itu dikelilingi daging menggelambir. Tubuhnya tinggi dengan perut yang agak buncit. Di mulutnya selalu terselip sebatang rokok kretek. Kutaksir ia berumur empat puluh tahun lebih.
”Dek! Dek!”
Laki-laki itu selalu mengakhiri prosesi memasaknya dengan cara yang sama, dua gedokan keras di wajan, sebelum menuangkan ke piring. Pembantunya, seorang anak berusia belasan tahun yang biasa dipanggil ’Mbeng’ lalu mengantar sesuai dengan urutan pemesan.
Aku melihat ke sekeliling, masih banyak orang yang belum mendapatkan jatah pesanan mereka. Giliranku masih sangat lama.
Dari hulu sampai hilir, cerita tentang Koh Su serba tidak jelas. Ada yang bilang kalau ia bukan orang Tionghoa, melainkan orang Madura. Nama sebenarnya Sukendar. Tapi karena mirip orang Tionghoa maka ia dipanggil Koh Su. Tapi banyak orang yang tidak sependapat. Bagi sebagian orang, Koh Su adalah orang Tionghoa. Ada juga yang bilang kalau Koh Su orang Jawa, hanya ia belajar memasak dari orang Tionghoa di Tuban, lalu pulang kampung dan mendirikan warung nasi goreng yang kemudian sangat tersohor. Nama sebenarnya Surono. Mana yang benar, aku jelas tidak tahu.
Lenyapnya Koh Su dari kota ini juga tidak jelas. Sebagian orang bilang Koh Su mati. Sebagian orang yang lain bilang Koh Su melarikan diri entah ke mana. Ada juga yang bilang kalau Koh Su moksa karena ia menganut ilmu kebatinan. Bagi mereka yang percaya bahwa Koh Su mati pun punya versi masing-masing. Ada yang meyakini Koh Su mati dibunuh di warung makannya, jasadnya dibuang di Gunung Genuk. Ada yang bilang Koh Su mati dikubur bersama puluhan orang komunis di sebuah sumur tua di belakang sekolah rakyat setelah berkali-kali ia tidak mempan ditembak dan dagingnya tidak tergores ketika disembelih. Mana yang lebih tepat, tentu saja aku tidak tahu.
Konon, tempat berjualan Koh Su terletak di bawah pohon beringin, sebelah barat alun-alun, di dekat masjid. Beringin itu sampai sekarang masih kokoh berdiri. Koh Su dikenal sebagai penjual yang tidak banyak bicara. Ia hanya sibuk memasak. Ia tidak melayani pesanan yang neko-neko. Di resep Koh Su, nasi goreng adalah nasi goreng. Ia tidak pernah meluluskan permintaan nasi goreng pedas, nasi goreng tidak asin, tidak pakai telor atau daging, dan lain-lain. Semua seragam, sama. Anehnya, sekalipun seragam, Koh Su selalu memasak satu per satu masakannya. Sehingga semua yang memesan harus sabar. Selain itu, tidak ada yang boleh membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus.
Semua orang tahu Koh Su tidak menggunakan kecap, tomat atau saus tomat. Semua orang juga tahu kalau Koh Su memakai semacam saus berwarna coklat. Tapi apa ramuan saus itu, tidak ada seorang pun yang tahu.
Dulu, aku pernah bertanya ke kakekku bagaimana rasanya nasi goreng Koh Su. Kakekku hanya menggelengkan kepala sambil berkata, ”Susah mengatakannya.”
Pak Pardiman, penjual kopi yang sangat terkenal di kota ini juga melukiskan hal yang hampir sama, ketika aku dan teman-temanku menanyakan rasa nasi goreng Koh Su saat kami ngopi di warungnya. ”Ini nasi goreng Koh Su. Ini surga. Jaraknya hanya segini…” sambil berkata seperti itu Pak Pardiman mendekatkan jempol tangan kanannya dan telunjuk tangan kanannya. Kedua jari itu hampir menempel, seperti sedang menjimpit sebatang rokok.
Beberapa orang kulihat datang, memesan lalu mengantre. Beberapa yang lain harus pulang karena nasi goreng yang belum dimasak sudah habis dipesan. Giliranku masih lama, tapi tetap merasa beruntung, paling tidak aku masih kebagian.
Aku tidak tahu persis, apakah gara-gara Koh Su, atau karena hal yang lain, tetapi yang jelas nasi goreng adalah menu spesial penduduk kota ini. Begitu spesialnya sehingga tidak gampang diperjual-belikan. Pelajaran memasak pertama yang diajarkan dan dilakukan oleh anak-anak adalah ngosu alias membuat nasi goreng. Kalau ada peringatan hari tertentu, seperti Hari Kemerdekaan sampai Hari Maulud Nabi, pasti ada lomba ngosu.
Begitu tenarnya nasi goreng di kota ini, maka muncullah orang- orang yang memang suka menguji nyali. Pada kali pertama dan kedua, itu cukup menggegerkan. Selebihnya kemudian ditanggapi dengan biasa saja.
Saat itu aku masih duduk di sekolah dasar ketika ramai-ramai ada berita bahwa resep nasi goreng Koh Su telah ditemukan. Sama seperti cerita tentang Koh Su sendiri, cerita perihal ditemukannya resep masakan Koh Su serba tidak jelas. Setelah beberapa minggu, di dekat rumah sakit berdiri sebuah warung nasi goreng yang mengaku memiliki resep Koh Su. Selama berhari-hari nasi goreng itu ramai sekali. Antrean begitu panjang. Anak-anak kecil, termasuk aku, hampir setiap hari prembik-prembik, ngambek kepada masing-masing orangtua kami karena tidak juga dapat giliran mencicipi nasi goreng saking banyaknya antrean. Tapi setelah beberapa minggu kemudian, warung itu sepi. Dan ketika akhirnya aku mencicipi nasi goreng itu, tidak ada bedanya dengan bikinanku sendiri saat aku sering ngosu dengan teman-teman sebayaku.
Kali kedua, lebih heboh lagi karena warung makan itu berdiri di bekas warung makan Koh Su, di bawah pohon beringin dekat alun-alun. Di kain warung makan itu tertulis jelas: Nasi Goreng Koh Su. Tapi tulisan itu hanya berumur beberapa hari karena polisi melarang tulisan ’Koh Su’ yang dianggap berbau komunis. Tulisan dihapus, tapi yang mengantre tetap banyak, juga para polisi. Namun hampir sama dengan yang pertama, umur warung makan itu hanya beberapa minggu. Setelah semua penduduk mencicipi dan ternyata biasa saja, warung itu sepi kemudian tutup.
Kali ketiga dan seterusnya sudah tidak terlalu mengejutkan. Selalu ada desas-desus, lalu muncul warung nasi goreng, disambut dengan harapan dan antrean, dan kemudian kecewa.
Aku memperhatikan sekeliling lagi. Orang-orang menunggu tanpa banyak bicara, seakan mereka sedang menunggu saat-saat yang paling menentukan bagi mereka. Orang-orang yang sudah mendapatkan giliran makan menyantap hidangan mereka dengan tenang. Khidmat. Yang sudah selesai juga membayar dan pergi dengan tenang. Mereka seperti selesai menunaikan sebuah ibadah.
Masih ada beberapa orang lagi, baru kemudian tiba giliranku.
Di kota ini, ngosu atau membuat nasi goreng bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan hanya dengan sekian puluh menit. Semua ini karena bocoran resep-resep yang didapat dari Koh Su. Resep dan tatacara ini beredar dari mulut ke mulut. Mempengaruhi tindakan banyak orang dalam ngosu.
Kabarnya, nasi yang digoreng oleh Koh Su berasal dari padi di Dusun Ngandang, sebuah dusun di lereng Gunung Genuk. Padi itu ditanak sebagaimana biasa. Setelah matang, ditumpahkan di atas daun pisang lalu dikipasi dengan ipit, kipas yang terbuat dari bambu. Nasi itu dikipasi terus-menerus sampai hampir dingin, setelah itu dibungkus dengan daun pisang rapat-rapat. Nasi inilah yang kelak akan menjadi bahan utama membuat nasi goreng Koh Su. Untuk menghasilkan nasi goreng yang enak, buntalan daun pisang itu paling tidak harus berumur lima jam. Jadi, konon Koh Su selalu menyelesaikan beberapa buntalan nasi setelah selesai Duhur. Habis Magrib, nasi ini dibuka satu per satu, untuk dibuat nasi goreng.
Resep lain yang sudah ketahui banyak orang dalam membuat nasi goreng itu adalah dengan memakai kepala udang. Udang ini harus benar-benar udang laut dan harus segar. Kepala udang dipisahkan dari tubuhnya, lalu dikupas kulit luarnya yang keras dan dicuci sampai bersih. Setelah minyak dituang, pertama-tama kepala udang diremuk di atas talenan, kemudian dilempar ke minyak. Kepala udang itu menjadi semacam bumbu dasar. Untuk satu porsi nasi goreng dibutuhkan dua atau tiga kepala udang segar. Tergantung pada besar kecilnya kepala udang. Satu lagi, minyak yang dipakai untuk ngosu selalu minyak goreng dari kelapa.
Tiga orang lagi sampai ke giliranku mendapatkan seporsi nasi goreng yang menggegerkan kota ini.
Ketika warung ini mulai buka, hanya anak-anak kecil yang antusias menyambutnya. Kami yang sudah beranjak dewasa maupun orang-orang tua yang sudah cukup pengalaman dengan berdirinya warung-warung sejenis hanya merasa biasa saja. Paling-paling sama dengan yang dulu-dulu, begitu pikir kami. Tapi setelah berhari-hari, kabar tentang nasi goreng di warung ini semakin santer saja. ”Benar-benar nasi goreng Koh Su!” kata mereka yang sudah mencicipi.
Kemudian kabar tersebut segera meluas. Ditambah dengan hal-hal lain yang memperkuat kabar itu. Penjual baru itu, sampai sekarang kami tidak tahu namanya, sama seperti Koh Su, memasak nasi goreng seporsi demi seporsi. Penjual itu juga tidak melayani membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus. Ia juga hanya menjual kira-kira lima puluh porsi dalam semalam. Dimulai dari sehabis Magrib dan selesai sebelum pukul sebelas malam. Mereka yang mengantre harus menunggu di warung itu, kalau meninggalkan warung sebelum mendapatkan pesanan mereka, dianggap tidak jadi memesan.
Lalu kabar-kabar mulai bersayap, menerbangkan hal-hal lain. Ada orang yang bilang kalau penjual itu adalah anak kandung Koh Su. Konon, Koh Su yang pendiam itu mempunyai seorang istri dan anak di kota lain. Anak inilah yang mewarisi keterampilan Koh Su dalam membuat nasi goreng dan sekaligus mewarisi resep masakannya, terutama di dalam meramu saus berwarna coklat itu.
Sampai saat ini, tidak ada yang tahu namanya. Ia seperti datang tanpa nama, tinggal dan berjualan tanpa mengobral nama. Ia hanya datang bersama Mbeng dan seperangkat alat memasak, lalu mengontrak kios di dekat pasar yang sekaligus menjadi warung makan.
Kini tiba giliran nasi gorengku diracik dan dimasak. Dadaku berdebar.
Ketika kakekku penasaran karena orang-orang mulai membicarakan rasa nasi goreng dari warung yang baru berdiri itu, aku masih belum tertarik. Ketika kemudian kakekku menjajal dan membenarkan kelezatannya, aku tidak punya alasan lain untuk tidak penasaran. ”Bumbu dan caranya memasak sudah benar. Hampir mirip buatan Koh Su,” kata kakekku.
Bagi orang seusiaku, Koh Su jelas misteri besar. Cerita tentangnya mengambang di seluruh udara kota ini. Orang-orang yang mengalami nasi goreng Koh Su masih wasis bercerita saat aku masih kanak-kanak. Seluruh umurku yang berkaitan dengan nasi goreng adalah ngosu dengan bocoran resep dan tatacara yang tidak lengkap. Berasnya jelas tidak mungkin dari Ngandang, kadang minyaknya tidak menggunakan minyak kelapa. Dan yang pasti, kami tidak memakai saus berwarna coklat karena tidak tahu bagaimana cara membuatnya.
Ini sudah kali ketiga aku mencoba mengantre. Dua yang pertama, berakhir dengan lidah kosong. Setiap kali aku datang, antrean selalu penuh, dan Mbeng berkata dengan sopan, ”Maaf Mas, sudah habis.” Kali pertama aku datang jam sembilan malam. Kali kedua jam delapan. Kali ketiga ini, aku datang benar- benar saat Magrib usai. Itupun yang mengantre sudah banyak sekali.
”Dek! Dek!” suara pertanda akhir prosesi memasak terdengar. Piring dilumahkan. Nasi ditumpahkan di atas piring. Mbeng mengantar seporsi nasi goreng ke arahku. Hatiku nratab begitu menerima ulungan sepiring nasi goreng dari tangan Mbeng.
Aku memandang baik-baik nasi di depanku. Sempurna. Warnanya begitu menyentuh. Semua nasi berwarna sama, tercampur bumbu dan matang dengan rata. Baunya juga sempurna. Aku menyendok pelan nasi goreng di depanku. Aku memasukkan nasi ke mulutku…
Aku mampir di warung kopi Pak Pardiman. Kupikir, malam ini bisa semakin disempurnakan dengan ngopi dan ngobrol bersama banyak orang. Sampai di sana, suasana sudah sangat gayeng. Dari sepintas dengar, obrolan yang terjadi berkisar soal kelezatan warung nasi goreng yang baru kujajal itu. Semua orang bersepakat soal kelezatannya.
”Sudah sama dengan punya Koh Su, Pak?” tanya seorang anak muda.
”Hampir…” jawab Pak Pardiman.
”Kira-kira kurang di bagian mana?”
”Nasinya. Tapi bagaimana bisa dapat beras dari Ngandang?”
”Bukannya di Bangunrejo masih banyak sawah?”
Tidak ada jawaban dari mulut Pak Pardiman. Wajahnya tiba-tiba membeku. Dusun Ngandang sudah tidak ada lagi. Menurut cerita orang-orang tua, hampir semua penduduk Ngandang tersangkut peristiwa berdarah yang juga melenyapkan Koh Su. Lalu nama dusun itu diganti dengan nama Bangunrejo.
Setelah beberapa saat terdiam, sambil meracik kopi pesananku, Pak Pardiman mendesah, ”Seandainya saja itu hanya soal ganti nama…”

Di Sini Dingin Sekali
Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur.
Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi.
Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu.
Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk.
Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut pelatihan.
Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa, pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi ke posyandu.
Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi.
Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda.
Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat. Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok.
Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi, sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan tetangga.
Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT. Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang, tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya. Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya.
Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul, bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya dimarahi warga.
Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak, katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi. Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang, Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya, Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya.
Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam. Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah membicarakannya.
Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa susulan.
Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu.
Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup untuk seluruh warga.
Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali.
Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri. Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh.
Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu.
Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar, Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank.
Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD. Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain, setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….”
Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu. Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya, ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan semua anak menertawaiku.
Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai. Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya, aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka.
Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara. Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan anak tertua Pak Dukuh.
Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh cepat kerja bakti lagi.
Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi. Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi. Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali. Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh.
Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan. Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak. Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya. Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung memberi julukan: Siti Partisipasi.
Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan. Ibu menangis.
Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun. Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku.
Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan.
Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya merah, suaranya serak.
Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu, aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut. Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi posko anak.
Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan suara.

Sambal Keluarga
Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain.
Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna. Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain. Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe. Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete.
Masing-masing anggota keluarga kami mempunyai nama sendiri-sendiri untuk menyebut sambal itu. Yu Sumi, orang yang bertahun-tahun membantu memasak di rumah kami, menyebut sambal itu dengan nama sambal korek. Mungkin karena sekalipun sambal itu sudah tandas, kami tetap mengoreknya dari cobek untuk mencari sisa-sisa. Ibuku memberi nama sambal itu dengan nama sambal galak. Alasannya, sambal itu terasa sangat pedas, galak di mulut. Bapakku menyebut sambal itu dengan nama sambal bahagia. Konon kata bapakku, sambal sederhana itu gampang membuatnya bahagia. Ayundaku, satu-satunya saudara kandungku, menyebut sambal itu dengan nama sambal malas. Maksudnya, sambal itu membuatnya malas untuk menyelesaikan sarapan, selalu ingin menambah nasi. Dan aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal asal. Siapa pun orangnya, asal sudah bisa memegang cobek dan ulekan, pasti bisa membuatnya.
Kalau sambal itu absen dari meja makan kami saat sarapan, masing-masing kami mempunyai kalimat antik untuk meresponsnya. Ibuku akan berkata, Yu Sumi sedang ngambek. Sedangkan bapakku akan mengatakan kalau penjual cabai hijau sedang menikah. Ayundaku lain lagi, jika sambal itu tidak hadir, ia selalu bilang, sidang kabinet batal. Ayundaku memang senang sekali menonton laporan khusus yang ditayangkan TVRI, terutama kalau Pak Harmoko membacakan harga-harga bahan makanan, termasuk harga cabai. Aku sendiri akan bilang, upacara tanpa bendera. Biasanya, sebelum makan, aku akan mengeluarkan aba-aba untuk diri sendiri jika tidak ada sambal tersebut di meja makan, “Upacara tanpa bendera, mulai!”
Sarapan pagi bagi kami adalah sebuah prosesi yang khusyuk tapi tetap cair dan ringan. Sambal adalah uba-rampe yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Sambal itu telah menjadi sambal keluarga.
Pada saat sarapan, kami juga saling menandai siapa di antara kami yang sedang mempunyai masalah. Kalau ada salah seorang di antara kami tidak antusias berebut sambal dari cobek, pasti ia sedang mempunyai masalah. Pasti.
Sampai aku dan ayundaku besar, sambal keluarga itu tetap menduduki rangking teratas di keluarga kami. Jika kami berkumpul di rumah, menu itu selalu dipastikan ada saat sarapan. Hanya ketika aku dan ayundaku sudah tumbuh besar, kami berdua memberi sebutan yang berbeda lagi untuk menu sambal. Beberapa bulan setelah aku kuliah, aku menyebut sambal itu dengan nama sambal proletar. Sedangkan ayundaku menyebutnya dengan nama sambal kenangan.
>diaC<
Keluarga kami bertemu di meja makan tiga kali dalam sehari. Pagi, ketika ibu-bapakku akan pergi ke kantor dan kami bersiap pergi ke sekolah, lalu siang ketika kami semua sudah tiba dari tempat masing-masing, dan malam hari seusai salat maghrib. Tapi hanya pada pagi hari kami benar-benar seperti “bertemu”. Di siang hari, aku yang satu selera dengan ibuku, lebih memilih santapan sayur asem, sedangkan bapakku dan ayundaku lebih memilih sayur lodeh. Di malam hari, makanan kami lebih sering dibeli dari luar rumah, dan kami pun membentuk konfigurasi selera yang berbeda, aku dan ayundaku lebih suka makan masakan Padang, sementara ibu dan bapakku lebih suka menikmati lontong sayur atau pecel lele.
Tidak bisa kumungkiri, menu makan pagi yang tidak tergantikan itu telah berubah menjadi begitu jauh, penuh dengan isyarat dan petanda yang lembut bagi kami sekeluarga. Seperti menenun sebuah jaringan mental yang gaib dan penuh rahasia.
Kalau ada tamu menginap di rumah kami, tidak peduli apakah itu saudara dekat seperti nenek atau bude, atau teman-teman ibu dan bapakku, bisa dipastikan menu itu bersembunyi, lenyap dari meja makan kami. Seolah kami saling melempar pesan, “Sekarang sedang ada orang lain.”
Hanya ada satu orang saja yang kami percaya untuk mengetahui rahasia lembut itu, Yu Sumi. Dialah yang menguntit proses itu bertahun-tahun, dan ikut menyukseskan ritual sarapan dengan baik. Dan karena itu, ia adalah bagian dari kami.
Dengan pelan dan pasti, aku mulai menyadari bahwa itu bukan sekadar perkara jenis sambal tertentu. Itu lebih rumit dari yang kami rasakan di lidah. Pertama aku menandai itu ketika ayundaku pergi kuliah di luar kota. Tetap ada menu itu di sarapan kami bertiga, tapi tetap seperti tidak biasanya. Dan kami butuh waktu untuk menyesuaikan, dan kami tahu, itu adalah cara menyesuaikan, bukan idealnya. Tiga tahun kemudian, ketika aku menyusul ayundaku kuliah di kota yang sama, tidak jarang kami pun sering mencoba membuat kedua menu itu, hasilnya sama, tidak akan pernah sama persis ketika itu kami santap di rumah bersama ibu dan bapak kami.
Sambal itu baru kami nikmati kembali sebagai sambal keluarga ketika kami berkumpul. Sambal itu bau benar-benar sambal karena ia berada di sana, di sebuah pagi, di rumah kami, ketika kami semua lengkap mengepung meja.
Lalu semua itu berkembang lebih jauh lagi. Aku masih mengingat saat itu, ketika kali pertama ayundaku membawa pacarnya pulang ke rumah, memperkenalkan kekasihnya itu ke kedua orangtua kami. Pagi saat sarapan, ayundaku terlihat sebagai orang yang paling resah. Ia langsung pucat dan tidak berselera, begitu di meja makan, di antara sekian banyak lauk-pauk tidak ada kedua menu itu. Sebuah isyarat telah dilempar ke meja makan. Dan ayundaku begitu lunglai.
Kali kedua ia membawa kekasihnya yang lain, ia pun mengalami hal serupa. Dan itu bukan hanya menimpanya, tetapi juga pernah menimpaku. Sekali menimpaku karena hanya sekali pula aku membawa pacarku pulang ke rumah. Semenjak itu, kami berdua harus berpikir berkali-kali kalau ingin membawa pacar kami pulang ke rumah.
Setelah mengalami ketiga kejadian itu, aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal ujian, sementara ayundaku memberi nama sambal maut. Perubahan penyebutan itu hanya membuat kedua orangtuaku tersenyum ringan dan tetap tenang.
Saat kami berdua tidak tinggal serumah lagi dengan kedua orangtua kami, memakan sambal dengan lahap ketika berkumpul bersama keluarga menjadi semacam registrasi ulang untuk mengukuhkan sesuatu yang kami anggap penting. Sarapan pagi adalah ritual validasi atas diri kami berdua, aku dan ayundaku. Suatu kali, ketika hampir dua tahun ayundaku tugas belajar ke luar negeri, begitu pulang ke Indonesia ia langsung mengajakku pulang ke rumah. Paginya, dalam suasana makan pagi yang hangat, ayundaku menyantap sambal keluarga itu dengan cara yang tidak pernah ia lakukan. Kupikir, ia bukan sekadar rindu pada sambal dan suasana di keluarga kami, tapi juga dalam rangka menunjukkan sesuatu yang penting untuk disampaikan. Hasilnya, ia tidak makan siang dan tidak makan malam karena kekenyangan dan perutnya panas. Tapi keesokan harinya, ia tetap menyantap sambal itu dengan antusiasme yang tidak kalah dari pagi sebelumnya.
Dua tahun yang lalu, akhirnya, satu orang lagi menjadi bagian dari keluarga kami. Mas Rudi, yang sekarang menjadi suami ayundaku, lolos dari pedas sambal maut. Ketika pagi itu, ayundaku melihat sambal keluarga terhidang di atas cobek saat makan bersama, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia langsung memekik dan mencium ibu-bapakku, dan merangkul Mas Rudi. Tentu saja Mas Rudi yang tidak tahu apa-apa hanya bengong.
Kini, mereka berdua telah dikarunia seorang putri yang lucu, dan sekalipun keponakanku itu mempunyai nama panjang yang bagus, toh ayundaku memanggil anaknya dengan panggilan sayang: Mbal….
>diaC<
Pagi ini adalah pagi yang paling membuatku salah tingkah. Ayundaku, Mas Rudi, dan putri mereka ramai bermain di beranda depan. Ibuku sedang mempersiapkan sarapan buat kami di dapur. Hanya bapakku yang tidak terlihat. Sementara Dian, kekasihku, masih berada di kamar. Sesekali, ayundaku masuk ke ruang tamu, tempat di mana aku mencoba mengatasi perasaanku yang serba tidak menentu. Beberapa kali ayundaku memberi isyarat supaya aku tenang. Bahkan tidak segan ia menepuk pundakku, seakan memberi semangat dan ketenteraman bahwa pagi ini, semua akan baik-baik saja.
Kemarin, ayundaku beserta suami dan putri mereka berkunjung ke rumah orangtua kami. Mereka dipanggil pulang ke rumah oleh ibuku setelah aku dan Dian memastikan bahwa kami berdua akan datang. Ini kali pertama Dian kuajak ke rumahku, dan ini berarti drama sambal keluarga akan dimulai.
Setahun lebih aku menjalin hubungan dengan Dian, dan baru kali ini aku memberanikan diri mengajaknya mengunjungi kedua orangtuaku. Hampir semua hal telah kami bicarakan berdua, kecuali satu hal: sambal keluarga.
Semalam, kami semua telah berkumpul. Semalam, suasana begitu akrab sehingga seharusnya aku tidak perlu terlalu khawatir akan drama pagi ini. Tapi bukankah seperti itu yang dulu terjadi kepada kedua mantan kekasih ayundaku dan mantan kekasihku? Malam yang nyaman, bukan berarti sebuah tiket yang bisa menentukan apa yang terjadi di pagi harinya.
Dian keluar dari kamarnya. Ia menemuiku, dan bilang akan membantu ibu di dapur untuk mempersiapkan sarapan. Tapi sebelum aku mengiyakan, ibu sudah memanggil-manggil kami dari dapur. Perasaanku semakin kocar-kacir, pikiranku semakin kacau. Ayundaku bersama Mas Rudi dan putri mereka segera masuk ke gelanggang pementasan. Dian memberi isyarat agar kami berdua segera menyusul ke dapur.
Pelan aku bangkit dan menggandeng tangan Dian. Pada tangan itu, aku ingin memastikan dan memperkuat sesuatu yang serba tidak menentu. Aku mendengar suara ramai di dapur, suara keponakanku ditimpali suara ayunda dan ibuku. Suara yang ringan dan bingar. Beberapa meter dari ruang makan, aku melihat semua sudah menempati kursi masing- masing, hanya Mas Rudi yang masih menggendong putrinya sambil terus bercanda. Bapakku yang dari pagi tidak kulihat juga sudah berada di sana, sementara Yu Sumi masih kulihat sibuk di dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang makan.
Pelan kami berdua masuk, menuju tempat duduk yang tersisa. Dan mataku menyapu sajian di meja makan….
Jantungku berdetak mengencang dan mengeras. Kusapu berkali-kali dan kuperiksa dengan seluruh perhatianku, tetap saja aku tidak menemukan satu menu yang paling kutunggu-tunggu. Tubuhku terasa ringan. Tapi aku berusaha tetap tenang, dan duduk di kursiku. Yu Sumi masih melakukan sesuatu di dapur, mungkin masih di sana…. Semoga….
Rasa tidak menentu juga kulihat di raut muka ayundaku. Mas Rudi, orang yang akhirnya tahu tentang drama sarapan ini, setelah mengambil makanannya, keluar dari ruang pentas. Ia memberi alasan akan menyuapi putrinya di beranda. Tapi aku memaklumi, ia sedang tidak ingin mencampuri satu peristiwa yang mungkin tidak mengenakkan hatinya.
Sarapan dimulai. Tanganku gemetar, aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Berkali-kali, aku melihat ayundaku juga berusaha menghilangkan ketegangan dengan cara menarik napas dalam-dalam. Sementara ibu dan bapakku terlihat seperti biasa, tenang dan ramah. Dan Dian…, ia juga tenang.
Yu Sumi datang membawa sesuatu. Harapanku bangkit. Tapi setelah tahu apa yang ada di tangannya, yang kemudian diletakkannya di meja, kembali gelombang harapan itu kandas seketika. Kali ini, Dian melihatku dengan heran. Tapi ia meneruskan mengambil lauk yang ada di meja.
Percakapan-percakapan ringan mulai hadir. Ibuku bicara, bapakku bicara, Dian menjawab dan menimpali. Ayundaku sesekali ikut ambil bagian. Hanya aku yang belum mengeluarkan sepatah kata pun.
Yu Sumi datang lagi, ia membawa sesuatu. Harapanku naik lagi. Tapi lagi-lagi, ia tidak membawa sesuatu yang kuharapkan. Saat tahu itu, aku hanya punya satu pikiran… habis… aku habis!
Tapi tepat di saat pikiran buruk itu menguasaiku, ibuku bangkit. Ia menuju dapur. Tidak lama kemudian ia masuk lagi membawa cobek. Aku hampir memekik, tapi aku ingin memastikan sesuatu di dalamnya. Dan apa yang kuharapkan ada di sana, sambal keluarga datang!
Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Ayundaku bahkan langsung berteriak girang. Sementara aku menahan diri untuk tidak berteriak, tapi mengulum senyum lega. Dian juga tersenyum, aku tidak tahu apa maksud senyumnya.
“Mbak Dian, sambal… ini sambal keluarga kami,” ibu mengeluarkan suara.
“Iya, Dian. Sambal ini enak sekali,” ayundaku menimpali sambil tangannya mengeruk sambal dengan sendok dan menjatuhkan sambal itu di piringnya.
Aku yang begitu girang, masih berusaha menahan semuanya. Dadaku dipenuhi rasa syukur.
“Iya, Bu… saya juga suka sambal ini. Saya sering membuatkan sambal ini untuk eyang kakung saya…,” sambil berkata seperti itu, Dian mengambil sesendok sambal.
Aku benar-benar lega. Semua terasa lapang dan ringan.
Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada yang berhenti di ruang makan ini. Aku melihat mata ayundaku terhenti pada sesuatu. Aku melihat mata ibuku juga terhenti pada sesuatu. Aku memastikan apa yang terjadi dengan itu semua….
Napasku seperti berhenti. Aku melihat satu adegan ringan tapi tajam. Tangan Dian mengambil sebotol kecap, dengan pelan ia menuangkan kecap itu di atas sambal yang sudah berada di piring makannya. Dengan tenang ia berkata, “Tapi saya paling suka kalau ditambah kecap.”
Aku diam. Ayundaku diam. Ibuku diam. Bapakku diam. Semua diam. Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Mereka berdua kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ringan untuk mencairkan suasana.
Dian tetap makan dengan tenang, sambil sesekali menimpali pembicaraan.
dian
sambal muncul dengan dramatis
gembira
dian menuangi sambal yang diambilnya dengan kecap!

Retakan Kisah
Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu.
Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil, untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang.
Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya?
Di awal percakapan, kalimat yang lebih banyak muncul adalah, ”Saya sudah tidak mampu lagi mengingat”. Kalimat itu terus menimbulkan tanda tanya di kepalaku. Apakah kalimat itu berarti bahwa ia memang benar-benar tidak mampu mengingat, ataukah karena ia tidak mau menceritakan satu kejadian karena takut risiko tertentu, ataukah karena sebetulnya bukan itu yang ingin ia ceritakan.
Lalu aku tepis seluruh syak yang muncul. Dengan sabar aku menunggu sulur-sulur cerita yang keluar dari rekahan waktu yang gelap dan dalam. Tugasku adalah belajar untuk diam, mendengarkan, menyimak, lalu menyodorkan ke hadapan orang banyak tentang suara yang lirih. Ada suara yang mungkin dari dulu hanya dianggap dengungan, sayup dan lamat-lamat. Dan banyak telinga sudah diproteksi, siap menyeleksi apa saja yang boleh didengar, dan apa saja yang tidak boleh didengar. Tapi suara-suara seperti ini tidak akan bisa ditahan, karena sudah banyak yang mulai bersuara dan sudah banyak yang mulai mau mendengar.
Rekahan waktu lambat laun mulai mengeluarkan sulurnya dari wilayah yang paling gelap. Suara lirih mulai terdengar. Dan suara seperti ini akan membuat perhitungan sendiri.
>diaC<
Hampir semua hal yang mengelilinginya terlihat muram. Sepasang mataku butuh waktu yang agak lama untuk menyesuaikan dari terik yang memanggang di luar, dengan cahaya lamat yang ada di dalam rumahnya. Ruangan ini berisi seperabot kursi-meja yang sudah tua dan tidak jelas warnanya, sebuah tempat tidur yang tergeletak di lantai, dan hanya ada dua hiasan yang menempel di dinding: potret seorang laki-laki, dan sebuah lukisan kaca.
Seluruh warna yang ada di dirinya adalah warna yang luntur dan kusam, seperti warna jarik dan kebaya yang dikenakannya. Mata yang menyempit, berkaca sekaligus berkapur. Suara yang groyok, kadang lirih, kadang membesar tanpa irama. Juga tubuh yang gampang gemetar, tubuh yang jauh lebih tua dari usianya yang sesungguhnya. Apalagi, kalau bukan karena penderitaan?
Tapi, ia terlihat cukup tenang. Memperhatikan baik-baik ketika dua temanku mempersiapkan alat rekam audiovisual. Mengeluarkan sendiri tiga gelas teh dan satu gelas air putih.
”Pagi itu, saya masih belum selesai menyapu halaman rumah….”
Ia diam. Kembali matanya temlawung jauh. Seekor cicak menjerit dan jatuh tidak jauh dari tempatnya duduk, disusul oleh seekor yang lain, lalu mereka segera melesat pergi. Beberapa ekor ayam muncul di pintu, lalu juga pergi dengan meninggalkan suara kokok yang terus bergema. Suara lalu lintas dari jalan raya yang tidak jauh dari rumah ini mencoba mengingatkan bahwa hanya di sini, sepi itu begitu menjadi-jadi.
”Mereka sudah datang. Saya sudah tahu apa maksud kedatangan mereka. Lalu saya bilang: Pak, saya ini seorang guru. Beri saya kesempatan untuk pamitan dulu ke murid-murid saya….
”Tanpa menunggu jawaban mereka, saya pergi mandi, berdandan, lalu keluar rumah menuju ke tempatku mengajar. Rombongan itu mengikuti dari belakang.
”Sesampai di sekolah, saya langsung masuk ke kelas: Anak-anak, hari ini Ibu akan rapat dengan bapak-bapak tentara. Rapatnya mungkin akan lama. Nanti, kalau ada guru lain yang menggantikan, belajarlah dengan baik, dan jangan nakal.
”Satu per satu, saya menciumi wajah murid-murid. Lalu ketika keluar menemui rombongan tentara, salah seorang berkata: Ke kantor kecamatan!”
Kembali ia diam. Seorang pedagang es melintas di jalan depan rumahnya, diikuti suara anak-anak yang menyanyikan lagu Peterpan. Sesekali aku menengok ke arah pintu, mencari cara agar mataku tidak silau karena cahaya di luar begitu tajam hinggap di pandanganku.
”Saya benar-benar tidak tahu, Mbak, apa salah saya. Saya ini dari kecil miskin, hanya anak seorang janda. Waktu saya kecil, saya hanya ingin menjadi guru. Ya karena melihat guru-guru saya. Rasanya kok hidup saya bisa berguna kalau saya menjadi guru. Lalu saya sekolah di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak di Yogya. Lulus sekolah, ya saya langsung mengajar TK di kampung saya. Di luar kegiatan mengajar, saya aktif di organisasi itu. Saya juga tidak mengerti, mengapa orang-orang sering menganggap organisasi itu jahat. Wong saya tahunya, di organisasi itu kami diajari untuk ikut mendamaikan suami-istri yang tidak akur. Kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, makanya tidak adil kalau seorang suami beristrikan lebih dari satu orang. Kami juga diajari bahwa tidak benar kalau istri itu seperti suwarga nunut, neraka katut.”
Seorang anak kecil tiba-tiba menangis di depan rumah. Ia dengan segera keluar, lalu mencoba mendiamkan si bocah, memanggil-manggil nama seorang perempuan yang kupikir adalah ibu si bocah. Tangisan itu menjauh, si bocah digendong ibunya.
Ibu itu masuk kembali ke dalam rumah, kembali duduk di sampingku, dan mataku kembali silau karena cahaya yang masuk dari arah pintu.
”Maaf, ya… sampai mana tadi?”
”Sampai menuju ke kantor kecamatan, Bu….”
”Sampai ke suwarga nunut, neraka katut, Bu….”
Kedua temanku mengeluarkan kalimat yang berbeda, dan aku tidak tahu mana yang tepat.
”Ya…. Di depan kantor kecamatan sudah berderet orang yang menunggu pemeriksaan. Ketika tiba giliran saya diperiksa, saya ditanya pertanyaan-pertanyaan yang saya tidak tahu. Ya saya jawab kalau saya tidak tahu, wong saya memang tidak tahu. Lalu saya disuruh pulang dan tidak boleh mengajar lagi, dan tidak boleh pergi-pergi dari kampung. Saya sedih sekali. Tapi saya juga lega karena tidak dibawa pergi seperti yang lain-lain. Saya mengira bahwa saya selamat, Mbak…. Tapi…, ternyata tidak….”
Tiba-tiba suara ibu itu mengecil, mirip suara kanak-kanak. Tubuh tuanya gemetar, matanya semakin berkeruh, dengan nada yang seperti berteriak, namun lirih, ia berkata, ”Dua tahun kemudian, saya diambil lagi….”
Ibu itu lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tiba-tiba di luar mendung. Mataku selamat dari rasa silau.
”Yang kedua itu, saya tidak diberi kesempatan untuk mandi apalagi berdandan. Saya langsung diangkut begitu saja. Saya dibawa ke pabrik tebu. Saya baru masuk saja, sudah dikerumuni orang untuk meludahi saya ramai-ramai sambil mengumpati saya dengan kata-kata yang tidak senonoh….
”Lalu saya diseret beberapa orang menuju ke sebuah kamar. Sesampai di kamar, tanpa basa-basi, saya ditelanjangi…. Saya menyebut nama Tuhan keras-keras supaya mereka eling bahwa ada Tuhan. Tapi tidak ada yang menggubris. Saya memohon berkali-kali, tapi saya tetap ditelanjangi….”
Aku melirik ke arah dua temanku yang lain. Sepasang mata Mirna mulai memerah dan Andre sudah mulai mencari-cari rokok di sakunya.
”Saya lalu menyahut bantal untuk menutupi kemaluan saya. Lalu orang-orang itu pergi, tinggal satu orang yang sepertinya pemimpin mereka. Ia menutup pintu kamar. Lalu membuka celananya…. Saya menjerit waktu melihat kemaluannya yang membesar. Ia mendekati saya. Saya memohon ampun berkali-kali. Saya bilang: Pak, saya ini belum bersuami, saya orang miskin dan tidak punya apa-apa. Kalau Bapak punya istri, ingatlah istri Bapak, kalau Bapak punya anak perempuan, ingatlah anak perempuan Bapak….
”Eh…, setelah saya bilang seperti itu, kemaluan bapak itu mengkeret, Mbak. Tapi dia tetap mendekati saya, lalu… mengencingi saya….”
Ibu itu terdiam. Aku tidak tahu apakah ia menangis atau tidak. Sepasang matanya dari pertama kulihat sudah seperti selalu berair. Hanya warna suaranya semakin lama semakin mengecil, membuatku harus terus mewaspadai alat rekam yang kuletakkan di sebelah atas kebayanya, di dekat leher. Sepintas aku melihat mata Mirna sudah berair, sedangkan Andre hanya menggigit-gigit sebatang rokok tanpa pernah menyalakannya.
”Tiga hari saya tidak diberi makan dan tidak boleh ke kamar mandi. Tubuh saya penuh dengan kutu.”
Lagi-lagi, Ibu itu diam. Aku menawarinya minum, dan mengambilkan segelas air putih di meja.
”Maturnuwun, Mas….
”Saya satu-satunya perempuan yang ditahan di pabrik tebu itu. Pabrik itu dipisahkan oleh jalan raya. Saya tidur di sebelah utara, lalu kalau diperiksa, saya dibawa ke sebelah selatan, menyeberangi jalan raya. Nanti kalau Mbak dan Mas ada waktu, saya tunjukkan tempatnya.
”Setiap hari saya disiksa. Saya diberi pertanyaan yang sama, yang saya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Kalau tidak dijawab, muka saya dipukuli pakai sepatu. Kalau saya jawab, saya juga dipukuli pakai sepatu. Muka saya sampai bengkak-bengkak penuh darah. Semua serba salah. Kalau ditanya dan saya melihat mata yang bertanya, saya juga dipukuli, padahal maksud saya menghormati orang yang bertanya, tapi katanya saya dianggap menentang. Tapi, kalau tidak saya lihat matanya, saya juga dipukuli. Saya ini manusia, kok diperlakukan seperti itu, apa ya layak….
”Pernah juga saya dibawa keluar dari tempat itu, ke kantor polisi. Dulu, rambut saya itu panjang, hampir sampai lutut. Di kantor polisi itu, saya juga dipukuli. Lalu ada yang membawa gunting terus kras-kres-kras-kres, mengguntingi rambut saya. Waktu saya mau dibawa pulang ke pabrik tebu lagi, saya minta rambut saya. Eh, polisi yang menggunting itu bilang: Tidak, itu untuk istriku!
”Kok tidak malu, mereka itu. Menyiksa perempuan yang tidak tahu apa salahnya, memperlakukan saya seperti bukan manusia, kok masih mau menghadiahkan rambut saya untuk istrinya….”
Andre mengambil minuman di meja. Dengan segera Ibu itu mempersilakan kami untuk minum. Kami meminum minuman hangat yang telah dingin.
”Suatu kali, saya disuruh masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan tahanan laki-laki. Tahanan-tahanan itu begitu saya datang langsung disuruh memeluk dan menciumi saya. Yang tidak mau dipukuli. Dan itu semua dipotret cekrak-cekrek, Mbak. Lalu petugas-petugas yang ada di situ menyoraki sambil meneriaki dengan kata-kata yang tidak senonoh. Setelah itu….”
Ibu itu terdiam lagi. Kedua tangannya semakin terlihat gemetar. Kami bertiga menunggu.
”Setelah itu… para tahanan laki-laki itu disuruh membuka celana mereka. Lalu….”
Ibu itu suaranya mengecil, semakin lirih penuh dengan tekanan. Mirna memberi isyarat kepadaku untuk mengambilkan minuman. Hampir saja aku mengambilkan minuman ketika Si Ibu meneruskan kelimatnya, ”Saya disuruh menciumi kemaluan merekaaaa!”
Gelas yang sudah kupegang hampir jatuh. Tubuh Si Ibu terguncang. Sepasang mata Mirna bobol, wajahnya yang putih segera memerah. Andre membuang muka.
”Sebelum melakukan itu, saya minta waktu untuk berdoa. Petugas-petugas itu malah tertawa. Lalu saya menciumi kemaluan tahanan-tahanan itu satu per satu, dan itu dipotret, Mbak. Dipotret, cekrak-cekrek-cekrak-cekrek! Para tahanan itu juga menangis…. Kok ada yang dinistakan seperti ini….”
Semua diam. Gerimis turun di luar. Di dalam ruangan lembap ini, hanya terdengar isak Mirna yang tertahan.
Sepasang mata ibu itu kembali melihat ke arah pintu dan berkata, ”Dan rupanya itu belum cukup…. Sebelum saya memakai pakaian, semua petugas beramai-ramai memelintir puting payudara saya. Saya menjerit, teriak kesakitan dan tidak didengarkan. Selesai kejadian itu, saya langsung menstruasi empat bulan tanpa pernah berhenti….”
Ibu itu kembali diam. Saya mengulurkan gelas air minumnya. Ia minum dengan pelan. Lalu menghirup napas agak panjang, ”Sampai sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin tahu, seperti apa itu, dan apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang-orang itu….”
Ruangan hening. Tintrim. Tidak ada suara apa pun sampai beberapa saat setelah Si Ibu mengucapkan kalimat itu. Tidak ada suara cicak, tidak terdengar suara lalu lintas yang menderu di luar sana, isak Mirna pun lenyap.
Tiba-tiba seorang perempuan menyembulkan mukanya di pintu. Ibu itu bangkit lalu keluar. Sepintas yang sempat kudengar, Si Tamu memberi tahu bahwa ada tetangga mereka yang meninggal dunia.
Ibu itu masuk sambil berkata, ”Mbak, Mas, saya harus ke tempat kesripahan. Ada tetangga yang meninggal dunia.”
Kami mengiyakan. Mirna lalu mendekati Si Ibu, berbincang pelan, mungkin memastikan jadwal, kapan kami bisa kembali lagi. Andre merapikan alat- alat audiovisualnya, semen- tara aku keluar rumah mencari taksi.
Hari masih gerimis. Di dalam taksi, kami bertiga menelepon ibu kami masing-masing. Ketika ibuku menyapa, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, dan hanya bisa bertanya, ”Ibu baik-baik saja?”

Bocah-bocah Berseragam Biru Laut
Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya.
Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil di dekat langit-langit tinggi itu membawa bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda surga. Ratusan kepala bocah yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang menatap langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor kupu-kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita. Kepala-kepala itu masih penuh derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat ini bukan untuk anak-anak manis seperti kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu. Tunggulah sejenak, sebentar lagi surga akan dibuka tepat pada saat di mana kalian merasa mengantuk.”
Bocah-bocah itu berseragam biru laut. Dari tubuh mereka menguar bau harum taman di pagi hari. Tapi jangan bayangkan bahwa kulit mereka lembut dan bantat seperti donat. Mereka belum sempat bermimpi mempunyai rambut lurus di tengah kewajaran rambut bergelombang, mereka belum sempat bermimpi mempunyai kulit putih di tengah kegaliban warna kulit coklat matang.
Kepala mereka memancarkan warna ungu yang sedih. Sebagian dari kepala mereka menunduk, menekuni lantai, mungkin ingin kembali membaca masa lalu, sebuah masa di mana kisah sedih digelar oleh waktu. Sebagian menatap kosong langit-langit ruang, mungkin ingin membaca masa lalu, sebuah masa di mana rasa sakit berpilin dengan nelangsa. Ada masa memang, seluruh anak diciptakan hanya untuk bersedih dan menderita. Ada kurun waktu di mana kelak akan tercatat, anak-anak terlahir untuk menangis sepanjang waktu.
Aku masih mengitari mereka seperti kupu-kupu. Aku ingin hinggap dan menyadap kisah. Tapi selalu dan selalu, ada jarak yang terentang jauh antara si penyadap dan yang disadap. Senantiasa ada pintu-pintu terkunci, halaman-halaman tak terbaca, antara aku yang hanya membaca dan mendengar, dengan mereka yang mengalami sendiri.
Tubuh mereka seperti dilindungi oleh arus deras yang tidak terlihat. Ada semacam badai lembut yang membalut tubuh mereka. Sehingga setiap kali aku mencoba hinggap, aku terlempar. Percobaan yang selalu aku ulang. Sekali dua, sempat aku hinggap, sebelum kemudian kembali terlempar jauh, dengan hanya membawa sari-sari kisah yang tidak cukup sah untuk kurangkai.
Lalu aku akan terbang agak tinggi, mendekati lubang ventilasi, mencoba bernapas lebih lapang dengan bocoran harum yang bertiup dari beranda surga. Setelah cukup tenaga, kembali aku mengitari mereka, mendaratkan diri di antara ratusan bocah yang menekuri lantai. Tapi seperti mata yang menghadang cahaya matahari, seperti laron yang mencoba mendekati unggunan api, aku lebih sering terpelanting. Hanya sesekali, ada sari-sari kisah yang cacat peristiwa, bisa kubawa pergi. Dan aku terus mencoba lagi, setelah mendapatkan tenaga dari lubang ventilasi.
Demikianlah, setelah beribu kali aku melalukan percobaan tolol itu, kuberanikan diri untuk merangkainya. Dan aku seperti kupu-kupu yang terjerembab di tanah berdebu. Mengepak pelan, melemparkan rangkaian kisah yang cacat peristiwa. Hanya bermodal harap dan cita, siapa tahu memang ada suatu masa di mana seluruh bocah datang hanya untuk berbahagia.
***
Dua bocah itu berpelukan di sebuah sudut. Dua kakak beradik, beradu kepala, dan saling melingkarkan lengan, berpelukan. Aku mencium sari kisah yang terbakar. Mereka mati dibalut api. Ibu mereka terlalu bersedih. Kemiskinan mungkin masih berani dihadapinya. Tapi satu di antara mereka, menderita sakit yang tak mungkin ditanggulangi. Uang mereka tidak cukup untuk membiayai. Si ibu mengambil seliter minyak tanah. Dua orang yang masih lelap, mencoba diselamatkan oleh sepasang tangan yang menggigil. Tangan ibu mereka sendiri. ”Nak, penderitaan ini tidak akan sanggup kita hadapi. Hanya kematian yang bisa menyelamatkan kita.” Dan api berkobar. Mereka bertiga meregang. Mereka bertiga berpelukan, seakan masih ada janji yang belum selesai ditunaikan, berharap ada dunia di seberang yang bisa membuat mereka berkumpul untuk makan bersama di pagi yang cerah.
Aku mampir pada segerombol bocah yang lain. Bocah-bocah itu seperti berjongkok, membuat lingkaran besar dengan posisi saling berhadapan. Tangan-tangan mereka terkait satu sama lain, membuat rantai lingkaran yang kokoh. Kaki-kaki mereka mengecil. Kaki-kaki mereka bengkok. ”Ada yang salah dengan tubuh kami. Kami tidak ingin berjalan empat kaki seperti sapi. Mereka membangun rumah sakit bergedung tinggi. Mereka menganggap rumah sakit adalah hiasan kota yang membuat para pelancong merasa nyaman dan senang. Mereka ingin mengatakan pada dunia, inilah kota kami yang indah dan makmur. Mereka seperti sepasang keluarga yang memajang potret pernikahan di ruang tamu, untuk memastikan pada seluruh orang yang berkunjung bahwa pernikahan dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi mereka membiarkan kami seperti ini.”
Di samping lingkaran besar itu, tubuh-tubuh kecil berbaring. Tubuh mereka mengecil dengan mata terbelalak membesar. Mulut mereka sangat lemah. Bumi seperti menyedot seluruh daya mereka lewat punggung yang tertempel di lantai. Satu di antaranya berkata, ”Ibu membawaku pulang dari rumah sakit. Ibuku tahu aku akan mati. Ibuku sudah tidak punya air mata. Ibuku kalah dalam menagih janji. Mereka bilang biaya perawatan gratis. Mereka bohong. Mereka membiarkan aku mati, dan membiarkan perasaan ibuku bolong. Mereka mencoba membunuhku dua kali. Pertama membiarkanku tidak punya gizi, kedua membiarkanku pulang karena ingkar terhadap janji.”
”Aku pulang ketika bel istirahat pertama berbunyi.” Si anak yang berkata, bermata alum. Suaranya serak. ”Orangtuaku tidak ada di rumah. Aku pergi ke lemari pakaian ibuku yang sudah tidak ada kuncinya lagi. Aku mengambil selendang milik ibu, selendang yang baunya selalu membuatku rindu padanya dan pada masa ketika aku sering digendongnya. Sudah dua bulan SPP-ku tidak terbayar. Aku juga masih belum membayar uang Lembar Kegiatan Siswa. Aku tidak enak dengan ibu guru, aku malu dengan teman-temanku. Aku membuat tali menggantung dari selendang ibuku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Tapi di hari itu, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa di luar sana, uang tidak bisa diganti dengan rasa sayang.”
Pintu masuk ruang tunggu itu terbuka, sebaris anak-anak berseragam biru laut masuk. Sebagian dari mereka mengambil posisi duduk melingkar, sebagian lagi terlentang menatap langit-langit ruang tunggu yang begitu tinggi. Seluruhnya anak-anak yang seharusnya berpakaian putih dan merah.
Aku mengitari sesosok tubuh yang menyandarkan tubuhnya di dinding. Kepalanya menyorotkan sinar ungu. Arus kuat menderas ketika aku hendak hinggap. Kembali aku hampir terpelanting, kembali aku harus menuju ke lubang ventilasi, lalu pada kali ketiga aku berhasil hinggap di kepalanya, menyadap sari ce- rita, sebelum kembali terlempar jauh.
”Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin belajar menjadi manusia. Tapi kami tidak sanggup berada di dunia yang dulu. Dunia yang pahit. Dunia yang tidak kunjung kami mengerti. Kami ingin bermain layang-layang dan bersepeda. Kami ingin bernyanyi dan berlari. Kami ingin bermain air dan bermain api. Kami tidak ingin di sini. Kami belum ingin ke sini. Tapi mereka memaksa kami. Mereka mendorong kami. Kami tahu dunia adalah tempat orang bersedih, tapi kami tahu dunia adalah tempat orang bergembira. Hanya kami sungguh tidak mengerti, ada celah di dunia sana, begitu bayi terlahirkan, dia harus menanggung nista dan sengsara. Mereka tahu kami akan mati. Mereka tahu kami mati. Mereka tahu, dan mereka diam saja!”
Seorang gadis kecil di sampingnya ikut berkata, ”Aku telah jadi mayat ketika bapak menggendongku naik kereta. Aku mati karena muntaber. Mati karena tidak cepat mendapat pertolongan. Bapakku tidak kuat menyewa ambulans untuk mengangkut mayatku. Aku digendong naik kereta. Bahkan, bapakku sempat bingung dan tidak tahu di mana bisa memakamkan mayatku. Bagi orang miskin seperti kami, mati pun masih menyisakan masalah.”
Aku hinggap lagi. Aku terlempar lagi. Kembali, hanya serpih sari-sari kisah yang bisa kusadap. Dan tibalah satu sentakan besar. Sangat besar dan kuat. Aku ditabrak warna hitam. Aku ditabrak warna putih. Aku seperti hancur. Seperti hilang.
***
Aku masih seperti kupu-kupu di dunia ini. Dengan sepasang mata yang rabun dan perih. Kupu-kupu yang berharap bisa terbang mendekati fiksi, tapi malah terperangkap dalam kawat-kawat besi. Mungkin sampai mati.
Aku hanya seperti kupu-kupu. Hanya seperti. Tidak lebih. Karena aku melewati masa kecil tanpa ancaman busung lapar, tanpa takut terserang polio, tak pernah berpikir jika sakit dipulangkan oleh petugas rumah sakit. Aku memang pernah berpikir untuk bunuh diri di waktu kecil, tapi itu karena uang jajanku tidak ditambah. Aku hanya seperti kupu-kupu. Berharap mendekati dan mengerti penderitaan mereka hanya lewat kabar dari koran dan berita dari televisi. Seekor kupu-kupu yang berlagak bisa memilin fakta dan fiksi, namun yang terjadi selalu masuk dalam dua jebakan besar. Kalau tidak malu-malu dan salah tingkah, pasti masuk ke jebakan serampangan dan genit.
Sementara barisan bocah-bocah berseragam biru laut terus mengalir ke ruang tunggu. Mereka datang dari mana-mana. Sementara banyak orang yang seperti kupu-kupu, beterbangan, berharap menyadap dan menghadirkan kisah, sambil terus menyimpan kenangan tentang masa kecil yang riang sekaligus menyimpan harapan akan masa depan yang nyaman, di tengah- tengah barisan bocah-bocah berseragam biru laut menuju ke ruang tunggu.
”Ah, itu hanya kabar yang berlebihan. Lihatlah, akan selalu lahir generasi-generasi yang lebih baik dari kita.” Mereka berkata sambil terus menggali lubang-lubang utang, meracuni laut, membobol gunung, menebangi hutan. Ya, generasi yang lebih baik. Dengan wajah dan kulit plastik, dengan tangan penuh tombol, dengan tubuh terlilit kabel. Sambil terus mengunyah berita-berita penuh kebohongan, sambil menyeringai dan berkata, ”Hari gini, gitu loogh…”.
Mereka benar. Ada perbedaan memang, bocah-bocah berseragam biru laut mati dengan cepat, kurang gizi, kelaparan, bunuh diri. Sedangkan yang lain mati dengan cara lebih lambat, disorientasi, depresi, keracunan kabar bohong dan bahan makanan.
Mereka benar, dan mungkin sekaligus mereka tolol. Sedangkan aku seperti seekor kupu-kupu yang tidak kalah tololnya. Hari itu, sebuah koran mengabarkan seorang bocah mati bunuh diri karena tidak bisa membeli buku, dan televisi memberi tahu ada seorang bocah mati bunuh diri karena ia merasa terlalu gemuk dan tidak secantik dulu. Mereka berdua sama-sama bertemu di ruang tunggu, memakai seragam biru laut dengan kepala memancarkan warna ungu.

Ibu Pergi ke Laut
Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.
Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya? Apakah akan ke Medan? Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu aku bertanya, terus pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke Aceh. Aku bingung. Di manakah Aceh itu? Lalu ibu menjelaskan bahwa untuk pergi ke sana kita harus meyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali menggelengkan kepala. Ia menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak naik kapal? Kan enak, bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium pipiku. Ada saatnya aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan rasa panas di pipi. Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat panas?
Tapi lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku bertanya di mana ibu, ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang sudah besar, setelah pergi ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang lain. Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut.
Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang sama aku. Tetangga-tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek dan kakekku bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi ke laut. Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek dan kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair.
Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang? Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit.
Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke kolam renang. Di kolam renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia berenang ke sana kemari. Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu alangkah enaknya menjadi ikan. Aku ingin cepat bisa berenang. Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin menjadi ikan.
Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang hebat. Aku senang sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti yang pernah diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang baik hati di laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Ibu tentu akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Mungkin ia menjadi pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah bilang seperti itu ke ayah, ia kelihatan bangga, tapi bibirnya gemetar dan matanya kembali berair. Ayah kemudian bilang, makanya aku tidak usah menunggu ibu pulang sebab di laut ibu sedang menunaikan tugas- tugas mulia menyelamatkan kapal- kapal yang akan tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku. Ada saatnya aku tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku terasa sakit.
Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu cerita-ceritanya, aku rindu diajak pergi ke kolam renang, aku pengin dibuatkan kue-kue yang enak. Tapi kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin ikan-ikan yang baik hati, aku hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat kapal-kapal yang akan tenggelam. Di dalam kapal-kapal itu pasti banyak anak kecil seusiaku yang belum bisa berenang. Ya, ibu harus menyelamatkan mereka.
Tapi, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku seperti yang dulu-dulu jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di laut tidak ada telepon. Kalau tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip surat untukku lewat kapal-kapal yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan ibu terlalu sibuk? Mungkin aku yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu. Tapi aku tidak bisa menulis surat. Lalu aku teringat Mbak Memi.
Siang itu aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah. Ia tinggal di depan rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku sudah sering bilang ke ibu kalau aku pengin juga sekolah. Ibu selalu tersenyum jika aku bilang seperti itu. Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah. Ketika dari jauh aku melihat Mbak Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke Bi Nah kalau aku akan main dengan Mbak Memi.
Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan menemaniku bermain. Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam renang. Kalau ibu habis bepergian, ia juga sering memberi oleh-oleh untuk Mbak Memi. Tapi Mbak Memi terlihat bingung ketika aku bilang bahwa aku ingin dia menuliskan surat untuk ibuku. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk ibu, aku harus tahu alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat. Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Mbak Memi diam. Tak lama kemudian ia terlihat tersenyum. “Dinda, aku tahu bagaimana cara mengirim surat untuk ibumu.”
Ia kemudian mengambil sehelai kertas, dan bertanya kepadaku apa yang ingin kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat rindu pada ibu, tapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang berat, yaitu menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi menuliskan pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku menggelengkan kepala.
Kemudian kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia kemudian bertanya lagi, “Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku menggelengkan kepala. “Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik ada tanda tangannya. Biar ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar kamu. Bukan surat yang palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa aku merasa sedih. Enak betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan diajari membuat tanda tangan.
“Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu ia mengoleskan penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di kertas surat yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu sama dengan tanda tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu juga memberi fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen sama kamu.”
Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan mengambil beberapa lembar foto yang ada di album foto. Tapi, waktu aku bawa semua ke rumah Mbak Memi, ia bilang cukup satu saja. Lalu kupilih satu foto sewaktu aku digendong ayah. Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen?
Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh Mbak Memi. “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku hafal nama lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga bisa menuliskan nama-nama itu. Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku.
Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu?
Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari kertas yang dilapisi plastik untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan tidak lama kemudian Mbak Memi sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar dari bahan kertas kalender. Ia melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu merekatkan amplop yang berisi suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah, bisa membuat apa saja dan tahu banyak hal.
Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian menemui Bi Nah untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa kapal kertas yang berisi suratku, aku membonceng Mbak Memi menuju sungai.
Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai kecil. Sekalipun aku senang sekali melihat sungai itu, tapi aku tidak pernah main di sungai. Kali ini, aku merasa semakin senang dengan sungai kecil ini. Lewat sungai ini aku bisa berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami luncurkan di air, Mbak Memi memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat membawa suratku untuk ibu. “Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al Fatihah?”
Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku menghafal Al Fatihah, tapi aku sering lupa. Al Fatihah terlalu panjang. Lebih panjang dibanding doa sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu aku berusaha mengingatnya. Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi, “Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?”
“Malikiyaumiddin, Dinda….”
Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al Fatihah. Setelah selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan tenang. Aku yakin kapal itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang menerimanya.
Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi. “Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.”
“Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.”
Aku bingung. Tapi itu tidak penting. “Lalu surat dari ibuku ikut turun bersama hujan, ya?”
Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Tapi coba kamu tanya pada ayahmu nanti.”
Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah indahnya. Surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian turun bersama hujan ke rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan tertempel di jendela, mungkin juga ada di pagar rumah.
Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku sempat bilang padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu ayah kerja di kantor, aku dibacakan suratnya, ya?”
Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali.
Sehabis makan malam dengan ayah, tak sabar aku menceritakan apa yang telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah mendengarkanku. Dan seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya berair, sebelum kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah ibu akan membalas suratku lewat hujan?”
Ayah diam. Lalu ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku mulai membayangkan ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik bening yang hinggap di jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur. Seperti biasanya, ayah kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritai apa malam ini? Semenjak ibu pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku tentang laut. Ayah kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut. Kerajaan itu indah sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu ia melanjutkan ceritanya, hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke dalam mimpiku. Di sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar yang baik hati. Dan aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya, membawaku berenang di atas punggungnya.
Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya bermimpi. Aku merasa ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata, “Maya… kamu tahu aku dan Dinda tidak pernah baik- baik saja tanpa kamu….” Lalu kurasakan suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke wajahku. Ia mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa membuka mata. Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin kencang, dan lamat pula aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada Dinda?”
Lalu kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang menyelamatkan sebuah kapal. Di kapal itu, aku melihat ayah.
Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan berteriak girang. Ada amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku. Dengan segera aku keluar rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari ayah, semoga ia belum berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat! Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?!”
Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya, Dinda, semalam hujan. Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama ayah, lalu kita akan baca bareng-bareng surat dari ibu.”
Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan surat dari ibu. Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku. Dan ia berpesan agar aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut. Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang karena ibu membalas suratku. Sedih karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi surat. Ayah kemudian mencium pipiku. “Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim sekali lagi surat ke laut. Dan kita akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu pilih dan ambil bunga di halaman untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu ingin menulis apa, Sayang?”
Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku ingin memberi tahu ibu supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin bilang bahwa aku ingin cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat sendiri. Dengan cepat aku pergi ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-bunga yang disukai ibuku. Lalu kami berdua berangkat ke laut.
Sesampai di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar sendiri surat yang dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan bunga-bunga yang kupilih. Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah. Setelah aku cukup lelah, ayah kemudian mengajakku untuk makan ikan di warung-warung makan yang ada di pantai.
“Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa, Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman di laut.”
Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil memelukku. Aku heran sekali. Ayah sekarang gampang menangis!




Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. *



Bunga dari Ibu
Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, “Kamu tidak mungkin sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga ini.” Sambil berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan tanaman bunga yang mungil dan indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu yang pertama kulihat untuk memastikan keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika hendak berangkat bekerja.
Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa mengatakan keadaan ibu kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga jatuh, dengan segera aku mengangkat telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya. Dan ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang bermekaran, teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat hadiah dari bank tempatnya menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu, ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu waktu itu hanya bilang. “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?” Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. “Pulanglah, ibu sedang bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira. Begitu telepon kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu seperti dikerudungi cahaya.
Belajar dari itu semua, ketika aku pulang, aku menanam sebatang tanaman bunga tepat di samping jendela kamar ibu. Ibu tersenyum saat aku bilang, “Bu, pohon ini akan mengatakan kepada ibu bagaimana keadaanku.”
Di luar dugaanku, pohon bunga yang kutanam itu benar-benar memberi isyarat pada ibu tentang apa yang sedang kuhadapi. Sewaktu aku sedang dipromosikan naik jabatan, ibu menelepon untuk menanyakan keadaanku. Lalu, aku pura-pura bertanya mengapa ibu bisa meneleponku pagi-pagi benar. Ibu bilang, pohon bunga yang kutanam terlihat segar dan banyak bunga yang sedang mekar. Sewaktu aku diputus cinta oleh Randy, ibu juga meneleponku, ada banyak bunga dan daun yang rontok sehingga ibu resah. Terakhir, ketika aku sedang berpikir keras untuk memutuskan apakah aku harus menggugurkan kandunganku karena Mas Rustam, kekasihku yang baru, ternyata sedang mendapatkan tugas ke luar kota dalam waktu yang agak lama dan dia terganggu dengan keadaanku yang sedang mengandung, ibu juga menelepon. Ibu bertanya, “Kamu sedang tertimpa masalah? Pohon yang kamu tanam terlihat layu.”
Ketika aku sudah mengambil keputusan untuk menggugurkan bayiku dan di sebuah malam Mas Rustam menelepon dari luar kota dengan membawa kabar buruk, ia harus menikahi anak bosnya karena hamil, pagi harinya ibu datang dengan pesawat paling pagi. “Ibu khawatir sekali, pohon bungamu tadi terlihat seperti mau mati.”
Hubunganku dengan ibu sangat unik. Aku anak tunggal. Bapakku bercerai dengan ibu ketika aku baru saja lulus dari SMA. Mereka bercerai dengan baik-baik. Ibu pernah bercerita bahwa dulu ia diusir oleh keluarganya karena berpacaran dengan laki- laki yang berbeda agama. Dasar ibu, ia pergi saja dari rumah bersama laki-laki itu. Lalu, mereka menikah dan ibu melahirkanku. Ibu juga pernah bercerita, ia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik laki-lakinya juga pergi dari rumah, yang satu pergi dari rumah karena membobol gudang pertanian, menjual alat-alat pertanian dan hasil panen, serta membakar rumah penggilingan padi orangtua mereka. Ibu bilang, adiknya yang satu itu memang “kiri”. Alat-alat pertanian dan hasil panen orangtua mereka dijual untuk membiayai aktivitas organisasinya untuk melawan Orde Baru. Sedangkan penggilingan pagi orangtuanya dibakar oleh adiknya karena ia kecewa melihat cara pengupahan orangtua mereka terhadap orang-orang yang bekerja di lahan pertanian orangtua mereka, dan puncaknya pembakaran itu terjadi ketika adiknya ibu diusir dari rumah. Bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada komunis.” Adiknya ibuku marah, paginya, rumah penggilingan padi itu dibakarnya.
Adik satunya lagi, yang paling kecil, juga diusir dari rumah orangtuanya ibuku. Sejak kecil, adiknya yang paling kecil itu memang sudah suka yang aneh-aneh. Ia biasa tidak pulang ke rumah hanya karena pergi memancing di sebuah tempat selama berhari-hari. Ia juga sering tidur di kuburan tokoh-tokoh tertentu. Ia pergi begitu saja dari rumah tanpa membawa apa-apa selain alat memancing ikan, ketika bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada orang yang belajar klenik dan menganut ilmu hitam.”
Ibuku, sekalipun anak pertama, adalah orang yang terakhir pergi dari rumah orangtuanya. Kadang-kadang ibu bilang kepadaku. “Kamu seharusnya mengenal kedua pamanmu, mereka berdua menyenangkan sekalipun kadang-kadang memang agak brengsek.” Di mana mereka berdua sekarang, ibu tidak pernah tahu dan sepertinya tidak pernah mau tahu.
Ibuku memang agak aneh, tapi baik hati dan membanggakan. Aku mengalami masa-masa kecil yang menyenangkan dan mendebarkan. Ibuku rajin shalat dan pergi ke pengajian, bapakku rajin ke gereja, tapi aku tidak pernah disuruh untuk masuk ke salah satu agama, baik agama ibuku maupun agama bapakku. Ketika bulan puasa tiba, dan teman-temanku berpuasa, aku tidak puasa. Mereka mengira aku beragama sama dengan bapakku. Tapi ketika Lebaran tiba, aku ikut Lebaran, dan jika teman-temanku bertanya, aku menjawab kalau aku baru saja pindah agama. Kedua orangtuaku hanya tersenyum melihat tingkahku.
Ibuku marah pada sesuatu yang dulu menurutku aneh. Ia pernah marah ketika aku pulang sekolah dan memamerkan hasil tes bahwa aku mendapat nilai terbaik. Lalu, ibuku bertanya, berapa nilai teman-temanku? Aku menjawab dengan nada bangga kalau sebagian besar nilai temanku di bawah lima. Ibu langsung marah dan berkata, “Lain kali jangan pamerkan kehebatanmu jika temanmu tidak mendapatkan nilai yang sama baiknya denganmu!” Aku langsung mengadukan itu ke bapak dan bapak bilang, maksud ibuku lain kali menjadi tugasku untuk membuat teman-teman sekelasku bisa mengerjakan sepertiku atau bahkan memberi contekan. Tentu saja aku kaget.
Aku juga pernah dimarahi ibu ketika suatu saat kami berlibur dan jalan-jalan ke luar kota. Di sebuah trotoar, ada seorang pengemis dan ibu bilang. “Beri dengan uangmu.” Lalu, ibu melenggang pergi. Aku memeriksa sakuku dan tidak kutemukan uang receh, lalu aku menyusul ibu dan mengatakan bahwa aku tidak punya uang receh. Ia langsung menghentikan langkahnya dan bersuara marah, “Apakah ibu mengajarimu memberi uang hanya dengan recehan?!” Dengan segera aku balik karena kesal dan memberikan semua uangku pada pengemis itu. Aku berharap nanti ibu akan bertanya dan marah padaku karena aku memberikan semua uangku. Dan aku ingin membalas marah padanya, “Lho katanya tidak boleh uang receh?!” Tapi sayang, ibu tidak pernah menanyakannya.
Pernah sewaktu aku kecil, sepulang sekolah, teman-teman laki-lakiku sepanjang jalan menggodaku. Mereka bilang, kelak aku akan masuk neraka. Aku lalu teringat komentar ibuku saat menonton televisi, “Ah, mereka sok tahu tentang surga dan neraka.” Aku lalu mengutip kalimat ibuku, “Ah, kamu sok tahu tentang surga dan neraka.” Mereka marah, tas dan jepit rambutku ditariknya. Aku pulang dan menangis. Sampai di rumah, aku mengadu sama ibu yang sedang membaca buku. Ibu lalu bertanya, “Kamu merasa perlu melawan mereka atau tidak?” Aku menjawab perlu. Lalu ibu bilang. “Kamu berani atau tidak?” Aku menjawab, aku berani, tapi aku kan perempuan dan jumlah mereka banyak. Ibu menutup buku yang dibacanya. “Lalu, kenapa kalau perempuan?” Aku bilang, ya aku akan kalah. Ibu bilang, “Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan kalah jika kamu tidak pernah mencoba melawan mereka.” Aku diam. Lalu, ibu berkata, “Bagaimana kalau kamu datangi lagi mereka karena mereka banyak, kamu pakai saja batu atau sapu.” Aku segera bangkit mengambil sapu, di tengah jalan aku mengumpulkan batu. Dari jauh aku sudah melempari mereka dengan batu dan ketika dekat aku menggerak-gerakkan sapu untuk memukuli mereka. Mereka lari, dan tidak pernah berani lagi menggangguku.
Hubunganku dengan ibu dan bapakku tetap hangat sekalipun mereka berdua telah cerai. Anehnya, ibuku tidak menikah lagi dan bapakku juga tidak menikah lagi. Dan, aku tidak ambil pusing dengan sebab-musabab kenapa mereka bisa cerai. Hubungan kami bertiga kurasakan sangat hangat saat-saat aku hampir putus kuliah dan saat itu sebagaimana banyak mahasiswa aku terlihat demonstrasi menentang rezim Orde Baru.
Hampir setiap hari, ibuku dan teman-temannya, baik tetangga kami maupun teman-teman pengajian ibuku, menyuplai kami dengan makanan bungkus dan air minum. Bahkan, ibu selalu menelepon bapakku untuk ikut membantu lewat teman-teman sekantornya. Di saat-saat seperti itu, ibu sering berkata, “Semoga kamu ketemu dengan pamanmu.”
Aku tidak pernah bermasalah dengan masa kecilku di mana aku dibesarkan oleh orangtua yang berbeda agamanya dan masing-masing menjalankan keyakinannya. Aku bisa tumbuh dengan keyakinanku sendiri tanpa pernah dipaksa. Aku juga tidak pernah bermasalah dengan orangtuaku yang bercerai, hubunganku dengan ibu maupun bapakku tidak bisa dihalang-halangi oleh perbedaan hubungan mereka sekarang. Aku mempunyai hubungan yang manis dengan mereka, masa lalu yang memberi lahan bagi rasa rindu, dan masa sekarang yang bergerak tidak untuk menjauhi perasaan-perasaan masa laluku.
Mereka berdua masih tetap memberi semangat, juga ketika tahun-tahun kecewa menderaku. Tahun-tahun di mana aku menjadi saksi ketika banyak aktivis mahasiswa yang dulu heroik kini lembek di tangan-tangan elit politik untuk mendukung langkah- langkah elit mereka. Kami bertiga juga melewatkan masa-masa menyenangkan ketika kami berkumpul di saat orang-orang sibuk melakukan coblosan pemilu. Kami makan bersama, menonton televisi, membaca koran, bercengkerama, memberi komentar sambil melihat monitor-monitor televisi yang bergerak menyampaikan angka-angka perolehan suara. Dua kali pemilu kami lewati dengan hangat tanpa ada keinginan untuk membohongi perasaan kami masing-masing, perasaan yang tidak kunjung mengerti mengapa banyak orang yang berbondong-bondong mengantre di kotak-kotak suara, memberikan suara mereka tanpa jelas lagi di mana arah perubahan. Kami menjadi saksi yang mencoba untuk tetap hangat menerima kenyataan politik yang sesungguhnya tidak pernah berubah.
Di antara kami, aku dan ibuku, jarang sekali saling menyimpan rahasia. Terutama aku. Ibu hampir tahu semua kisahku, baik dalam hal percintaan maupun urusan kantor. Aku tidak butuh bantuan untuk semua hal yang kulalui, hanya saja bercerita pada ibu adalah sesuatu yang sudah kuanggap menyelesaikan banyak hal. Namun, sampai sekarang, aku tidak pernah berani bercerita pada ibu kalau aku pernah menggugurkan bayi dalam kandunganku, aku takut ibu akan marah. Sekalipun aku tidak yakin kalau ibu akan marah.
Kemarin pagi, aku kaget sekali. Saat aku membuka jendela, aku mendapati bunga yang ditanam ibu seperti akan mati. Tiba-tiba rantingnya seperti mengering dan daun-daun serta bunganya rontok berjatuhan di sekitarnya. Dengan segera aku menelepon ibu. Agak lama telepon tidak diangkat dan itu semakin membuat hatiku berdebar khawatir. Untunglah setelah beberapa kali tidak diangkat, kudengar suara ibu menyahut. Dengan segera aku menanyakan kabar ibuku. Anehnya, ibu menjawab tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa? Lalu, aku bilang tidak mungkin, bunga yang ditanam ibu seperti sekarat. Ibu tetap bilang bahwa tidak ada apa-apa. Rasa kesal, marah, kecewa, tiba-tiba memuncak di diriku. Aku membanting telepon, lalu pergi ke tempatku bekerja.
Di kantor, perasaanku semakin tidak enak. Akhirnya aku bilang ke atasanku untuk minta izin menengok ibuku dengan alasan ibuku sakit. Esoknya, dengan pesawat paling pagi, aku berangkat.
Tentu saja ibu kaget melihat kedatanganku. Setelah kami sarapan berdua, aku mencoba dengan berbagai cara agar ibu mau berterus terang tentang masalahnya. Tapi, ibu tetap bersikukuh untuk mengatakan bahwa hidupnya baik-baik saja. Tapi, aku juga ngotot, aku bilang, tidak mungkin, sebab bunga yang ditanam ibu mengatakan sebaliknya. Dengan tenang ibu menjawab, “Bunga itu ternyata tidak bisa dibuat patokan keadaanku.”
Aku diam. Dalam hatiku, aku merasa sangat kecewa. Aku bangkit, lalu berjalan-jalan di dalam rumah dan di sekitar rumah. Segalanya memang tampak baik-baik saja, ruang tamu, ruang keluarga, kamar-kamar, dapur, halaman belakang, semua baik-baik saja. Tapi aku kaget ketika melewati tempat di samping kamar ibu. Aku tidak melihat tanaman bungaku. Dengan segera aku mendatangi ibu yang sedang membereskan piring-piring di meja makan.
“Bunga yang kutanam di mana, Bu?” Ibu menoleh, meletakkan piring-piring di atas meja, lalu duduk. “Kan sudah ibu bilang, bunga itu sudah tidak bisa mengatakan keadaan kita masing-masing. Kamu ingat, kan… ketika ibu datang pagi-pagi karena melihat bunga yang kamu tanam terlihat mau mati? Ternyata kamu tidak sedang ada masalah apa-apa. Pulang dari rumahmu, aku mencabut bunga itu.”
Aku kembali diam. Esok harinya, aku langsung pulang. Sampai di rumahku, tanpa berpikir panjang, aku mencabut bunga yang ditanam ibu. Dalam hati aku berkata, setiap orang boleh punya rahasia.

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka
Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun.
Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi
Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah sekolah di sana.
Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.
Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan ketenteraman di sana?
Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah membuatku tidak bisa tidur?
Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi.
Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?
Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong.
Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya.
Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong.
Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang?
Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda?
Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah.
Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku.
Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.
Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi.
Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.
Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.
Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi.
Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila.
Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat.
Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.

Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/



0 komentar:

Posting Komentar