ANAK
SUMUR
Sekelompok ayam telah meyelesaikan
pekerjaan rutinnya empat jam lalu, induk beserta anak-anaknya berjalan
beriringan bak seorang pangeran dan prajuritnya dalam sebuah perburuan. Mereka
tak henti-hentinya mengorek sampah hasil pertukaran jual beli penduduk pasar
kemarin dengan cakarnya masing-masing. Barangkali sebungkus kacang layu menjadi
sarapan mereka, menjadi rejeki mereka setelah kodratnya untuk menamatkan mimpi-mimpi manusia. Seekor kucing malas
beranjak dari tumpukan sayur busuk dalam keranjang yang reot. Kadal begitu
berhati-hati dalam menyeberang agar terhindar dari injakan kaki-kaki besar
penduduk pasar. Pucuk payung dagangan yang tak megar menjadi tempat mengasyikan bagi sepasang kumbang dalam
persenggamaan mereka.
Kini pagi sudah tak
belia lagi, anak-anak berbaju putih biru berlari-lari tak ingin gerbang sekolah
mereka tertutup lagi. Gadis kecil yang menangis karena tak ingin berangkat
sekolah, lantaran uang saku yang diberikan bernominal kecil baginya. Kepedulian
begitu pelit ketika sang ibu membiarkan
anaknya dan sibuk dengan karung-karung
sayur dagangannya . Ia malah asik tawar-menawar dengan makelar-makelar kota. Begitupun
dengan pedagang-padagang lain di pasar Ngasem pagi ini. Seorang bapak tua berkumis
lebat tengah memburu habis bubur panas yang mencair lebar di dalam pincukan daun pisang dengan sendok yang
terbuat dari daun pisang pula. Di sampingnya tampak anak kecil berjaket merah lengkap
dengan kupluk yang menghangatkan
kepala dari dinginnya sang angin. Tangan kanannya sibuk memegang sebungkus dawet dan mengarahkan ke mulutnya, lalu
tangan yang lain berpegang erat dengan kain yang dipakai oleh kakeknya. Tangan yang belum begitu mahir dalam memegang
membuat cairan dawet yang kental
tercecer kemana-mana, mengotori jaket dan juga celananya.
Aku berlari mengejar
rejeki, menyalip orang-orang di
sekitar dengan mengucap permisi, menuju sumur tua yang berada di pusat pasar Ngasem
ini. Sumur yang begitu berguna bagi penduduk pasar, sebuah benda yang menjadi
pelengkap dalam hiruk-pikuk jual beli. Sebelum tujuh langkah lagi sampai di
lingkaran berair itu, aku dikagetkan dengan gertakan tangan yang mendarat cepat
di pundak kananku. Seorang perempuan separuh baya menunjuk sekarung labu siam
yang bersandar pada dinding pojok kantor pasar.
“Bawakan sekalian nak,
simbok sudah tak kuat lagi”, ucapnya dengan senyumnya yang lebar. Tampak bibir
dan gigi yang berwana merah segar bekas sirih yang dikunyahnya.
“seribu mbok?”.
“Boleh, beserta cuciannya
tapi le”.
“Ya tentu mbok!”,
jawabku singkat meyakinkan.
Mbok Jiah, seorang
nenek tua yang menghabiskan masa hidupnya dengan menjajakan sayur-mayur yang
begitu segar di mata para makelar kota. Dengan tubuh yang mulai mengurus ia
ikut andil dalam melancarkan distribusi keuangan anaknya. Setelah mendengar
perintah dari mbok Jiah, aku pun berbalik arah dan mengambil sekarung Labu siam
yang sepertinya telah lama bersandar di kantor pasar, kemudian kupanggul
dan kubawa ke sumur untuk kubersihkan dari kotoran tanah kebun. Aku
Sadin, seorang penimba air sumur di pasar ini, namun karena tubuhku yang gemuk
berisi, nama asliku mulai menghilang dan telah tergantikan oleh Lemu. Anak
Sumur menjadi panggilan ketigaku. Hal ini disebabkan bukan karena aku bekerja
sebagai penimba sumur. Konon ketika badanku masih begitu mungil dan masih dalam
barutan kain, aku ditemukan oleh seorang lelaki tua yang sedang mencuci kain,
saat adzan subuh belum usai. Tangisanku membuat sosok lelaki tua itu mencari keberadaanku. Katanya aku
ditemukan dalam sebuah ember besar dengan balutan selimut dan juga kain-kain
yang sudah setengah basah. Dengan rasa iba juga takut tubuhku di gendong olehnya
dan dirawat sampai sekarang . Pak Ngardi, seorang penjahit pakaian yang
sekaligus menjadi pelindung dalam hidupku yang menemukanku. Sampai sekarang aku
memanggilnya bapak. Namun pernyataan dari penduduk sekitar dibantah oleh bapak.
Kata bapak ibuku meninggal ketika aku dilahirkan. Kandungan ibu tak normal,
posisi yang sungsang membuat ibu
susah mengeluarkanku dari rahimnya. Jerit tangis pertamaku ditemani oleh desah
nafas terakhir ibuku. Itulah cerita bapak yang didongengkan kepadaku saat kali
pertama aku menanyakan hal itu, ketika sang mata dan juga tubuhku bersatu
menuju sebuah tujuan, mimpi. Aku belum bisa menentukan mana yang benar tentang
asalku sebenarnya sampai sekarang, sampai umurku yang setahun lagi menjadi
kepala dua. Aku tak berani menanyakan lagi kepada bapak setelah tiga tahun lalu
aku menanyakan hal itu. Jika memang benar kata orang-orang penduduk, aku tetap
memilih tinggal bersama bapak, sebagai peneman dalam kesendiriannya. Jika
dongengan bapak yang benar, aku berharap ibu berada pada tempat yang baik di
sana.
Sudah sepuluh tahun
lamanya aku membantu orang-orang penduduk pasar ini . Aku membantu mengambilkan air yang
berada jauh di dalam sumur untuk orang-orang yang memerlukan. Dari sinar
mentari yang belum memancar begitu panas sampai sang mega yang bercahaya, tanganku
berjasa bagi para pedagang sayur yang ingin mencuci dagangannya, pemilik warung
makan yang mengambil air untuk keperluan
memasak dan untuk membersihkan peralatan makan, sampai pada penduduk yang
hendak mandi ataupun berhajat. Aku di sini bekerja hanya untuk mengambilkan
air, kecuali dengan mbok Jiah, aku membantu mencucikan barang-barang yang
dibawanya ke sumur. Aku menerima pekerjaan ini ketika pengurus kantor pasar
sering melihatku membantu penduduk
menyiapkan air untuk segala keperluan mereka. Hingga akhirnya pengurus
kantor mengumumkan bahwa aku menjadi bagian dari penduduk pasar. Pengurus
berharap agar para penduduk memberi uang kepadaku setelah aku menimba air untuk
mereka. Untuk timbal balik kuserahkan semuanya kepada mereka yang memberiku kesibukan.
Sejumlah uang dengan nominal yang tak seberapa sampai dengan nominal yang
membuatku tersenyum lebar menerimanya. Selain uang terkadang mereka memberiku
makanan atau berbagai macam es kepadaku, bahkan pernah ada yang membayarku
dengan gulungan benang karena tahu bahwa bapakku adalah seorang penjahit. Mungkin pekerjaan ini adalah pengganti dari
kesibukan sekolahku yang telah kutamatkan sendiri. Dulu ketika aku duduk di
bangku kelas yang paling rendah dari sekolah dasar, aku mengalami
ketertinggalan dengan teman-teman seumuranku. Aku tak naik kelas selama dua
kali berturut-turut, sehingga teman-temanku yang sudah duduk di bangku kelas
tiga, aku masih berjuang keras dengan teman-teman yang umur mereka dua tahun
dibawahku. Perjuanganku dalam memperoleh ijasah kuselesaikan sendiri pada saat
minggu kedua semester pertama kelas satu. Aku memutuskan untuk berhenti
sekolah. Buku-buku LKS yang telah dibeli oleh bapak menjadi sebuah modal
pendidikan yang mati sia-sia. Keegoisanku
dalam hal ini melahirkan amarah besar dari bapak. Aku benar-benar dihajar
habis-habisan setelah bapak tahu kalau aku mengundurkan diri dari sekolah. Kenekatanku pagi itu juga membuat aku kalah
dengan bapak dalam hal aksara, aku tak bisa membaca dan menulis sampai
sekarang. Namun untuk masalah uang, aku menjadi jagonya daripada bapak.
Orang-orang pasar tak bisa mengakaliku atas kebodohanku.
Pagi ini pasar begitu
ramai, tak seperti hari-hari sebelumnya, mungkin tradisi nyadran esok hari yang membuat pasar sayur ini tak lengang oleh
penduduk. Namun berbeda dengan sumber rejekiku, disana hanya ada seorang
perempuan yang sedang sibuk membenahi ember timbaan bojot yang seharusnya telah diganti.
“Assalamuallaikum mbok,
bisa kubantu?”.
“Waallaikumsallam, lah
le lagi kelihatan, seko ngendi wae?”,
tanya mbok Ning dengan lirih. “Kesiangan mbok, ngapunten”.
“Tidurmu pukul berapa?”.
” Emm ada masalah mbok
di rumah, eh salah. Biasa anak muda mbok, begadang”, jawabku lagi yang kali ini
sedikit terputus-putus.
”Mana mbok tak bantu
menimba!”lanjutku, agar pertanyaan mbok Ning tak sampai ke mana-mana.
“Hla ember bodol koyo ngene le,
mbok ya diganti. Uwis gak usah, lagian pesanan mbok Jiah ya belum mbok kerjakan to?, aku nimba dhewe. Ini
embernya, ambilkan dulu air untuk karungmu itu”, pinta mbok Ning sembari
menyodorkan ember timbaan kepadaku.
“Inggih bu”.
“ Tadi pagi banyak
sekali penduduk yang mencarimu, karena kamu yang belum datang, ya akhirnya
mereka nimba sendiri-sendiri. Lembaran seribuan pun harusnya sudah menumpuk
rapi di sakumu.” Kata mbok Ning lagi sembari menunggu giliran menimba.
Mbok Ning adalah
pelanggan terbaikku, ia sering memberiku upah lebih dibanding pelangganku yang
lain, selain itu ia kadang juga memberiku makan siang jika nasi dagangannya
sisa. Pernah suatu hari ia menjahitkan bajunya yang robek ke bapak. Ketika itu
aku dan bapak sedang kesulitan mencari pengganti hutang , sedikit sekali
penduduk sekitar yang menjahitkan kain ke bapak. Berkat upah dari mbok Ning
setelah bajunya kembali bagus, hutang yang telah dua bulan nunggak akhirnya terlunasi. Dua pekan setelah itu, aku mendengar
cerita dari temanku yang merupakan tetangga dari mbok Ning, bahwa kain yang
dijahitkan ke bapak sengaja dirobek sendiri oleh mbok Ning. Setelah kuminta
kejelasannya mengenai hal itu, mbok Ning hanya tersenyum membayar pertanyaanku.
***
Pasar Ngasem kini telah
menua, burung-burung gereja saling berkejaran menghiasi warung-warung milik
penduduk pasar. Kucing yang tadinya begitu malas beranjak kini sudah
mengorek-ngorek tanah yang tak padat, pertanda bahwa ia sedang mencari tempat
berak. Penjual bubur yang tadinya tak kelihatan karena tertutup dari banyaknya
pembeli, kini hanya ada ia sendiri, tak ada satu orang pun mengahadapnya.
Mentari sedang memiliki semangat yang tinggi untuk memancarkan sinarnya.
Suasana pasar sudah semakin sepi, karung-karung sayur telah berlayar keluar
pulau jawa ditemani oleh para makelar-makelar kota sehingga tanah pasar pun
kelihatan begitu lapang. Hanya ada sedikit aktivitas jual beli dan itu hanya
sesama penduduk pasar. Pukul dua siang dengan suasana yang seperti ini biasanya
tanganku mulai bisa diistirahatkan, namun aku tetap terjaga menunggu
pelanggan-pelangganku yang memang biasanya memberiku upah pada sore hari. Sembari
menunggu, kesukaanku berkaca pada air yang berada jauh di dalam sumur tak
terlupakan olehku. Atau terkadang aku duduk di atas bangunan semen yang
melingkar, yang merupakan dinding sumur paling atas sebagai pelindung
orang-orang yang ingin menimba, agar nantinya tak terjatuh ke dalam sumur. Ketika
wajah ini begitu nyata terlihat dengan bantuan genangan air yang begitu jernih,
aku teringat akan kejadian malam tadi, kejadian yang membuatku kesiangan dan
membuat rejekiku sedikit berkurang dari biasanya karena keterlambatanku.
Wajahku seolah-olah berubah menjadi sosok Nyah Bawang, seorang penjual barang
bekas.
***
Malam ini udara begitu
dingin, namun hal itu tak menyurutkan semangat segerombolan kelelawar dalam
sebuah petualangan. Suara anak-anak mengaji di surau kampung telah berlalu
setengah jam setelah bakda isya. Sekelompok pemuda terjaga di area gardu dengan
berhias senapan gentel dipundaknya, berharap malam ini banyak tikus-tikus yang
berkeliaran di selokan, kemudian mereka bisa menembaknya dengan puas. Sehingga
rumah-rumah penduduk terbebas dari kotornya hewan itu. Dalam gardu tampak
sekelompok laki-laki yang bertugas menjaga kampung, dua diantaranya sedang
bersaing sengit pada papan catur, tiga lainnya tengah bersiap-siap berkeliling
menyusuri pinggiran kampung.
Malam ini bukan
giliranku berjaga, di bawah lampu yang sepertinya dua hari lagi bakalan mati
aku membantu melipat baju-baju hasil jahitan bapak. Suara nyamuk dan mesin
jahit bapak menyelamatkanku dari kesepian. Suara ketukan pintu menambah
keramaian di rumah ini.
“Le sepertinya ada
tamu, bukakan pintu gih nak!”.
“Inggih pak”, jawabku sembari berjalan membukakan pintu.
Aku tersentak ketika
tahu bahwa tamu malam ini adalah Nyah Bawang beserta pemuda pesuruhnya.
“Mana bapakmu?”,tanya nyah
Bawang ketus.
“Di dalam Nyah, silakan
masuk dulu, biar kubuatkan teh. Udara di luar dingin Nyah, tak baik untuk
kesehatan”.
“Halah, anak kecil tahu
apa! Aku hanya ingin ketemu bapakmu, di sini saja sudah cukup. Lagian masih
enak apa tehmu itu?”, jawabnya kaku dan merendahkan.
“Baik Nyah akan
kupanggilkan” sambungku, kemudian aku berlalu menuju tempat bapak menjahit. Setelah
kupanggilkan bapak, aku kembali menuju teras rumah.
“Sudah kupanggilakan
Nyah, tunggu sebentar”, kataku sembari berharap dalam hati agar malam ini tak
ada masalah antara bapak dan nyah Bawang.
“Ngardi!, teriak keras
Nyah Bawang kepada bapak, mengacuhkan pernyataanku.
“Inggih Nyah,
bagaimana? Tanya bapak dengan langkah pelan menuju teras.
“Bagaimana-bagaimana,
jangan pura-pura lupa. Hutangmu empat bulan lalu belum kau lunasi, katamu
seminggu lagi kau mau membayar lunas mesin jahitku itu. Jika memang seminggu
lagi kau tak sanggup melunasi, jangan harap kau bisa menjahit lagi. Aku ke sini
hanya mengingatkan, jangan lupa dua ratus ribu!”, kata nyah Bawang panjang
lebar dengan nada galak bak tubuh sepur.
Kemudian ia beserta
pesuruhnya berlalu meninggalkan rumah seakan tak perlu mendengar jawaban dari
bapak. Aku terdiam, bola mataku tak berani mengarah pada bapak. Kupandang alas
teras, tanah dengan garis-garis retakan yang mulai melebar. Disana tampak kaki
bapak yang mulai keriput dimakan waktu, beralaskan sendal jepit dengan merk
kuno jaman dulu. Pada bagian kanan, sendal itu telah bertali rafiah biru menyambungkan karet-karet
sendal yang telah putus akibat liarnya sang kaki dalam berjalan. Tak berapa
lama, kaki bapak berlalu menuju rumah yang lebih hangat, melanjutkan sebuah
baju yang belum usai. Kemudian kuberjalan masuk mengikutinya, melanjutkan
pekerjaanku yang belum selesai juga. Kali ini begitu sunyi, tak lahir sepatah
kata pun dari mulut-mulut kami. Dari mulut-mulut yang rindu akan sebungkus
nasi.
***
Aku terus berkaca pada
air jernih sumur pasar, wajah nyah Bawang pun berganti menjadi wajah sendu yang
terlukiskan pada diriku. Selain wajahku, dari kejauhan genangan air, tampak
kupu-kupu kuning yang terbang menggangguku. Keheningan siang itu tamat begitu
tergesa ketika seorang perempuan putih cantik mengagetkanku.
“Kupu-kupu itu butuh
teman, kenapa kau melamun saja?”.
“Emm, tidak-tidak,
tidak melamun, mungkin kupu-kupu itu hanya ingin menggangguku saja,” sergahku
cepat sembari membalikkan tubuhku dari kaca air.
“Eh baru kelihatan mbak
cantik, ada yang bisa kubantu?”.
“Emm iya, kali ini aku
hanya kangen sama sumur, sudah sepekan aku tak ke sini.”, jawabnya lembut.
”Menjadi sepi jika
hanya ada kamu dan kupu-kupu kuning di sumur ini”.
Dia tersenyum. Adalah
Maria, gadis berdarah cina anak seorang makelar kota. Sudah lebih setahun aku
mengenalnya, aku begitu dekat dengannya. Dia begitu baik padaku juga pada
bapak. Kali pertama aku melihatnya ketika dia bersama bapaknya yang saat itu
memesan sekarung lobak kepada penduduk pasar. Bapaknya menyuruhku untuk
membawakan sekarung lobak yang telah dibeli ke truknya. Dia memandangku lama,
lalu tersenyum pelit padaku. Ketika itu ia masih mengenakan seragam putih biru
lengkap dengan dasi almamater. Setelah pertemuan itu ia sering main ke pasar
Ngasem bersama bapaknya, hingga aku begitu akrab padanya. Sampai pada akhirnya
ia berani ke pasar seorang diri. Entah sekadar bermain, mencari momen untuk
menuruti hasrat fotografinya atau sampai pada segala apapun yang berhubungan
dengan sumur dan aku bisa menimba air untuknya. Sehingga ia memiliki alasan
untuk memberi sedikit uang untuk aku dan bapak. Dia adalah pelanggan terbaikku
setelah mbok Ning. Aku memanggilnya mbak Cantik.
”Oh iya, aku punya
sesuatu untukmu!”, dia mengagetkanku
untuk kedua kalinya. Ia mengeluarkan sebuah kain putih yang terlipat rapi.
“Tolong berikan kain
ini ke bapak Ngardi ya, bilang saja, Maria ingin dibuatkan baju olehnya. Untuk
masalah timbal balik, tenang saja, jika seminggu lagi bajuku jadi pasti upah
bakalan lebih dari biasanya, yang bagus ya. Aku sudah minta izin kepada orang
tuaku, dan mereka menyanggupi.” perintahnya begitu beruntun dengan nada lembut.
“Emm, iya. Lalu kamu
mau ke mana memesan baju dengan segera?”
”Aku ingin pulang, hari
sudah senja”. Kemudian ia berlari meninggalkan sumur, meninggalkan pasar Ngasem
yang sudah tak kenal keramaian lagi di sore ini.
***
Langit begitu gelap,
tak ada bintang mengembara di malam ini, atau mungkin aku yang tak melihatnya
karena kabut yang begitu menghitam. Aku berjalan dengan tergesa, berharap agar
hujan petang ini tak memburuku. Sebentar lagi kakiku akan menginjakkan teras
yang tak berubin, batinku ingin cepat sampai ke rumah bapak. Aku tersenyum
lebar, mungkin setelah ini pikiran bapak tak lagi bergelayutan pada hutang
sebuah mesin yang penuh dengan gulungan-gulungan benang jahit itu. Apa yang
unik dari hukum alam seperti ini? Di saat sebuah masalah berjejal sadis
memenuhi otak ini, bahkan sampai meluber memenuhi rumah bapak. Tiba-tiba saja
pemusnah masalah itu muncul tanpa adanya harapan, mencoba mengerdilkan, bahkan
sampai membuat agar tak terlintas lagi dalam bayangan. Maria, apakah suatu
kiriman dari Tuhan?.
Aku bersyukur.
***
Apakah
sebuah permintaan adalah pertanda?
Semarang, 15 Desember
2001
Ditemukan seorang gadis
belia (16 Tahun) tewas tenggelam di dasar sumur sebuah pasar, Kemarin(14
Desember 2001) dengan mengenakan pakaian yang serba putih. Menurut Surti salah
seorang penduduk pasar, gadis tersebut terperosok pada malam harinya. Ia begitu
terkejut ketika melihat sepasang sepatu putih bersih mengapung di permuakaan
air sumur. Karena merasa ada sesuatu yang ganjil di dalam sumur Surti pun
meminta pertolongan kepada penduduk pasar.
Hari ini mayat gadis
tersebut sudah dibawa ke rumah duka dan kabarnya akan dimakamkan sore nanti
menunggu bapak korban kembali dari Luar Jawa. Penyebab kejadian tersebut belum
bisa dipastikan dan masih dalam penanganan polisi ( kbl.)
***
Aku diam. Aku menatap
genangan air itu, tak berkedip, lalu air mata ini begitu bernafsu untuk keluar,
terjun bebas dan bercampur dengan air yang lain dalam permukaan. Kali ini aku
sendiri, tak ada serangga sebangsa kupu-kupu menggangguku. Tanganku berdiri
tegak bertumpu pada pelindung sumur. Aku menunduk sampai rembulan tak dapat
melihat raut wajahku. Rona permukaan sumur begitu berbeda dari yang selama ini
sering kulihat. Suasana pasar begitu sepi, namun di sini, di otaku begitu
ramai. Pertanyaan tentang kematian berjejal sesak di pikiranku. Apakah aku,
bapak, mesin jahit, baju putih, sumur adalah pengantar Maria? Andai kata iya,
mungkin dulu aku bisa menolak tawarannya.
Siapakah yang akan
menjadi pengganti pelanggan terbaik keduaku?
Lalu kapan sumber air
ini akan menyibukanku kembali?
Terinspirasi dari drama
“TUK”( Mata Air ).
0 komentar:
Posting Komentar