Recent Posts

Senin, 12 Januari 2015

Cerita Pendek Andri Romdhoni



ANAK SUMUR

Sekelompok ayam telah meyelesaikan pekerjaan rutinnya empat jam lalu, induk beserta anak-anaknya berjalan beriringan bak seorang pangeran dan prajuritnya dalam sebuah perburuan. Mereka tak henti-hentinya mengorek sampah hasil pertukaran jual beli penduduk pasar kemarin dengan cakarnya masing-masing. Barangkali sebungkus kacang layu menjadi sarapan mereka, menjadi rejeki mereka setelah kodratnya untuk menamatkan  mimpi-mimpi manusia. Seekor kucing malas beranjak dari tumpukan sayur busuk dalam keranjang yang reot. Kadal begitu berhati-hati dalam menyeberang agar terhindar dari injakan kaki-kaki besar penduduk pasar. Pucuk payung dagangan yang tak megar menjadi tempat mengasyikan bagi sepasang kumbang dalam persenggamaan mereka.

Kini pagi sudah tak belia lagi, anak-anak berbaju putih biru berlari-lari tak ingin gerbang sekolah mereka tertutup lagi. Gadis kecil yang menangis karena tak ingin berangkat sekolah, lantaran uang saku yang diberikan bernominal kecil baginya. Kepedulian begitu pelit  ketika sang ibu membiarkan anaknya  dan sibuk dengan karung-karung sayur dagangannya . Ia malah asik tawar-menawar dengan makelar-makelar kota. Begitupun dengan pedagang-padagang lain di pasar Ngasem pagi ini. Seorang bapak tua berkumis lebat tengah memburu habis bubur panas yang mencair lebar di dalam pincukan daun pisang dengan sendok yang terbuat dari daun pisang pula. Di sampingnya tampak anak kecil berjaket merah lengkap dengan kupluk yang menghangatkan kepala dari dinginnya sang angin. Tangan kanannya sibuk memegang sebungkus dawet dan mengarahkan ke mulutnya, lalu tangan yang lain berpegang erat dengan kain yang dipakai oleh kakeknya.  Tangan yang belum begitu mahir dalam memegang membuat cairan dawet yang kental tercecer kemana-mana, mengotori jaket dan juga celananya.
Aku berlari mengejar rejeki, menyalip orang-orang di sekitar dengan mengucap permisi, menuju sumur tua yang berada di pusat pasar Ngasem ini. Sumur yang begitu berguna bagi penduduk pasar, sebuah benda yang menjadi pelengkap dalam hiruk-pikuk jual beli. Sebelum tujuh langkah lagi sampai di lingkaran berair itu, aku dikagetkan dengan gertakan tangan yang mendarat cepat di pundak kananku. Seorang perempuan separuh baya menunjuk sekarung labu siam yang bersandar pada dinding pojok kantor pasar.
“Bawakan sekalian nak, simbok sudah tak kuat lagi”, ucapnya dengan senyumnya yang lebar. Tampak bibir dan gigi yang berwana merah segar bekas sirih yang dikunyahnya.
“seribu mbok?”.
“Boleh, beserta cuciannya tapi le”.
“Ya tentu mbok!”, jawabku singkat meyakinkan.
Mbok Jiah, seorang nenek tua yang menghabiskan masa hidupnya dengan menjajakan sayur-mayur yang begitu segar di mata para makelar kota. Dengan tubuh yang mulai mengurus ia ikut andil dalam melancarkan distribusi keuangan anaknya. Setelah mendengar perintah dari mbok Jiah, aku pun berbalik arah dan mengambil sekarung Labu siam yang sepertinya telah lama bersandar di kantor pasar, kemudian kupanggul  dan kubawa ke sumur untuk kubersihkan dari kotoran tanah kebun. Aku Sadin, seorang penimba air sumur di pasar ini, namun karena tubuhku yang gemuk berisi, nama asliku mulai menghilang dan telah tergantikan oleh Lemu. Anak Sumur menjadi panggilan ketigaku. Hal ini disebabkan bukan karena aku bekerja sebagai penimba sumur. Konon ketika badanku masih begitu mungil dan masih dalam barutan kain, aku ditemukan oleh seorang lelaki tua yang sedang mencuci kain, saat adzan subuh belum usai. Tangisanku membuat sosok lelaki  tua itu mencari keberadaanku. Katanya aku ditemukan dalam sebuah ember besar dengan balutan selimut dan juga kain-kain yang sudah setengah basah. Dengan rasa iba juga takut tubuhku di gendong olehnya dan dirawat sampai sekarang . Pak Ngardi, seorang penjahit pakaian yang sekaligus menjadi pelindung dalam hidupku yang menemukanku. Sampai sekarang aku memanggilnya bapak. Namun pernyataan dari penduduk sekitar dibantah oleh bapak. Kata bapak ibuku meninggal ketika aku dilahirkan. Kandungan ibu tak normal, posisi yang sungsang membuat ibu susah mengeluarkanku dari rahimnya. Jerit tangis pertamaku ditemani oleh desah nafas terakhir ibuku. Itulah cerita bapak yang didongengkan kepadaku saat kali pertama aku menanyakan hal itu, ketika sang mata dan juga tubuhku bersatu menuju sebuah tujuan, mimpi. Aku belum bisa menentukan mana yang benar tentang asalku sebenarnya sampai sekarang, sampai umurku yang setahun lagi menjadi kepala dua. Aku tak berani menanyakan lagi kepada bapak setelah tiga tahun lalu aku menanyakan hal itu. Jika memang benar kata orang-orang penduduk, aku tetap memilih tinggal bersama bapak, sebagai peneman dalam kesendiriannya. Jika dongengan bapak yang benar, aku berharap ibu berada pada tempat yang baik di sana.
Sudah sepuluh tahun lamanya aku membantu orang-orang penduduk pasar  ini . Aku membantu mengambilkan air yang berada jauh di dalam sumur untuk orang-orang yang memerlukan. Dari sinar mentari yang belum memancar begitu panas sampai sang mega yang bercahaya, tanganku berjasa bagi para pedagang sayur yang ingin mencuci dagangannya, pemilik warung makan yang  mengambil air untuk keperluan memasak dan untuk membersihkan peralatan makan, sampai pada penduduk yang hendak mandi ataupun berhajat. Aku di sini bekerja hanya untuk mengambilkan air, kecuali dengan mbok Jiah, aku membantu mencucikan barang-barang yang dibawanya ke sumur. Aku menerima pekerjaan ini ketika pengurus kantor pasar sering melihatku membantu penduduk  menyiapkan air untuk segala keperluan mereka. Hingga akhirnya pengurus kantor mengumumkan bahwa aku menjadi bagian dari penduduk pasar. Pengurus berharap agar para penduduk memberi uang kepadaku setelah aku menimba air untuk mereka. Untuk timbal balik kuserahkan semuanya kepada mereka yang memberiku kesibukan. Sejumlah uang dengan nominal yang tak seberapa sampai dengan nominal yang membuatku tersenyum lebar menerimanya. Selain uang terkadang mereka memberiku makanan atau berbagai macam es kepadaku, bahkan pernah ada yang membayarku dengan gulungan benang karena tahu bahwa bapakku adalah seorang penjahit.  Mungkin pekerjaan ini adalah pengganti dari kesibukan sekolahku yang telah kutamatkan sendiri. Dulu ketika aku duduk di bangku kelas yang paling rendah dari sekolah dasar, aku mengalami ketertinggalan dengan teman-teman seumuranku. Aku tak naik kelas selama dua kali berturut-turut, sehingga teman-temanku yang sudah duduk di bangku kelas tiga, aku masih berjuang keras dengan teman-teman yang umur mereka dua tahun dibawahku. Perjuanganku dalam memperoleh ijasah kuselesaikan sendiri pada saat minggu kedua semester pertama kelas satu. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Buku-buku LKS yang telah dibeli oleh bapak menjadi sebuah modal pendidikan  yang mati sia-sia. Keegoisanku dalam hal ini melahirkan amarah besar dari bapak. Aku benar-benar dihajar habis-habisan setelah bapak tahu kalau aku mengundurkan diri dari sekolah.  Kenekatanku pagi itu juga membuat aku kalah dengan bapak dalam hal aksara, aku tak bisa membaca dan menulis sampai sekarang. Namun untuk masalah uang, aku menjadi jagonya daripada bapak. Orang-orang pasar tak bisa mengakaliku atas kebodohanku.
Pagi ini pasar begitu ramai, tak seperti hari-hari sebelumnya, mungkin tradisi nyadran esok hari yang membuat pasar sayur ini tak lengang oleh penduduk. Namun berbeda dengan sumber rejekiku, disana hanya ada seorang perempuan yang sedang sibuk membenahi ember timbaan bojot yang seharusnya telah diganti.
“Assalamuallaikum mbok, bisa kubantu?”.
“Waallaikumsallam, lah le lagi kelihatan, seko ngendi wae?”, tanya mbok Ning dengan lirih. “Kesiangan mbok, ngapunten”.
“Tidurmu pukul berapa?”.
” Emm ada masalah mbok di rumah, eh salah. Biasa anak muda mbok, begadang”, jawabku lagi yang kali ini sedikit terputus-putus.
”Mana mbok tak bantu menimba!”lanjutku, agar pertanyaan mbok Ning tak sampai ke mana-mana.
Hla ember bodol koyo ngene le, mbok ya diganti. Uwis gak usah, lagian pesanan mbok Jiah ya belum mbok kerjakan to?, aku nimba dhewe. Ini embernya, ambilkan dulu air untuk karungmu itu”, pinta mbok Ning sembari menyodorkan ember timbaan kepadaku.
“Inggih bu”.
“ Tadi pagi banyak sekali penduduk yang mencarimu, karena kamu yang belum datang, ya akhirnya mereka nimba sendiri-sendiri. Lembaran seribuan pun harusnya sudah menumpuk rapi di sakumu.” Kata mbok Ning lagi sembari menunggu giliran menimba.
Mbok Ning adalah pelanggan terbaikku, ia sering memberiku upah lebih dibanding pelangganku yang lain, selain itu ia kadang juga memberiku makan siang jika nasi dagangannya sisa. Pernah suatu hari ia menjahitkan bajunya yang robek ke bapak. Ketika itu aku dan bapak sedang kesulitan mencari pengganti hutang , sedikit sekali penduduk sekitar yang menjahitkan kain ke bapak. Berkat upah dari mbok Ning setelah bajunya kembali bagus, hutang yang telah dua bulan nunggak akhirnya terlunasi. Dua pekan setelah itu, aku mendengar cerita dari temanku yang merupakan tetangga dari mbok Ning, bahwa kain yang dijahitkan ke bapak sengaja dirobek sendiri oleh mbok Ning. Setelah kuminta kejelasannya mengenai hal itu, mbok Ning hanya tersenyum membayar pertanyaanku.
***
Pasar Ngasem kini telah menua, burung-burung gereja saling berkejaran menghiasi warung-warung milik penduduk pasar. Kucing yang tadinya begitu malas beranjak kini sudah mengorek-ngorek tanah yang tak padat, pertanda bahwa ia sedang mencari tempat berak. Penjual bubur yang tadinya tak kelihatan karena tertutup dari banyaknya pembeli, kini hanya ada ia sendiri, tak ada satu orang pun mengahadapnya. Mentari sedang memiliki semangat yang tinggi untuk memancarkan sinarnya. Suasana pasar sudah semakin sepi, karung-karung sayur telah berlayar keluar pulau jawa ditemani oleh para makelar-makelar kota sehingga tanah pasar pun kelihatan begitu lapang. Hanya ada sedikit aktivitas jual beli dan itu hanya sesama penduduk pasar. Pukul dua siang dengan suasana yang seperti ini biasanya tanganku mulai bisa diistirahatkan, namun aku tetap terjaga menunggu pelanggan-pelangganku yang memang biasanya memberiku upah pada sore hari. Sembari menunggu, kesukaanku berkaca pada air yang berada jauh di dalam sumur tak terlupakan olehku. Atau terkadang aku duduk di atas bangunan semen yang melingkar, yang merupakan dinding sumur paling atas sebagai pelindung orang-orang yang ingin menimba, agar nantinya tak terjatuh ke dalam sumur. Ketika wajah ini begitu nyata terlihat dengan bantuan genangan air yang begitu jernih, aku teringat akan kejadian malam tadi, kejadian yang membuatku kesiangan dan membuat rejekiku sedikit berkurang dari biasanya karena keterlambatanku. Wajahku seolah-olah berubah menjadi sosok Nyah Bawang, seorang penjual barang bekas.
***
Malam ini udara begitu dingin, namun hal itu tak menyurutkan semangat segerombolan kelelawar dalam sebuah petualangan. Suara anak-anak mengaji di surau kampung telah berlalu setengah jam setelah bakda isya. Sekelompok pemuda terjaga di area gardu dengan berhias senapan gentel dipundaknya, berharap malam ini banyak tikus-tikus yang berkeliaran di selokan, kemudian mereka bisa menembaknya dengan puas. Sehingga rumah-rumah penduduk terbebas dari kotornya hewan itu. Dalam gardu tampak sekelompok laki-laki yang bertugas menjaga kampung, dua diantaranya sedang bersaing sengit pada papan catur, tiga lainnya tengah bersiap-siap berkeliling menyusuri pinggiran kampung.
Malam ini bukan giliranku berjaga, di bawah lampu yang sepertinya dua hari lagi bakalan mati aku membantu melipat baju-baju hasil jahitan bapak. Suara nyamuk dan mesin jahit bapak menyelamatkanku dari kesepian. Suara ketukan pintu menambah keramaian di rumah ini.
“Le sepertinya ada tamu, bukakan pintu gih nak!”.
Inggih pak”, jawabku sembari berjalan membukakan pintu.
Aku tersentak ketika tahu bahwa tamu malam ini adalah Nyah Bawang beserta pemuda pesuruhnya.
“Mana bapakmu?”,tanya nyah Bawang ketus.
“Di dalam Nyah, silakan masuk dulu, biar kubuatkan teh. Udara di luar dingin Nyah, tak baik untuk kesehatan”.
“Halah, anak kecil tahu apa! Aku hanya ingin ketemu bapakmu, di sini saja sudah cukup. Lagian masih enak apa tehmu itu?”, jawabnya kaku dan merendahkan.
“Baik Nyah akan kupanggilkan” sambungku, kemudian aku berlalu menuju tempat bapak menjahit. Setelah kupanggilkan bapak, aku kembali menuju teras rumah.
“Sudah kupanggilakan Nyah, tunggu sebentar”, kataku sembari berharap dalam hati agar malam ini tak ada masalah antara bapak dan nyah Bawang.
“Ngardi!, teriak keras Nyah Bawang kepada bapak, mengacuhkan pernyataanku.
“Inggih Nyah, bagaimana? Tanya bapak dengan langkah pelan menuju teras.
“Bagaimana-bagaimana, jangan pura-pura lupa. Hutangmu empat bulan lalu belum kau lunasi, katamu seminggu lagi kau mau membayar lunas mesin jahitku itu. Jika memang seminggu lagi kau tak sanggup melunasi, jangan harap kau bisa menjahit lagi. Aku ke sini hanya mengingatkan, jangan lupa dua ratus ribu!”, kata nyah Bawang panjang lebar dengan nada galak bak tubuh sepur.
Kemudian ia beserta pesuruhnya berlalu meninggalkan rumah seakan tak perlu mendengar jawaban dari bapak. Aku terdiam, bola mataku tak berani mengarah pada bapak. Kupandang alas teras, tanah dengan garis-garis retakan yang mulai melebar. Disana tampak kaki bapak yang mulai keriput dimakan waktu, beralaskan sendal jepit dengan merk kuno jaman dulu. Pada bagian kanan, sendal itu telah bertali rafiah biru menyambungkan karet-karet sendal yang telah putus akibat liarnya sang kaki dalam berjalan. Tak berapa lama, kaki bapak berlalu menuju rumah yang lebih hangat, melanjutkan sebuah baju yang belum usai. Kemudian kuberjalan masuk mengikutinya, melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai juga. Kali ini begitu sunyi, tak lahir sepatah kata pun dari mulut-mulut kami. Dari mulut-mulut yang rindu akan sebungkus nasi.
***
Aku terus berkaca pada air jernih sumur pasar, wajah nyah Bawang pun berganti menjadi wajah sendu yang terlukiskan pada diriku. Selain wajahku, dari kejauhan genangan air, tampak kupu-kupu kuning yang terbang menggangguku. Keheningan siang itu tamat begitu tergesa ketika seorang perempuan putih cantik mengagetkanku.
“Kupu-kupu itu butuh teman, kenapa kau melamun saja?”.
“Emm, tidak-tidak, tidak melamun, mungkin kupu-kupu itu hanya ingin menggangguku saja,” sergahku cepat sembari membalikkan tubuhku dari kaca air.
“Eh baru kelihatan mbak cantik, ada yang bisa kubantu?”.
“Emm iya, kali ini aku hanya kangen sama sumur, sudah sepekan aku tak ke sini.”, jawabnya lembut.
”Menjadi sepi jika hanya ada kamu dan kupu-kupu kuning di sumur ini”.
Dia tersenyum. Adalah Maria, gadis berdarah cina anak seorang makelar kota. Sudah lebih setahun aku mengenalnya, aku begitu dekat dengannya. Dia begitu baik padaku juga pada bapak. Kali pertama aku melihatnya ketika dia bersama bapaknya yang saat itu memesan sekarung lobak kepada penduduk pasar. Bapaknya menyuruhku untuk membawakan sekarung lobak yang telah dibeli ke truknya. Dia memandangku lama, lalu tersenyum pelit padaku. Ketika itu ia masih mengenakan seragam putih biru lengkap dengan dasi almamater. Setelah pertemuan itu ia sering main ke pasar Ngasem bersama bapaknya, hingga aku begitu akrab padanya. Sampai pada akhirnya ia berani ke pasar seorang diri. Entah sekadar bermain, mencari momen untuk menuruti hasrat fotografinya atau sampai pada segala apapun yang berhubungan dengan sumur dan aku bisa menimba air untuknya. Sehingga ia memiliki alasan untuk memberi sedikit uang untuk aku dan bapak. Dia adalah pelanggan terbaikku setelah mbok Ning. Aku memanggilnya mbak Cantik.
”Oh iya, aku punya sesuatu untukmu!”, dia  mengagetkanku untuk kedua kalinya. Ia mengeluarkan sebuah kain putih yang terlipat rapi.
“Tolong berikan kain ini ke bapak Ngardi ya, bilang saja, Maria ingin dibuatkan baju olehnya. Untuk masalah timbal balik, tenang saja, jika seminggu lagi bajuku jadi pasti upah bakalan lebih dari biasanya, yang bagus ya. Aku sudah minta izin kepada orang tuaku, dan mereka menyanggupi.” perintahnya begitu beruntun dengan nada lembut.
“Emm, iya. Lalu kamu mau ke mana memesan baju dengan segera?”
”Aku ingin pulang, hari sudah senja”. Kemudian ia berlari meninggalkan sumur, meninggalkan pasar Ngasem yang sudah tak kenal keramaian lagi di sore ini.
***
Langit begitu gelap, tak ada bintang mengembara di malam ini, atau mungkin aku yang tak melihatnya karena kabut yang begitu menghitam. Aku berjalan dengan tergesa, berharap agar hujan petang ini tak memburuku. Sebentar lagi kakiku akan menginjakkan teras yang tak berubin, batinku ingin cepat sampai ke rumah bapak. Aku tersenyum lebar, mungkin setelah ini pikiran bapak tak lagi bergelayutan pada hutang sebuah mesin yang penuh dengan gulungan-gulungan benang jahit itu. Apa yang unik dari hukum alam seperti ini? Di saat sebuah masalah berjejal sadis memenuhi otak ini, bahkan sampai meluber memenuhi rumah bapak. Tiba-tiba saja pemusnah masalah itu muncul tanpa adanya harapan, mencoba mengerdilkan, bahkan sampai membuat agar tak terlintas lagi dalam bayangan. Maria, apakah suatu kiriman dari Tuhan?.
Aku bersyukur.

***
Apakah sebuah permintaan adalah pertanda?

Semarang, 15 Desember 2001
Ditemukan seorang gadis belia (16 Tahun) tewas tenggelam di dasar sumur sebuah pasar, Kemarin(14 Desember 2001) dengan mengenakan pakaian yang serba putih. Menurut Surti salah seorang penduduk pasar, gadis tersebut terperosok pada malam harinya. Ia begitu terkejut ketika melihat sepasang sepatu putih bersih mengapung di permuakaan air sumur. Karena merasa ada sesuatu yang ganjil di dalam sumur Surti pun meminta pertolongan kepada penduduk pasar.
Hari ini mayat gadis tersebut sudah dibawa ke rumah duka dan kabarnya akan dimakamkan sore nanti menunggu bapak korban kembali dari Luar Jawa. Penyebab kejadian tersebut belum bisa dipastikan dan masih dalam penanganan polisi ( kbl.)
***
Aku diam. Aku menatap genangan air itu, tak berkedip, lalu air mata ini begitu bernafsu untuk keluar, terjun bebas dan bercampur dengan air yang lain dalam permukaan. Kali ini aku sendiri, tak ada serangga sebangsa kupu-kupu menggangguku. Tanganku berdiri tegak bertumpu pada pelindung sumur. Aku menunduk sampai rembulan tak dapat melihat raut wajahku. Rona permukaan sumur begitu berbeda dari yang selama ini sering kulihat. Suasana pasar begitu sepi, namun di sini, di otaku begitu ramai. Pertanyaan tentang kematian berjejal sesak di pikiranku. Apakah aku, bapak, mesin jahit, baju putih, sumur adalah pengantar Maria? Andai kata iya, mungkin dulu aku bisa menolak tawarannya.
Siapakah yang akan menjadi pengganti pelanggan terbaik keduaku?
Lalu kapan sumber air ini akan menyibukanku kembali?
                       
Terinspirasi dari drama “TUK”( Mata Air ).







0 komentar:

Posting Komentar