Sesaat Sebelum Berangkat
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis
tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup
pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu
duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat
melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku
mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum.
Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan.
Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang
sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya.
Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang
sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci,
menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di
gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami
menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di
tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke
toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang
liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit
kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian
ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau
harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas,
mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih
duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari
rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang
tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga.
Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh
ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal
yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun
darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang
bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke
arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi
perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya
kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua.
Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu
kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa
dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak
dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan
selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu
bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami,
aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak
lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu
kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah.
Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu
semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa
merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara
bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku
sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun
melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal
Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk
menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan
orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku
kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu
menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi
di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir
aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya
sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin
berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti
berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis.
Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang
kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya
yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa
pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar
di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku
ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada
Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan
kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana
itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana
mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang
dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya
ilmu.”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada
di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan
asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa
depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus
bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus
belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil.
Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak
disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra,
hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak,
kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta,
kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog
tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan
nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan
keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku
sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku.
Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika
mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang
seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga
membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya
kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin
membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi
menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati,
Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu
duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah
belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan
kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku,
merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Aku berangkat ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti
kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas
meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar
Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali
ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia
sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya
kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah
membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika
yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari
mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan
mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar.
Sendirian.***
Berburu Beruang
Aku dikagetkan oleh suara batu yang dilempar ke
pinggir kolam, di samping tempatku duduk mencangkung mengamati ikan-ikan. Aku
menoleh ke belakang, dan melihat Mas Burhan tersenyum lebar. Akhirnya, ia
bangun juga dari tidurnya. Tanpa basa-basi, bahkan setelah lama tidak jumpa,
dari mulutnya keluar kalimat tantangan, “Kamu mau berburu hiu atau berburu
beruang?”
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang
saja.”
“Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak
untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!”
Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia
tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit
dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu
mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi,
kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun
pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang.
Kaki kami pelan berjingkat, mata kami waspada. Daya
penciumanku kupertajam, mencoba mengendus beruang. Tiba-tiba tangan Mas Burhan
memberi isyarat, laki-laki berumur hampir enam puluh tahun itu
menggerak-gerakkan tangan kirinya, memberi tahu kalau seekor beruang besar
sedang akan lewat di balik gerumbul pohon pisang tidak jauh dari tempat kami
berada.
Kami berdua segera melompat cepat ke arah gerumbul
itu. Aku mengintip dari sela-sela batang- batang pisang, dan aku melihat seekor
beruang besar sedang asyik makan. Tanganku segera memberi arahan bahwa kami
harus berpencar dari arah yang berbeda. Laki-laki dengan rambut sebahu itu
melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah.
Beruang besar itu membelakangi kami. Aku di sebelah
belakang agak ke samping kiri, sedangkan Mas Burhan berada di sebelah belakang
agak ke sisi kanan. Dadaku bertalu keras. Tangan Mas Burhan memberi isyarat,
hitungan maju. Hatiku semakin deg-degan. Tepat di hitungan ketiga, kami
melompat bersama dan menghunjamkan tombak-tombak kami ke tubuh beruang besar
itu. Tepat di saat itu, kami berteriak keras-keras. Teriakan Mas Burhan keras,
melengking, memekakkan telinga seperti ingin mengeluarkan semua beban yang
disangganya.
Tombakku tepat mengenai lambung sebelah kiri beruang,
sedangkan tombak Mas Burhan menancap di tengkuk binatang raksasa dan buas itu.
Beruang itu melenguh keras. Tetapi beruang itu segera meliuk, Mas Burhan
terpelanting sementara tombaknya tertancap kuat. Aku segera mencabut tombakku,
bersiap menghadapi serangan balasan si beruang.
Benar, beruang itu segera berbalik dan menghadapiku.
Sepasang matanya memerah. Binatang mengerikan itu membuka mulut,
mempertontonkan barisan giginya yang tajam, dan sepasang kaki depannya
terangkat, menunjukkan tajam deretan cakar. Lalu binatang itu mengeluarkan
auman yang menggiriskan. Nyaliku segera ciut.
Tahu kalau aku gentar dan kalah mental menghadapi
beruang itu, Mas Burhan melompat ke arahku sambil mencopot kausnya. Ia
melambai-lambaikan kaus itu, seperti menggoda si binatang. Aku segera berlari
menjauhi pantat Mas Burhan, lalu langkah kakiku kubuat sepelan mungkin,
berjingkat, menjauh lewat gerumbul bambu, memutar, kemudian berada di belakang
beruang besar yang siap menyerang Mas Burhan. Tepat di detik yang menentukan
itu, aku melompat dan berteriak kencang, mendahului gerakan si beruang.
Tusukanku tepat berada di lambung sebelah kanan, dan aku segera mencabut lagi
tombakku. Tapi sayang, tusukan tombakku terlampau kuat, aku gagal mencabutnya,
dan beruang itu kembali menggeliat dengan cepat. Aku terjatuh kena kibasan
beruang.
Mampus ini, batinku. Beruang itu segera menghadap ke
arahku lagi. Mas Burhan segera melompat di depanku lagi, sambil terus
memutar-mutar kausnya. “Goblok! Mampus kita!”
“Terus bagaimana, Mas?!” tanyaku.
“Lari, kamu! Bikin tombak lagi! Beruang itu akan
mengejarku, dan aku akan naik ke pohon ketapang. Sebelum ia merobohkan ketapang
itu atau berhasil menyusulku naik, kamu tombak lehernya. Tepat di lehernya!
Jelas kamu?!”
“Jelas, Mas!” usai mengucapkan kalimat itu, aku
langsung melompat, lari menjauh dari tempat pertempuran itu dengan cepat
membuat lagi sebuah tombak. Saat aku balik lagi ke tempat pertempuran itu, Mas
Burhan sudah berada di atas pohon ketapang. Sementara itu, si beruang sedang
berusaha memanjat pohon itu. Tetapi tampaknya binatang itu tidak berhasil.
Namun kemudian binatang yang marah dan terluka itu menemukan cara yang jitu,
pohon ketapang yang belum begitu besar itu, ditabraknya berkali-kali, sehingga
pohon itu terancam rubuh.
“Mati aku!” begitu selalu ucapan yang kudengar, setiap
kali tubuh beruang itu menggetarkan pohon ketapang. Mungkin hanya butuh tiga
kali benturan lagi, pohon itu pasti tumbang.
Dengan agak ragu, aku mendekati pohon ketapang itu,
bersembunyi dari balik pohon pisang yang satu ke pohon pisang yang lain.
Tepat di saat beruang itu mundur, mengambil
ancang-ancang, aku segera berlari menuju pohon ketapang sambil mengacungkan
tombakku. Tubuhku gemetar. Tombak yang kupasang juga gemetar. Tahu kalau aku
grogi dan pucat berhadapan dengan binatang itu, Mas Burhan berteriak, “Kamu
jangan sok pahlawan! Kalau kamu gemetar, kamu pasti kalah! Kamu pasti mati!”
“Jadi bagaimana solusinya?” tanyaku semakin panik.
“Kamu ingat dan perhatikan nasihatku,” suara Mas
Burhan terdengar berbisik, “taruh tombakmu di tanah. Tatap mata binatang itu!
Kuatkan hatimu, kamu bisa mengalahkannya. Begitu jahanam itu marah, saat kedua
kaki depannya hendak mengerkahmu, saat itulah kamu hunjamkan tombakmu ke
lehernya. Jelas?”
Aku mengangguk. Tetapi hatiku tetap kacau. Lalu aku
mengambil napas dalam-dalam, dan segera melakukan segala sesuatu seperti yang
dibilang Mas Burhan. Tombak kuletakkan di atas tanah.
Sepasang mata bintang itu menatapku dengan tajam.
Sepasang mataku berusaha membalas tajam tatapan beruang itu. Di dalam hati, aku
mengatakan kalau aku bisa mengalahkan binatang ini. Beruang itu mengaum. Dengan
segera, ia melabrakku.
Aku mencoba tidak grogi ketika binatang itu semakin
mendekatiku. Dan tetap berusaha tidak grogi ketika beruang itu mulai mengangkat
kedua kaki depannya. Di saat yang kupikir tepat, aku membungkuk, menyahut
tombakku, kuhunjamkan keras-keras ke arah lehernya.
Semua serba cepat. Hunjamanku tepat. Aku segera
menyandarkan tombakku ke pohon ketapang. Semakin beruang itu berusaha
menjamahku, semakin dalam ujung tombakku menghunjam lehernya. Tahu kalau aku
berhasil, Mas Burhan turun cepat. Ia lalu mencabut tombak yang berada di
punggung binatang itu, lalu menghunjamkan ke arah leher beruang.
Kami menunggu beruang itu sesaat. Ketika sudah tidak
ada tenaganya lagi, kami dorong tubuh binatang itu dari arah samping. Rubuhlah
tubuh besar beruang itu. Segera tubuh beruang itu kami kuliti, dagingnya kami
potong-potong, lalu kami talikan potongan-potongan daging segar itu di tombak
kami. Kami keluar dari hutan itu dengan langkah tegap.
Begitu keluar dari gerumbul pohon bambu dan pisang,
kami disambut oleh Pak Bari dengan tertawa. “Dikubur saja!” kata Pak Bari.
“Jangan, untuk makan malam,” tukas Mas Burhan.
“Ada cakalang bakar dan ikan asin keropa untuk makan
malam,” jawab Pak Bari enteng.
“Kamu yang bawa?” tanya Mas Burhan sambil menoleh ke
arahku. Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kita kubur saja binatang ini.” Sambil
berkata begitu, Mas Burhan meletakkan pikulannya. Aku mengikuti perkataannya.
Lalu ia mengambil cangkul yang berada di dekat gubuk, dan ia mencangkul,
kemudian kami berdua menanam potongan- potongan tubuh beruang.
Sesungguhnya, yang kami tanam adalah potongan-potongan
pohon pisang. Wajah Mas Burhan tampak puas setelah kami usai bermain-main
imajinasi ‘berburu beruang’. Keringat berleleran di wajahnya yang memerah.
Selesai mengubur ‘daging beruang’ itu, kami melangkah
pergi. Sepasang mataku melirik ke arah kolam ikan, dan sebuah rakit kecil yang
terbuat dari batangan-batangan bambu. Kalau tadi aku memilih ‘berburu hiu’,
kami akan berada di kolam itu. Rakit itu akan kami anggap perahu, dan kolam itu
kami anggap samudra. Kami berdua pasti akan basah kuyup. Aku sedang enggan
berbasah-basah.
Kami langsung menuju gubuk yang lebih besar lagi. Pak
Bari segera menata piring. Segera, kami bertiga makan dengan lahap. Aku merasa
lega. Misi kedatanganku berhasil dengan memuaskan: Mas Burhan mau makan lagi.
Tiga hari yang lalu, aku masih berada di sebuah pulau
yang indah untuk mengikuti sebuah kegiatan. Lalu telepon datang dari Mbak
Narni, istri Mas Burhan. Ia mengatakan kalau Mas Burhan sedang kumat lagi.
Berhari-hari, ia tidak mau pulang dari ladang, dan menurut laporan Pak Bari,
Mas Burhan tidak mau makan. “Kalau selesai tugasmu, jenguklah dia,” singkat
pesan Mbak Narni.
Banyak orang yang melihat Mas Burhan hanya dari satu
sisi. Begitu selalu yang kudengar setiap kali ada orang membicarakan Mas
Burhan. Ia selalu disemati oleh julukan-julukan yang aduhai, mulai dari dicap
sebagai ‘pembangkang sepanjang umur’ sampai dijuluki sebagai ‘pendekar
subversif’. Memang julukan itu bukan tanpa alasan. Dari mulai menginjakkan
kuliah, ia sudah mencicipi ikut ontran-ontran Malari. Dan semenjak itu, kakinya
sudah tertanam kuat di lahan yang disebut sebagai dunia pergerakan.
Di belantara dunia aktivis, jarang ada yang tahan uji
lebih dari 30 tahun untuk terus melawan. Salah satunya, Mas Burhan. Model
perlawanannya pun tidak pernah berubah. Tidak pernah masuk ke dalam sistem,
tidak pernah dekat-dekat dengan kekuasaan. Ia berada di banyak tempat,
berkeliling, mengajar dan menemani banyak sektor masyarakat. “Aja cedhak kebo
gupak…” begitu pesan yang selalu dikatakan kepada orang-orang yang lebih muda,
berhubungan dengan kekuasaan. Nyalinya luar biasa, dan staminanya
mencengangkan. Ia punya daya hidup yang terus memancar, seperti halnya para
pembangkang yang tidak pernah takluk.
Banyak orang yang memujinya, dan cenderung
memitoskannya. Semua yang berhubungan dengan Mas Burhan, selalu penuh dengan
gula-gula. Ia mengidap malaria karena pernah lama di tanah Papua, banyak orang
melihat hal itu sebagai sesuatu yang seksi. Ia selalu kekurangan uang karena
jika punya uang selalu dipakai untuk kegiatan sosial, orang-orang selalu
menyebut hal itu keren. Ia tidak punya rumah dan keluarganya selalu
berpindah-pindah kontrakan, dan orang berdecak mengatakan hebat.
Hingga kira-kira lima tahun yang lalu, ia memanggil
beberapa orang termasuk aku, untuk mendengar keluh kesahnya: ia merasa berdosa
dengan keluarganya yang sejak lama jarang ditemaninya.
Mendengar keluhan itu, aku hanya punya komentar pendek
dan langsung kuutarakan, “Wis wayahe mesanggrah, madeg pandhita, Mas.”
Akhirnya Mas Burhan memutuskan untuk mesanggrah dan
madeg pandhita beneran. Dengan dibantu teman-teman dekatnya, ia membeli tanah
di sebuah kampung, mengelola pertanian. Tidak jauh dari tanahnya yang cukup
luas itu, ia mendirikan rumah sederhana. Semenjak itu, ia tidak pernah
bepergian lagi. Ia mendampingi warga kampung untuk melakukan pertanian organik.
Tetapi setiap kali ada peristiwa yang mengganggu
pikirannya, ia kumat lagi. Seperti saat terjadi kenaikan BBM pada tahun 2005.
Ia tidak mau makan berhari-hari. Juga ketika terjadi kenaikan BBM di tahun ini.
Berhari-hari ia berada di ladang, tidak mau makan dan emoh pulang.
Seperti halnya tiga tahun lalu, setelah akhirnya senja
ini ia mau makan, sambil duduk-duduk, ia mengeluarkan semua unek- uneknya. Ia
nyerocos soal pangan, air, dan BBM. Dan dari dulu, ia selalu menekankan tiga
hal: imajinasi, daya hidup, dan daya cipta. “Latihlah terus imajinasimu,
perkuat daya hidupmu, dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak,
boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah
ditaklukkan!”
Suaranya terus bergema, seakan tidak pernah lelah dan
tidak butuh jeda. Begitu terus sampai larut, sampai ia terlihat lega. Aku
berharap, seperti beberapa tahun yang lalu, ia kemudian tertidur dan keesokan
harinya mengajak pulang ke rumah.
Tetapi kali ini sepertinya tidak. Karena tiba-tiba ia
terdiam, menajamkan telinganya, dan berkata, “Kekasih beruang itu marah dan
merusak kampung….”
Mampus, batinku. Bakal ada olahraga malam….
“Pak Bari…,” Mas Burhan memanggil nama orang yang
menjaga ladangnya.
Tetapi dengan cepat Pak Bari menyahut, “Harus dikejar,
Pak! Kalau tidak, kasihan orang-orang kampung. Aku akan menanak nasi lagi
supaya nanti saat selesai berburu, makanan sudah siap.”
Pak Bari melirik dan tersenyum kepadaku. Aku tersenyum
kecut, orang tua itu sudah segera mencari posisi aman.
“Bagaimana?” tanya Mas Burhan ke arahku.
“Harus kita kejar, Mas!” aku tidak punya dalih.
“Bagus! Kenapa tidak segera bangkit dan menyiapkan dua
tombak yang panjang dan tajam?”
Aku segera bangkit, keluar, sambil terus merutuk di
dalam hati. Malam itu, seperti dua orang anak kecil, kami menembus malam,
mendekati gerumbul bambu dan pisang. Kembali berlarian, berteriak di dalam
ladang. Memburu seekor beruang.
Malam itu, setiap kali tombak Mas Burhan menancap kuat
di tubuh beruang, maksudku batang pisang, ia berteriak keras. Seperti
mengeluarkan dendam. Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan….
Ibu Tahu Rahasiaku
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang
mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di
depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran
bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya
membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di
teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku
terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur
ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan
ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar
kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin
jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa
kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa
mempunyai hubungan khusus dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku
merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas
lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk
menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari
kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi
tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar
untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku
telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta
izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku
bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah
angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu
bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat
sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung
ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab
ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili
dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas
pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa
seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku
kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur
dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan
tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong
oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi
jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di
kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang
mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru
kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan
itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak
Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua
memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali,
Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat
melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku
hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke
panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di
rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya
diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung
kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat,
sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke
rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan
rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan
di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang
terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi
pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa
seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman.
Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga
terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan
bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah,
tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar
tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar
kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan
spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu
menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan
emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah,
emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari
di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat
begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan
kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar.
Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh
mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang
diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido
tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang
dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi
pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin
juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani
merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga
Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor
Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor
Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan
sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di
hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat,
ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari
kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di
atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu
itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas
pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah
atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku
pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku
menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido
sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido
menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali
aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika
suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi
karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko
kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak
kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah
berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido
sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu.
Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir,
tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah
jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah,
ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya
yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke
kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di
secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku
kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di
kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam,
lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah
malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi
saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti
sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu
dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari
bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam
menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung
melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan
berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami
saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku
duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi
menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku
melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu
selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor.
Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang
berlinang di kedua pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja
aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah
kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah
dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola.
Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu
ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di
kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah
yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan
warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara
itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang
berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai
pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak.
Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti
biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah
mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi,
sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang
dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai
reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika
nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah
dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri
tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat
yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya
bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan
memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja,
tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi
’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para
penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido
hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah
saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan
langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung,
mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang
hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang
bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat
pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan
itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido
gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di
warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin
sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung
kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu
meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan
handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya
yang mimpin tahlilan untuk Bido….”
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido
tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera
bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?
“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu
menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….
Koh Su
Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada
pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah
kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan
dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri.
Minyak dituang. Diambilnya sebuah benda dari kotak di
dekatnya, digedoknya keras. Remuk. Dilemparkannya ke arah penggorengan.
Dilakukannya hal itu beberapa kali. Tidak ada saus tomat di dalam botol, tidak
ada juga botol kecap. Hanya ada satu botol yang berisi cairan berwarna coklat
di dekatnya. Botol itu dibebat kain, yang dugaanku, dulunya berwarna putih
namun sekarang mulai berwarna coklat.
Ketika sebulan yang lalu, sebuah kabar merayap di
kampung ini, aku termasuk orang yang tidak peduli. Paling-paling hanya
desas-desus yang sengaja disebarkan oleh seorang penjual yang sedang akan
menggelar dagangannya agar laris. Seingatku, sudah belasan kali sejak aku kecil
hal seperti ini terjadi.
Dari kecil aku sudah biasa dengan drama-drama kecil
ini. Tiba-tiba ada beberapa mulut yang mengatakan bahwa resep nasi goreng ala
Koh Su sudah ditemukan. Lalu orang-orang begitu ramai. Tidak lama kemudian,
berdiri sebuah warung makan di kota kecil ini, khusus menyediakan menu nasi
goreng. Orang-orang mengantre. Begitu ramai. Lalu hanya seminggu atau dua
minggu, warung itu akan sepi kembali. Kukut. Tutup untuk selamanya. Begitu
berkali-kali.
Di kota ini, nasi goreng identik dengan sebuah nama:
Koh Su. Begitu dekatnya hubungan antara nasi goreng dan Koh Su, sampai nama Koh
Su menjadi kata kerja untuk aktivitas membuat nasi goreng. Kalau ada seseorang
yang berkata, ”Tadi pagi saya ngohsu,” itu berarti tadi pagi ia membuat nasi
goreng. Atau kalau ada orang yang berkata, ”Ngohsu, yuk…” itu artinya ia
mengajak membuat nasi goreng.
Di kota kecil ini, hampir semua jenis masakan yang
biasa ditemui di kota-kota lain ada. Hanya satu saja yang tidak ada, warung
nasi goreng. Kalaupun warung nasi goreng itu muncul, seperti yang aku ceritakan
di atas, didahului dengan bumbu-bumbu cerita, tidak berapa lama sebuah warung
berdiri, diserbu pembeli, kemudian mati. Hanya menambah deret kekecewaan orang
akan penjual nasi goreng, dan semakin mengukuhkan legenda Koh Su.
Aku memperhatikan lagi penjual nasi goreng yang sedang
khusuk dengan masakannya itu. Semua yang kubayangkan tentang Koh Su, memang
benar-benar ada pada laki-laki itu. Rambut penjual itu lurus, panjang, agak
jarang, dan dikucir. Di kepalanya bertengger kopiah hitam. Kumisnya
jarang-jarang tapi dibiarkan tetap tumbuh, juga jenggotnya. Matanya sipit, dan
di sepasang mata itu dikelilingi daging menggelambir. Tubuhnya tinggi dengan
perut yang agak buncit. Di mulutnya selalu terselip sebatang rokok kretek.
Kutaksir ia berumur empat puluh tahun lebih.
”Dek! Dek!”
Laki-laki itu selalu mengakhiri prosesi memasaknya
dengan cara yang sama, dua gedokan keras di wajan, sebelum menuangkan ke
piring. Pembantunya, seorang anak berusia belasan tahun yang biasa dipanggil
’Mbeng’ lalu mengantar sesuai dengan urutan pemesan.
Aku melihat ke sekeliling, masih banyak orang yang
belum mendapatkan jatah pesanan mereka. Giliranku masih sangat lama.
Dari hulu sampai hilir, cerita tentang Koh Su serba
tidak jelas. Ada yang bilang kalau ia bukan orang Tionghoa, melainkan orang
Madura. Nama sebenarnya Sukendar. Tapi karena mirip orang Tionghoa maka ia
dipanggil Koh Su. Tapi banyak orang yang tidak sependapat. Bagi sebagian orang,
Koh Su adalah orang Tionghoa. Ada juga yang bilang kalau Koh Su orang Jawa,
hanya ia belajar memasak dari orang Tionghoa di Tuban, lalu pulang kampung dan
mendirikan warung nasi goreng yang kemudian sangat tersohor. Nama sebenarnya
Surono. Mana yang benar, aku jelas tidak tahu.
Lenyapnya Koh Su dari kota ini juga tidak jelas.
Sebagian orang bilang Koh Su mati. Sebagian orang yang lain bilang Koh Su
melarikan diri entah ke mana. Ada juga yang bilang kalau Koh Su moksa karena ia
menganut ilmu kebatinan. Bagi mereka yang percaya bahwa Koh Su mati pun punya
versi masing-masing. Ada yang meyakini Koh Su mati dibunuh di warung makannya,
jasadnya dibuang di Gunung Genuk. Ada yang bilang Koh Su mati dikubur bersama
puluhan orang komunis di sebuah sumur tua di belakang sekolah rakyat setelah
berkali-kali ia tidak mempan ditembak dan dagingnya tidak tergores ketika
disembelih. Mana yang lebih tepat, tentu saja aku tidak tahu.
Konon, tempat berjualan Koh Su terletak di bawah pohon
beringin, sebelah barat alun-alun, di dekat masjid. Beringin itu sampai
sekarang masih kokoh berdiri. Koh Su dikenal sebagai penjual yang tidak banyak
bicara. Ia hanya sibuk memasak. Ia tidak melayani pesanan yang neko-neko. Di
resep Koh Su, nasi goreng adalah nasi goreng. Ia tidak pernah meluluskan
permintaan nasi goreng pedas, nasi goreng tidak asin, tidak pakai telor atau
daging, dan lain-lain. Semua seragam, sama. Anehnya, sekalipun seragam, Koh Su
selalu memasak satu per satu masakannya. Sehingga semua yang memesan harus sabar.
Selain itu, tidak ada yang boleh membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus.
Semua orang tahu Koh Su tidak menggunakan kecap, tomat
atau saus tomat. Semua orang juga tahu kalau Koh Su memakai semacam saus
berwarna coklat. Tapi apa ramuan saus itu, tidak ada seorang pun yang tahu.
Dulu, aku pernah bertanya ke kakekku bagaimana rasanya
nasi goreng Koh Su. Kakekku hanya menggelengkan kepala sambil berkata, ”Susah
mengatakannya.”
Pak Pardiman, penjual kopi yang sangat terkenal di
kota ini juga melukiskan hal yang hampir sama, ketika aku dan teman-temanku
menanyakan rasa nasi goreng Koh Su saat kami ngopi di warungnya. ”Ini nasi
goreng Koh Su. Ini surga. Jaraknya hanya segini…” sambil berkata seperti itu
Pak Pardiman mendekatkan jempol tangan kanannya dan telunjuk tangan kanannya.
Kedua jari itu hampir menempel, seperti sedang menjimpit sebatang rokok.
Beberapa orang kulihat datang, memesan lalu mengantre.
Beberapa yang lain harus pulang karena nasi goreng yang belum dimasak sudah
habis dipesan. Giliranku masih lama, tapi tetap merasa beruntung, paling tidak
aku masih kebagian.
Aku tidak tahu persis, apakah gara-gara Koh Su, atau
karena hal yang lain, tetapi yang jelas nasi goreng adalah menu spesial
penduduk kota ini. Begitu spesialnya sehingga tidak gampang diperjual-belikan.
Pelajaran memasak pertama yang diajarkan dan dilakukan oleh anak-anak adalah
ngosu alias membuat nasi goreng. Kalau ada peringatan hari tertentu, seperti
Hari Kemerdekaan sampai Hari Maulud Nabi, pasti ada lomba ngosu.
Begitu tenarnya nasi goreng di kota ini, maka
muncullah orang- orang yang memang suka menguji nyali. Pada kali pertama dan
kedua, itu cukup menggegerkan. Selebihnya kemudian ditanggapi dengan biasa
saja.
Saat itu aku masih duduk di sekolah dasar ketika
ramai-ramai ada berita bahwa resep nasi goreng Koh Su telah ditemukan. Sama
seperti cerita tentang Koh Su sendiri, cerita perihal ditemukannya resep
masakan Koh Su serba tidak jelas. Setelah beberapa minggu, di dekat rumah sakit
berdiri sebuah warung nasi goreng yang mengaku memiliki resep Koh Su. Selama
berhari-hari nasi goreng itu ramai sekali. Antrean begitu panjang. Anak-anak
kecil, termasuk aku, hampir setiap hari prembik-prembik, ngambek kepada
masing-masing orangtua kami karena tidak juga dapat giliran mencicipi nasi goreng
saking banyaknya antrean. Tapi setelah beberapa minggu kemudian, warung itu
sepi. Dan ketika akhirnya aku mencicipi nasi goreng itu, tidak ada bedanya
dengan bikinanku sendiri saat aku sering ngosu dengan teman-teman sebayaku.
Kali kedua, lebih heboh lagi karena warung makan itu
berdiri di bekas warung makan Koh Su, di bawah pohon beringin dekat alun-alun.
Di kain warung makan itu tertulis jelas: Nasi Goreng Koh Su. Tapi tulisan itu
hanya berumur beberapa hari karena polisi melarang tulisan ’Koh Su’ yang
dianggap berbau komunis. Tulisan dihapus, tapi yang mengantre tetap banyak,
juga para polisi. Namun hampir sama dengan yang pertama, umur warung makan itu
hanya beberapa minggu. Setelah semua penduduk mencicipi dan ternyata biasa
saja, warung itu sepi kemudian tutup.
Kali ketiga dan seterusnya sudah tidak terlalu
mengejutkan. Selalu ada desas-desus, lalu muncul warung nasi goreng, disambut
dengan harapan dan antrean, dan kemudian kecewa.
Aku memperhatikan sekeliling lagi. Orang-orang
menunggu tanpa banyak bicara, seakan mereka sedang menunggu saat-saat yang
paling menentukan bagi mereka. Orang-orang yang sudah mendapatkan giliran makan
menyantap hidangan mereka dengan tenang. Khidmat. Yang sudah selesai juga
membayar dan pergi dengan tenang. Mereka seperti selesai menunaikan sebuah
ibadah.
Masih ada beberapa orang lagi, baru kemudian tiba
giliranku.
Di kota ini, ngosu atau membuat nasi goreng bukanlah
kegiatan yang bisa dilakukan hanya dengan sekian puluh menit. Semua ini karena
bocoran resep-resep yang didapat dari Koh Su. Resep dan tatacara ini beredar
dari mulut ke mulut. Mempengaruhi tindakan banyak orang dalam ngosu.
Kabarnya, nasi yang digoreng oleh Koh Su berasal dari
padi di Dusun Ngandang, sebuah dusun di lereng Gunung Genuk. Padi itu ditanak
sebagaimana biasa. Setelah matang, ditumpahkan di atas daun pisang lalu
dikipasi dengan ipit, kipas yang terbuat dari bambu. Nasi itu dikipasi
terus-menerus sampai hampir dingin, setelah itu dibungkus dengan daun pisang
rapat-rapat. Nasi inilah yang kelak akan menjadi bahan utama membuat nasi
goreng Koh Su. Untuk menghasilkan nasi goreng yang enak, buntalan daun pisang
itu paling tidak harus berumur lima jam. Jadi, konon Koh Su selalu
menyelesaikan beberapa buntalan nasi setelah selesai Duhur. Habis Magrib, nasi
ini dibuka satu per satu, untuk dibuat nasi goreng.
Resep lain yang sudah ketahui banyak orang dalam
membuat nasi goreng itu adalah dengan memakai kepala udang. Udang ini harus
benar-benar udang laut dan harus segar. Kepala udang dipisahkan dari tubuhnya,
lalu dikupas kulit luarnya yang keras dan dicuci sampai bersih. Setelah minyak
dituang, pertama-tama kepala udang diremuk di atas talenan, kemudian dilempar
ke minyak. Kepala udang itu menjadi semacam bumbu dasar. Untuk satu porsi nasi
goreng dibutuhkan dua atau tiga kepala udang segar. Tergantung pada besar
kecilnya kepala udang. Satu lagi, minyak yang dipakai untuk ngosu selalu minyak
goreng dari kelapa.
Tiga orang lagi sampai ke giliranku mendapatkan
seporsi nasi goreng yang menggegerkan kota ini.
Ketika warung ini mulai buka, hanya anak-anak kecil
yang antusias menyambutnya. Kami yang sudah beranjak dewasa maupun orang-orang
tua yang sudah cukup pengalaman dengan berdirinya warung-warung sejenis hanya
merasa biasa saja. Paling-paling sama dengan yang dulu-dulu, begitu pikir kami.
Tapi setelah berhari-hari, kabar tentang nasi goreng di warung ini semakin
santer saja. ”Benar-benar nasi goreng Koh Su!” kata mereka yang sudah
mencicipi.
Kemudian kabar tersebut segera meluas. Ditambah dengan
hal-hal lain yang memperkuat kabar itu. Penjual baru itu, sampai sekarang kami
tidak tahu namanya, sama seperti Koh Su, memasak nasi goreng seporsi demi
seporsi. Penjual itu juga tidak melayani membungkus nasi goreng lebih dari dua
bungkus. Ia juga hanya menjual kira-kira lima puluh porsi dalam semalam.
Dimulai dari sehabis Magrib dan selesai sebelum pukul sebelas malam. Mereka
yang mengantre harus menunggu di warung itu, kalau meninggalkan warung sebelum
mendapatkan pesanan mereka, dianggap tidak jadi memesan.
Lalu kabar-kabar mulai bersayap, menerbangkan hal-hal
lain. Ada orang yang bilang kalau penjual itu adalah anak kandung Koh Su.
Konon, Koh Su yang pendiam itu mempunyai seorang istri dan anak di kota lain.
Anak inilah yang mewarisi keterampilan Koh Su dalam membuat nasi goreng dan
sekaligus mewarisi resep masakannya, terutama di dalam meramu saus berwarna
coklat itu.
Sampai saat ini, tidak ada yang tahu namanya. Ia
seperti datang tanpa nama, tinggal dan berjualan tanpa mengobral nama. Ia hanya
datang bersama Mbeng dan seperangkat alat memasak, lalu mengontrak kios di
dekat pasar yang sekaligus menjadi warung makan.
Kini tiba giliran nasi gorengku diracik dan dimasak.
Dadaku berdebar.
Ketika kakekku penasaran karena orang-orang mulai
membicarakan rasa nasi goreng dari warung yang baru berdiri itu, aku masih
belum tertarik. Ketika kemudian kakekku menjajal dan membenarkan kelezatannya,
aku tidak punya alasan lain untuk tidak penasaran. ”Bumbu dan caranya memasak
sudah benar. Hampir mirip buatan Koh Su,” kata kakekku.
Bagi orang seusiaku, Koh Su jelas misteri besar.
Cerita tentangnya mengambang di seluruh udara kota ini. Orang-orang yang
mengalami nasi goreng Koh Su masih wasis bercerita saat aku masih kanak-kanak.
Seluruh umurku yang berkaitan dengan nasi goreng adalah ngosu dengan bocoran
resep dan tatacara yang tidak lengkap. Berasnya jelas tidak mungkin dari
Ngandang, kadang minyaknya tidak menggunakan minyak kelapa. Dan yang pasti,
kami tidak memakai saus berwarna coklat karena tidak tahu bagaimana cara
membuatnya.
Ini sudah kali ketiga aku mencoba mengantre. Dua yang
pertama, berakhir dengan lidah kosong. Setiap kali aku datang, antrean selalu
penuh, dan Mbeng berkata dengan sopan, ”Maaf Mas, sudah habis.” Kali pertama
aku datang jam sembilan malam. Kali kedua jam delapan. Kali ketiga ini, aku
datang benar- benar saat Magrib usai. Itupun yang mengantre sudah banyak
sekali.
”Dek! Dek!” suara pertanda akhir prosesi memasak
terdengar. Piring dilumahkan. Nasi ditumpahkan di atas piring. Mbeng mengantar
seporsi nasi goreng ke arahku. Hatiku nratab begitu menerima ulungan sepiring
nasi goreng dari tangan Mbeng.
Aku memandang baik-baik nasi di depanku. Sempurna.
Warnanya begitu menyentuh. Semua nasi berwarna sama, tercampur bumbu dan matang
dengan rata. Baunya juga sempurna. Aku menyendok pelan nasi goreng di depanku.
Aku memasukkan nasi ke mulutku…
Aku mampir di warung kopi Pak Pardiman. Kupikir, malam
ini bisa semakin disempurnakan dengan ngopi dan ngobrol bersama banyak orang.
Sampai di sana, suasana sudah sangat gayeng. Dari sepintas dengar, obrolan yang
terjadi berkisar soal kelezatan warung nasi goreng yang baru kujajal itu. Semua
orang bersepakat soal kelezatannya.
”Sudah sama dengan punya Koh Su, Pak?” tanya seorang
anak muda.
”Hampir…” jawab Pak Pardiman.
”Kira-kira kurang di bagian mana?”
”Nasinya. Tapi bagaimana bisa dapat beras dari
Ngandang?”
”Bukannya di Bangunrejo masih banyak sawah?”
Tidak ada jawaban dari mulut Pak Pardiman. Wajahnya
tiba-tiba membeku. Dusun Ngandang sudah tidak ada lagi. Menurut cerita
orang-orang tua, hampir semua penduduk Ngandang tersangkut peristiwa berdarah
yang juga melenyapkan Koh Su. Lalu nama dusun itu diganti dengan nama
Bangunrejo.
Setelah beberapa saat terdiam, sambil meracik kopi
pesananku, Pak Pardiman mendesah, ”Seandainya saja itu hanya soal ganti nama…”
Di Sini Dingin Sekali
Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah
di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap.
Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu
berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia
sedang berada di dapur.
Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari
dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang
dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga
muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang
sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan
mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh,
seperti dulu ketika gempa besar terjadi.
Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan
menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang
mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin
ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan
membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu.
Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang
mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima
belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur
di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk.
Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan
pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut
pelatihan.
Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa,
pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar
sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi
ke posyandu.
Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah.
Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah
di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku
karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti
akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu
mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi.
Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia
menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan
terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda.
Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak
RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh
untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat.
Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap
kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta
uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua
puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok.
Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di
tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena
bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada
biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga
hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin
sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi,
sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti
bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan
tetangga.
Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT.
Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang,
tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya.
Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya.
Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata
jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus
bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul,
bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata
bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang
lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya
orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya
dimarahi warga.
Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke
rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak,
katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya
besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga
jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi.
Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang,
Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya,
Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya.
Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam.
Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh
supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak
laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah
membicarakannya.
Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika
hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar
dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya
dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia
menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat
tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar
yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa
susulan.
Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk
Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku
ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin
menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu.
Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di
tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah
truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan
kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang
menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan
ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup
untuk seluruh warga.
Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan
orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan
orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari
ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali.
Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri.
Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil
menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia
juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat
api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku
balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh.
Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu
dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu.
Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku
mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di
posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang
mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah
pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat
sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi
lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu
pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar,
Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung.
Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank.
Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan
cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu
yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu
anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD.
Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina
maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain,
setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu
yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….”
Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto
sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu.
Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru
saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya,
ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan
semua anak menertawaiku.
Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai.
Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku
maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya,
aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka.
Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara.
Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara
kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang
pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan
anak tertua Pak Dukuh.
Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah
berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak
bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh
cepat kerja bakti lagi.
Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di
posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi.
Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali
ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak
laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi.
Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali.
Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh.
Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan.
Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi
pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari
pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak.
Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya.
Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak
perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan
kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak
perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung
memberi julukan: Siti Partisipasi.
Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba
aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan.
Ibu menangis.
Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin
lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba
meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan
selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun.
Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh
keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami
alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku.
Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan
sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat
aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku
seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan.
Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan
pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung
mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu
aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya
merah, suaranya serak.
Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya
aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu,
aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut.
Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua
orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan
Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi
posko anak.
Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap
diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke
tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh
berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin
menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa
dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan
suara.
Sambal Keluarga
Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak
pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat
sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau,
ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi
minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu
dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain.
Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna.
Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak
hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain.
Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe.
Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete.
Masing-masing anggota keluarga kami mempunyai nama
sendiri-sendiri untuk menyebut sambal itu. Yu Sumi, orang yang bertahun-tahun
membantu memasak di rumah kami, menyebut sambal itu dengan nama sambal korek.
Mungkin karena sekalipun sambal itu sudah tandas, kami tetap mengoreknya dari
cobek untuk mencari sisa-sisa. Ibuku memberi nama sambal itu dengan nama sambal
galak. Alasannya, sambal itu terasa sangat pedas, galak di mulut. Bapakku menyebut
sambal itu dengan nama sambal bahagia. Konon kata bapakku, sambal sederhana itu
gampang membuatnya bahagia. Ayundaku, satu-satunya saudara kandungku, menyebut
sambal itu dengan nama sambal malas. Maksudnya, sambal itu membuatnya malas
untuk menyelesaikan sarapan, selalu ingin menambah nasi. Dan aku memberi nama
sambal itu dengan nama sambal asal. Siapa pun orangnya, asal sudah bisa
memegang cobek dan ulekan, pasti bisa membuatnya.
Kalau sambal itu absen dari meja makan kami saat
sarapan, masing-masing kami mempunyai kalimat antik untuk meresponsnya. Ibuku
akan berkata, Yu Sumi sedang ngambek. Sedangkan bapakku akan mengatakan kalau
penjual cabai hijau sedang menikah. Ayundaku lain lagi, jika sambal itu tidak
hadir, ia selalu bilang, sidang kabinet batal. Ayundaku memang senang sekali
menonton laporan khusus yang ditayangkan TVRI, terutama kalau Pak Harmoko
membacakan harga-harga bahan makanan, termasuk harga cabai. Aku sendiri akan
bilang, upacara tanpa bendera. Biasanya, sebelum makan, aku akan mengeluarkan
aba-aba untuk diri sendiri jika tidak ada sambal tersebut di meja makan,
“Upacara tanpa bendera, mulai!”
Sarapan pagi bagi kami adalah sebuah prosesi yang
khusyuk tapi tetap cair dan ringan. Sambal adalah uba-rampe yang tidak bisa
digantikan oleh apa pun. Sambal itu telah menjadi sambal keluarga.
Pada saat sarapan, kami juga saling menandai siapa di
antara kami yang sedang mempunyai masalah. Kalau ada salah seorang di antara
kami tidak antusias berebut sambal dari cobek, pasti ia sedang mempunyai masalah.
Pasti.
Sampai aku dan ayundaku besar, sambal keluarga itu
tetap menduduki rangking teratas di keluarga kami. Jika kami berkumpul di
rumah, menu itu selalu dipastikan ada saat sarapan. Hanya ketika aku dan
ayundaku sudah tumbuh besar, kami berdua memberi sebutan yang berbeda lagi
untuk menu sambal. Beberapa bulan setelah aku kuliah, aku menyebut sambal itu
dengan nama sambal proletar. Sedangkan ayundaku menyebutnya dengan nama sambal
kenangan.
>diaC<
Keluarga kami bertemu di meja makan tiga kali dalam sehari.
Pagi, ketika ibu-bapakku akan pergi ke kantor dan kami bersiap pergi ke
sekolah, lalu siang ketika kami semua sudah tiba dari tempat masing-masing, dan
malam hari seusai salat maghrib. Tapi hanya pada pagi hari kami benar-benar
seperti “bertemu”. Di siang hari, aku yang satu selera dengan ibuku, lebih
memilih santapan sayur asem, sedangkan bapakku dan ayundaku lebih memilih sayur
lodeh. Di malam hari, makanan kami lebih sering dibeli dari luar rumah, dan
kami pun membentuk konfigurasi selera yang berbeda, aku dan ayundaku lebih suka
makan masakan Padang, sementara ibu dan bapakku lebih suka menikmati lontong
sayur atau pecel lele.
Tidak bisa kumungkiri, menu makan pagi yang tidak
tergantikan itu telah berubah menjadi begitu jauh, penuh dengan isyarat dan
petanda yang lembut bagi kami sekeluarga. Seperti menenun sebuah jaringan
mental yang gaib dan penuh rahasia.
Kalau ada tamu menginap di rumah kami, tidak peduli
apakah itu saudara dekat seperti nenek atau bude, atau teman-teman ibu dan
bapakku, bisa dipastikan menu itu bersembunyi, lenyap dari meja makan kami.
Seolah kami saling melempar pesan, “Sekarang sedang ada orang lain.”
Hanya ada satu orang saja yang kami percaya untuk
mengetahui rahasia lembut itu, Yu Sumi. Dialah yang menguntit proses itu bertahun-tahun,
dan ikut menyukseskan ritual sarapan dengan baik. Dan karena itu, ia adalah
bagian dari kami.
Dengan pelan dan pasti, aku mulai menyadari bahwa itu
bukan sekadar perkara jenis sambal tertentu. Itu lebih rumit dari yang kami
rasakan di lidah. Pertama aku menandai itu ketika ayundaku pergi kuliah di luar
kota. Tetap ada menu itu di sarapan kami bertiga, tapi tetap seperti tidak
biasanya. Dan kami butuh waktu untuk menyesuaikan, dan kami tahu, itu adalah
cara menyesuaikan, bukan idealnya. Tiga tahun kemudian, ketika aku menyusul
ayundaku kuliah di kota yang sama, tidak jarang kami pun sering mencoba membuat
kedua menu itu, hasilnya sama, tidak akan pernah sama persis ketika itu kami
santap di rumah bersama ibu dan bapak kami.
Sambal itu baru kami nikmati kembali sebagai sambal
keluarga ketika kami berkumpul. Sambal itu bau benar-benar sambal karena ia
berada di sana, di sebuah pagi, di rumah kami, ketika kami semua lengkap
mengepung meja.
Lalu semua itu berkembang lebih jauh lagi. Aku masih
mengingat saat itu, ketika kali pertama ayundaku membawa pacarnya pulang ke
rumah, memperkenalkan kekasihnya itu ke kedua orangtua kami. Pagi saat sarapan,
ayundaku terlihat sebagai orang yang paling resah. Ia langsung pucat dan tidak
berselera, begitu di meja makan, di antara sekian banyak lauk-pauk tidak ada
kedua menu itu. Sebuah isyarat telah dilempar ke meja makan. Dan ayundaku
begitu lunglai.
Kali kedua ia membawa kekasihnya yang lain, ia pun
mengalami hal serupa. Dan itu bukan hanya menimpanya, tetapi juga pernah
menimpaku. Sekali menimpaku karena hanya sekali pula aku membawa pacarku pulang
ke rumah. Semenjak itu, kami berdua harus berpikir berkali-kali kalau ingin
membawa pacar kami pulang ke rumah.
Setelah mengalami ketiga kejadian itu, aku memberi
nama sambal itu dengan nama sambal ujian, sementara ayundaku memberi nama
sambal maut. Perubahan penyebutan itu hanya membuat kedua orangtuaku tersenyum
ringan dan tetap tenang.
Saat kami berdua tidak tinggal serumah lagi dengan
kedua orangtua kami, memakan sambal dengan lahap ketika berkumpul bersama
keluarga menjadi semacam registrasi ulang untuk mengukuhkan sesuatu yang kami
anggap penting. Sarapan pagi adalah ritual validasi atas diri kami berdua, aku
dan ayundaku. Suatu kali, ketika hampir dua tahun ayundaku tugas belajar ke
luar negeri, begitu pulang ke Indonesia ia langsung mengajakku pulang ke rumah.
Paginya, dalam suasana makan pagi yang hangat, ayundaku menyantap sambal
keluarga itu dengan cara yang tidak pernah ia lakukan. Kupikir, ia bukan
sekadar rindu pada sambal dan suasana di keluarga kami, tapi juga dalam rangka
menunjukkan sesuatu yang penting untuk disampaikan. Hasilnya, ia tidak makan
siang dan tidak makan malam karena kekenyangan dan perutnya panas. Tapi
keesokan harinya, ia tetap menyantap sambal itu dengan antusiasme yang tidak
kalah dari pagi sebelumnya.
Dua tahun yang lalu, akhirnya, satu orang lagi menjadi
bagian dari keluarga kami. Mas Rudi, yang sekarang menjadi suami ayundaku,
lolos dari pedas sambal maut. Ketika pagi itu, ayundaku melihat sambal keluarga
terhidang di atas cobek saat makan bersama, ia tidak bisa menyembunyikan
kegembiraannya. Ia langsung memekik dan mencium ibu-bapakku, dan merangkul Mas
Rudi. Tentu saja Mas Rudi yang tidak tahu apa-apa hanya bengong.
Kini, mereka berdua telah dikarunia seorang putri yang
lucu, dan sekalipun keponakanku itu mempunyai nama panjang yang bagus, toh
ayundaku memanggil anaknya dengan panggilan sayang: Mbal….
>diaC<
Pagi ini adalah pagi yang paling membuatku salah
tingkah. Ayundaku, Mas Rudi, dan putri mereka ramai bermain di beranda depan.
Ibuku sedang mempersiapkan sarapan buat kami di dapur. Hanya bapakku yang tidak
terlihat. Sementara Dian, kekasihku, masih berada di kamar. Sesekali, ayundaku
masuk ke ruang tamu, tempat di mana aku mencoba mengatasi perasaanku yang serba
tidak menentu. Beberapa kali ayundaku memberi isyarat supaya aku tenang. Bahkan
tidak segan ia menepuk pundakku, seakan memberi semangat dan ketenteraman bahwa
pagi ini, semua akan baik-baik saja.
Kemarin, ayundaku beserta suami dan putri mereka
berkunjung ke rumah orangtua kami. Mereka dipanggil pulang ke rumah oleh ibuku
setelah aku dan Dian memastikan bahwa kami berdua akan datang. Ini kali pertama
Dian kuajak ke rumahku, dan ini berarti drama sambal keluarga akan dimulai.
Setahun lebih aku menjalin hubungan dengan Dian, dan
baru kali ini aku memberanikan diri mengajaknya mengunjungi kedua orangtuaku.
Hampir semua hal telah kami bicarakan berdua, kecuali satu hal: sambal
keluarga.
Semalam, kami semua telah berkumpul. Semalam, suasana
begitu akrab sehingga seharusnya aku tidak perlu terlalu khawatir akan drama
pagi ini. Tapi bukankah seperti itu yang dulu terjadi kepada kedua mantan
kekasih ayundaku dan mantan kekasihku? Malam yang nyaman, bukan berarti sebuah
tiket yang bisa menentukan apa yang terjadi di pagi harinya.
Dian keluar dari kamarnya. Ia menemuiku, dan bilang
akan membantu ibu di dapur untuk mempersiapkan sarapan. Tapi sebelum aku
mengiyakan, ibu sudah memanggil-manggil kami dari dapur. Perasaanku semakin
kocar-kacir, pikiranku semakin kacau. Ayundaku bersama Mas Rudi dan putri
mereka segera masuk ke gelanggang pementasan. Dian memberi isyarat agar kami
berdua segera menyusul ke dapur.
Pelan aku bangkit dan menggandeng tangan Dian. Pada
tangan itu, aku ingin memastikan dan memperkuat sesuatu yang serba tidak
menentu. Aku mendengar suara ramai di dapur, suara keponakanku ditimpali suara
ayunda dan ibuku. Suara yang ringan dan bingar. Beberapa meter dari ruang
makan, aku melihat semua sudah menempati kursi masing- masing, hanya Mas Rudi
yang masih menggendong putrinya sambil terus bercanda. Bapakku yang dari pagi
tidak kulihat juga sudah berada di sana, sementara Yu Sumi masih kulihat sibuk
di dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang makan.
Pelan kami berdua masuk, menuju tempat duduk yang
tersisa. Dan mataku menyapu sajian di meja makan….
Jantungku berdetak mengencang dan mengeras. Kusapu
berkali-kali dan kuperiksa dengan seluruh perhatianku, tetap saja aku tidak
menemukan satu menu yang paling kutunggu-tunggu. Tubuhku terasa ringan. Tapi
aku berusaha tetap tenang, dan duduk di kursiku. Yu Sumi masih melakukan
sesuatu di dapur, mungkin masih di sana…. Semoga….
Rasa tidak menentu juga kulihat di raut muka ayundaku.
Mas Rudi, orang yang akhirnya tahu tentang drama sarapan ini, setelah mengambil
makanannya, keluar dari ruang pentas. Ia memberi alasan akan menyuapi putrinya
di beranda. Tapi aku memaklumi, ia sedang tidak ingin mencampuri satu peristiwa
yang mungkin tidak mengenakkan hatinya.
Sarapan dimulai. Tanganku gemetar, aku tidak sanggup
mengeluarkan sepatah kata pun. Berkali-kali, aku melihat ayundaku juga berusaha
menghilangkan ketegangan dengan cara menarik napas dalam-dalam. Sementara ibu
dan bapakku terlihat seperti biasa, tenang dan ramah. Dan Dian…, ia juga
tenang.
Yu Sumi datang membawa sesuatu. Harapanku bangkit.
Tapi setelah tahu apa yang ada di tangannya, yang kemudian diletakkannya di
meja, kembali gelombang harapan itu kandas seketika. Kali ini, Dian melihatku
dengan heran. Tapi ia meneruskan mengambil lauk yang ada di meja.
Percakapan-percakapan ringan mulai hadir. Ibuku
bicara, bapakku bicara, Dian menjawab dan menimpali. Ayundaku sesekali ikut
ambil bagian. Hanya aku yang belum mengeluarkan sepatah kata pun.
Yu Sumi datang lagi, ia membawa sesuatu. Harapanku
naik lagi. Tapi lagi-lagi, ia tidak membawa sesuatu yang kuharapkan. Saat tahu
itu, aku hanya punya satu pikiran… habis… aku habis!
Tapi tepat di saat pikiran buruk itu menguasaiku,
ibuku bangkit. Ia menuju dapur. Tidak lama kemudian ia masuk lagi membawa
cobek. Aku hampir memekik, tapi aku ingin memastikan sesuatu di dalamnya. Dan
apa yang kuharapkan ada di sana, sambal keluarga datang!
Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Ayundaku bahkan
langsung berteriak girang. Sementara aku menahan diri untuk tidak berteriak,
tapi mengulum senyum lega. Dian juga tersenyum, aku tidak tahu apa maksud
senyumnya.
“Mbak Dian, sambal… ini sambal keluarga kami,” ibu
mengeluarkan suara.
“Iya, Dian. Sambal ini enak sekali,” ayundaku
menimpali sambil tangannya mengeruk sambal dengan sendok dan menjatuhkan sambal
itu di piringnya.
Aku yang begitu girang, masih berusaha menahan
semuanya. Dadaku dipenuhi rasa syukur.
“Iya, Bu… saya juga suka sambal ini. Saya sering
membuatkan sambal ini untuk eyang kakung saya…,” sambil berkata seperti itu,
Dian mengambil sesendok sambal.
Aku benar-benar lega. Semua terasa lapang dan ringan.
Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada yang
berhenti di ruang makan ini. Aku melihat mata ayundaku terhenti pada sesuatu.
Aku melihat mata ibuku juga terhenti pada sesuatu. Aku memastikan apa yang
terjadi dengan itu semua….
Napasku seperti berhenti. Aku melihat satu adegan
ringan tapi tajam. Tangan Dian mengambil sebotol kecap, dengan pelan ia
menuangkan kecap itu di atas sambal yang sudah berada di piring makannya.
Dengan tenang ia berkata, “Tapi saya paling suka kalau ditambah kecap.”
Aku diam. Ayundaku diam. Ibuku diam. Bapakku diam.
Semua diam. Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Mereka berdua kembali
mengeluarkan kalimat-kalimat ringan untuk mencairkan suasana.
Dian tetap makan dengan tenang, sambil sesekali
menimpali pembicaraan.
dian
sambal muncul dengan dramatis
gembira
dian menuangi sambal yang diambilnya dengan kecap!
Retakan Kisah
Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk
mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah
kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar
lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat
yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan
sama-sama berdebu.
Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang
masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil,
untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan
kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi
sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang.
Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang
bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang
kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang
melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah
karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya?
Di awal percakapan, kalimat yang lebih banyak muncul
adalah, ”Saya sudah tidak mampu lagi mengingat”. Kalimat itu terus menimbulkan
tanda tanya di kepalaku. Apakah kalimat itu berarti bahwa ia memang benar-benar
tidak mampu mengingat, ataukah karena ia tidak mau menceritakan satu kejadian
karena takut risiko tertentu, ataukah karena sebetulnya bukan itu yang ingin ia
ceritakan.
Lalu aku tepis seluruh syak yang muncul. Dengan sabar
aku menunggu sulur-sulur cerita yang keluar dari rekahan waktu yang gelap dan
dalam. Tugasku adalah belajar untuk diam, mendengarkan, menyimak, lalu
menyodorkan ke hadapan orang banyak tentang suara yang lirih. Ada suara yang
mungkin dari dulu hanya dianggap dengungan, sayup dan lamat-lamat. Dan banyak
telinga sudah diproteksi, siap menyeleksi apa saja yang boleh didengar, dan apa
saja yang tidak boleh didengar. Tapi suara-suara seperti ini tidak akan bisa ditahan,
karena sudah banyak yang mulai bersuara dan sudah banyak yang mulai mau
mendengar.
Rekahan waktu lambat laun mulai mengeluarkan sulurnya
dari wilayah yang paling gelap. Suara lirih mulai terdengar. Dan suara seperti
ini akan membuat perhitungan sendiri.
>diaC<
Hampir semua hal yang mengelilinginya terlihat muram.
Sepasang mataku butuh waktu yang agak lama untuk menyesuaikan dari terik yang
memanggang di luar, dengan cahaya lamat yang ada di dalam rumahnya. Ruangan ini
berisi seperabot kursi-meja yang sudah tua dan tidak jelas warnanya, sebuah
tempat tidur yang tergeletak di lantai, dan hanya ada dua hiasan yang menempel
di dinding: potret seorang laki-laki, dan sebuah lukisan kaca.
Seluruh warna yang ada di dirinya adalah warna yang
luntur dan kusam, seperti warna jarik dan kebaya yang dikenakannya. Mata yang
menyempit, berkaca sekaligus berkapur. Suara yang groyok, kadang lirih, kadang
membesar tanpa irama. Juga tubuh yang gampang gemetar, tubuh yang jauh lebih
tua dari usianya yang sesungguhnya. Apalagi, kalau bukan karena penderitaan?
Tapi, ia terlihat cukup tenang. Memperhatikan
baik-baik ketika dua temanku mempersiapkan alat rekam audiovisual. Mengeluarkan
sendiri tiga gelas teh dan satu gelas air putih.
”Pagi itu, saya masih belum selesai menyapu halaman
rumah….”
Ia diam. Kembali matanya temlawung jauh. Seekor cicak
menjerit dan jatuh tidak jauh dari tempatnya duduk, disusul oleh seekor yang
lain, lalu mereka segera melesat pergi. Beberapa ekor ayam muncul di pintu,
lalu juga pergi dengan meninggalkan suara kokok yang terus bergema. Suara lalu
lintas dari jalan raya yang tidak jauh dari rumah ini mencoba mengingatkan
bahwa hanya di sini, sepi itu begitu menjadi-jadi.
”Mereka sudah datang. Saya sudah tahu apa maksud
kedatangan mereka. Lalu saya bilang: Pak, saya ini seorang guru. Beri saya
kesempatan untuk pamitan dulu ke murid-murid saya….
”Tanpa menunggu jawaban mereka, saya pergi mandi,
berdandan, lalu keluar rumah menuju ke tempatku mengajar. Rombongan itu
mengikuti dari belakang.
”Sesampai di sekolah, saya langsung masuk ke kelas:
Anak-anak, hari ini Ibu akan rapat dengan bapak-bapak tentara. Rapatnya mungkin
akan lama. Nanti, kalau ada guru lain yang menggantikan, belajarlah dengan
baik, dan jangan nakal.
”Satu per satu, saya menciumi wajah murid-murid. Lalu
ketika keluar menemui rombongan tentara, salah seorang berkata: Ke kantor
kecamatan!”
Kembali ia diam. Seorang pedagang es melintas di jalan
depan rumahnya, diikuti suara anak-anak yang menyanyikan lagu Peterpan.
Sesekali aku menengok ke arah pintu, mencari cara agar mataku tidak silau
karena cahaya di luar begitu tajam hinggap di pandanganku.
”Saya benar-benar tidak tahu, Mbak, apa salah saya.
Saya ini dari kecil miskin, hanya anak seorang janda. Waktu saya kecil, saya
hanya ingin menjadi guru. Ya karena melihat guru-guru saya. Rasanya kok hidup
saya bisa berguna kalau saya menjadi guru. Lalu saya sekolah di Sekolah Guru
Taman Kanak-kanak di Yogya. Lulus sekolah, ya saya langsung mengajar TK di
kampung saya. Di luar kegiatan mengajar, saya aktif di organisasi itu. Saya
juga tidak mengerti, mengapa orang-orang sering menganggap organisasi itu
jahat. Wong saya tahunya, di organisasi itu kami diajari untuk ikut mendamaikan
suami-istri yang tidak akur. Kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan itu sama,
tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, makanya tidak adil kalau seorang
suami beristrikan lebih dari satu orang. Kami juga diajari bahwa tidak benar
kalau istri itu seperti suwarga nunut, neraka katut.”
Seorang anak kecil tiba-tiba menangis di depan rumah.
Ia dengan segera keluar, lalu mencoba mendiamkan si bocah, memanggil-manggil
nama seorang perempuan yang kupikir adalah ibu si bocah. Tangisan itu menjauh,
si bocah digendong ibunya.
Ibu itu masuk kembali ke dalam rumah, kembali duduk di
sampingku, dan mataku kembali silau karena cahaya yang masuk dari arah pintu.
”Maaf, ya… sampai mana tadi?”
”Sampai menuju ke kantor kecamatan, Bu….”
”Sampai ke suwarga nunut, neraka katut, Bu….”
Kedua temanku mengeluarkan kalimat yang berbeda, dan
aku tidak tahu mana yang tepat.
”Ya…. Di depan kantor kecamatan sudah berderet orang
yang menunggu pemeriksaan. Ketika tiba giliran saya diperiksa, saya ditanya
pertanyaan-pertanyaan yang saya tidak tahu. Ya saya jawab kalau saya tidak
tahu, wong saya memang tidak tahu. Lalu saya disuruh pulang dan tidak boleh
mengajar lagi, dan tidak boleh pergi-pergi dari kampung. Saya sedih sekali.
Tapi saya juga lega karena tidak dibawa pergi seperti yang lain-lain. Saya
mengira bahwa saya selamat, Mbak…. Tapi…, ternyata tidak….”
Tiba-tiba suara ibu itu mengecil, mirip suara
kanak-kanak. Tubuh tuanya gemetar, matanya semakin berkeruh, dengan nada yang
seperti berteriak, namun lirih, ia berkata, ”Dua tahun kemudian, saya diambil
lagi….”
Ibu itu lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Tiba-tiba di luar mendung. Mataku selamat dari rasa silau.
”Yang kedua itu, saya tidak diberi kesempatan untuk
mandi apalagi berdandan. Saya langsung diangkut begitu saja. Saya dibawa ke
pabrik tebu. Saya baru masuk saja, sudah dikerumuni orang untuk meludahi saya
ramai-ramai sambil mengumpati saya dengan kata-kata yang tidak senonoh….
”Lalu saya diseret beberapa orang menuju ke sebuah
kamar. Sesampai di kamar, tanpa basa-basi, saya ditelanjangi…. Saya menyebut
nama Tuhan keras-keras supaya mereka eling bahwa ada Tuhan. Tapi tidak ada yang
menggubris. Saya memohon berkali-kali, tapi saya tetap ditelanjangi….”
Aku melirik ke arah dua temanku yang lain. Sepasang
mata Mirna mulai memerah dan Andre sudah mulai mencari-cari rokok di sakunya.
”Saya lalu menyahut bantal untuk menutupi kemaluan
saya. Lalu orang-orang itu pergi, tinggal satu orang yang sepertinya pemimpin
mereka. Ia menutup pintu kamar. Lalu membuka celananya…. Saya menjerit waktu
melihat kemaluannya yang membesar. Ia mendekati saya. Saya memohon ampun
berkali-kali. Saya bilang: Pak, saya ini belum bersuami, saya orang miskin dan
tidak punya apa-apa. Kalau Bapak punya istri, ingatlah istri Bapak, kalau Bapak
punya anak perempuan, ingatlah anak perempuan Bapak….
”Eh…, setelah saya bilang seperti itu, kemaluan bapak
itu mengkeret, Mbak. Tapi dia tetap mendekati saya, lalu… mengencingi saya….”
Ibu itu terdiam. Aku tidak tahu apakah ia menangis
atau tidak. Sepasang matanya dari pertama kulihat sudah seperti selalu berair.
Hanya warna suaranya semakin lama semakin mengecil, membuatku harus terus
mewaspadai alat rekam yang kuletakkan di sebelah atas kebayanya, di dekat
leher. Sepintas aku melihat mata Mirna sudah berair, sedangkan Andre hanya
menggigit-gigit sebatang rokok tanpa pernah menyalakannya.
”Tiga hari saya tidak diberi makan dan tidak boleh ke
kamar mandi. Tubuh saya penuh dengan kutu.”
Lagi-lagi, Ibu itu diam. Aku menawarinya minum, dan
mengambilkan segelas air putih di meja.
”Maturnuwun, Mas….
”Saya satu-satunya perempuan yang ditahan di pabrik
tebu itu. Pabrik itu dipisahkan oleh jalan raya. Saya tidur di sebelah utara,
lalu kalau diperiksa, saya dibawa ke sebelah selatan, menyeberangi jalan raya.
Nanti kalau Mbak dan Mas ada waktu, saya tunjukkan tempatnya.
”Setiap hari saya disiksa. Saya diberi pertanyaan yang
sama, yang saya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Kalau tidak dijawab,
muka saya dipukuli pakai sepatu. Kalau saya jawab, saya juga dipukuli pakai
sepatu. Muka saya sampai bengkak-bengkak penuh darah. Semua serba salah. Kalau
ditanya dan saya melihat mata yang bertanya, saya juga dipukuli, padahal maksud
saya menghormati orang yang bertanya, tapi katanya saya dianggap menentang.
Tapi, kalau tidak saya lihat matanya, saya juga dipukuli. Saya ini manusia, kok
diperlakukan seperti itu, apa ya layak….
”Pernah juga saya dibawa keluar dari tempat itu, ke
kantor polisi. Dulu, rambut saya itu panjang, hampir sampai lutut. Di kantor
polisi itu, saya juga dipukuli. Lalu ada yang membawa gunting terus
kras-kres-kras-kres, mengguntingi rambut saya. Waktu saya mau dibawa pulang ke
pabrik tebu lagi, saya minta rambut saya. Eh, polisi yang menggunting itu
bilang: Tidak, itu untuk istriku!
”Kok tidak malu, mereka itu. Menyiksa perempuan yang
tidak tahu apa salahnya, memperlakukan saya seperti bukan manusia, kok masih
mau menghadiahkan rambut saya untuk istrinya….”
Andre mengambil minuman di meja. Dengan segera Ibu itu
mempersilakan kami untuk minum. Kami meminum minuman hangat yang telah dingin.
”Suatu kali, saya disuruh masuk ke sebuah ruangan yang
penuh dengan tahanan laki-laki. Tahanan-tahanan itu begitu saya datang langsung
disuruh memeluk dan menciumi saya. Yang tidak mau dipukuli. Dan itu semua
dipotret cekrak-cekrek, Mbak. Lalu petugas-petugas yang ada di situ menyoraki
sambil meneriaki dengan kata-kata yang tidak senonoh. Setelah itu….”
Ibu itu terdiam lagi. Kedua tangannya semakin terlihat
gemetar. Kami bertiga menunggu.
”Setelah itu… para tahanan laki-laki itu disuruh
membuka celana mereka. Lalu….”
Ibu itu suaranya mengecil, semakin lirih penuh dengan
tekanan. Mirna memberi isyarat kepadaku untuk mengambilkan minuman. Hampir saja
aku mengambilkan minuman ketika Si Ibu meneruskan kelimatnya, ”Saya disuruh
menciumi kemaluan merekaaaa!”
Gelas yang sudah kupegang hampir jatuh. Tubuh Si Ibu terguncang.
Sepasang mata Mirna bobol, wajahnya yang putih segera memerah. Andre membuang
muka.
”Sebelum melakukan itu, saya minta waktu untuk berdoa.
Petugas-petugas itu malah tertawa. Lalu saya menciumi kemaluan tahanan-tahanan
itu satu per satu, dan itu dipotret, Mbak. Dipotret,
cekrak-cekrek-cekrak-cekrek! Para tahanan itu juga menangis…. Kok ada yang
dinistakan seperti ini….”
Semua diam. Gerimis turun di luar. Di dalam ruangan
lembap ini, hanya terdengar isak Mirna yang tertahan.
Sepasang mata ibu itu kembali melihat ke arah pintu
dan berkata, ”Dan rupanya itu belum cukup…. Sebelum saya memakai pakaian, semua
petugas beramai-ramai memelintir puting payudara saya. Saya menjerit, teriak
kesakitan dan tidak didengarkan. Selesai kejadian itu, saya langsung menstruasi
empat bulan tanpa pernah berhenti….”
Ibu itu kembali diam. Saya mengulurkan gelas air
minumnya. Ia minum dengan pelan. Lalu menghirup napas agak panjang, ”Sampai
sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak
apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin
tahu, seperti apa itu, dan apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang-orang
itu….”
Ruangan hening. Tintrim. Tidak ada suara apa pun
sampai beberapa saat setelah Si Ibu mengucapkan kalimat itu. Tidak ada suara
cicak, tidak terdengar suara lalu lintas yang menderu di luar sana, isak Mirna
pun lenyap.
Tiba-tiba seorang perempuan menyembulkan mukanya di
pintu. Ibu itu bangkit lalu keluar. Sepintas yang sempat kudengar, Si Tamu
memberi tahu bahwa ada tetangga mereka yang meninggal dunia.
Ibu itu masuk sambil berkata, ”Mbak, Mas, saya harus
ke tempat kesripahan. Ada tetangga yang meninggal dunia.”
Kami mengiyakan. Mirna lalu mendekati Si Ibu,
berbincang pelan, mungkin memastikan jadwal, kapan kami bisa kembali lagi.
Andre merapikan alat- alat audiovisualnya, semen- tara aku keluar rumah mencari
taksi.
Hari masih gerimis. Di dalam taksi, kami bertiga
menelepon ibu kami masing-masing. Ketika ibuku menyapa, aku bahkan tidak tahu
harus berkata apa, dan hanya bisa bertanya, ”Ibu baik-baik saja?”
Bocah-bocah Berseragam
Biru Laut
Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan
sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang
jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah
terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin
selamanya.
Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna
pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil di dekat langit-langit tinggi itu membawa
bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda surga. Ratusan kepala bocah
yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang menatap
langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor
kupu-kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita.
Kepala-kepala itu masih penuh derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat
penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat ini bukan untuk anak-anak manis seperti
kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu. Tunggulah sejenak, sebentar
lagi surga akan dibuka tepat pada saat di mana kalian merasa mengantuk.”
Bocah-bocah itu berseragam biru laut. Dari tubuh
mereka menguar bau harum taman di pagi hari. Tapi jangan bayangkan bahwa kulit
mereka lembut dan bantat seperti donat. Mereka belum sempat bermimpi mempunyai
rambut lurus di tengah kewajaran rambut bergelombang, mereka belum sempat
bermimpi mempunyai kulit putih di tengah kegaliban warna kulit coklat matang.
Kepala mereka memancarkan warna ungu yang sedih.
Sebagian dari kepala mereka menunduk, menekuni lantai, mungkin ingin kembali
membaca masa lalu, sebuah masa di mana kisah sedih digelar oleh waktu. Sebagian
menatap kosong langit-langit ruang, mungkin ingin membaca masa lalu, sebuah
masa di mana rasa sakit berpilin dengan nelangsa. Ada masa memang, seluruh anak
diciptakan hanya untuk bersedih dan menderita. Ada kurun waktu di mana kelak
akan tercatat, anak-anak terlahir untuk menangis sepanjang waktu.
Aku masih mengitari mereka seperti kupu-kupu. Aku
ingin hinggap dan menyadap kisah. Tapi selalu dan selalu, ada jarak yang
terentang jauh antara si penyadap dan yang disadap. Senantiasa ada pintu-pintu
terkunci, halaman-halaman tak terbaca, antara aku yang hanya membaca dan
mendengar, dengan mereka yang mengalami sendiri.
Tubuh mereka seperti dilindungi oleh arus deras yang
tidak terlihat. Ada semacam badai lembut yang membalut tubuh mereka. Sehingga
setiap kali aku mencoba hinggap, aku terlempar. Percobaan yang selalu aku
ulang. Sekali dua, sempat aku hinggap, sebelum kemudian kembali terlempar jauh,
dengan hanya membawa sari-sari kisah yang tidak cukup sah untuk kurangkai.
Lalu aku akan terbang agak tinggi, mendekati lubang
ventilasi, mencoba bernapas lebih lapang dengan bocoran harum yang bertiup dari
beranda surga. Setelah cukup tenaga, kembali aku mengitari mereka, mendaratkan
diri di antara ratusan bocah yang menekuri lantai. Tapi seperti mata yang
menghadang cahaya matahari, seperti laron yang mencoba mendekati unggunan api,
aku lebih sering terpelanting. Hanya sesekali, ada sari-sari kisah yang cacat
peristiwa, bisa kubawa pergi. Dan aku terus mencoba lagi, setelah mendapatkan
tenaga dari lubang ventilasi.
Demikianlah, setelah beribu kali aku melalukan
percobaan tolol itu, kuberanikan diri untuk merangkainya. Dan aku seperti
kupu-kupu yang terjerembab di tanah berdebu. Mengepak pelan, melemparkan
rangkaian kisah yang cacat peristiwa. Hanya bermodal harap dan cita, siapa tahu
memang ada suatu masa di mana seluruh bocah datang hanya untuk berbahagia.
***
Dua bocah itu berpelukan di sebuah sudut. Dua kakak
beradik, beradu kepala, dan saling melingkarkan lengan, berpelukan. Aku mencium
sari kisah yang terbakar. Mereka mati dibalut api. Ibu mereka terlalu bersedih.
Kemiskinan mungkin masih berani dihadapinya. Tapi satu di antara mereka,
menderita sakit yang tak mungkin ditanggulangi. Uang mereka tidak cukup untuk
membiayai. Si ibu mengambil seliter minyak tanah. Dua orang yang masih lelap,
mencoba diselamatkan oleh sepasang tangan yang menggigil. Tangan ibu mereka
sendiri. ”Nak, penderitaan ini tidak akan sanggup kita hadapi. Hanya kematian
yang bisa menyelamatkan kita.” Dan api berkobar. Mereka bertiga meregang.
Mereka bertiga berpelukan, seakan masih ada janji yang belum selesai
ditunaikan, berharap ada dunia di seberang yang bisa membuat mereka berkumpul
untuk makan bersama di pagi yang cerah.
Aku mampir pada segerombol bocah yang lain.
Bocah-bocah itu seperti berjongkok, membuat lingkaran besar dengan posisi
saling berhadapan. Tangan-tangan mereka terkait satu sama lain, membuat rantai
lingkaran yang kokoh. Kaki-kaki mereka mengecil. Kaki-kaki mereka bengkok. ”Ada
yang salah dengan tubuh kami. Kami tidak ingin berjalan empat kaki seperti
sapi. Mereka membangun rumah sakit bergedung tinggi. Mereka menganggap rumah
sakit adalah hiasan kota yang membuat para pelancong merasa nyaman dan senang.
Mereka ingin mengatakan pada dunia, inilah kota kami yang indah dan makmur.
Mereka seperti sepasang keluarga yang memajang potret pernikahan di ruang tamu,
untuk memastikan pada seluruh orang yang berkunjung bahwa pernikahan dan rumah
tangga mereka baik-baik saja. Tapi mereka membiarkan kami seperti ini.”
Di samping lingkaran besar itu, tubuh-tubuh kecil
berbaring. Tubuh mereka mengecil dengan mata terbelalak membesar. Mulut mereka
sangat lemah. Bumi seperti menyedot seluruh daya mereka lewat punggung yang
tertempel di lantai. Satu di antaranya berkata, ”Ibu membawaku pulang dari
rumah sakit. Ibuku tahu aku akan mati. Ibuku sudah tidak punya air mata. Ibuku
kalah dalam menagih janji. Mereka bilang biaya perawatan gratis. Mereka bohong.
Mereka membiarkan aku mati, dan membiarkan perasaan ibuku bolong. Mereka
mencoba membunuhku dua kali. Pertama membiarkanku tidak punya gizi, kedua
membiarkanku pulang karena ingkar terhadap janji.”
”Aku pulang ketika bel istirahat pertama berbunyi.” Si
anak yang berkata, bermata alum. Suaranya serak. ”Orangtuaku tidak ada di
rumah. Aku pergi ke lemari pakaian ibuku yang sudah tidak ada kuncinya lagi.
Aku mengambil selendang milik ibu, selendang yang baunya selalu membuatku rindu
padanya dan pada masa ketika aku sering digendongnya. Sudah dua bulan SPP-ku
tidak terbayar. Aku juga masih belum membayar uang Lembar Kegiatan Siswa. Aku
tidak enak dengan ibu guru, aku malu dengan teman-temanku. Aku membuat tali
menggantung dari selendang ibuku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Tapi di
hari itu, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa di luar sana, uang tidak bisa
diganti dengan rasa sayang.”
Pintu masuk ruang tunggu itu terbuka, sebaris
anak-anak berseragam biru laut masuk. Sebagian dari mereka mengambil posisi
duduk melingkar, sebagian lagi terlentang menatap langit-langit ruang tunggu
yang begitu tinggi. Seluruhnya anak-anak yang seharusnya berpakaian putih dan
merah.
Aku mengitari sesosok tubuh yang menyandarkan tubuhnya
di dinding. Kepalanya menyorotkan sinar ungu. Arus kuat menderas ketika aku
hendak hinggap. Kembali aku hampir terpelanting, kembali aku harus menuju ke
lubang ventilasi, lalu pada kali ketiga aku berhasil hinggap di kepalanya,
menyadap sari ce- rita, sebelum kembali terlempar jauh.
”Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin
belajar menjadi manusia. Tapi kami tidak sanggup berada di dunia yang dulu.
Dunia yang pahit. Dunia yang tidak kunjung kami mengerti. Kami ingin bermain
layang-layang dan bersepeda. Kami ingin bernyanyi dan berlari. Kami ingin
bermain air dan bermain api. Kami tidak ingin di sini. Kami belum ingin ke
sini. Tapi mereka memaksa kami. Mereka mendorong kami. Kami tahu dunia adalah
tempat orang bersedih, tapi kami tahu dunia adalah tempat orang bergembira.
Hanya kami sungguh tidak mengerti, ada celah di dunia sana, begitu bayi terlahirkan,
dia harus menanggung nista dan sengsara. Mereka tahu kami akan mati. Mereka
tahu kami mati. Mereka tahu, dan mereka diam saja!”
Seorang gadis kecil di sampingnya ikut berkata, ”Aku
telah jadi mayat ketika bapak menggendongku naik kereta. Aku mati karena
muntaber. Mati karena tidak cepat mendapat pertolongan. Bapakku tidak kuat
menyewa ambulans untuk mengangkut mayatku. Aku digendong naik kereta. Bahkan,
bapakku sempat bingung dan tidak tahu di mana bisa memakamkan mayatku. Bagi
orang miskin seperti kami, mati pun masih menyisakan masalah.”
Aku hinggap lagi. Aku terlempar lagi. Kembali, hanya
serpih sari-sari kisah yang bisa kusadap. Dan tibalah satu sentakan besar.
Sangat besar dan kuat. Aku ditabrak warna hitam. Aku ditabrak warna putih. Aku
seperti hancur. Seperti hilang.
***
Aku masih seperti kupu-kupu di dunia ini. Dengan
sepasang mata yang rabun dan perih. Kupu-kupu yang berharap bisa terbang
mendekati fiksi, tapi malah terperangkap dalam kawat-kawat besi. Mungkin sampai
mati.
Aku hanya seperti kupu-kupu. Hanya seperti. Tidak
lebih. Karena aku melewati masa kecil tanpa ancaman busung lapar, tanpa takut
terserang polio, tak pernah berpikir jika sakit dipulangkan oleh petugas rumah
sakit. Aku memang pernah berpikir untuk bunuh diri di waktu kecil, tapi itu
karena uang jajanku tidak ditambah. Aku hanya seperti kupu-kupu. Berharap
mendekati dan mengerti penderitaan mereka hanya lewat kabar dari koran dan
berita dari televisi. Seekor kupu-kupu yang berlagak bisa memilin fakta dan
fiksi, namun yang terjadi selalu masuk dalam dua jebakan besar. Kalau tidak
malu-malu dan salah tingkah, pasti masuk ke jebakan serampangan dan genit.
Sementara barisan bocah-bocah berseragam biru laut
terus mengalir ke ruang tunggu. Mereka datang dari mana-mana. Sementara banyak
orang yang seperti kupu-kupu, beterbangan, berharap menyadap dan menghadirkan
kisah, sambil terus menyimpan kenangan tentang masa kecil yang riang sekaligus
menyimpan harapan akan masa depan yang nyaman, di tengah- tengah barisan
bocah-bocah berseragam biru laut menuju ke ruang tunggu.
”Ah, itu hanya kabar yang berlebihan. Lihatlah, akan
selalu lahir generasi-generasi yang lebih baik dari kita.” Mereka berkata
sambil terus menggali lubang-lubang utang, meracuni laut, membobol gunung,
menebangi hutan. Ya, generasi yang lebih baik. Dengan wajah dan kulit plastik,
dengan tangan penuh tombol, dengan tubuh terlilit kabel. Sambil terus mengunyah
berita-berita penuh kebohongan, sambil menyeringai dan berkata, ”Hari gini,
gitu loogh…”.
Mereka benar. Ada perbedaan memang, bocah-bocah
berseragam biru laut mati dengan cepat, kurang gizi, kelaparan, bunuh diri.
Sedangkan yang lain mati dengan cara lebih lambat, disorientasi, depresi,
keracunan kabar bohong dan bahan makanan.
Mereka benar, dan mungkin sekaligus mereka tolol.
Sedangkan aku seperti seekor kupu-kupu yang tidak kalah tololnya. Hari itu,
sebuah koran mengabarkan seorang bocah mati bunuh diri karena tidak bisa
membeli buku, dan televisi memberi tahu ada seorang bocah mati bunuh diri
karena ia merasa terlalu gemuk dan tidak secantik dulu. Mereka berdua sama-sama
bertemu di ruang tunggu, memakai seragam biru laut dengan kepala memancarkan
warna ungu.
Ibu Pergi ke Laut
Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa
ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian
aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu
kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang
anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah
ini? Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka
bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku
melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah
besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium
pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar
ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus
terus berada di rumah.
Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku
bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya?
Apakah akan ke Medan? Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu
aku bertanya, terus pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke
Aceh. Aku bingung. Di manakah Aceh itu? Lalu ibu menjelaskan bahwa untuk pergi
ke sana kita harus meyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali
menggelengkan kepala. Ia menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak
naik kapal? Kan enak, bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium
pipiku. Ada saatnya aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan
rasa panas di pipi. Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat
panas?
Tapi lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku
bertanya di mana ibu, ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang
sudah besar, setelah pergi ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang
lain. Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut.
Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang sama
aku. Tetangga-tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek
dan kakekku bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi
ke laut. Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika
menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku
melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang
sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air
itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek
dan kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair.
Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku
lebih senang ikan daripada burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku
menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar
dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang?
Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh
itu sakit.
Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke
kolam renang. Di kolam renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia
berenang ke sana kemari. Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu
alangkah enaknya menjadi ikan. Aku ingin cepat bisa berenang. Aku ingin seperti
ibuku. Aku ingin menjadi ikan.
Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu
menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan
hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang
hebat. Aku senang sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti
yang pernah diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang
baik hati di laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan
tenggelam. Ibu tentu akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam.
Mungkin ia menjadi pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah
bilang seperti itu ke ayah, ia kelihatan bangga, tapi bibirnya gemetar dan
matanya kembali berair. Ayah kemudian bilang, makanya aku tidak usah menunggu
ibu pulang sebab di laut ibu sedang menunaikan tugas- tugas mulia menyelamatkan
kapal- kapal yang akan tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku.
Ada saatnya aku tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku
terasa sakit.
Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu
cerita-ceritanya, aku rindu diajak pergi ke kolam renang, aku pengin dibuatkan
kue-kue yang enak. Tapi kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin
ikan-ikan yang baik hati, aku hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat
kapal-kapal yang akan tenggelam. Di dalam kapal-kapal itu pasti banyak anak
kecil seusiaku yang belum bisa berenang. Ya, ibu harus menyelamatkan mereka.
Tapi, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku
seperti yang dulu-dulu jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di
laut tidak ada telepon. Kalau tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip
surat untukku lewat kapal-kapal yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan
ibu terlalu sibuk? Mungkin aku yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu.
Tapi aku tidak bisa menulis surat. Lalu aku teringat Mbak Memi.
Siang itu aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah.
Ia tinggal di depan rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku
sudah sering bilang ke ibu kalau aku pengin juga sekolah. Ibu selalu tersenyum
jika aku bilang seperti itu. Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah.
Ketika dari jauh aku melihat Mbak Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke
Bi Nah kalau aku akan main dengan Mbak Memi.
Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan
menemaniku bermain. Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam
renang. Kalau ibu habis bepergian, ia juga sering memberi oleh-oleh untuk Mbak
Memi. Tapi Mbak Memi terlihat bingung ketika aku bilang bahwa aku ingin dia
menuliskan surat untuk ibuku. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk
ibu, aku harus tahu alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat.
Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di
laut. Mbak Memi diam. Tak lama kemudian ia terlihat tersenyum. “Dinda, aku tahu
bagaimana cara mengirim surat untuk ibumu.”
Ia kemudian mengambil sehelai kertas, dan bertanya
kepadaku apa yang ingin kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan
bahwa aku sangat rindu pada ibu, tapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang
berat, yaitu menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi
menuliskan pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku
menggelengkan kepala.
Kemudian kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia
kemudian bertanya lagi, “Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku
menggelengkan kepala. “Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik
ada tanda tangannya. Biar ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar
kamu. Bukan surat yang palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa
aku merasa sedih. Enak betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan
diajari membuat tanda tangan.
“Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu
ia mengoleskan penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di
kertas surat yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu
sama dengan tanda tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu
juga memberi fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen
sama kamu.”
Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan
mengambil beberapa lembar foto yang ada di album foto. Tapi, waktu aku bawa
semua ke rumah Mbak Memi, ia bilang cukup satu saja. Lalu kupilih satu foto
sewaktu aku digendong ayah. Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen?
Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh
Mbak Memi. “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku
hafal nama lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga
bisa menuliskan nama-nama itu. Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja
yang menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku
mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat
ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil
menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini
Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda
Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama
lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku.
Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan
sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut
basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang
tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi
menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu?
Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua
sungai itu mengalir ke laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari
kertas yang dilapisi plastik untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan
tidak lama kemudian Mbak Memi sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar
dari bahan kertas kalender. Ia melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu
merekatkan amplop yang berisi suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah,
bisa membuat apa saja dan tahu banyak hal.
Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian
menemui Bi Nah untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa
kapal kertas yang berisi suratku, aku membonceng Mbak Memi menuju sungai.
Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai
kecil. Sekalipun aku senang sekali melihat sungai itu, tapi aku tidak pernah
main di sungai. Kali ini, aku merasa semakin senang dengan sungai kecil ini.
Lewat sungai ini aku bisa berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami
luncurkan di air, Mbak Memi memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat
membawa suratku untuk ibu. “Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al Fatihah?”
Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku
menghafal Al Fatihah, tapi aku sering lupa. Al Fatihah terlalu panjang. Lebih
panjang dibanding doa sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu aku berusaha
mengingatnya. Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi, “Mbak, sebelum
iyyakana’budu, apa ya?”
“Malikiyaumiddin, Dinda….”
Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al
Fatihah. Setelah selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan
tenang. Aku yakin kapal itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang
menerimanya.
Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi.
“Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan,
Dinda.”
“Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang
menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap
itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.”
Aku bingung. Tapi itu tidak penting. “Lalu surat dari
ibuku ikut turun bersama hujan, ya?”
Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Tapi coba
kamu tanya pada ayahmu nanti.”
Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah
indahnya. Surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian
turun bersama hujan ke rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan
tertempel di jendela, mungkin juga ada di pagar rumah.
Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku
sempat bilang padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu ayah kerja di
kantor, aku dibacakan suratnya, ya?”
Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali.
Sehabis makan malam dengan ayah, tak sabar aku
menceritakan apa yang telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah
mendengarkanku. Dan seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya
berair, sebelum kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah ibu akan membalas
suratku lewat hujan?”
Ayah diam. Lalu ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku
mulai membayangkan ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik
bening yang hinggap di jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur.
Seperti biasanya, ayah kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritai apa malam
ini? Semenjak ibu pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku
tentang laut. Ayah kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut.
Kerajaan itu indah sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu ia
melanjutkan ceritanya, hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke
dalam mimpiku. Di sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar
yang baik hati. Dan aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya,
membawaku berenang di atas punggungnya.
Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya
bermimpi. Aku merasa ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata,
“Maya… kamu tahu aku dan Dinda tidak pernah baik- baik saja tanpa kamu….” Lalu
kurasakan suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke
wajahku. Ia mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa
membuka mata. Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin
kencang, dan lamat pula aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada
Dinda?”
Lalu kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang
menyelamatkan sebuah kapal. Di kapal itu, aku melihat ayah.
Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan
berteriak girang. Ada amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku.
Dengan segera aku keluar rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari
ayah, semoga ia belum berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat!
Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?!”
Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya,
Dinda, semalam hujan. Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama
ayah, lalu kita akan baca bareng-bareng surat dari ibu.”
Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan
surat dari ibu. Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku.
Dan ia berpesan agar aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa
melihatku dengan baik dari laut. Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang
karena ibu membalas suratku. Sedih karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi
surat. Ayah kemudian mencium pipiku. “Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan
pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim sekali lagi surat ke laut. Dan kita
akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu pilih dan ambil bunga di halaman
untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu ingin menulis apa, Sayang?”
Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku
ingin memberi tahu ibu supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin
bilang bahwa aku ingin cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat
sendiri. Dengan cepat aku pergi ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin
bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-bunga yang disukai ibuku. Lalu kami berdua
berangkat ke laut.
Sesampai di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar
sendiri surat yang dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan
bunga-bunga yang kupilih. Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah.
Setelah aku cukup lelah, ayah kemudian mengajakku untuk makan ikan di
warung-warung makan yang ada di pantai.
“Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia
bertanya, “Kenapa, Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu
kehilangan banyak teman di laut.”
Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil
memelukku. Aku heran sekali. Ayah sekarang gampang menangis!
Sesuatu Telah Pecah di
Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya
menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika
melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti
itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah
tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti
tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya,
“Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia
menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami:
dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah
marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan
membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya
mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami
berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid.
Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan
cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami
melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan
kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan,
semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai
Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa,
jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku
nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam
menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan
pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil
pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan
duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika
kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang
lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah
bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu
itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali
meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai
anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang
disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia
menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri
di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi
deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang,
seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak
meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar
ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami.
Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku
melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba
ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh
hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak
mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar
memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih
membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak
di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak
ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah
hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan
desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan
yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah
orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang
mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih
menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam
kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh
bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun
toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus
’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya,
tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan
seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan
orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono,
dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak
berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan
hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan
seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono
pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan
kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono
menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat
itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari
masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai.
Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia
berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran.
Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan
organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan
teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang
mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta
halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi
dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di
rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih.
Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan
kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit
tidak jauh dari rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi
pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua
udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus
membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus
tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang
diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan
perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya
setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena
kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk
’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian,
ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama
Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah
bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang
dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia
bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia
bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur
diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku
menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga
malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah
serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka
bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik.
Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya
adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat.
Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan
yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia
menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan
Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya.
Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya.
Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup
tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan,
setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak
menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali
sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu
landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu,
kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah
sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi
putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang
berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan
yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara
groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah
tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala
pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap
berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi
penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah
kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang
sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak
dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali.
Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut
Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat
yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak
pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak
melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang
dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku
berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan
kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan.
Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus
menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit
dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang
sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah
sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku,
menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku
mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani
kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang
suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa
sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa
dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku
tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku
hanya tidak memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang
sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan
kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan
digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang
suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu
berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu.
“Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi
kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu
hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang
seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat
menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat.
Sangat erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan
hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang
kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima
atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua.
Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan,
maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta,
sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta,
hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya
Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan
jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa
kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku
merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang
mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa
tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila
yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada
tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga
bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk
ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak
menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu
yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu.
Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk
masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak
karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan
sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua
dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah
dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia
hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba
memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata.
Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di
dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai
pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila.
Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia
pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku
harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada
sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang
suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari
pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi
kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika
sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku.
Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia
terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi
bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku
belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar
pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang
membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan.
Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku
terguncang. Tangisku pecah di pelataran. *
Bunga dari Ibu
Karena jarak, kami hanya saling
mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu, waktu itu aku baru menempati
rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih menempati daftar
potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, “Kamu tidak mungkin
sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga
ini.” Sambil berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan
tanaman bunga yang mungil dan indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela
kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu yang pertama kulihat untuk memastikan
keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika hendak berangkat bekerja.
Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa
mengatakan keadaan ibu kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga
jatuh, dengan segera aku mengangkat telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata
ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat beberapa daunnya yang masih
hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih karena seorang
pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya. Dan
ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang
bermekaran, teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat
hadiah dari bank tempatnya menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu,
ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu
waktu itu hanya bilang. “Kamu tidak memeriksa bunga dari ibu, ya?” Dengan agak
rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. “Pulanglah, ibu sedang
bersiap untuk naik haji tahun ini.” Tentu saja aku sangat gembira. Begitu
telepon kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu
seperti dikerudungi cahaya.
Belajar dari itu semua, ketika aku pulang, aku menanam
sebatang tanaman bunga tepat di samping jendela kamar ibu. Ibu tersenyum saat
aku bilang, “Bu, pohon ini akan mengatakan kepada ibu bagaimana keadaanku.”
Di luar dugaanku, pohon bunga yang kutanam itu
benar-benar memberi isyarat pada ibu tentang apa yang sedang kuhadapi. Sewaktu
aku sedang dipromosikan naik jabatan, ibu menelepon untuk menanyakan keadaanku.
Lalu, aku pura-pura bertanya mengapa ibu bisa meneleponku pagi-pagi benar. Ibu
bilang, pohon bunga yang kutanam terlihat segar dan banyak bunga yang sedang
mekar. Sewaktu aku diputus cinta oleh Randy, ibu juga meneleponku, ada banyak
bunga dan daun yang rontok sehingga ibu resah. Terakhir, ketika aku sedang
berpikir keras untuk memutuskan apakah aku harus menggugurkan kandunganku
karena Mas Rustam, kekasihku yang baru, ternyata sedang mendapatkan tugas ke
luar kota dalam waktu yang agak lama dan dia terganggu dengan keadaanku yang
sedang mengandung, ibu juga menelepon. Ibu bertanya, “Kamu sedang tertimpa
masalah? Pohon yang kamu tanam terlihat layu.”
Ketika aku sudah mengambil keputusan untuk
menggugurkan bayiku dan di sebuah malam Mas Rustam menelepon dari luar kota
dengan membawa kabar buruk, ia harus menikahi anak bosnya karena hamil, pagi
harinya ibu datang dengan pesawat paling pagi. “Ibu khawatir sekali, pohon bungamu
tadi terlihat seperti mau mati.”
Hubunganku dengan ibu sangat unik. Aku anak tunggal.
Bapakku bercerai dengan ibu ketika aku baru saja lulus dari SMA. Mereka
bercerai dengan baik-baik. Ibu pernah bercerita bahwa dulu ia diusir oleh
keluarganya karena berpacaran dengan laki- laki yang berbeda agama. Dasar ibu,
ia pergi saja dari rumah bersama laki-laki itu. Lalu, mereka menikah dan ibu
melahirkanku. Ibu juga pernah bercerita, ia anak pertama dari tiga bersaudara.
Dua adik laki-lakinya juga pergi dari rumah, yang satu pergi dari rumah karena
membobol gudang pertanian, menjual alat-alat pertanian dan hasil panen, serta
membakar rumah penggilingan padi orangtua mereka. Ibu bilang, adiknya yang satu
itu memang “kiri”. Alat-alat pertanian dan hasil panen orangtua mereka dijual
untuk membiayai aktivitas organisasinya untuk melawan Orde Baru. Sedangkan
penggilingan pagi orangtuanya dibakar oleh adiknya karena ia kecewa melihat
cara pengupahan orangtua mereka terhadap orang-orang yang bekerja di lahan
pertanian orangtua mereka, dan puncaknya pembakaran itu terjadi ketika adiknya
ibu diusir dari rumah. Bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak boleh ada
komunis.” Adiknya ibuku marah, paginya, rumah penggilingan padi itu dibakarnya.
Adik satunya lagi, yang paling kecil, juga diusir dari
rumah orangtuanya ibuku. Sejak kecil, adiknya yang paling kecil itu memang
sudah suka yang aneh-aneh. Ia biasa tidak pulang ke rumah hanya karena pergi
memancing di sebuah tempat selama berhari-hari. Ia juga sering tidur di kuburan
tokoh-tokoh tertentu. Ia pergi begitu saja dari rumah tanpa membawa apa-apa
selain alat memancing ikan, ketika bapaknya ibuku bilang, “Di rumah ini tidak
boleh ada orang yang belajar klenik dan menganut ilmu hitam.”
Ibuku, sekalipun anak pertama, adalah orang yang
terakhir pergi dari rumah orangtuanya. Kadang-kadang ibu bilang kepadaku. “Kamu
seharusnya mengenal kedua pamanmu, mereka berdua menyenangkan sekalipun
kadang-kadang memang agak brengsek.” Di mana mereka berdua sekarang, ibu tidak
pernah tahu dan sepertinya tidak pernah mau tahu.
Ibuku memang agak aneh, tapi baik hati dan
membanggakan. Aku mengalami masa-masa kecil yang menyenangkan dan mendebarkan.
Ibuku rajin shalat dan pergi ke pengajian, bapakku rajin ke gereja, tapi aku
tidak pernah disuruh untuk masuk ke salah satu agama, baik agama ibuku maupun
agama bapakku. Ketika bulan puasa tiba, dan teman-temanku berpuasa, aku tidak
puasa. Mereka mengira aku beragama sama dengan bapakku. Tapi ketika Lebaran
tiba, aku ikut Lebaran, dan jika teman-temanku bertanya, aku menjawab kalau aku
baru saja pindah agama. Kedua orangtuaku hanya tersenyum melihat tingkahku.
Ibuku marah pada sesuatu yang dulu menurutku aneh. Ia
pernah marah ketika aku pulang sekolah dan memamerkan hasil tes bahwa aku
mendapat nilai terbaik. Lalu, ibuku bertanya, berapa nilai teman-temanku? Aku
menjawab dengan nada bangga kalau sebagian besar nilai temanku di bawah lima.
Ibu langsung marah dan berkata, “Lain kali jangan pamerkan kehebatanmu jika
temanmu tidak mendapatkan nilai yang sama baiknya denganmu!” Aku langsung
mengadukan itu ke bapak dan bapak bilang, maksud ibuku lain kali menjadi
tugasku untuk membuat teman-teman sekelasku bisa mengerjakan sepertiku atau
bahkan memberi contekan. Tentu saja aku kaget.
Aku juga pernah dimarahi ibu ketika suatu saat kami
berlibur dan jalan-jalan ke luar kota. Di sebuah trotoar, ada seorang pengemis
dan ibu bilang. “Beri dengan uangmu.” Lalu, ibu melenggang pergi. Aku memeriksa
sakuku dan tidak kutemukan uang receh, lalu aku menyusul ibu dan mengatakan bahwa
aku tidak punya uang receh. Ia langsung menghentikan langkahnya dan bersuara
marah, “Apakah ibu mengajarimu memberi uang hanya dengan recehan?!” Dengan
segera aku balik karena kesal dan memberikan semua uangku pada pengemis itu.
Aku berharap nanti ibu akan bertanya dan marah padaku karena aku memberikan
semua uangku. Dan aku ingin membalas marah padanya, “Lho katanya tidak boleh
uang receh?!” Tapi sayang, ibu tidak pernah menanyakannya.
Pernah sewaktu aku kecil, sepulang sekolah,
teman-teman laki-lakiku sepanjang jalan menggodaku. Mereka bilang, kelak aku
akan masuk neraka. Aku lalu teringat komentar ibuku saat menonton televisi,
“Ah, mereka sok tahu tentang surga dan neraka.” Aku lalu mengutip kalimat
ibuku, “Ah, kamu sok tahu tentang surga dan neraka.” Mereka marah, tas dan
jepit rambutku ditariknya. Aku pulang dan menangis. Sampai di rumah, aku
mengadu sama ibu yang sedang membaca buku. Ibu lalu bertanya, “Kamu merasa
perlu melawan mereka atau tidak?” Aku menjawab perlu. Lalu ibu bilang. “Kamu
berani atau tidak?” Aku menjawab, aku berani, tapi aku kan perempuan dan jumlah
mereka banyak. Ibu menutup buku yang dibacanya. “Lalu, kenapa kalau perempuan?”
Aku bilang, ya aku akan kalah. Ibu bilang, “Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan
kalah jika kamu tidak pernah mencoba melawan mereka.” Aku diam. Lalu, ibu
berkata, “Bagaimana kalau kamu datangi lagi mereka karena mereka banyak, kamu
pakai saja batu atau sapu.” Aku segera bangkit mengambil sapu, di tengah jalan
aku mengumpulkan batu. Dari jauh aku sudah melempari mereka dengan batu dan
ketika dekat aku menggerak-gerakkan sapu untuk memukuli mereka. Mereka lari,
dan tidak pernah berani lagi menggangguku.
Hubunganku dengan ibu dan bapakku tetap hangat
sekalipun mereka berdua telah cerai. Anehnya, ibuku tidak menikah lagi dan
bapakku juga tidak menikah lagi. Dan, aku tidak ambil pusing dengan
sebab-musabab kenapa mereka bisa cerai. Hubungan kami bertiga kurasakan sangat
hangat saat-saat aku hampir putus kuliah dan saat itu sebagaimana banyak
mahasiswa aku terlihat demonstrasi menentang rezim Orde Baru.
Hampir setiap hari, ibuku dan teman-temannya, baik
tetangga kami maupun teman-teman pengajian ibuku, menyuplai kami dengan makanan
bungkus dan air minum. Bahkan, ibu selalu menelepon bapakku untuk ikut membantu
lewat teman-teman sekantornya. Di saat-saat seperti itu, ibu sering berkata,
“Semoga kamu ketemu dengan pamanmu.”
Aku tidak pernah bermasalah dengan masa kecilku di
mana aku dibesarkan oleh orangtua yang berbeda agamanya dan masing-masing
menjalankan keyakinannya. Aku bisa tumbuh dengan keyakinanku sendiri tanpa
pernah dipaksa. Aku juga tidak pernah bermasalah dengan orangtuaku yang
bercerai, hubunganku dengan ibu maupun bapakku tidak bisa dihalang-halangi oleh
perbedaan hubungan mereka sekarang. Aku mempunyai hubungan yang manis dengan
mereka, masa lalu yang memberi lahan bagi rasa rindu, dan masa sekarang yang
bergerak tidak untuk menjauhi perasaan-perasaan masa laluku.
Mereka berdua masih tetap memberi semangat, juga
ketika tahun-tahun kecewa menderaku. Tahun-tahun di mana aku menjadi saksi
ketika banyak aktivis mahasiswa yang dulu heroik kini lembek di tangan-tangan
elit politik untuk mendukung langkah- langkah elit mereka. Kami bertiga juga
melewatkan masa-masa menyenangkan ketika kami berkumpul di saat orang-orang
sibuk melakukan coblosan pemilu. Kami makan bersama, menonton televisi, membaca
koran, bercengkerama, memberi komentar sambil melihat monitor-monitor televisi
yang bergerak menyampaikan angka-angka perolehan suara. Dua kali pemilu kami
lewati dengan hangat tanpa ada keinginan untuk membohongi perasaan kami
masing-masing, perasaan yang tidak kunjung mengerti mengapa banyak orang yang
berbondong-bondong mengantre di kotak-kotak suara, memberikan suara mereka
tanpa jelas lagi di mana arah perubahan. Kami menjadi saksi yang mencoba untuk
tetap hangat menerima kenyataan politik yang sesungguhnya tidak pernah berubah.
Di antara kami, aku dan ibuku, jarang sekali saling
menyimpan rahasia. Terutama aku. Ibu hampir tahu semua kisahku, baik dalam hal
percintaan maupun urusan kantor. Aku tidak butuh bantuan untuk semua hal yang
kulalui, hanya saja bercerita pada ibu adalah sesuatu yang sudah kuanggap
menyelesaikan banyak hal. Namun, sampai sekarang, aku tidak pernah berani
bercerita pada ibu kalau aku pernah menggugurkan bayi dalam kandunganku, aku
takut ibu akan marah. Sekalipun aku tidak yakin kalau ibu akan marah.
Kemarin pagi, aku kaget sekali. Saat aku membuka
jendela, aku mendapati bunga yang ditanam ibu seperti akan mati. Tiba-tiba
rantingnya seperti mengering dan daun-daun serta bunganya rontok berjatuhan di
sekitarnya. Dengan segera aku menelepon ibu. Agak lama telepon tidak diangkat
dan itu semakin membuat hatiku berdebar khawatir. Untunglah setelah beberapa
kali tidak diangkat, kudengar suara ibu menyahut. Dengan segera aku menanyakan
kabar ibuku. Anehnya, ibu menjawab tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa? Lalu,
aku bilang tidak mungkin, bunga yang ditanam ibu seperti sekarat. Ibu tetap
bilang bahwa tidak ada apa-apa. Rasa kesal, marah, kecewa, tiba-tiba memuncak
di diriku. Aku membanting telepon, lalu pergi ke tempatku bekerja.
Di kantor, perasaanku semakin tidak enak. Akhirnya aku
bilang ke atasanku untuk minta izin menengok ibuku dengan alasan ibuku sakit.
Esoknya, dengan pesawat paling pagi, aku berangkat.
Tentu saja ibu kaget melihat kedatanganku. Setelah
kami sarapan berdua, aku mencoba dengan berbagai cara agar ibu mau berterus
terang tentang masalahnya. Tapi, ibu tetap bersikukuh untuk mengatakan bahwa
hidupnya baik-baik saja. Tapi, aku juga ngotot, aku bilang, tidak mungkin,
sebab bunga yang ditanam ibu mengatakan sebaliknya. Dengan tenang ibu menjawab,
“Bunga itu ternyata tidak bisa dibuat patokan keadaanku.”
Aku diam. Dalam hatiku, aku merasa sangat kecewa. Aku
bangkit, lalu berjalan-jalan di dalam rumah dan di sekitar rumah. Segalanya
memang tampak baik-baik saja, ruang tamu, ruang keluarga, kamar-kamar, dapur,
halaman belakang, semua baik-baik saja. Tapi aku kaget ketika melewati tempat
di samping kamar ibu. Aku tidak melihat tanaman bungaku. Dengan segera aku
mendatangi ibu yang sedang membereskan piring-piring di meja makan.
“Bunga yang kutanam di mana, Bu?” Ibu menoleh,
meletakkan piring-piring di atas meja, lalu duduk. “Kan sudah ibu bilang, bunga
itu sudah tidak bisa mengatakan keadaan kita masing-masing. Kamu ingat, kan…
ketika ibu datang pagi-pagi karena melihat bunga yang kamu tanam terlihat mau
mati? Ternyata kamu tidak sedang ada masalah apa-apa. Pulang dari rumahmu, aku
mencabut bunga itu.”
Aku kembali diam. Esok harinya, aku langsung pulang.
Sampai di rumahku, tanpa berpikir panjang, aku mencabut bunga yang ditanam ibu.
Dalam hati aku berkata, setiap orang boleh punya rahasia.
Gadis Kecil dan Perempuan
yang Terluka
Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin
seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai
yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar,
memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu
pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal.
Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata
kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam
ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup
keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun.
Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup
merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman
mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut
banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari
ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu
diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat.
Cicak itu dilindungi
Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi
harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk
dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas
itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul
teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa
menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah
sekolah di sana.
Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar
Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret
langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil
membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke
sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku
yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di
dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat
kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah
yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak
pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika
aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.
Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu,
Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut
kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu
pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya
kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada
wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk
menemukan ketenteraman di sana?
Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah
ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika
sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan
suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia
bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah
membuatku tidak bisa tidur?
Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu,
seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu
Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku
selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh
banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin
agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan
sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi
teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang
berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan
dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak
mengajar di kelasku lagi.
Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan
yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga
berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh
membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah
ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?
Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang
suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis
kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah
bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding
dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku
membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa
Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering
menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR.
Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan
barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih
aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua
suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal
dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga
atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu
kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong.
Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak
pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang
suka membagikan makanan dan mainannya.
Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak
adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman
sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan
banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan
mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan
mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk
Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka
pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka,
aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang,
Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya
gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong.
Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk
itu akan tetap berani datang?
Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta
dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti
Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja?
Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan
dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan
bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti.
Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan
tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu
termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak
itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda?
Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda?
Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah
juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin
kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah.
Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera
menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan
membangunkanku.
Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah
anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap.
Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah
ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu
menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk
marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan.
Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan
orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak
terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah
yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid
sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.
Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas
lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak
Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling
pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan
menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak
menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku
dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu
juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai
hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa
mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada
Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga
dulu sering kumarahi.
Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian
jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila
gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia
menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari
kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.
Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan
hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh
siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan
tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan
ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah
yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang
hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.
Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya
aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di
antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman,
menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari
gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah
Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila
semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang
bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang
tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan
rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di
samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal
kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan
sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika
aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu
tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian
aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan
membuatnya selalu menangis lagi.
Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang
terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku
dari rasa marah kepada Dila.
Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan
rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia
menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang
tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata
Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya
bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok,
tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku
tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi
baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang
tidak jahat.
Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama
ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal
kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang
menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak
lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya
aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah
aku.
Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/
Sumber:
https://cerpenkompas.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar